Wednesday, November 18, 2015

BIOGRAFI MUHAMMAD NATSIR


Oleh: Amriadi Al Masjidiy*

A.    Riwayat Hidup dan Pendidikan Muhammad Natsir
Nama lengkapnya adalah Mohammad Natsir, lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Dan Meninggal dunia pada hari sabtu 6 Februari 1993,


 pukul 12.10 WIB di RS. Cipto mangunkusumo jakarta, dalam usia 85 tahun[1]. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Ayanhnya bernama Idris Sutan Saripado dan ibunya bernama Khadijah. Ayahnya berkarja sebagai juru tulis konteler di maninjau, Kab. Agam. Istri M. Natsir bernama Putri Nurnahar ( lahir di bukit tinggi pada 28 Mei 1905, dan wafat di jakarta pada 22 juli 1991). Mempunyai 2 anak putra dan 4 anak putri, serta 15 cucu. (No 2 meninggal 7 januari 1951, dalam usi 13 tahun).[2]
Semasa kecil Muhammad Natsir dididik di lingkungan yang menghadirkan nilai-nilai religiusitas, Masjid dan Surau marupakan tempat Muhammad Natsir belajar ilmu agama. Selain belajar agama, Muhammad Natsir juga di sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. M. Natsir mempunyai daya intlektual yang lebih dari teman temansebayanya, diusia 8 tahun ia masuk HIS
(Holland Inlandse School) di Kota Padang. Dengan kecerdasannya yang lebih, kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke Sekolah HIS Pemerintah yang mempunyai system pendidikan murni barat.
“Pada usia yang boleh dikatakan masih sangat muda itulah Natsir mulai belajar mengarungi hidup. Meskikipun masih samar-samar, dia mulai sadar akan artinya tanggung jawab, akan saling berbagi dalam hidup bersama”.[3]
Setelah usia tujuh atau delapan tahun, mulailah dia tidur disurau bersama dengan kawan-kawannya......laki-laki. Hanya pada waktu siang dan pada saat-saat tertentu saja dia ada di rumah, kalau dia masih tidur juga di rumah, niscaya akan jadi......ejekan kawan-kawannya yang akan menyebutnya sebagai anak yang masih menyusu dan sebaginya. Anak berusia tujuh atau delapan tahun harus berpisan dari orang tuanya, belajar hidup dewasa.[4]
 M. Natsir mulai mengikuti pendidikan formal di saat ia berusia 8 tahun pada mulanya ia berkeinginan untuk mengikuti pendidikan di HIS (Hollandse Inlandse School) yaitu sekolah negeri belanda.
Namun keinginan untuk masuk sekolah itu gagal ketika M. Natsir diketahui anak seorang pegawai rendahan semangatnya yang tinggi untuk sekolah membuat orang tuanya menyekolahkannya ke HIS Adabiyah padang. Sebelum M. Natsir menyelesaikan pendidikannya di HIS Adabiah, M. Natsir dipindahkan oleh Orang Tuanya ke HIS pemerintah Solok[5].
Di Solok M. Natsir tinggal di rumah Haji Musa. Seorang sodagar terkemuka di situ. Haji Musa juga mempunyai anak yaitu Ubaidillah, bersama-sama Ubaidillah ini M. Natsir mengikuti berbagai pendidikan keagamaan, seperti belajar Bahasa Arab dan al Qur’an di Madrasah Diniyyah.[6].
Natsir begitu kerasan disana, walaupun pada akhirnya sang Ayah kembali dipindah. Kali ini dia dipindah ke Makasar. Natsir tetap di rumah Haji Musa. Walau dia tidak ikut ayah, tetapi kelurga Haji Musa memperlakukannya sebagai keluarganya sendiri. Sebagai bentuk balas budi dari seorang Muhammad Natsir dia setiap hari membiasakan diri bangun pagi untuk membersihkan rumah dan memompa air. Gaya hidup yang dipraktekkan oleh Muhammad Natsir tersebut semakin memacu semangat keluarga Haji Musa untuk memperlakukannya dengan lebih baik.
Kemampuannya dalam berbahasa Arab, serta pertemuannya dengan tokoh-tokoh pembaharuan seperti Abdullah Ahmad dan Tuanku Mudo Amin disertai kegemarannya membaca tulisan-tulisan pembaharuan, membuat Natsir terlibat intensif menggeluti ide dan pemikiran para pembaharu dalam usia yang relatif muda. Muhammad Natsir pada awalnya ditolak untuk masuk sekolah HIS. Hal ini disebabkan bukan karena dia tidak mempunyai kecerdasan intelektual, melainkan HIS kala itu hanya mau menerima anak pegawai dan anak sodagar yang kaya raya.
Maka tak heran kalau Muhammad Natsir kecil begitu terpukul saat kali melihat gedung sekolah yang ia dambakan ternyata tidak mau menerimanya. Kejadian itu menjadi pukulan berarti bagi Muhammad Natsir. Di padang Natsir masuk ke kelas lima. Di HIS yang dahulu tak dapat ia masuki karna ayahnya hanya pegawai kecil saja! Tetapi sebagi pindahan dari HIS solok., dia secara otomatis diterima sebagai murid. Tiga tahun dia sekolah di situ, sampai dia tamat HIS.
Pada tahun 1923, Natsir melanjutkan pendidikannya ke MULO (Middlebare Uitgebreid Larger Onderwyis), di kota Padang[7]. Di samping sibuk mengikuti pendidikan di Mulo, ia juga aktif dalam kegiatan kepanduan Natipij yang bernaung di bawah Jong Islamited Bond (JIB) yang bernama Natipij[8]. seperti organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) sekarang.
M. Natsir menyelesaikan pendidikannya di MULO pada tahun 1927 [9], kemudian ia merantau ke Bandung untuk mengikuti pendidikan lanjutan di AMS (Algemene Middlebare School), AMS merupakan jenjang pendidikan untuk persiapan mengikuti universitas di Belanda.
Saat di AMS, Muhammad Natsir sudah menginjak umur 19 tahun. Agar wawasannya menjadi maju, dia mencoba menekuni Bahasa Belanda, Bahasa Latin dan kebudayaan Yunani. Pendidikan di AMS ini dijalani dengan seksama dan semangat tinggi olehnya, walau dalam kenyataannya dia sedikit memendam kekecewaan mengingat pendidikan yang dia dapatkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
 Di sekolah ini ia mulai menekuni ilmu pengetahuan Barat. Ia mempelajari berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, Yunani dan Eropa melalui buku-buku berbahasa Arab, Perancis dan Latin. Tanpa kesulitan Natsir dapat mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, bahkan dari sinilah Natsir memulai keseriusannya dalam merumuskan konsepsinya tentang Islam dan berbagai sejarah Islam melalui kacamata Barat (buku-buku barat).
Setelah setahun masuk AMS. Natsir kembali memasuki organisasi JIB, ia aktif dalam JIB sampai studinya “di AMS selesai tahun 1930[10]. Motivasinya masuk JIB, karena ia prihatin terhadap besarnya pengaruh Barat di kalangan pelajar-pelajar muslim, yang terlihat dari cara berpikir dan bergaul ala Barat, mereka bangga mengidentifikasikan diri dengan orang Belanda.
Dengan aktifnya di JIB ia berusaha melakukan pendekatan dan menumbuhkan simpati di kalangan pelajar terhadap Islam dan organisasi JIB. Selama tinggal di Bandung Natsir juga belajar pada tokoh ulama Persis A. Hasan[11], peristiwa ini tercatat dalam sejarah hidup Natsir sebagai peristiwa yang menariknya dalam gerak perjuangan Persis. Natsir mulai meniti kariernya sebagai seorang pejuang, negarawan dan agamawan. Natsir terlibat dalam penerbitan majalah Pembela Islam(oktober1229)
Prestasinya semakin menjulang saat dia berhasil menjadi lulusan terbaik di AMS pada tahun 1930. M. Natsir “( lulus dengan nilai tertinggi, dan berhak melanjutkan ke Falkultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya agar mendapatkan titel Meester in de Reachten, atau ke Falkultas Ekonomi di Rotterdam, atau menjadi pegawai negri yang sangat cukup, Tetapi ketiganya di tolak oleh Natsir karna ia lebih tertarik dengan masalah-masalah Islam dan gerakan Islam)”[12]
Setelah menyelesaikan studi di AMS. Natsir tidak melanjutkan kuliahnya, ia menolak beasiswa yang ditawarkan untuknya, malahan ia mengajar di salah satu MULO di Bandung. Kenyataan in merupakan panggilan jiwanya untuk mengajar agama yang pada masa itu belum memadai.
Dia lebih memilih untuk memperdalam ilmu agama. di Persatuan Islam Bandung di bawah bimbingan Ustadz A. Hassan. Sejak saat itulah Natsir menceburkan diri ke dalam kawah candradimuka gerakan Islam yang mencita-citakan Indonesia merdeka.[13]
Mantapnya pemahaman agama Muhammad bukan dikarenakan hanya semata diajar oleh Ustadz A. Hassan, melainkan dia belajar ataupun diajar oleh ayahnya sendiri yang kebetulan menjadi pegawai Pemerintah Belanda dan begitu mendalam terhadap pemahaman agama.
Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh di Mesir.
Natsir kemudian mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (Pendis)[14] suatu bentuk pendidikan modern yang mengkombinasikan kurikulum pendidikan umum dengan pendidikan pesantren. Natsir menjabat sebagai Direktur Pendis selama sepuluh tahun sejak tahun 1932.

B.     Karir dan Perjuangan Muahammad natsir
“Muhammad Natsir, tokoh nasional berbasis organisasi dan pemikiran islam. Gagasan dan ide-idenya mengenai bidang berbagai kehidupan mencerminkan sikap dasar yang tidak memisahkan kehidupan beragama dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara dikotomis”.[15]
“Di panggung Internasional, Muhammad Natsir dikenal pemikirannya yang multi dimensional dan salah satunya berpengaruh dalam proses modernisasi pemikiran Islam di dunia”.[16]
Terjadinya perubahan dalam pergerakan Islam yang pada awalnya terfokus pada-
pergumulan fiqhiyyah dan furu’iyyah beranjak kepada pergumulan Islam yang ideologis dan politis. Natsir ikut terbawa ke dalam arus perubahan ini, ditandai dengan keterlibatan Natsir dalam aktivitas politik, ketika pertama kali mendaftarkan diri menjadi anggota partai Islam Indonesia (PII), dan “ Angota Dewan Kabupaten bandung”[17] pada tahun 1940, ia terpilih sebagai ketua umum cabang partai tersebut di Bandung. Di samping itu ia aktif pula dalam kepemimpinan Majellis al- Islam A’la Indonesia (MIAI).
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945) Natsir menjabat sebagai “kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung”.[18] dalam jabatannya sebagai Kepala Bagian Kotamadya , Natsir ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dimasa awal kemerdekaan Indonesia, Natsir tampil menjadi salah seorang politikus dan pemimpin Negara.
“Pada awalnya ia menjadi anggota kerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), kemudian menjadi Menteri Penerangan tahun 1946-1948. Akhirnya karir politik Natsir mencapai puncaknya ketika ia dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia (1950-1951)”.[19]
Pelantikannya sebagai Perdana Mentri adalah konsekuensi yang wajar mengingat kedudukannya sebagai ketua Partai Masyumi, partai politik terbesar di Indonesia pada saat itu. Oleh sebab itu keberadaan Natsir dalam Masyumi telah membawa nuansa baru bagi perjuangan umat Islam terhadap kepentingan agama, politik, ekonomi dan sosial.
Natsir memimpin Masyumi sebagai ketua umum, sejak tahun 1949 sampai 1958,[20] dua tahun sebelum dibubarkan. Sembilan tahun Natsir memainkan perannya dalam Masyumi sebagai partai Islam terbesar dalam persaturan politik di Indonesia. Sebagai pemimpin politik Islam, Natsir secara maksimal telah memberikan seluruh tenaga dan pikirannya bagi kepentingan umat Islam Indonesia dan seluruh bangsa Indonesia.
 Di samping itu, tampilnya Natsir ke puncak pemerintahan, sebagai Perdana Menteri, juga tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan Mosi pada sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 3 April 1950, leibh dikenal dengan Mosi Integral M. Natsir. Mosi itulah yang memungkinkan RI terpecah belah menjadi tujuh belas Negara bagian serta menjadi Negara kesatuan RI.
“Sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas dari misi integral Natsir, dan oleh beberapa politisi dianggap sebagai proklamasi kedua setelah 17 agustus 1945. Hal ini tidaklah mudah bagi Natsir sebab sebagai ketua Umum Masyumi, ia harus berulangkali mengadakan pendekatan terhadap berbagai partai dan kekuatan golongan saat itu”.[21]
Selama menjabat sebagai Perdana Menteri berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Natsir semuanya baertujuan untuk membangun pemerintahan yang demokratis dan kehidupan perekonomian yang stabil dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Aktivitas politik Natsir, yang tidak dapat dilupakan adalah perdebatan-perdebatan yang dilakukannya dalam sidang Konstituante tahun 1956- 1959.
Perdebatan-perdebatan tersebut berhubungan dengan upaya Natsir untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan sekaligus menolak berbagai berbagai ideology lain, seperti : Nasionalis, Sosialis dan Pancasila untuk dijadikan sebagai dasar Negara.
Ide-ide yang dilontarkan Natsir dalam berbagai rapat Konstituante, semakin mempertegas keterlibatannya dalam usaha membangun sebuah system politik yang demokratis berdasarkan kepada Syari’ah. Walaupun tidak dapat dielakkan, bahwa dengan kegagalan Konstituante yang kemudian melahirkan kekuasaan terpimpin dibawah Presiden Soekarno, berakibat kepada dibubarkannya partai politik islam Masyumi pada tahun 1960.
Karir Natsir sebagai politikus mengalami pasang surut. Oposisinya terhadap presiden Soekarno dimasa Demokrasi Terpimpin (1950-1959), dan sikap anti komunisnya yang keras mendorongnya untuk bergabung dengan kaum pembangkang, yang pada mulanya digerakkan oleh panglima-panglima militer di daerah.
Oposisi ini akhirnya merebak menjadi pergolakan bersenjata, setelah mereka membentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) Di Sumatera Barat. Namun akhirnya PRRI dilumpuhkan secara militer oleh pemerintah pusat. Setelah menerima amnesti dari keterlibatannya didalam PRRI, Natsir ternyata ditahan oleh pemerintah Soekarno dengan dakwaan subversif. Selama tujuh tahun, ia berada dalam tahanan tanpa proses peradilan.[22]
Natsir baru dibebaskan oleh Pemerintah Orde Baru, beberapa waktu setelah Pemerintahan Presiden Soekarno jatuh. Tatkala pemerintahan orde baru muncul (1967), Natsir pun tidak mendapat tempat dan kedudukan dalam pemerintahan. Natsir
mengalihkan strategi perjuangannya kepada kegiatan Dakwah Strategi inilah yang kemudian melahirkan DDII pada tanggal 26 Februari 1967.[23]
Keberanian Natsir mengoreksi Pemerintah Orde Baru dengan ikut menandatangani Petisi 50, tanggal 5 Mei 1980, menyebabkan ia dicekal ke luar Negeri tanpa melewati proses pengadilan. Sikap politik Natsir yang paling akhir menjelang akhir hayatnya, adalah dukungannya terhadap Partai Persatuan Pembangunan dalam pemilu 1992.
Di samping itu karena dukungan dan gagasan-gagasannya M. Natsir mendapat bgerbagai penghargaan International di antaranya sejak tahun 1967, ia dilantik menjadi wakil presiden World Congress yang bermarkas di Pakistan dan anggota Badan Pendiri Rabithah al-A’lam al-Islami yang berpusat di Saudi Arabia.[24]
“Tahun 1980 ia menerima bintang penghargaan dari pemerintah
 Tunisia”[25] dan Yayasan Raja Faisal Arab Saudi atas pengabdiannya terhadap dunia Islam. Di dunia akademik ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Lebanon (1967) dalam bidang sastra. Sedangkan dalam “bidang pemikiran Islam diterimanya dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Teknologi Malaysia (1991).[26]

C. Konsep Gerakkan Muhammad Natsir
Konsep kepemimpinan yang diaplikasikan oleh Mohammad Natsir mencakup berbagai bidang yaitu politik, sosial, pendidikan dan ekonomi. Namun bila ditinjau dari latar belakang, perjuangan, aktifitas dan kiprahnya di bidang politik, agaknya bentuk kepemimpinan inilah yang lebih dominan diaplikasikan olehnya, baik secara teori maupun praktek. Di samping itu, ia juga mengaplikasikan kepemimpinan pendidikan dan ekonomi, karena menurutnya kedua hal ini juga merupakan masalah dalam kepemimpinan Islam secara keseluruhan. Berikut bentuk kepemimpinan yang lebih dominan diaplikasikan olehnya.


1.      Muhammad Natsir dan Politik
Pemikiran Mohammad Natsir yang memadukan antara Islam dengan politik dinilai agak bertolak belakang dengan kebanyakan pemikiran masyarakat yang menganggap tidak adanya kaitan antara agama dengan politik. Sebagai negarawan yang berpihak pada masyarakat, ia memang dikenal sebagai tokoh Islam yang vokal terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itulah ia menempatkan dakwah terhadap pemerintah sebagai prioritas. Ia melakukan hal tersebut semenjak kepemimpinan Orde Lama (Soekarno) hingga pemerintahan Orde Baru (Soeharto) hingga akhir hayatnya. Gagasan-gagasan politiknya yang pertama kali dilontarkan pada awal tahun 1930. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, ia gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Ia juga kerap mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa itu.
Perjuangannya pada Orde Lama membawanya pada polemik dengan Soekarno dan akhirnya berujung di rumah tahanan. Hussein Umar, sebagaimana yang dikutip oleh Syuhada Bahri pernah mengatakan bahwa Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia lahir dari perenungan Mohammad Natsir selama di rumah tahanan.[27] Namun demikian, langkah membentuk Dewan Da‘wah Islamiah Indonesia sebenarnya tidak dapat disebut sebagai putar haluan dari gelanggang politik ke kancah dakwah. Karena sesungguhnya, Islam dan politik mempunyai hubungan erat dan tidak terpisahkan. Politik merupakan bagian dari Islam. Dengan kata lain saat terjun ke politik, Mohammad Natsir juga tampil sebagai seorang pemimpin dakwah (da‘i).[28] Karena itulah ia mengambil bagian dalam aktifitas politik dalam rangka melaksanakan dakwah demi tegaknya Islam. Dalam bingkai politik seperti inilah ia menghimbau agar setiap umat Islam dapat berpolitik sebagai sarana dakwah. Menurutnya, seorang muslim tidak dapat melepaskan diri dari politik, karena menegakkan Islam terkait erat dengan menegakkan masyarakat, negara dan kemerdekaan.[29]
Ia menggunakan istilah modernisasi politik Islam yang mengandung arti sebagai sikap dan pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadith serta menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.[30] Meskipun Dewan Da‘wah Islamiah Indonesia bukan lembaga politik, namun organisasi ini tidak ‘buta politik.’ Oleh karena itu, di samping kegiatan sosial keagamaannya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga mengikuti perkembangan perpolitikan di Indonesia terutama yang berkaitan dengan Islam.[31]
Di masa Orde Baru, ia memfokuskan sasaran dakwahnya pada penguasa/pemerintah. Kepada pemerintah Orba, Mohammad Natsir berdakwah dengan melakukan social support (dukungan sosial), social control (kontrol sosial) dan social participant (partisipasi sosial). Sedangkan kepada masyarakat ia melakukan tarbiyah alsahihah (mengajar kebenaran). Dengan demikian, setiap kebijakan dan aktifitas pemerintahan tidak pernah luput dari perhatiannya. Yang baik didukung, sementara yang melenceng dikoreksi.[32]

2.      Muhammad Natsir dan Pendidikan
“Maju atau mundurnya salah satu kaum sebagian besar bergantung kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka.” Demikianlah salah satu bunyi pidato Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan yang disampaikannya pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934.[33] Ungkapan di atas menjelaskan bahwa pendidikan merupakan pembinaan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya. Sehingga, pendidikan.
Islam tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan kehidupan manusia, yaitu dalam rangka menyembah dan beribadah kepada Allah.[34] Dalam hal ini ia mengungkapkan:
“Mengenal Allah, mentauhidkan Allah, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita didik, jika kita sebagai guru ataupun ibu-bapak, betul-betul cinta kepada anak-anak yang telah dipercayakan oleh Allah kepada kita itu...Pendidikan dengan tauhid sebagai prinsip-prinsip utama, akan memberi nilai tambah bagi manusia dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Bagi orang yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan dalam arti ia tidak memiliki pegangan hidup yang benar, semakin lama ia memperdalam ilmu, semakin hilang rasa tempat berpijak, apa yang kemarin masih benar, sekarang sudah tidak betul lagi. Apa yang betul sekarang, besok sudah salah pula.”[35]
Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa tauhid haruslah dijadikan dasar dalam kehidupan manusia, untuk mendapatkan pegangan hidup yang benar, tauhid harus menjadi dasar dalam berbagai bidang, di antaranya dalam masalah pendidikan. Di sisi lain, pendidikan bukanlah bersifat parsial melainkan universal yang menuntut adanya keseimbangan antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat jasmani dan rohani sehingga tidak menimbulkan dikotomis antara cabang-cabang ilmu. Jika ilmu pengetahuan dipisahkan dari ilmu agama maka akan lahir para ilmuwan yang tidak beragama atau para agamawan yang tidak berilmu. Mohammad Natsir memandang bahwa lahirnya para intelektual muslim yang menentang Islam adalah akibat dari pendidikan yang tidak berbasis agama yang benar.[36] Dakwah di bidang pendidikan ini diaplikasikan oleh Mohammad Natsir lewat berbagai upaya, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.       Mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) dan berusaha menggabungkan pengetahuan umum dengan agama. Pendis juga menjadi cikal bakal lahirnya Universitas Islam Bandung (UNISBA), yang saat ini menjadi universitas terpandang di kota kembang.[37]
b.      Melakukan koordinasi dan penyelarasan program pendidikan perguruan Islam yang bakal melahirkan institusi pendidikan Islam yang memiliki keseragaman dasar dan cita-cita. Ia menyeru perguruan dan institusi pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk wadah bersama yang diberi nama Perikatan Perguruan-Perguruan Muslim (PERMUSI). Dari gagasan Mohammad Natsir lahirlah kampus-kampus Islam yang memiliki nama besar, seperti Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan, Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makasar, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) di Semarang, Universitas Islam Riau (UIR) di Riau, Universitas Al-Azhar Indonesia dan LPDI Jakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir.[38]
c.       Melengkapi perpustakaan-perpustakaan di berbagai universitas, lembagalembaga dakwah dan mendirikan Pesantren Husnayain.[39] Memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan TKIT, SDIT dan SMPIT yang menggabungkan kurikulum pendidikan umum dan pendidikan Islam yang berbasis pesantren.[40]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Mohammad Natsir memahami pendidikan Islam haruslah berisi pelajaran yang bisa menghantarkan kepada tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu menjadi khalifah di muka bumi ini sebagai bentuk ibadah kepada Allah dalam arti yang luas. Di samping itu, kebahagiaan dunia dan akhirat tidak hanya didapat melalui penguasaan ilmu agama semata, tetapi juga ilmu pengetahuan umum dan teknologi yang merupakan perangkat untuk mengemban perintah Allah.




3.      Dakwah dan Ekonomi
Sebagai pemimpin yang selalu berorientasi kepada kepentingan Islam, Mohammad Natsir berpendirian bahwa kegiatan ekonomi juga harus berlandaskan Islam. Baginya, kegiatan ekonomi bukan semata-mata usaha memperbanyak kekayaan materi, tetapi kekayaan itu harus didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dalam hal ini ia mengungkapkan:
“Harta milik harus dimanfaatkan untuk kesejahtaraan hidup bersama. Dengan perkataan lain harta milik mempunyai fungsi sosial. Maka salah satu dari infaq fisabilillah ialah menggerakkan dan memutar harta benda dalam proses produksi sehingga menjadi produktif dan dengan demikian dapat mempertinggi kemakmuran hidup masyarakat sebagai keseluruhan.”[41]
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa dakwah di bidang ekonomi merupakan hal yang penting dilakukan, khususnya dalam rangka pengembangan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, dakwah ekonomi lebih ditonjolkan pada aspekaspek kemampuan pelaku ekonomi, Islam sebagai pedoman ekonomi dan fungsi sosial dari harta itu sendiri. Hal ini dikarenakan semakin banyak harta yang bergerak di bidang produksi, semakin banyak hasil dan jasa yang akan dapat dinikmati oleh masyarakat umum, baik secara langsung maupun tidak langsung.[42] Kepemimpinan di bidang ekonomi ini diaplikasikannya lewat berbagai upaya, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.       Mendirikan Pasantren Pertanian Darul Fallah yang melibatkan diri dalam pembangunan masyarakat dengan program teknologi tepat guna dalam bidang pertanian, peternakan, perbengkelan, manajemen, pengembangan koperasi, peternakan, kesehatan masyarakat (membuat saluran air bersih) dan berbagai keterampilan lainnya dalam rangka mengurangi pengangguran dan peningkatan perekonomian masyarakat.[43]
b.      Memprakarsai berdirinya Lembaga Amil Zakat Nasional Dewan Da‘wah yang merupakan badan otonom di bawah Yayasan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia yang kemudian dilegitimasi oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi Lembaga Amil Zakat Nasional melalui S. Kep MENAG RI No. 407 pada tanggal 17 September 2002. Lembaga ini lebih berfokus kepada masyarakat miskin dan berkontribusi dengan pengelolaan sumber dana lokal bersumber dari zakat, infaq, sadaqah dan donasi sosial individu/perusahaan.[44]
c.       Memprakarsai berdirinya instrumen yang bersifat bisnis di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia sebagai pendukung kegiatan dakwah di bidang pembiayaan. Atas prakarsanya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia mendirikan beberapa perusahaan, antara lain: penerbit dan toko buku Media Da‘wah, percetakan Abadi, rumah makan dan layanan Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah Dewan Da‘wah (sejak 1998 dan mendapat sertifikat penghargaan Departemen Agama RI). Kemudian, pada tahun 2000 Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga mendirikan Biro Perjalanan Wisata PT Hudaya Safari. Perusahaan ini, selain melayani perjalanan wisata dan tiket, juga melaksanakan pelayanan khusus ONH Plus. Biro perjalanan wisata ini sudah mendapat izin resmi dari Menteri Agama RI.[45]

D. Muhammad Natsir dan Dewan Da’wah
Para pemimpin nasional seperti Mohammad Natsir, Mochtar Lubis, Isa Anshari, Assaat, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanoeddin Harahap, M. Yunan Nasution, Buya Hamka, Kasman Singodimedjo dan Muttaqin yang bersikap kritis terhadap politik Demokrasi Terpimpin, ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Puncak dari masa penuh kegelapan itu ialah pecahnya peberontakan berdarah G.30.S/PKI. Setelah Mohammad Natsir keluar dari tahanan pada tahun 1967 dan berharap dapat menghidupkan kembali lembaga politik (Masyumi), namun ternyata tidak terwujud. Sebagai solusi terhadap persoalan tersebut, maka pada 26 Februari 1967 atas undangan pengurus masjid Al-Munawwarah Kampung Bali Tanah Abang Jakarta Pusat, Mohammad Natsir bersama para alim ulama dan tokoh-tokoh lainnya[46] berkumpul untuk bermusyawarah, membahas, meneliti dan menilai beberapa masalah, terutama yang berhubungan dengan usaha pembangunan umat. Pertemuan itu juga membahas tentang usaha mempertahankan akidah di dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat serta menyimpulkan dua hal sebagai berikut:
a.       Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
b.      Memandang perlu untuk lebih meningkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.[47]
Untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama tersebut merumuskan beberapa persoalan, antara lain:
a.       Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan system perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi yang dirasa perlu dalam usaha menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan lain terhadap masyarakat Islam.
b.      Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.[48]
Dalam menampung persoalan-persoalan yang mengandung cakupan yang luas dan sifat yang kompleks, maka musyawarah ulama tersebut memandang perlu dibentuknya sebuah wadah yang kemudian dikukuhkan keberadaannya melalui Akte Notaris Syahrim Abdul Manan No. 4, tertanggal 9 Mei 1967. Organisasi tersebut kemudian didirikan dalam bentuk yayasan yang diberi nama Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, di singkat dengan sebutan DDII atau Dewan Da‘wah saja. Pengurus Pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota negara dan bila dimungkinkan memiliki perwakilan di tiap-tiap ibukota daerah tingkat I serta pembantu perwakilan di tiap-tiap ibukota daerah tingkat II seluruh Indonesia.[49]
Didirikannya Dewan Dawah Islamiyah Indonesia oleh Muhammad Natsir, dianggap sebagai pilihan cerdik guna menghindari dari konteks keormasan dan partai politik. Dalam sebuah wawancara, Mohammad Natsir mengibaratkan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia sebagai mesin pembangkit tenaga listrik yang ditempatkan di belakang rumah, dalam suatu tempat yang dirancang khusus di bawah tanah agar tidak menimbulkan kebisingan. Dengan fungsi dan tempat seperti itu, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia diharapkan dapat menerangi umat tanpa menimbulkan suara berisik dan ‘polusi yang bersifat politis.[50]
Musyawarah alim ulama kemudian merumuskan program kerja sebagai penjabaran dari landasan kebijakan di atas. Program kerja yang ditetapkan oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia pada saat itu adalah sebagai berikut:
a.       Mengadakan pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan pelatihan bagi da‘i dan calon-calon da‘i.
b.      Mengadakan research (penelitian) atau membantu mengadakan penelitian yang hasilnya dapat segera dimanfaatkan bagi perlengkapan usaha para da‘i pada umumnya.
c.       Menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur atau siaran lain yang ditujukan untuk melengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan mutu dan hasil dakwah. Usaha ini diharapkan dapat mengisi kekosongan-kekosongan di bidang spiritual yang diperlukan dalam masyarakat.[51]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pertumbuhan dan perkembangan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia tidaklah dapat dipisahkan dari peran Mohammad Natsir di dalamnya. Fokus Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ketika pertama kali didirikan adalah dalam rangka mengusahakan pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan akidah di dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Di awal berdirinya, program utama Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia lebih terfokus dalam meningkatkan mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan system perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi yang dirasa belum memadai serta mengaktifkan jamaah masjid sebagai inti dakwah umat Islam.
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga mempersiapkan upaya-upaya dalam menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut kepercayaan, aliran serta agama lain terhadap masyarakat Islam. Dengan demikian, pada masa tersebut Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia berusaha untuk melaksanakan pemantapan akidah umat Islam agar terhindar dari berbagai masalah yang dapat mengganggu kemurniannya (murtad, syirik, tahayul dan khurafat) dengan merumuskan berbagai program dalam rangka meningkatkan kualitas dakwah Islam, khususnya di Indonesia. Semasa kepemimpinan Mohammad Natsir, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga membantu pembangunan masjid dari segi fisik. Selama periode 1986-1990 misalnya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah membangun 168 mesjid/musalla di kompleks pesantren, kompleks perumahan, lokasi transmigrasi, kampus perguruan tinggi, kompleks rumah sakit, daerah suku terasing, kompleks Scapa Polri, dan kompleks Lembaga Pemasyarakatan. Di bidang ini, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga telah membantu pembangunan berbagai masjid kampus, melengkapi perpustakaan-perpustakaan di masjid-masjid.
Di antara masjid yang telah dibinanya adalah masjid Salman ITB dan masjid Arif Rahman Hakim di kampus Universitas Indonesia, Jakarta.[52] Ikut sertanya Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia secara nyata dalam masyarakat membuktikan bahwa lembaga yang dimotori oleh Mohammad Natsir itu bukan sekedar organisasi teoritis, tetapi juga praktis. Thohir Luth menjelaskan bahwa dalam rangka pembinaan umat Islam terutama di pedesaan, pedalaman dan daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari berbagai pengaruh terhadap pendangkalan akidah dan pemurtadan, Mohammad Natsir melalui Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia mengirimkan da‘i ke tempat-tempat tersebut. Para da‘i umumnya direkrut dari masyarakat desa itu sendiri. Mereka dididik, dilatih dan dibekali dengan berbagai ilmu serta keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman da‘i ke berbagai daerah diharapkan umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat terbina keislamannya.[53]
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah mengirimkan da‘i ke berbagai pelosok tanah air hingga ke daerah terpencil seperti Mentawai dan Irian Jaya. Sejak pemerintah menggalakkan program transmigrasi, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah mengirim da‘i ke lokasi-lokasi transmigrasi dan daerah-daerah terpencil lainnya. Dalam hal ini, Mohammad Natsir mempergunakan pendekatan ‘bawah-atas.’ Artinya, jika ada suatu lokasi yang memerlukan da‘i, maka da‘i yang dikirim adalah da‘i yang sudah disepakati oleh masyarakat setempat. Sebab, bagaimanapun da‘i tersebut pada akhirnya akan hidup berdampingan dengan masyarakat setempat.[54]
Langkah Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ternyata telah membangkitkan semangat tolong-menolong dalam kebaikan dari lembaga-lembaga dakwah lainnya. Muhammadiyah dan Yayasan Kiblat Centre kini terhitung sebagai lembaga yang giat mengirim da‘i ke lokasi transmigrasi dan suku-suku terasing.[55] Mohammad Natsir tidak hanya berdakwah dengan cara bi al-hal dan bi al-lisan saja. Ia juga merancang dakwah bi al-kitabah, yaitu melalui tulisan-tulisan yang diorganisasi oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Mulai dari brosur berupa lembaran sampai pada majalah maupun buku-buku yang ditulisnya sendiri maupun oleh orang lain. Dakwah bi al-kitabah yang dilaksanakan Mohammad Natsir dapat menjangkau semua pihak, mulai dari golongan awam, menengah, maupun terpelajar.
Tujuannya adalah memberikan informasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan pada masyarakat secara luas, agar mereka dapat memahami agama dan persoalan- persoalan sosial secara tepat. Ada lima terbitan dakwah yang dikelola oleh Mohammad Natsir dan semuanya dikerjakan di kompleks sekretariat Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Adapun kelima terbitan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Majalah Serial Media Da‘wah yang dititikberatkan sebagai konsumsi golongan terpelajar dan menengah. Kedua, Majalah Suara Masjid yang isinya lebih difokuskan untuk konsumsi masyarakat awam yang berisi uraian-uraian tentang tafsir, hadith dan lain-lain. Ketiga, Serial Khutbah Jum‘at, khusus memuat bahanbahan khutbah Jumat untuk para da‘i dan masyarakat luas. Isinya kemudian ditambah dengan manajemen dan pembinaan masjid. Keempat, Majalah Sahabat yang merupakan bacaan agama dan bimbingan untuk anak-anak dalam membentuk generasi yang saleh.
Kelima, Buletin Da‘wah yang terbit setiap hari Jumat yang isinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh semua belah pihak. Di samping itu, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia pada tahun 1988 mulai menerbitkan Tabloid Al-Salam. Isinya menyangkut masalah keagamaan dan laporan masalah-masalah kegiatan sosial keagamaan. Dengan terbitan-terbitan tersebut, terjalinlah hubungan yang erat dengan wilayah-wilayah sedikit banyaknya juga dikembangkan bahan-bahan dakwah yang dapat dikatakan “satu nafas” dan “satu bahasa.”[56]
Aktifitas pembinaan Islam diaplikasikan oleh Mohammad Natsir dengan melaksanakan berbagai kegiatan meliputi pengamat kebijakan pemerintahan, membendung kristenisasi dan menggalang persatuan umat Islam yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      Pengamat kebijakan pemerintahan Di masa Orde Baru, Mohammad Natsir memfokuskan sasaran dakwahnya pada penguasa/pemerintah. Adapun tujuan yang ingin dicapainya adalah perbaikan dan terciptanya iklim hidup yang baik dalam bermasyarakat dan bernegara. Thohir Luth menyebutkan bahwa upaya lain yang dilakukan Mohammad Natsir dalam meluruskan kebijakan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru adalah sebagai berikut.
a.       Mengoreksi dan meluruskan kebijakan Presiden Soeharto yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan baik melalui pidato, ceramah dan tulisannya.
b.      Bergabung dalam kelompok Petisi 50[57] untuk menyusun pernyataan keprihatinan terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto.
c.       Memberikan imbauan kepada pemerintah, anggota DPR, Ketua beserta Anggota Mahkamah Agung RI, para cendekiawan dan para alim ulama agar senantiasa mengingat dan menghayati kembali apa yang telah diikrarkannnya di depan DPR-GR tanggal 16 agustus 1967 yang menetapkan bahwa “Orde baru lahir sebagai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan Orde Lama.”[58]
2.      Membendung kristenisasi Mohammad Natsir menaruh perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia. Perhatian khusus ini dituangkan dalam bentuk konkret dengan melakukan tiga upaya, yaitu:
a.       Mengirimkan da‘i Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ke pelosok daerah.
b.      Menulis dua karya ilmiah berjudul Islam Dan Kristen Di Indonesia dan  Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia.
c.       Mengirim surat terbuka kepada Paus Yohanes Paulus II di Vatikan melalui Duta Besar Tahta Suci dengan pengharapan agar mereka mau membuka mata, memperhatikan kristenisasi yang tengah digencarkan di Negara Republik Indonesia dengan penduduk yang mayoritas muslim.[59]
Mohammad Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia ini pada tiga hal utama, yaitu kristenisasi itu sendiri, diakonia[60] dan perlunya warga yang beragama melakukan modus vivendi. Adapun tujuan dari modus vivendi (jalan keluar) adalah menciptakan kehidupan berdampingan secara damai. Mohammad Natsir menegaskan perlunya modus vivendi karena umat Islam menginginkan hal-hal berikut:
1.      Antara pemeluk agama di Indonesia ini supaya hidup berdampingan secara baik, saling menghargai dan toleransi.
2.      Agar semua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama dengan pemerintah.
3.      Terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbeda agama di Negara ini dengan kepentingan pembangunan nasional.
4.      Menghindari terjadinya perang agama sebagaimana yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia ini.
5.      Mengajak semua manusia dengan perbedaan agama masing-masing untuk mengamalkan salah satu perintah agama yang paling esensial, yaitu keadilan dalam keragaman beragama.[61]
Upaya Mohammad Natsir melalui modus vivendi tersebut patut dihargai oleh pemerintah dan semua umat beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yusuf Al-Qaradhawi dalam program Asy-Syariah wal Hayat di Aljazeera Channel menyebutkan bahwa prestasi besar Mohammad Natsir dalam menyelamatkan akidah umat adalah dengan melakukan gerakan membendung kristenisasi di Indonesia melalui Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia.[62]

*) Penulis merupakan peneliti Islamic Research Forum-http://amriadicyber.blogspot.com



[1] Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1993, hal.253.
[2] Ibid.
[3] Ajib Rosyidi, M. Natsir Sebuah Biografi , hal. 146.
[4] Ibid, hal. 147.
[5] Ajib Rosyidi, M. Natsir Sebuah Biografi , hal. 148.
[6]  Ibid.
[7]  Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal.253.
[8] Ajib Rosyidi, Moh. Natsir Sebuah Biografi , hal. 151
[9]  Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal.253.

[10] Ibid.
[11] Ajib Rosyidi, M. Natsir Sebuah Biografi , hal. 159.
[12]  Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal.253.
[13] Lihat,http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/2009/05/kesederhanaan-seorang mohammad-natsir-1.html . Diakses, 17 Januari 2013.
[14] Ajib Rosyidi, Moh. Natsir Sebuah Biografi ,hal. 158.
[15] Anwar Harjono, Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, hal. 32.
[16]. Ibid.
[17] Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal. 254.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hal.253.
[20] Ibid, hal.254.
[21] Anwar Harjono, Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, hal. 58.
[22] Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal. 254.
[23] Ibid, hal. 255.
[24]  Ibid, hal. 258.
[25] Ibid, hal.257.
[26]  Ibid, hal.258.
[27] Syuhada Bahri, “Da‘wah Ilallah, Pesan Terakhir Natsir,” dalam Majalah Al-Mujtama‘ Edisi
Seabad M.Natsir, (Jakarta: 2008), hal. 65
[28] M. Nurkholis Ridwan, “Berdakwah dengan Cinta,” dalam Majalah Al-Mujtama‘…, hal. 72.
[29] M. Natsir, Capita Selecta II, (, (Jakarta: Pustaka Pendis, tt), hal. 157.
[30] Anwar Harjono dkk., dalam Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 133.
[31] Dwi Purwoko, Perubahan Orientasi Politik Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia Pasca
Kepemimpinan Mohammad Natsir, http//www.linkpdf.com/ebook, diakses tanggal 24 Oktober 2010.
[32] Syuhada Bahri, “Da‘wah Ilallah…, hal. 65.
[33] Badrul Tamam, Konsep Pendidikan Mohammad Natsir, http//www.voa-islam. com, diakses tanggal
12 April 2010.
[34] M. Natsir, Capita Selecta 1 (Bandung: Sumur Bandung, 1961), hal. 58.
[35] M. Natsir, Capita Selecta …, hal. 116-118.
[36] Ulil Amri Syafri, “Pemikiran Pendidikan Natsir; Parade Yang Belum Usai,” dalam Majalah Al-
Mujtama‘..., hal. 45.
[37] Ganna Parydharizal, “Konsep Pendidikan M. Natsir Mendidik Umat Dengan Tauhid,” dalam
Majalah Sabili..., hal. 47.
[38] Ganna Parydharizal, “Konsep Pendidikan..., hal. 48.
[39] Misbach Yusa Biran (skenario), “Perjalanan Panjang Menabur Benih,” Film Dokumentasi Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia, (Jakarta: 1999).
[40] Misbach Yusa Biran (skenario), “Perjalanan Panjang…, .
[41] M. Natsir, Fighud Da‘wah …, hal. 47.
[42] M. Natsir, Fighud Da‘wah …, hal. 51 dan 69.
[43] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 93.
[44] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 93.
[45] Administrator, Profil Dewan Da‘wah Islam Indonesia, http://www. ddii.acehprov.go.id, diakses
pada tanggal 24 Juli 2010.
[46] Mereka adalah mantan Menteri Agama ( H.M. Rasjidi); Mantan Menteri Luar Negeri (Mohammad Roem); mantan Presiden Pemerintahan Darurat RI-Gubernur Bank Sentral (Sjafroeddin Prawiranegara); mantan Perdana Menteri (Burhanuddin Harahap, Kasman Singodimejo, Osman Raliby dan Yunan Nasution); mantan Duta Besar untuk Irak (Datuk Palimo Kayo); serta para intelektual muslim (Anwar Harjono, Taufiqurrahman, Hasan Basri, Prawoto Mangkusasmito, Nawawi Duski, Abdul Hamid, Abdul Malik Ahmad dan Buchari Tamam). (Tim Penyunting, “Generator Lapangan Dakwah,” dalam Seri Buku Tempo Natsir: Politik Santun Diantara Dua Rezim, Jakarta: Gramedia, 2011, hal. 116).
[47] Wildan Hasan, Berdirinya Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, http//www.dewanda‘wah.com,
diakses tanggal 16 Maret 2010.
[48] Wildan Hasan, Berdirinya Dewan…, diakses tanggal 16 Maret 2010.
[49] Pasal 3 dan pasal 4 Anggaran Dasar DDII.
[50] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, S. H,
(Jakarta: Media Da‘wah, 1993), hal. 238.
[51] Wildan Hasan, Berdirinya Dewan…, diakses tanggal 16 Maret 2010.
[52] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 237 dan 239.
[53] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 60.
[54] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 238.
[55] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 239.
[56] M. Yunan Nasution, dalam Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 61.
[57] Petisi 50 adalah kelompok yang terdiri atas 50 orang, mulai dari politisi, birokrat, pensiunan
jenderal, para pengusaha, intelektual maupun para da‘i. Kelompok ini melakukan koreksi dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru khususnya mengenai pelaksanaan konstitusi dan UUD 1945 agar dilaksanakan secara murni, konsekuen, jujur dan adil. Pernyataan tersebut disampaikan kepada pemerintah, lembagalembaga formal, nonformal dan masyarakat pada umumnya. (Thohir Luth, M. Natsir Da‘wah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani, 1999, hal. 107).
[58] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 107.
[59] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 124.
[60] Yang dimaksud dengan diakonia adalah penyalahgunaan pelayanan masyarakat dan sikap tidak
toleran orang-orang Kristen terhadap terhadap umat Islam. (Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 122).
[61] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 124.
[62] Ahmad Tirmidzi, “Asing di Negeri Sendiri Terkenal di Luar Negeri,” Majalah Al-Mujtama‘ Edisi
Seabad Mohammad Natsir, (Jakarta: 2008), hal. 49.

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: