Sunday, August 23, 2015

Ya Begitulah!

Mereka semua itu ada dan nyata. Tapi nama dibuat samaran. Itu bermula dari perjalanan panjang seorang anak lugu dari pelosok negeri ini. Indonesia namanya. Den (Den, panggilan akrab orang jawa untuk anak dibawahnya)  apa password HP-mu. Namaku sediri jawabnya. Yaumil mulai mencoba memasuki password namanya. Tapi nihil tiada hasil. Akhirnya dia menyerahkan HP tersebut kepadanya. Ini lo, 7415369. Jika digabungkan angka tersebut akan membentuk sebuah huruf di HP yaitu “M”, itulah namanya.
M seorang pemuda asal Aceh timur yang sokolah di sebuah penguruan tinggi di Jakarta. Dia tidak pernah bermimpi untuk kuliah di Jakarta. Karena tidak mungkin bisa, dia adalah seorang anak yang sudah tidak memiliki bapaknya lagi. Siapa yang akan menanggung biayanya. Sedangkan ibunya untuk adek-adeknya sekolah saja tidak ada. Tuhan yang maha kuasa telah menakdirkan dia untuk bisa kuliah walau itu pahit dalam perjalanannya.
Sebelum duduk dibangku kuliah M dulunya adalah seorang anak yang idiot. Waktu sekolah di SD Negeri Kp. Masjid dia menjadi barang tertawaan teman-temannya disekolah. Bahkan dijadikan sebagai tempat latihan karate padanya. Ditendang, dipukuli, itu semua sudah biasa dirasakannya setiap hari pulang sekolah. Sisi keidiotannya. Tuhan memberikannya kecerdasan untuk berpikir maju kedepan. Sehingga tidak heran kalau dia bisa meraih rangking dikelas.
 Setelah lulus SD dia dikirim dan merantau ke Kota Lhoksuemawe dan disana dia diterima di sebuah yayasan panti asuhan. Disana M juga mendapatkan perlakuan yang sama, yaitu penghinaan, pelecehan dan sebagainya. Terutama masalah bahasa. Dia seorang anak kampong yang tentunya belum bisa bahasa Indonesia. Hal ini pun menjadi barang tertawa anak-anak di sekolahanya di Lhokseumawe.
Walaupun kurang dalam bahasa tapi dengan kecerdasan dan keidiotannya dia berhasil menyaingi yang laian. Terutama yang latar belakang kota, dia juga bisa meraih rangking yang memuaskan di kelas. Hari berganti malam, minggu berganti bulan. Tanpa terasa dia sudah lulus dari MTs.Swasta yang ada di Lhokseumawe dengan nilai yang memuaskan.
Kelulusan yang memuaskan ini, tentunya bisa masuk ke sekolah favorit di Lhokseumawe yaitu SMA Negeri 1 Lhokseumawe. Namun terhalang dia telat pulang dari pelosok Aceh Timur Kampung Masjid namanya. M akhirnya di tawarkan tiga sekolah swasta yang masih menerima siswa baru. SMA Swasta sudah terkenal dengan kenakalan siswanya. Sehingga anak idiot seperti dia pasti akan mati jika masuk kesana. Karena kuda-kuda karatenya tidak ada. MA Swasta yang baru mendaftar satu siswa sangat mengharapkan dia untuk masuk kesana.
Dengan berbagai rayuan dibujuk oleh guru-gurunya agar dia mau bergabung dengan MA swasta. Tapi menerutnya tidak mungkin karena M sudah tamat dari MTs Swasta ditempat yang sama. Dan pasti kakak-kakak kelas MA Swasta itu pasti akan lebih leluasa untuk mengerjainnya, kerena mereka sudah kenal diwaktu MTs dulunya. Dalam kebingungannya antara Pondok Pensantren Modern atau MA Swasta. Dia sendiri yang harus bisa memutuskan.
Pondok Pesantren Modern yang dikenal dengan berbagai hafalan tentu akan menyurutkan niatnya. Karena dia adalah anak idiot yang tidak kuat akan hafalan dan bahasa. Namun apa boleh buat pilihan satu-satunya yang aman untuk bisa sekolah Cuma pondok pesantren Modern yang ada Kampung Jawa Baru. Ihyaaussunnah namanya. Keputusan dan tekatnya sudah bulat untuk bisa masuk kesana.
            Hari-hari di Pondok Pesantren dia habiskan sebagian waktu untuk belajar. Namun dia lupa akan satu hal, dia tidak tau dirinya adalah seorang santri. Sehingga seluruh pelajaran pondok tidak ada yang memuaskan. Baik bahasa Arab, Bahasa Inggris, maupun Al-Qur’an kacau semuanya. Dia salah alamat singgah di Pondok Pesantren.
            Suatu hari dibulan suci Ramadhan. Anak-anak Pondok Pesantren di tuntut untuk mengikuti program hafalan Al-Qur’an. Termasuk dia juga harus mengikutinya. Usaha dalam hafalannya tidak membawa hasil karena dia belum sadar bahwa dia adalah seorang santri bukan siswa. Usahanya dalam menghafal al-Qur’an gagal. Walaupun pada awalnya sudah ada niat. Berhubung tidak sesuai target. Sehingga para gurunya menuduhnya sering keteledoran dalam menghafal.
            Kata-kata yang menyakitkan pun keluar. “Jak keunoe kon jak toh pajoh mantoeng” (Jalan kesini bukan untuk makan dan berak saja.)  begitulah kata yang dikeluarkan yang seharusnya tidak mungkin dikelurkan untuknya. Pasti hatinya hancur, karena dia adalah anak yatim dan termiskin kampunya. Ini mengambarkan kalau dia tidak bisa makan kalau bukan disana. Walaupun itu adalah cara untuk mendidik dia, agar focus pada hafalan Qur’an, namun kebencian telah terciptakan dengan kata-kata demikian. Sehingga tidak mungkin membuat hasilnya.
            Karena jika kita membenci guru kita maka ilmunya tidak akan masuk kekita. Itulah alasannya dia gagal dalam hafalan Al-Qur’an. Tiga hari sebelum selesai dia terpaksa di skors di Pondok Pensantren karena hafalannya tidak sesuai target dan dia juga sudah malas-malasan. “Putus asa” kata yang cocok untuk kita gambarkan keadaanya waktu itu. Setelah di skors dia pulang ke Panti asuhan. Menunggu sampai lebaran agar dia bisa pulang ke kampong halamanya. Dengan THR yang diberikan di Panti asuhan.
            Keadaan yang parah ini bisa dilalui sampai selesai di Pondok Pesantren walaupun mendapat catatan yang buruk dimata para guru dan ustadz disana. Bahwa dia adalah siswa terbodoh dan tidak baik akhlaknya. Karena beberapa pelanggaran yang dia lakukan seperti cabut dimalam hari ke warnet. Dan juga tidak ada izin pergi ke Toko buku dan pelanggaran lainya. Apakah dia terpengaruh dengan teman-temannya.
            Kita tidak mengetahuinya. Dia adalah seorang sulit untuk ditebak apa kemauannya. Tetapi sekilas dia sangat suka yang namanya mengotak-atikkan computer. Itulah alasannya dia bisa computer secara otodidak alias tanpa guru yang handal. Kebiasaan yang melanggar ini, dia dan temannya juga mendapatkan hal sama. Semua angkatannya terkenal dengan pemberontak. Ada banyak hal yang menyeret mereka di stempel buruk, ada yang gila bola, merokok, atraksi sulap dan sebagainya.
            Setelah lulus dari bangku MA Pondok Pesantren tersebut, M ikut tes beberapa beasiswa untuk kuliah. Namun tidak ada satupun yang lewat dan lulus. Hal inilah yang membuatnya harus kerja deres karet selama dua bulan. Hasil dari deres karet jangankan untuk kuliah tahun depan untuk makan saja tidak cukup. Akhirnya dia balik ke kota Lhokseumawe karena mendapatkan tekanan dari preman kampong yang mencomoohnya, M akhirnya mencari kerja di Lhoksumawe dengan uang saku yang pas-pasan. M menanyakan ke teman-temannya apa ada lowongan kerja untuknya.
            Sudah tiga hari dia bolak balik Cunda dan Banda Sakti hanya untuk mencari kerja apa saja yang penting dia dapat kerja. Ketemu tukang bagunan dia juga menawarkan diri untuk kerja. Dengan badan yang kurus kering tukang bagunan tidak percaya dia bisa kerja apalagi bulan puasa. Dia juga mendengar ada teman yang kerja bagunan. Dia akhirnya memutuskan untuk menemuinya dirumahnya di Buloh Blang Ara. Jarak antara Lhokseumawe dengan Buloh Blang Ara yang pasti tidak bisa ditempuh dengan jalan kaki. Kecuali orang dia.
            Dia pun jadi gila. Jarak dua jam pakai motor di tempuh 3 hari jalan kaki kesana dan tidur serta berbuka puasa dimana masjid yang dia temui. Sebuah masjid besar di Cunda yang tidak memberikan peluang dia istirahat disana, membuatnya harus jalan kaki lagi untuk mencari masjid lain. Namun tidak ditemuinya. Akhirnya M memutuskan untuk Istirahat dibawah jembatan kecil yang kering dibawahnya. Dengan alas kartus bekas yang ditemui dekat jembatan sebagai tikar tidurnya dibawah jembatan tersebut.
            M sekarang sudah seperti orang gila buka lagi idiot. Anak jalanan juga tidak pantas karena mereka ada tempat istirahat. M tidak memiliki apa-apa dia hanya berniat untuk kerja agar bisa hidup di Lhokseumawe. Persediaan uangnya tinggal 20 ribu lagi. Dia harus secepatnya mendapatkan kerja. Bagun pagi subuh langsung ke Masjid untuk shalat subuh. Padahal dia belum sahur. Perjalanannya juga panjang.
            Akhirnya dia jalan terus sampai tempat rumah temannya yang pada waktu itu dia pernah kesana,; yaitu Simpang Ampera. Sesampai di Simpang Ampera, M istirahat di semak-semak agar keringat dan kecapeannya hilang. Sehingga ketika bertemu temannya nanti tidak curiga kalau dia jalan kaki dari subuh kesana. Sesampai ditempat temannya M hanya menemui ibunya dan neneknya serta seorang teman neneknya yang sudah tua sekali.
            Teman yang mau ditemui tersebut tidak ada karena masih kerja. Ipul nama samaran yang sering dipanggil teman-teman di Pondok dulu. Ibunya Ipul juga pernah menjadi juru masak selama dia di Pondok. Namun sekarang dia memilih keluar dengan banyak alasan yang kami tidak mengetahuinya. Terutama masalah keluarga. Keluarga Ipul juga meminta si M untuk tetap istirahat. Disana siapa tau abang si Ipul bisa memberikan kerja padanya.
Tawaran untuk tidak pulang pun diterimanya. Akhirnya nenek si Ipul mengutarakan maksud kedatangan si M kesana. Si Ipul dari awal menolak. Karena si M tidak mungkin bisa kerja keras yang demikian. Ditambah lagi dia malu temannya yang ahli computer dan nilainya lumayan di sekolah. Masak harus kerja seperti dia. Namun bujuk rayunya nenek si Ipul dan ibunya membuat si M bisa kerja. Dia tinggal dirumah Ipul selama hampir satu bulan untuk kerja pembaguna Sekolah SMK di Kandang Lhokseumawe. Dia Cuma memberikan alasan “aku oba saja dulu”
Dalam kerja kerasnya dia sampai jatuh dari lantai dua sekolah karena tidak sanggup mengankat barang berat. M terluka walaupun ringan dan terkilir kakinya. Setelah istirahat 20 menit dia kembali untuk kerja walau kaki sakit dan mata hari panas. Keesoknya dia tidak bisa kerja. Akhirnya dia pulang ke Panti asuhan Lhokseumawe dengan alasan menjeguk adiknya sekaligus untuk mencari tukang urut di kota Lhokseumawe.
Selama tiga hari di Lhokseumawe walaupun kakinya belum sembuh dia juga memaksa diri untuk tetap kerja. Alasannya hari raya didepan dia juga harus pulang kekampung nantinya. Kepulangan dia ke Panti diketahui oleh guru-guru dan ustadz-ustadz disana. Dengan tubuh dan rambutnya yang acak-acakkan sehingga layak untuk dikata gembel jalanan. Tanggal 25 sampai 27 Ramadhan M di pesan pulang ke Panti untuk mengikuti Darul Arqam Dasar Pemuda Muhammadiyah di Pondok Pesantrennya dulu.
Dari pertemuan itu mengahasilkan, agar dia mengikuti program kuliah da’i dari Dewan Da’wah di Lampung. Hal ini menjadi angin baru untuknya yang ingin kuliah. Usaha dia dengan sungsungguh itu tuhan membalas langsung untuk dapat kuliah, tidak harus menunggu tahun depan. M menerima tawaran tersebut. Walaupun jurusan Da’wah yang pasti dia akan berhadapan kembali dengan system Pondok Pesantren, seperti hafal Al-Qur’an dan Bahasa Arab.
Ketika di Tanya kesanggupannya dia hanya menjawab “Ya Sudahlah!” artinya M menyanggupinya. Ternyata dia juga bertemu kembali dengan temannya semasa di Pondok, yang juga ikut program tersebut. Padahal orang tua si L temannya tersebut tergolong orang kaya. Sedangkan yang satu lagi si Aan ibunya PNS. Dia juga merasakan kenapa mereka mau. Padahal L sendiri sudah kuliah di Unimal. Sebuah Universitas di Lhokseumawe.
Teman MTs yang tidak memadai tidak ada yang berminat, termasuk si Bahri dan si Ipul juga tidak mau mengambil keputusan untuk kuliah di Metro Lampung. Akhirnya semua peserta yang mendaftar Cuma 6 orang padahal yang diprlukan 10. Sebelum keberangkatan 10 hari setelah hari raya idul fitri. M juga sempat mencari uang dari neneknya dan sanak familinya. Namun sepertinya mereka menutup mata akan keberangkatannya 3 hari lagi. Mereka bukan memberikan bantuan malah menghinanya. Mematahkan semangatnya.
Seorang bekas guru ngajinya dulu mengatakan “bukan orang model kita yang bisa kuliah”, demikian terang wanah. Tidak ada satupun yang memberikan peluang untuknya. Dengan air mata dia menangis kenapa semua sanak family tidak peduli padanya. Padahal dia tidak meminta begitu saja. M Cuma meminta pinjam uang dan jika sudah ada nantinya di kembalikan. Tapi mereka memandang sebelah mata. Tidak ada arti saudara pada waktu itu. Sehingga M juga sempat berujar “jika keluarga sendiri saja sudah tidak peduli kepada saya, maka tidak pantas lagi saya tingal disini. Jika ini berhasil saya berangkat maka saya tidak akan pulang lagi” namun bundanya membantahnya.
“Ek hana tawoe keudeh, mama teuh hinoe.” (Kenapa tidak pulang kan mama masih disini). Demikian ungkapan ibunya sambil menangis memikirkan nasipnya yang tidak ada yang peduli dengan kemelaratannya. Kambing peliharaannya juga sudah habis dijual untuk mengurus akte kelahiran dan KTP si M. jadi tidak ada lagi uang untuknya, kecuali hanya ongkos dia pulang sampai di Lhokseumawe. Bagaimana dengan ke Lampung?. Dengan modal itu. “Ya Sudah”, katanya. Dia pun balik ke Panti Asuhan dalam duka cita. Sampai di panti asuhan rupanya berangkatnya masih jauh dan ustadz Saifuddin meminta izin kepada atasan Panti agar si M bisa tinggal disana.
Namun jawaban pak Lizan waktu itu sangat menyakitkan. Kata yang dikeluarkan memang sangat tidak cocok untuknya. Asai bek meu anuk cuco mantoeng di panti (Asal tidak beranak cucu saja di panti), demikian jawaban pak Lizan. Waktu itu dia menjabat sebagai seketaris. Dari sini saya ingat dengan bang dai yang bercita-cita membangun rumah untuk alumni Panti Asuhan. Saya rasa mungkin dia juga lebih dari itu mendapatkan siraman kata-kata yang panas bagaikan api kebakaran. Panti asuhan hanya menampung sampai tingkat SMA saja yang mereka biayai, untuk kuliah tidak ada.
Usatadz Saifuddin yang menjawab karena si M tertunduk membisu. Beliau tau bagaimana perasaannya sekarang. Dia tidak mungkin demikian karena sudah pasti berangkat. Ini program dari anaknya Pak TA. Demikian jawab Ustadz, meyakinkan. Tapi Pak Lizan pergi begitu saja sambil mengulangi kata-katanya yang tadi. Iyaa, asal tidak beranak cucu saja disini, tidak seperti si Jak, dai dan lainnya itu.
Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang, Sehingga dengan tidak diduga dia mendapatkan beasiswa anak yatim dari pemerintah 18 ratus ribu rupiah. Itulah uang untuk pergi ke Metro Lampung dan Kuliah di Akademi Da’wah Indonesoia (ADI) Lampung. Malam minggu itu menjadi malam yang panjang baginya karena bisa berangkat ke Medan. Besoknya harus segera naik pesawat terbang ke Jakarta bandara Soekarno Hatta.
M tidak banyak bicara dengan kehidupannya dia Cuma mengatakan “Ya Sudahlah!” saya yakin dia tidak bisa menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Dari kisah M ini kita dapat banyak pelajaran dia bersungguh berusaha untuk kuliah walau harus kerja paksa dan berat. Karena itu usaha adalah awal dari keberhasilan. Kita sebagai temannya Cuma bisa mengatakan selamat jalan M.
Kamu telah memberikan jawaban untuk kita bahwa “jika ingin kuliah buang semua alasan, jika beralasan maka jangan pikirkan kuliah”. Semoga dari kisah ini kita tidak lagi menghina orang lain. Karena orang yang kita hina itu belum tentu baik dari pada kita. Teman seangkatan di SD-Nya dulu tidak ada yang kuliah kecuali dia. Padahal mereka mengatakan kepadanya “jangankan kuliah, SD aja kamu tidak  akan bisa lulus”. Dan mereka bangga demgan dirinya. Merasa orang tuanya mampu, sehingga membuat banyak alasan untuk sekolah harus pakai motor atau sepeda. Tapi tidak bagi M dia harus bekerja keras untuk dirinya. Orang lain jajan di sekolah dia paling ada uang jajan dalam satu bulan tidak lebih dari sekali. Itupun uang temuan di jalan, kalau bukan! ya uang naik pinang. Karena orang taunya tidak mampu untuk memberikan jajan kepadanya. Itulah M, anak Idiot dan dodol tapi berhasil kuliah walau rumahnya basah ketika hujan turun.


SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: