ILMU PERBANDINGAN AGAMA DALAM KHAZANAH
ISLAM DAN DALAM LITERATUR BARAT
Oleh: Lukman M.Pd.I
(Pengatar Mata Kuliah Sejarah Agama-Agama pada Semester VI STID
Mohammad Natsir)
A.
Latar Belakang
Apabila ilmu perbandingan agama adalah ilmu
yang mempelajari, mengkaji agama-agama, dan tujuannya dapat memahami kemudian
mendeskripsikannya sesuai dengan pengertian yang dipercayai dan diakui oleh
pemeluk-pemeluknya[1],
maka pada dasarnya ilmu perbandingan agama di dunia Islam telah ada seiring
munculnya Islam. Karena al-Qur’an yang merupakan kitab suci dan rujukan utama
ummat Islam banyak membahas agama-agama diluar Islam[2],
termasuk agama yang sudah tidak berkembang. Di samping itu al-Qur’an memberikan
pedoman bagaimana seharusnya bersikap terhadap agama-agama lain[3].
Imam Bukhari dan ahli-ahli hadits lainnya telah memberi keterangan yang sangat
jelas kepada kita tentang penguasaan Rasulullah SAW terhadap agama Yahudi,
beliau dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang Yahudi seputar kenabian
dan mengusai hukum-hukum syari’at yang terdapat dalam Tauran, kitab suci kaum
Yahudi[4].
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di
pelbagai bidang, terutama masuknya filsafat Yunani ke dalam dunia Islam,
memberikan pengaruh yang cukup besar dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu agama. Maka bermunculanlah penulis-penulis Muslim dalam diskursus ilmu agama-agama,
di antaranya adalah Ali Ibn Sahl Rabban al-Thabary (meninggal tahun 854 M), ia menulis kitab berjudul; Al-Dien wa al Daulah, dalam kitab ini
tidaklah terdapat serangan-serangan terhadap agama lain termasuk agama Kristen,
malahan sebaliknya kitab tersebut memuat keterangan yang positif tentang agama
Kristen. Kitab ini mengulas mengenai sejarah nabi. Bahwa mu’jizat nabi Muhammad
SAW lebih dapat dipercayai dibandingkan mu’jizat nabi Isa a.s. sehingga
seharusnya ummat Kristen menerima kenabian Muhammad SAW. Dalam ulasannya, Ali
Ibn Sahl banyak mengemukakan ayat-ayat Bibel yang memberitakan kedatangan Nabi
Muhammad SAW[5].
Selanjutnya pada abad ke-10 tampillah Ali Ibn
Hazm (994-1064)[6],
seorang ulama Spanyol yang kakeknya adalah seorang muslim yang tadinya Kristen.
Beliau salah satu dari sekian ulama Islam yang sangat produktif, tulisannya
tidak kurang dari 400 judul
buku dalam berbagai bidang seperti sejarah,
teologi, hadits, logika, dan sebagainya. Kitabnya yang berkaitan dengan studi
agama-agama adalah Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal, dalam kitab
tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan kitab Bible,
pengetahuannya tentang kitab Bible sangat mendalam, ini terbukti dengan
analisa-analisanya yang sangat kritis
terhadap isi Bible.[7]
Ibn Hazm berpendapat bahwa sumber paling utama setiap agama adalah kitab
sucinya, studi terhadap
teks kitab suci merupakan tataran paling awal dan paling penting dalam memahami
suatu agama. Karena itu, ketika membahas agama Yahudi dan Kristen pada masanya,
ia lebih menekankan pada analisis kitab-kitab suci kedua agama tersebut.
Analisis itu tentunya tetap
bersandarkan pada al-Qur’an dan hadits-hadits rasulullah SAW.
Ibn Hazm yang mendasarkan studinya pada
pengamatan (shahadah al-hiss) dan logika ini berusaha tidak menyimpang
dari fakta-fakta yang ada. Metode analisis
kritik teks terhadap Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang dipakainya sesuai dengan metode yang dipakai oleh para
kritikus Bible modern. Ia mengumpulkan ayat-ayat atau bagian-bagian dari kedua
kitab tersebut yang dipandangnya mengandung masalah; membandingkannya satu sama
lain secara sinoptik; kemudian menganalisisnya secara kritis; menghubungkan
temuan-temuannya satu sama lain dan juga
melengkapi metodenya dengan melakukan dialog dengan para sarjana Yahudi dan
Kristen pada masanya sepanjang diperlukan. Dan akhirnya mengambil kesimpulan
secara objektif disertai bukti-bukti. Inkonsistensi dan kontradiksi yang
ditemukannya dikemukakan secara apa adanya disertai kritikan-kritikan tajam. [8]
Tokoh terkenal lainnya adalah Muhammad Abd.
al-Karim al-Syahrastani (1071-1143), seorang ulama besar dari Persia, sejarawan
dan tokoh perbandingan agama abad VI H. Karya monumentalnya dalam studi
perbandingan agama adalah kitab al-Milal wa al-Nihal. Kitab yang ditulis
pada abad ke-12 M ini mampu mengurai secara objektif tentang doktrin
agama-agama lain, selain juga mengkritik argumentasi rasio dari ahli kitab yang
dianggap menyimpang dari aqidah Islam. Perkembangan berbagai aliran, sekte, dan
kelompok agama juga dipaparkan dengan akurat.
Dalam kitab al-Milal wa al-Nihal, terlihat dengan gamblang akan pengetahuan al-Syahrastani tentang
agama-agama di luar Islam sedemikian luasnya. Ia memaparkan dengan panjang
lebar tentang kepercayaan dan aliran keagamaan serta sekte-sekta di dalamnya.
Secara umum ia mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai
berikut; Pertama, Agama Islam beserta sekte-sekte
yang telah muncul pada masanya. Kedua, Agama Yahudi (Ahlul
Kitab) beserta sekte-sekte di dalamnya. Ketiga, Agama
Nashrani (Ahlul Kitab) beserta sekte-sekte di dalamnya.. Keempat,
Agama yang memperoleh wahyu di luar Yahudi, Kristen dan Islam. Kelima, Agama hasil kebudayaan
manusia atau hasil ahli filsafat.[9]
Selain sarjana-sarjana muslim tersebut di
atas, masih banyak sederetan nama-nama penulis muslim lainnya yang telah
membuahkan karya tentang studi agama-agama, sebut saja Ibnu Taimiyah, menulis
kitab al-Jawabus Shahih Liman Baddala Dien al-Masih, sebanyak empat
jilid. Yang merupakan jawaban dan balasan terhadap tulisan Paulus al-Rahib,
Uskup dari Sidon yang berjudul Risalah ila Ahad al-Muslimin.[10]
Kemudian ada juga Muhammad Abduh di Mesir (wafat 1905), yang melakukan
penyelidikan terhadap sifat agama Kristen, sehingga berkesimpulan bahwa dalam
agama Kristen terdapat kejanggalan dan keanehan-keanehan, seperti pijakan
kebenaran mereka adalah keajaiban-keajaiban yang dikabarkan Injil, hidup
membiara, dan lain sebagainya. Tulisan Abduh yang berupa serangkaian artikel di
majalah al-Manar tahun 1901 ini adalah jawaban terhadap tulisan Farah Antun[11]
dalam majalah Al-Jami’ah yang menyerang Islam. Kumpulan artikel Abduh itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Al Islam wa
Nasharaniyyah ma’al Ilm wa Madaniiyah.[12]
Dari uraian di atas serta penelaahan lebih
dalam terhadap karya-karya ulama Islam tentang studi agama-agama -meskipun
mereka tidak menyebutnya sebagai ilmu perbandingan agama- dapat disimpulkan
bahwa dalam mengkaji dan meneliti agama-agama di luar Islam, baik dengan tujuan
untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan objektif tentang suatu agama maupun
sebagai pembelaan dan bantahan terhadap tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada
Islam, senantiasa berlandaskan pada metode ilmiah dan objektif.[13] Yang terpenting
penelitian itu dilakukan dengan tetap dalam bingkai dan bimbingan teks-teks al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi SAW.
Adapun ilmu perbandingan agama di dunia Barat,
bisa dikatakan masih relatif muda dan baru diakui sebagai disiplin ilmu yang
mandiri serta mendapatkan kedudukan akademik pada tahun 1873.[14]
Biasanya kelahiran studi ini selalu dikaitkan dengan Fredrick Max Muller
(1823-1900) sebagai pendirinya, terutama saat diterbitkan dua karyanya dalam
bidang ini yaitu: Chips
from German Workshop (1867)
dan Introduction to the Study of Religion (1873). Walaupun demikian, tidaklah berarti bahwa
sebelum itu tidak ada sarjana Barat yang menaruh perhatian terhadap studi
agama. Tercatat dalam sejarah bahwa dokumen pertama mengenai studi agama
dijumpai pada zaman Yunai kuno, abad ke-5 sebelum Masehi. Pada zaman ini studi
tentang agama diutarakan dalam dua cara. Pertama, dengan melalui
catatan-catatan perjalanan berupa deskripsi pemujaan keagamaan diluar Yunani
dan diperbandingannya dengan praktek-praktek keagamaan Yunani. Cara kedua,
dengan cara kritik filosofis tehadap agama tradisional.[15]
Metode ini terdapat dalam karya tulis
Heredotus yang hidup pada tahun 484-425 sebelum Masehi. Catatan pengembaraannya
ke 50 bangsa dan suku yang berbeda-beda, telah memberikan sumbangan besar bagi
studi agama selanjutnya. Dengan teori “persamaan dewa-dewa” Heredotus
mempergunakan metode perbandingan sehingga berkesimpulan bahwa para dewa yang
terdapat di dalam sistem keagamaan dengan berbagai nama dan sifat yang
berbeda-beda itu sebetulnya memilki fungsi yang sama.[16]
Setelah itu diikuti tokoh-tokoh studi agama
lainnya, hingga zaman modern Barat, seperti pada tahun 1520 muncul Jean Boem
dengan bukunya tentang sejarah agama berjudul The Customs, Laws and Rites of all People yang berisi kepercayaan orang-orang Eropa, Asia dan Afrika.[17]
Memasuki zaman modern Barat bermunculanlah sarjana-sarjana Barat dari berbagai
Negara. Mereka adalah; G.P. Tiele (1830-1902), EB. Taylor
(1832-1917), Wilhem Wunt (1832-1920), Emile Durheim (1853-1917) dan
lain-lainnya. Sekian banyak
tokoh studi agama yang telah melakukan penelitian agama sejak zaman Yunani
Kuno, zaman pencerahan, hingga zaman modern Barat, tetapi yang dianggap sebagai
tokoh yang mempelopori lahirnya studi perbandingan agama adalah Fredrick Max
Muller (1823-1900). Diantara karya-karyanya adalah: Comparative Mythology, terbit
tahun 1865, Introduction of Religion, tahun 1870, The Sacred books of
the East (1875) 50 Jilid, Origion and Growth of Religion as Illustrated
by the Religion of India (1879), Natural Religion (1889), Physical
Religion (1891). Anthropological Religion (1892), dan Theosophy:
or, Psychological Religion (1893).[18]
Walaupun Max Muller diakui sebagai pelopor perbandingan agama,
namun ia tidak pernah memakai istilah “perbandingan agama” sebagai judul
karangannya. Beberapa tahun setelah Max Muller, barulah ada sebuah buku yang
terbit di bawah judul “Perbandingan Agama” yaitu karya L.H. Jordan, Comparative
Religion (1905).[19]
Fredrick
Max Muller dalam studi agamanya menekankan pada metode “objektif” dan
“saintifik”. Dengan memakai dua pendekatan utama, yaitu pendekatan “sejarah agama” (History of
Religion) dan “fenomenologi agama” (Phenomenology of Religion), yang
diklaim sekedar deskriptif dan bebas nilai (value-free). Berdasarkan metode ini, para sarjana
Barat dalam bidang ini menolak karya-karya sarjana muslim dalam studi
perbandingan agama yang dihasilkan jauh sebelum zaman Modern Barat. Sumbangan
besar sarjana muslim dalam studi agama-agama, seperti karya Ibn Hazm, Al-Fasl
fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal, al-Syahrastani dengan karyanya al-Milal wan al-Nihal,
tidak dianggap dan tidak dikategorikan sebagai bagian dari ilmu perbandingan
agama. Mereka mengkritisi karya-karya sarjana muslim klasik dengan menggunakan perspektif dan metode Barat. Dan berkesimpulan bahwa para sarjana muslim
telah gagal menampilkan agama-agama lain secara objektif, karena itu penelitian
ilmuwan muslim tidak ilmiah karena tidak mengikuti metode “objektif-ilmiah”
seperti yang digunakan para ilmuan Barat.[20]
Sarjana Barat lainnya yang mempunyai pengaruh
cukup besar dalam studi agama-agama dewasa ini adalah Wilfred Cantwell Smith,
seorang pendeta Kristen berkebangsaan Amerika dan pendiri Pusat Studi
Islam di McGill University. Terutama pendekatannya dalam studi Islam, Smith menggunakan pendekatan
holistik. Dengan pendekatan ini, ia menganggap bahwa Islam tidak semata
fenomena normatif, tetapi harus juga dipandang dari sudut lain, sebagai fakta sejarah
dan sebagaimana agama-agama lain di dunia, Islam muncul dalam peradaban manusia.
Maka pendekatan yang digunakan pun
pendekatan kemanusiaan. Empiris kemanusiaan
menjadi pendekatan yang dipilih untuk mendekati ajaran Islam dan fenomena
umatnya.[21]
Pendekatan atau metode semacam
ini telah mengubah cara pikir begitu banyak cendekiawan muslim yang terjebak
kepada ”penyamaan” Islam dengan agama-agama lain, dengan menempatkan Islam
sebagai bagian dari produk sejarah. Padahal,
Islam adalah agama wahyu yang memiliki karakter yang khas, yang
berbeda dengan
agama-agama lain. Al-Quran juga merupakan teks wahyu yang tidak sama dengan kitab-kitab
lain yang merupakan teks manusia dan teks sejarah. Karena
itu, metode pemahamannya juga tidak bisa begitu saja menggunakan
pendekatan pemahaman historisitas yang serba relatif.[22]
Bahaya dari metode semacam ini adalah bermunculannya sarjana-sarjana muslim yang enggan lagi mengakui
bahwa agamanyalah yang benar. Sebab jika dia melihat agama lain dari sudut
pandang agamanya, maka dia dikatakan “tidak objektif” atau “tidak ilmiah” dan
kepakarannya tidak diakui. Jadi ilmuwan studi agama menurut perspektif Barat
akan dikatakan ilmiah, bila dia
netral agama, alias tidak
beragama ketika ia
melakukan penelitiannya.
Metodologi studi agama-agama ala Barat ini
telah menjamur diberbagai perguruan tinggi Islam dihampir semua negara-negara
muslim. Termasuk perguruan tinggi Islam di Indonesia yang banyak
mengirim mahasiswa dan dosen-dosennya ke Barat untuk belajar Islam.
Di Indonesia, periode awal pembaratan (Westrenisasi)
di IAIN di pelopori oleh Prof. Dr. Harun Nasution dan Prof. Dr. Abdul Mukti
Ali. Mereka berdua adalah alumni Barat. Harun Nasution mengembangkan ide
Baratnya tersebut di IAIN Jakarta, terutama ketika ia menjadi Rektor (1973-1984) maupun sebagai Direktur Pascasarjana (1990) IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sedangkan Mukti Ali mengembangkan apa yang telah didapatnya dari Barat
itu di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di IAIN Yogyakarta Mukti Ali pernah
menduduki jabatan sebagai pembantu Rektor I bidang akademik, guru besar ilmu
agama Islam, tahun 1971 dan penggagas berdirinya Program Pascasarjana IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.[23]
Penting untuk diungkapkan disini bahwa sebelum hadirnya metodologi
dan konsep Barat dalam wacana studi agama di Indonesia, ilmu perbandingan agama
di Indonesia telah diajarkan. Pada pertengahan abad ke-17, Nuruddin ar-Raniri
(w. 1685) di Aceh, menulis buku berjudul tibyan fi Ma’rifat al-Adyan, yang
memuat keterangan-keterangan tentang agama-agama yang pernah lahir ke dunia
sejak nabi Adam a.s. sampai nabi Isa a.s., juga memuat sejarah aliran-aliran
ilmu kalam dalam Islam.[24]
Adapun dilembaga pendidikan, ilmu perbandingan agama telah
diajarkan sejak tahun 1930-an. Seperti di Cursus Normaal Putri an Tsanawiyah di
Bukit Tinggi dan Islamic College di Padang yang didirikan oleh Permi. Di dalam
kuriulum sekolah-sekolah ini dicantumkan pelajaran “perbandingan agama”. Tenaga
pengajarnya adalah Muchtar Luthfi dan Ilyas Ja’qub. Pada sekolah Islam lainnya,
seperti Al-Jami’ah al-Islmiyah Sungayang Batusangkar, Normaal Islam Padang,
keduanya berdiri tahun 1931, Training College Payakumbuh tahun 1934 dan
Madrasah Tsanawiyah (setingkat MULO), juga mengajarkan mata pelajaran
“perbandingan agama”. Tega pengajarnya adalah Mahmud Yunus dengan karangan
beliau sendiri, al-Adyan, berbahasa Arab.
Pada tahun 1957, di Palembang berdiri perguruan Tinggi Islam
Palembang oleh perguruan tinggi Islam Sumatra Selatan. Pada tingkat sarjana
muda lengkap diajarkan “perbandingan agama”. Di Jawa, mulai tahun 1951
dikembangkan oleh pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil, dengan nama mata
pelajaran “Mengenal agama-agama lain”. Demikian juga di Jakarta, pada tahun
yang sama 1951, berdiri Perguruan Tinggi Islam Jakarta, terdapat mata kuliah “lain-lain
agama dan kepercayaan”. Perguruan agama negri yang muncul kemudian juga
mengajarkan “perbandingan agama” antara lain Pendidikan Guru Agama Negri (PGAN)
dan Sekolah Guru Hakim Agama.[25]
Sedangkan di Perguruan Tinggi Agama Islam Negri (PTAIN) di
Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta yang didirikan
masing-masing tahun 1951 dan 957, sebelum dilebur menjadi IAIN diajarkan pada
tingkat pertama PTAIN “Pengantar Ilmu Agama” dan pada tingkat dua diajarkan
“Perbandingan Agama”. Begitu jua pada ADIA diberikan mata kuliah “Agama-Agama
Besar”. Dosen perbandingan agama waktu itu adalah Prof. Dr. Ahmad Syalabi untuk
PTAIN dan Prof. Mahmud Yunus untuk ADIA. Sampai saat itu pemahaman terhadap
perbandingan agama masih murni dipelajari sebagai alat da’wah. Demikian juga
buku-buku yang ditulis dan bahan rujukan, masih terbatas pada sudut pandang
Islam terhadap agama-agama lain.[26]
Hal ini meulai berubah setelah Mukti Ali masuk dan mengajar
sekaligus sebagai penggagas berdirinya jurusan Perbandingan Agama di IAIN. Atas
keprihatinannya terhadap perkembangan dan minat mahasiswa dan dosen yang masih
sangat rendah terhadap studi agama, Mukti Ali mulai memperkenalkan
metodologi-metodologi dan konsep Barat dalam mempelajari agama. Baik melalui bangku
perkuliahan maupun forum-forum diskusi dosen.
Mukti Ali pernah mengenyam pendidikan
pesantren, kemudian menyelesaikan studinya sampai tingkat doktor di Universitas
Karachi, Pakistan, dalam bidang sejarah Islam. Setelah itu ia melanjutkan
studinya di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Tepat dua tahun Mukti Ali menyelesaikan program Masternya (1957) dan memperoleh
gelar Master of Arts (MA) dari McGill University.[27]
Di Universitas McGill inilah, Mukti Ali
berkenalan dengan metode studi agama-agama ala Barat. Salah satu tokoh yang
banyak mempengaruhi cara pandangnya adalah Wilfred Cantwel Smith. Seperti yang
diakuinya sendiri, bahwa ia benar-benar dibuat terpikat oleh program kajian
Islam di Universitas McGill itu yang diajarkan dengan pendekatan yang
sistematis dan rasional, baik dari segi ajaran, sejarah
maupun peradabannya.[28]
Di McGill juga Mukti Ali mendapatkan bahwa belajar Islam, atau agama apapun,
mestinya diarahkan pada usaha bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa
menjawab masalah-masalah masyarakat modern. Atas dasar ini, ia menegaskan
perlunya memperkenalkan pendekatan yang empiris atas Islam sebagai jalan untuk
menafsirkan ulang khazanah pemikiran Islam dalam konteks modernitas.[29]
Metode inilah yang terus dikembangkan dan
dipropagandakan Mukti Ali sepulangnya ke Indonesia. Berbekal pengetahuan Islam
yang didapatkan sejak mondok di Pesantren, ditambah metodologi studi agama
Barat (historis-sosiologis) di Universitas McGill, Mukti Ali merumuskan sebuah metodologi dalam studi perbandingan agama yang disebutnya dengan “sintesis Scientific Cum Doctriner” atau “religio-scientific” atau “ilmiah agamis”. Sebuah metode yang mencoba memadukan antara metode ilmiah Barat
(historis-sosiologis) dengan metode doktriner dalam memahami Islam.
B. Ilmu Perbandingan Agama Dalam Khazanah Islam
1. Definisi
Sebelum menguraikan pengertian ilmu perbandingan agama dalam
khazanah Islam, maka terlebih dahulu akan dijabarkan definisi dan makna agama
itu sendiri dalam pandangan sarjana-sarjana muslim. pendefinisian ini sangat
penting sebagai pijakan ilmiah dan metodologis untuk melakukan sebuah
pengkajian dan analisa. Berikut bebarapa definisi tentang agama yang telah
dirumuskan oleh beberapa sarjana muslim.
Dalam Islam dikenal istilah dîn, yang umumnya
diterjemahkan sebagai ‘agama’ atau religion. Terjemahan ini menimbulkan
beberapa problem dan kebingungan karena istilah dîn bermakna lebih dari
sekedar ‘agama’ atau religion. Oleh karena itu, di sini penting untuk
mengkonsepkan Islam sebagai dîn. Dalam sejarah pemikiran Islam para
ulama telah memberi penjelasan tentang makna dîn dalam kaitannya dengan
Islam. Aliran Hanafi-Mâturidî mencoba menjelaskan konsep dîn sebagai
petunjuk yang mempunyai kandungan keyakinan, penyerahan diri dan komandemen
hukum, yang dibawa oleh ajaran Nabi SAW. Karena itu menurut Abū Hanîfah Islam
mempersyaratkan pada para pengikutnya dua hal: Iman dan amal, dan keduanya
merupkan hal yang penting bagi seorang muslim. Singkatnya, istilah dîn mencakup
keyakinan dan perbuatan.[30]
al-Bâqillânî sepakat dengan pengertian diatas, dengan
menambahkan beberapa pengertian lainnya, yaitu:
a.
Pembalasan berhubungan dengan pemberian ganjaran (dalam ungkapan yawm
al-dîn).
b.
Perhitungan dalam makna keputusan hukum (hukum);
c.
Dîn al-haq, dimana Islam membiarkan dirinya sendiri dipimpin oleh Tuhan dan
menyerahkan diri sepenuhnya kepadaNya.[31]
al-Syahrastânî juga menyimpulkan hal yang sama, sehingga
menurutnya dapat dikatakan bahwa orang yang beragama adalah orang yang berserah
diri, taat, dan yakin terhadap adanya balasan dan hisâb di hari kemudian. Jadi
dalam pandangan al-Syahrastânî agama adalah kepasrahan diri, dan ketaatan kepada Tuhan yang
disertai keyakinan adanya balasan dan perhitungan atas segala perbuatan manusia
di dunia.[32]
Kesimpulan seperti itu pula yang dikatakan Syed
Muhammad Naquib al-Attas. Dan ia menambahkan bahwa konsep dîn ini berakar
pada al-Qur’an yaitu dalam konsep perjanjian (al-mîthâq). al-Attas
menekankan bahwa nama agama, Islam, sebenarnya adalah definisi agama: berserah
diri kepada Tuhan. Dia menambahkan bahwa “dalam ide penyerahan diri itu
berimplikasi pada rasa, kepercayaan dan amal, dan elemen paling mendasar dalam
tindakan berserah diri kepada Tuhan itu adalah adanya rasa keberhutangan
manusia kepada Tuhan karena telah memberinya kewujudan.”
Dengan demikian secara khusus al-Attas menyoroti tiga
aspek tentang Islam yaitu: a) sebagai penyerahan diri (submission), b)
sebagai definisi agama, dan c) sebagai nama khusus sebuah agama. Sehingga
menurut al-Attas istilah bahasa Arab yang tepat untuk kata religion
sebagaimana yang dipahami dan diperaktekan di Barat dan timur adalah millah dan
bukan dîn, karena kata dîn dalam bahasa Arab kaya akan
pengertian, dimana tidak dapat dibatasi dengan istilah religion/agama
saja.[33]
Sedangkan Prof. Dr. Muhammad Abdullah Darraz, salah
satu sarjana Islam yang juga konsen dalam kajian agama-agama, melalui karyanya
“al-Dîn Buhûts Mumahhidah li Dirasah Tarikh al Adyan”, mencoba
mendefiniskan agama secara umum. Menurutnya agama dapat didefinisikan dari dua
aspek: Pertama sebagai keadaan psikologis (etat Subjectif), yaitu: kepercayaan
atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut ditaati dan disembah.
Kedua dilihat sebagai hakikat eksternal, bahwa agama adalah seperangkat panduan
teoritis yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan seperangkat aturan praktis
yang mengatur aspek ritualnya.[34]
Adapun definisi ilmu perbandingan agama sendiri, tidak
dijumpai pembahasan secara mendalam oleh sarjana-sarjana Muslim baik dizaman
klasik maupun dizaman modern ini. Sehingga disini hanya akan disebutkan
kesimpulan dari pemahaman sarjana-sarjana muslim tentang ilmu perbandingan
agama. Yaitu: “suatu ilmu yang membandingakan diantara agama untuk menyimpulkan
aspek-aspek persamaan dan perbedaan diantara agama-agama itu dan mengetahui
yang benar dan yang salah diantara agama itu.
2. Latar Belakang Munculnya Studi Ilmu Perbandingan
Agama dalam Khazanah Intelektual Islam
Peneliti dan pengkaji dalam bidang pemikiran Islam
sepakat bahwa para sarjana muslim telah mulai melakukan perbandingan
agama-agama sejak masa awal Islam.[35]
Bahkan dapat disimpul kan bahwa para sarjana muslimlah yang pertama menyelami
dan melakukan penelitian dalam bidang ini, yaitu di sekitar abad ke-8 M.[36]
Kajian studi agama secara ilmiah dan objektif yang
dilakukan oleh para sarjana muslim itu tidak lepas dari adanya faktor-faktor
yang melatarbelakanginya. Faktor-faktor itu adalah:
a.
Dalam Al-Qur’ân telah banyak disebutkan informasi tentang
agama-agama selain Islam. Dimana informasi tentang agama-agam tersebut
sangatlah ringkas, maka menjadi tugas para ulama Islam untuk melakukan kajian
secara luas sehingga dapat menyajikan uraian yang lengkap tentang agama-agama
tersebut. Kajian ulama Islam tersebut dalam kerangka penafsiran terhadap
al-Qur’ân. Dan tafsir adalah salah satu cabang ilmu dalam Islam yang banyak
ditulis para ulama, pada awal-awal kemunculan peradaban Islam.
b.
Informasi tentang agama-agama selain Islam dalam al-Qur’ân
difahami dalam kerangka ajakan kepada kaum muslimin untuk mengetahui
agama-agama lain tersebut. Dengan melakukan kajian yang mendalam dan melakukan
perbandingkan terhadap agama-agama itu, akan semakin jelas diketahui mana agama
yang haq dan mana yang bathil, mana agama yang benar dan mana yang salah dalam
bidang aqidah.[37]
c.
Bahwa agama samawi yang terakhir adalah agama Islam, sehingga
merupakan keharusan untuk mengetahui agama-agama lain yang telah tumbuh sebelum
Islam. Tentu hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan kajian ilmiah tentang
agama-agama itu sendiri.
d.
Dalam Al-Qur’ân al-Karim sudah ditegaskan bahwa agama yang haq
adalah agama Islam, dan keyakinan-keyakinan serta agama-agama selainnya adalah
bathil, atau merupakan penyimpangan dari agama yang asli (benar). Maka itu para
ulama Islam berkewajiban untuk mengindentifikasi kepercayaan-kepercayaan dan
agama-agama itu untuk dikaji secara ilmiah, hingga bisa diketahui kebathilannya.
e.
Ketika Islam semakin jauh menyebar ke wilayah-wilayah yang
penduduknya menganut berbagai macam agama yang berbeda, maka terjadilah
persentuhan kebudayaan dan aqidah antara kaum muslimin dan penganut agama dari
penduduk wilayah-wilayah tersebut. Fenomena persentuhan pemikiran dan keyakinan
ini melahirkan diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan agama, sebab setiap
pemeluk agama pasti meyakini bahwa agama merekalah yang benar dan yang lainnya
salah. Hal ini menuntut para sarjana muslim untuk mengetahui secara dalam,
cermat dan komprehensif hakikat agama-agama tersebut sebagai bahan berdiskusi
dan berdebat dengan mereka.
f.
Bermunculannya firqah-firqah dalam Islam yang berpengaruh terhadap
kajian agama-agama secara ilmiah. Sebab setiap firqah berusaha membantah ajaran
agama-agama di luar Islam dan berusaha meluruskan pendapat-pendapat firqah
lainnya. Hal ini tentu saja menuntut pemahaman dan pengetahuan yang baik
terhadap agama-agama tersebut. [38]
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa studi
agama dalam khazanah Islam telah muncul sejak masa awal Islam. Pendorong
utamanya adalah karena al-Quran banyak menjelaskan tentang ajaran-ajaran agama
lain, sehingga mendorong kaum muslimin untuk melakukan kajian lebih jauh
tentang agama-agama tersebut. Apalagi setelah kaum muslimin banyak bersentuhan
dengan penganut agama-agama lain seiring dengan perluasan wilayah Islam maka
urgensi mempelajari agama-agama lain semakin besar.
3. Sejarah Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama dalam Khazanah Islam
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ilmu
perbandingan agama dalam khazanah Islam sudah muncul sejak abad ke 8 M, jauh
sebelum kemunculannya di dunia Barat pada abad ke 19 M. Sejumlah sarjana muslim
telah melakukan penelitian dan kajian secara ilmiah dan objektif terhadap
agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang ada pada masa itu. Selain bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan objektif tentang
suatu agama
atau kepercayaan, juga karena mempelajari agama-agama lain merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari studi keislaman.[39]
Berikut ini akan diuraikan secara singkat pertumbuhan
dan perkembangan ilmu perbandingan agama atau studi agama-agama dalam khazanah
Islam dari satu periode ke periode berikutnya.
a.
Periode Awal dan Pembentukan
Pada dasarnya ilmu perbandingan agama belum ditemukan
sebelum datangnya Islam, karena agama-agama sebelum Islam tidak mau saling
mengenal dan memahami satu sama lain.
Karena itu sikap mereka sangat keras kepada penganut agama lain, bahkan hingga
menjatuhkan hukuman mati.
Sebagai contoh sikap eksklusif dan intoleran kaum
Yahudi dan Kristen. Kitab Perjanjian Lama menggambarkan kepercayaan agama-agama
lain dalam konteks polemik. Dalam pandangan kaum Yahudi, semua agama pasti
salah. Demikian pula Kristen, “Perjanjian Baru” sama sekali tidak
memperlihatkan pandangan yang positif dan objektif tentang agama-gama lain.
Dalam pandangan Gereja, keselamatan hanya dapat dicapai melalui iman kepada
Yesus Kristus. Perjanjian Baru menganggap sangat fatal dan keliru menjalin
hubungan apapun dengan para pemeluk agama-agama di luar Kristen. Sikap seperti
ini jelas tidak memungkinkan tumbuhnya studi yang ilmiah dan objektif terhadap
agama-agama lain.[40]
Dalam kondisi seperti inilah Islam datang, membawa
pemahaman yang berbeda terhadapa agama-agama lainnya.
Islam adalah agama terakhir dari rangkaian agama-agama
yang diturunkan oleh Allah SWT, oleh karena itu Islam mewarisi aspek-aspek
terpenting dari agama-agama terdahulu disamping ada penyempurnaan sesuai
kebutuhan manusia. Firman Allah SWT:
tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur (
“Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa…”.
Oleh karena itu secara teori Islam mengakui adanya
agama-agama terdahulu yang benar. Namun kini sudah terdapat penyimpangan dan
perubahan pada agama-agama tersebut. Sehingga lahirlah pembahasan-pembahasan
tentang ilmu perbandingan agama untuk memilah dan menentukan kedudukan
agama-agama tersebut.[41]
Selain itu al-Qur’ân al-Karim pun, sebagai kitab suci
dan rujukan utama ummat Islam telah meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan
agama, salah satunya disebutkan dalam ayat 6 surah al-Ankabut:
wur (#þqä9Ï»pgéB @÷dr& É=»tGÅ6ø9$# wÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr&
“Dan janganlah kamu
berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik…".
Berdebat dengan cara yang baik dengan penganut
agama-agama lain adalah makna dari ilmu perbandingan agama. Karena tidak
mungkin seseorang dapat berdebat dengan baik jika belum melakukan kajian dan
penelitian secara mendalam terhadap apa yang akan diperdebatkan. Beberapa ayat
al-Qur’ân juga mengandung makna tentang perbandingan (21:22, 16:17) begitu juga
al-Qur’ân banyak menyoroti komunitas agama-agama di luar Islam, baik itu agama
samawi (yang datangnya dari Allah) maupun agama-agama thabi’i (buatan manusia).[42]
Rasulullah SAW. sendiri menaruh perhatian terhadap ilmu
perbandingan agama. Misalnya dalam beberapa hadits beliau telah mengisahkan
tentang umat-umat terdahulu. Beliau juga pernah perdebatan langsung dengan
orang Yahudi dan Nashrani. Salah satu yang menarik adalah diskusi dan dialog
beliau dengan orang-orang Yahudi tentang kitab-kitab suci yang diturunkan oleh
Allah SWT. Orang-orang Yahudi yang diwakili oleh Mahsur bin Subhan mengajukan
pertanyaan kepada Rasulullah SAW: “Apa bukti bahwasanya Al-Qur’ân itu berasal
dari Allah?” maka turunlah ayat 82 surat An-Nisa:
öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã Îöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZÏW2
“…Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”
Setelah melalui perdebatan dan perbandingan ajaran
Islam dan agama-gama mereka, banyak diantara mereka yang kemudian memeluk Islam
seperti Abdullah bin Salam, Sa’labah bin Sa’id, Asad bin Ubaid dari golongan
Yahudi dan kaum Nashara Najran.[43]
Sikap dan pandangan Islam seperti yang disebutkan dalam
al-Qur’ân maupun apa yang diperaktekkan oleh Rasululah SAW di atas, melahirkan
sikap toleransi beragama kaum muslimin dalam kehidupannya bersama pemeluk
agama-agama lainnya. Selanjutnya hal ini memicu lahirnya kajian oleh kaum
muslimin terhadap agama lainnya.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum
kedatangan Islam tidak ditemukan konsep ilmu perbandingan agama. Konsep ini
muncul setelah datangnya Islam. Salah satu faktor penyebabnya karena konsep
toleransi yang ada dalam ajaran Islam yang mengharuskan kaum muslimin
bersikap toleran kepada penganut agama
lain. Salah satu bentuk toleransi itu adalah dengan memahami dengan baik
agama-agama lain.[44]
b.
Periode Kodifikasi dan perkembangan
Pada pertengahan abad ke 2 Hijriyah, sarjana-sarjana
muslim mulai menulis kitab-kitab perbandingan agama. Di antaranya adalah
al-Nuhbahkti (w. 202 H) dengan bukunya al-Ara’ wa al-Diyanat, yang dipercaya
sebagai buku pertama dalam bidang ini. Setelah itu al-Mas’udi (346 H) menulis
dua buku tentang al-Diyanat, kemudian muncul al-Masbahi (420 H) yang
menulis buku dengan judul Dark al-Bugyah fi Wasfi al-Adyan wal-Ibadat setebal 3.000 halaman. [45] Selanjutnya datang Ali Ibn Sahl Rabban al-Thabary (w. 854 M), ia menulis kitab berjudul; Al-Dien wa al Daulah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh Alphonse Mingana dengan judul The Books of Religion and Empire, buku
ini memuat uraian-urain tentang agama-agama di luar Islam secara objektif.[46] Setelah itu banyak
bermunculan karya-karya muslim lainnya dalam bidang ini.
Di antara sekian banyak sarjana muslim dalam bidang
studi agama ada tiga orang yang paling fenomenal, yaitu al-Bîrûnî, Ibn Hazm dan
al-Syahrastânî.
Ketiganya telah mencurahkan segenap kemampuannya dalam studi agama-agama dan
menyusun metode studi agama yang ilmiah. Karya-karya mereka dalam bidang
perbandingan agama menjadi rujukan yang sangat penting bagi sarjana-sarjana
agama kontemporer baik di Barat maupun di Timur. Berikut pembahasan ringkas
mengenai ketiga orang tersebut:
1)
Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad al-Bîrûnî (362-440 H/973-1048 M), lebih dikenal dengan nama al-Bîrûnî. Ia adalah sarjana kenamaan asal Khawarizm,
Turkmenistan (kini kota Kiva, wilayah Uzbekistan). Para sarjana Barat
menyebutnya sebagai pelopor ilmu perbandingan agama[47],
dan memberikan penghargaan yang tinggi atas karya monumentalnya tentang studi
agama-agama. Salah satu karyanya adalah “Tahqîq mâ li al-Hindî min Maqbulah
fî al-‘Aqlî aw Marâhulah” yang dikenal dengan “Takhqiq ma li al-Hindi”.
Karya ini mengulas secara empirik dan objektif tentang agama Hindu.
Pengkajian agama secara ilmiah dan objektif yang
dilakukan oleh al-Bîrûnî merupakan pengamatan langsung kepada adat istiadat, agama dan
kepercayaan masyarakat India. al-Bîrûnî tinggal di India dalam waktu yang cukup lama, ada yang mengatakan
hampir 40 tahun.[48]
Arthur Jeffery, menyatakan bahwa
kontribusi al-Bîrûnî dalam bidang studi agama dengan meneguhkan prinsip-prinsip
ilmiah yang cermat dan teliti, seperti keparipurnaan (completeness),
ketepatan (accuracy), dan sikap jujur (unbiased treatment) adalah
sangat langka di zamannya dan dapat dikatakan sangat unik dalam sejarah
keyakinan keagamaan yang dianutnya.
Bila “Perbandingan Agama” berarti
studi tentang Agama dengan menggunakan metode ilmiah sebagaimana yang digunakan
dalam Perbandingan Philologi, seperti mengumpulkan fakta tentang kepercayaan dan praktik [keagamaan] berbagai
kelompok agama, kemudian menyusun, mengklasifikasi dan membandingkan mereka
satu sama lain atau membandingkan mereka dengan kepercayaan dan praktik keagamaan
lainnya dengan tujuan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang
signifikansi agama, maka cabang studi semacam ini sesungguhnya telah memiliki
riwayat cukup panjang dalam wilayah kajiannya al-Bîrûnî.[49]
Dalam Encyclopaedia Iranica
disebutkan bahwa al-Bîrûnî adalah salah satu sarjana Muslim yang paling
autoritatif dalam bidang sejarah agama, dialah perintis lahirnya ilmu
perbandingan agama. al-Bîrûnî telah mengkaji dan meneliti agama Zoroaster,
Yahudi, Hindu, Kristen, Budha dan agama-agama lainnya secara objektif.
Kajiannya tentang agama Hidu dianggap yang paling lengkap, beliau membagi
penganut Hindu kepada yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan. Beliau
menguraikan bahwa mereka yang terdidik memiliki kepercayaan monoitisme, yakni
meyakini satu Tuhan, yang Abadi, Maha Kuasa dan bersih dari semua bentuk
penyembahan berhala. Adapun yang tidak terdidik menyembah banyak berhala.[50]
Karya beliau lainnya, sebelum takhqîq
mâ li al-Hindî adalah Al-Atsâr
al-Bâqiyah min al-Qurûn al-Khâliyah yang beliau tulis ketika masih berumur
25 tahun (998 M). Dalam
karyanya tersebut, al-Bîrûnî antara lain mengupas seputar upacara-upacara ritual, pesta, dan
festival bangsa-bangsa kuno, ini merupakan pembahasan tentang agama-agama
sebelum datangnya Islam.
al-Bîrûnî dalam melakukan
penelitian tentang agama-agama menggunakan metode wawancara langsung terhadap
penganut agama yang diteliti, seperti beliau melakukan wawancara dengan ahlul
kitab, penganut sekte-sektenya, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan
tentang masalah yang diteliti. Data yang diperoleh dari mereka ini merupakan
data awal, yang kemudian diolah, dibandingkan satu sama lain, dan kemudian
dilakukan kritik sehingga diketahui mana yang haq dan mana yang bathil atau
diragukan.[51]
Menurut Al-Attas apa yang telah
dilakukan al-Bîrûnî dalam melakukan pengembangan ilmu
perbandingan agama ini merupakan salah satu bukti kemampuan ummat Islam
mengembangkan ilmu-ilmu baru yang diilhami oleh ajaran Islam.[52]
2)
Al-Hafizh Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm (384-458 H/994-1064 M), yang lebih masyhur dengan nama Ibn Hazm.
Adalah seorang ulama Spanyol yang
kakeknya adalah seorang muslim yang tadinya Kristen. Tulisannya tidak kurang dari 400 buah buku dalam berbagai
bidang seperti sejarah, teologi, hadits, dan logika. Bukunya “Al-Fasl
fil-Milâl wal-Ahwâ’ wan-Nihâl”, adalah karya besar dalam sejarah
perbandingan agama. Buku ini telah menjadi rujukan sarjana agama modern di Barat
maupun di Timur.[53]
Ibn Hazm yang mendasarkan studinya
pada pengamatan (shahadah al-hiss) dan logika ini berusaha tidak
menyimpang dari fakta-fakta yang ada. Ia berpendapat bahwa sumber paling utama setiap agama adalah
kitab sucinya.
Karean itu studi terhadap teks kitab suci merupakan tataran paling awal dan paling penting dalam
memahami suatu agama. Metode analisis
kritik teks terhadap Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang dipakainya sesuai dengan metode yang dipakai
oleh para kritikus Bible modern. Ia mengumpulkan ayat-ayat atau bagian-bagian
dari kedua kitab tersebut yang dipandangnya mengandung masalah;
membandingkannya satu sama lain secara sinoptik; kemudian menganalisisnya
secara kritis; menghubungkan temuan-temuannya satu sama lain dan juga melengkapi metodenya dengan melakukan
dialog dengan para sarjana Yahudi dan Kristen pada masanya. Dan akhirnya
mengambil kesimpulan secara objektif disertai bukti-bukti. Inkonsistensi dan
kontradiksi yang ditemukannya dikemukakan secara apa adanya disertai
kritikan-kritikan tajam. [54]
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa
dalam sejarah studi agama-agama Ibn Hazm dengan kitabnyalah yang paling pertama
melakukan kajian secara ilmiah, mendalam, teliti dan komprehensif terhadap
kitab-kitab suci agama-agama, Jauh sebelum tumbuh dan berkembangnya studi ini
di dunia Barat pada abad ke-18 dan abad ke-19. Bahkan kitab ini menjadi rujukan
utama sarjana-sarjana agama kontemporer baik di Barat maupun di Timur dalam
mengkaji kitab suci Yahudi dan Kristen.[55]
Seorang sarjana Barat, Will Durant mengatakan bahwa
kitab Ibn Hazm Al-Fasl fil-Milâl wal-Ahwâ’ wan-Nihâl, adalah salah satu karangan paling pertama dalam bidang
perbandingan agama.[56]
3)
Abu al-Fatih Muhammad Abdul al-Karîm bin Ahmad
al-Syahrastânî, lahir tahun tahun 467 H/1069 M, beliau lebih populer dengan
nama al-Syahrastânî, nama yang dinisbatkan kepada daerah asalnya yaitu
Syahrastan, Persia. Beliau wafat tahun 548 H/1153 M (1071-1143 M).[57]
Karya monumentalnya dalam studi
perbandingan agama adalah kitab al-Milal wa al-Nihal. Kitab yang ditulis
pada abad ke-11 M ini mampu mengurai secara ilmiah dan objektif tentang doktrin
agama-agama lain, selain juga mengkritik argumentasi rasio dari ahli kitab yang
dianggap menyimpang dari aqidah Islam. Perkembangan berbagai aliran, sekte, dan
kelompok agama juga dipaparkan dengan akurat.
Dalam pandangan al-Syahrastânî
manusia terbagi menjadi dua kelompok dari segi pemikiran dan kepercayaannya.
Golongan pemeluk agama (ahl al-Diyânat wa al-Milal) terdiri dari: Majusi
, Nashrani, Yahudi dan Islam, dan golongangan pemikir bebas (ahl al-Ahwâ’ wa
al-Nihal) seperti: Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman.[58]
Pembahasan al-Syahrastânî tentang
kelompok pemeluk agama di mulai dengam membahas Islam berikut sekte-sektenya
serta turunan dari sekte tersebut hingga berjumlah 73 sekte.[59] Setelah itu ia menguraikan
ahl al-Kitab, dari 71 sekte keagamaan dalam agama Yahudi al-Syahrastânî hanya
menguraikan empat sekte (sekte al-Inâniyyah, al-‘Isâwiyyah, al-Yuz’âniyyah dan
as-Sâmirah) saja yang dipandangnya sebagai induk dari sekte-sekte lainnya.[60] Mengenai Nashrani, al-Syahrastânî
hanya menjelaskan tiga macam sekte saja dari 72 sekte yang terdapat dalam agama
Nashrani, yaitu: al-Mulkâniyyah, an-Nusthûriah, dan al-Ya’qûbiyyah.[61] Adapun pembahasan mengenai
pemilik kitab mirip Al-Kitab/suhuf, (agama Majusi, dan kepercayan-kepercayan
lainnya), untuk agama Majusi al-Syahrastânî mengemukakan tiga sekte
(al-Kuyûmurthiyyah, ar-Razwaniyyah dan az-Zardaythiyyah), yang lahir dari dua
permasalahan pokok dalam kepercayaan agama Majusi: (1) tentang bercampur antara
cahaya dan kegelapan dan (2) sebab-sebab lepasnya cahaya dari kegelapan.[62] Dari semua sekte-sekte
agama yang diuraikan, menurut al-Syahrastânî bahwa yang selamat di antara
sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.
Untuk kelompok pemikir bebas (para
filusuf) al-Syahrastânî membaginya dalam beberapa pembahasan, dimulai dengan
menguraikan pola pikir para filusuf terebut kemudian menyebutkan nama-nama
filusuf Romawi, Yunani Kuno maupun filusuf Islam beserta ajaran dan
pendapat-pendapat mereka. Pada pembahasan ini al-Syahrastânî lebih pada
diskripsi aliran maupun pendapat para filusuf
tersebut.[63]
Pada masa ini ilmu perbandingan agama memang banyak
ditulis oleh ahli kalam dan tumbuh serta berkembang seiring tumbuhnya kajian
ilmu Kalam.[64] Meskipun demikian ilmu
perbandingan agama bukanlah bagian dari ilmu kalam. Karena kajian agama-agama
di kalangan mutakallimin bukan selalu untuk dijadikan alat jidal, tetapi
penelitian yang dilakukan memang untuk lahirnya sebuah cabang ilmu yang berdiri
sendiri.[65]
c.
Periode Kemunduran
Kemundurun studi perbandingan agama dalam khazanah
intelektual Islam dimulai seiring datangnya masa-masa kemunduran Islam.
Runtuhnya kekhalifahan Islam di Bagdad oleh tentara Mongol, merebaknya
penjajahan atas negeri-negeri Muslim, munculnya fanatisme mazhab dan lain
sebagainya telah menjadi faktor mundurnya tradisi kajian studi agama-agama
dikalangan intelektual Islam.
Secara ringkas Ahmad Syalaby menyebutkan beberapa
faktor mundurnya kajian studi perbandingan agama di dunia Islam, sebagai
berkut:
1.
Banyaknya ahl al-Kitab di istana-istana kekhalifahan Islam,
baik sebagai istri, dokter maupun menteri. Peran mereka inilah yang menjadi
salah satu sebab lemahnya gaung ilmu perbandingan agama, dimana ilmu ini
mengkritisi penyimpangan keyakinan-keyakinan mereka.
2.
Adanya serbuan kaum Salibis terhadap negeri-negeri kaum Muslim
untuk menghancurkan Islam. Sehingga terjadilah peperangan yang dahsyat. Kaum
Salibis tidak mengenal toleransi beragama dan dialog yang baik dengan pemeluk
agama lain.
3.
Di era kemunduran, umumnya para fuqaha mengarah pada fanatisme
terhadap mazhabnya sendiri. Sedikit sekali yang mengetahui tentang
mazhab-mazhab lain. Terlebih lagi mereka tidak memiliki pengetahuan atau kajian
tentang agama-agama di luar Islam, sehingga kajian studi agama-agama semakin
jauh dari kaum muslimin.
4.
Sebagian kaum muslimin telah mengadopsi jejak pemeluk agama-agama
sebelum Islam, dengan tidak mengakui
keberadaan agama selain agama mereka. Sehingga mereka pun tidak mengenal
perbandingan antar agama. Mereka beranggapan bahwa ilmu perbandingan agama
tidaklah perlu, bahkan diantara mereka ada yang mencela orang-orang yang
menggeluti bidang ini. Karena mereka berkeyakinan bahwa Islam telah sempurna
dan tidak boleh dibanding-bandingkan dengan agama lain.[66]
d.
Periode Peralihan Ke Barat
Jika kaum muslimin di periode kemunduran mengabaikan
ilmu perbandingan agama, maka sikap kaum Nashrani di Barat terhadap ilmu ini
sebaliknya. Ini dikarenakan kehidupan damai yang mereka rasakan ketika hidup
berdampingan dengan kaum muslimin di Syam, Andalusia dan di Sicilia. Sehingga
kaum Nashrani mengenal ilmu perbandingan agama, dan mengukuhkan nilai ilmu ini,
kemudian mereka mulai mempelajari dasar-dasarnya dan berusaha untuk
memanfaatkannya.
Geliat ilmu perbandingan agama semakin gencar
digalakkan di Barat ketika mereka menjajah Negara-negara Islam dan melakukan
gerakan kristenisasi di sana. Karena ilmu ini dijadikan sarana misionaris dalam
penyebaran agama Nashrani.[67]
e.
Periode Kembalinya ke Dunia Islam
Setelah sekian lama kaum Muslimin meninggalkan kajian
ilmu perbandingan agama, maka di masa modern ini mereka mulai berusaha untuk
kembali menghidupkan ilmu perbandingan agama. Salah satu tujuannya untuk
dijadikan sebagai sarana dalam menda’wahkan dan membela Islam sebagaimana pada
zaman yang lalu. Sehingga para da’i mulai mengaplikasikan pokok-pokok atau
prinsip-prinsip ilmu ini dalam mengemban da’wah Islam.
Perlu juga dijelaskan disini bahwa sebagian sarjana
Islam kadang-kadang menggunakan perbandingan agama dalam penelitian mereka,
meskipun mereka boleh jadi tidak dimaksudkan untuk mendalami ilmu ini. Contoh
dalam hal ini adalah kajian dan penelitian yang dilakukan Ibn Taimiyah dalam
kitabnya al-Jawâbu al-Shahîh liman Bandala Dîn al-Masîh.[68]
Demikianlah ilmu perbandingan agama kembali muncul,
tumbuh dan berkembang di lembaga-lembaga keilmuan Islam, meskipun pada
kenyataannya belum menempati posisi yang baik.
4. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama Dalam Khazanah Islam
Dalam bukunya ‘Ilmu Muqaranatu al-Adyan ‘Inda
Mufakkiri al-Islam, Dr. Ibrahim Turki menyebutkan bahwa dalam kajian
sarjana-sarjana muslim tentang perbandingan agama tidaklah ditemukan pembahasan
secara khusus mengenai metode yang diikuti dan diterapkan dalam
penelitian-penelitian mereka. Namun demikian, dari kajian terhadap karya-karya
para pemikir muslim dalam bidang ini dapat disimpulkan beberapa prinsip dan
metode yang senantiasa ditempuh oleh para sarjana muslim dalam kajiannya.
Adapun prinsip dan metode tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Obyektivitas
Yang dimaksud dengan obyektivitas dalam studi
perbandingan agama adalah bahwa setiap peneliti dalam melakukan penelitiannya
menjauhkan diri untuk memberikan pandangan atau pemikirannya ketika menuliskan
fenomena-fenomena atau isu-isu keagamaan yang ia teliti. Sehingga ia memandang
agama-agama tersebut sebagaimana adanya,
bukan seperti yang ia pahami atau yang ia yakini.
Bersikaf obyektif merupakan syarat mutlak dalam setiap
penelitian, pengkajian, analisis, atau penilaian apapun, termasuk dalam bidang
studi perbandingan agama. Namun menerapkan obyektivitas secara mutlak
sebagaimana pengertian di atas, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu teoritis dan
humaniora adalah sesuatu yang mustahil dapat dilakukan.[69]
Dalam perspektif intelektual Islam bersikaf obyektif
bukan hanya sah dan dianjurkan, tetapi juga memiliki landasan teologis.
Obyektivitas dalam bahasa al-Qur’ân disebut dengan istilah “al-adl”
(adil). Sebuah prinsip yang harus ditegakkan dalam keadaan bagaimana pun.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 8:
wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 (
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa”.
Para ulama Islam yang bergelut dalam bidang ilmu
perbandingan agama sejak dahulu sadar betul akan arti pentingnya prinsip
“obyektivitas”. Menerapkan prinsip ini merupakan upaya serius mengejawantahkan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip Qur’ani yang mulia. Jadi “obyektivitas” dalam
arti memperlakukan obyek secara adil, sebagaimana yang diperintahkan al-Qur’ân,
adalah pengertian yang sangat mungkin dilakukan.[70]
Sejalan dengan itu, dalam sebuah haditsnya Rasulullah
SAW bersabda:
… قل الحق وإن كان مرا
Artinya ungkapkanlah fakta secara obyektif, meskipun
itu menyakitkan diri, kelompok atau golongan kita sendiri. Ini berarti
obyektivitas harus diterapkan terhadap diri sendiri maupun orang lain.[72] Etika inilah yang selalu
dijunjung tinggi ilmuan-ilmuan Islam dalam penelitiannya.
Pengertian objektif semacam ini berbeda dengan
pengertian objektif menurut para sarjana Barat. Menurut mereka objektif adalah
“bebas nilai” (value-free). Sudah menjadi “keyakinan” umum dikalangan
pakar ilmu perbandingan agama di Barat, seorang peneliti dalam bidang ini
mutlak harus menjaga jarak antara dirinya (sebagai subyek) dan materi kajiannya
(sebagai obyek), dengan prinsip “menahan diri” dan “membiarkan fakta yang
berbicara”. Jadi seorang peneliti tidak dibenarkan membuat penilaian apapun,
baik benar atau salah terhadap obyek penelitian dan kajiannya.[73]
Sebagian peniliti yang kritis, menyebut prinsip ini
sebagai “mitos”,[74] sebab seorang pengkaji atau
peneliti adalah manusia, yang berpikir dan bertindak sesuai dengan lingkup dan
bingkai nilai atau seperangkat nilai yang diyakininya. Isma’il al-Faruqi,
seorang intelektual Muslim yang menekuni bidang ini menjelaskan bahwa penilaian
adalah suatu keniscayaan. Tentu penilaian ini tunduk pada kaidah-kaidah,
prinsip-prinsip dan metodologi yang valid dan dapat diverifikasi secara logis
dan rasional, bukan sembarang penilaian yang bebas sesuai “subyektifitas”
penilai.[75]
Praktek-praktek
obyektif dalam penelitian oleh sarjana-sarna Muslim dapat kita jumpai dalam
karya-karya mereka dalam bidang ini, semisal “Tahqîq mâ Lilhindi min
Maqûlah” karya al-Bîrûnî dan al-Milal wa al-Nihal al-karya Syahrastânî. Bahkan karya-karya Muslim
tersebut lebih obyektif dibandingkan tulisan-tulisan kontemporer dalam bidang
ini.[76]
b.
Pengumpulan data atau Informasi
Pengumpulan data dan informasi tentang
fenomena-fenomena atau hal-hal yang diteliti merupakan sesuatu yang sangat
urgen dari segi metodologi, baik dalam ilmu perbandingan agama maupun dalam
ilmu-ilmu lainnya. Karena ini sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi nilai
keilmiahan dan keobyektifan dari penelitian tersebut.
Dalam bidang ilmu perbandingan agama proses pengumpulan
data tentang agama yang diteliti dari sumbernya yang asli adalah suatu yang
mutlak. Seorang peneliti harus memperoleh data-data tentang agama yang ia tulis
dari sumber pertama (primer). Adapun sumber asli atau primer tentang suatu
agama secara umum terbagi pada tiga kategori, yaitu:
1.
Kitab Suci, yaitu kitab yang dibawa oleh pendiri agama sebagai
sumber ajaran bagi pengikut-pengikutnya. Sementara penelitian terhadap
agama-agama yang tidak memiliki kitab suci dapat menjadikan dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan sejarah agama atau cerita-cerita suci (mitos) agama
tersebut sebagai sumber. Selain itu kitab-kitab yang membahas biografi
perjalanan pendiri suatu agama yang ditulis langsung oleh pengikutnya juga
dapat digolongkan sebagai kitab suci.
2.
Syarah atau tafsir yang disusun oleh pendiri atau ulama-ulama yang
menonjol dari suatu agama atas kitab sucinya.
Namun perlu disebutkan bahwa syarah atau
penafsiran-penafsiran tersebut senantiasa berbeda satu sama lain sesuai dengan
kecenderungan pemikiran atau mazhab penulisnya, terutama pada kasus agama
samawi. Terdapat tiga corak pokok dalam hal ini, yaitu: corak yang lebih
mengedepankan akal (aqli), corak yang lebih mengedepankan nash (naqli) dan
corak pertengahan dalam syarah atau dalam penafsirannya. Maka bagi seorang
peneliti ilmu perbandingan agama, harus menggunakan dan memahami tiga corak
penafsiran tersebut. Ia tidak boleh membatasi diri hanya pada satu corak
penafsiran saja.
3.
Berinteraksi langsung dengan pendiri agama dan atau dengan
pemeluk-pemeluk agama yang diteliti secara umum.
Selain dari kitab suci dan tafsirnya, penelitian
tentang satu agama juga dapat menjadikan kebiasaan-kebiasaan atau
perilaku-perilaku penganutnya sebagai sumber penelitian. Ini hanya bisa
dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan pemeluk-pemeluk agama tersebut.
Metode semacam ini dalam ilmu penelitian modern dikenal
dengan istilah metode pengamatan langsung, yang bisa diposisikan sebagai salah
satu bagian metode deskriptif, yaitu metode ilmiah yang digunakan dalam ilmu
Antropologi dan Etnologi.
Metode semacam ini sudah dilakukan oleh al-Bîrûnî
ketika mengadakan penelitian langsung terhadap penduduk India untuk mengetahui
sistem kepercayaan masyarakat sekaligus mengetahui peradaban mereka. Bahkan
beliau menetap bersama mereka selama bertahun-tahun sehingga dapat menguasa
bahasa orang-orang India (sanksekerta) dan menterjemahkan kitab sucinya.
Demikian juga penelitian yang dilakukan Ibn Hazm yang berpandangan bahwa sumber paling utama setiap agama
adalah kitab sucinya,
kemudian beliau juga melengkapi kajiannya dengan melakukan dialog dan debat
langsung dengan tokoh-tokoh agama yang sedang ditelitinya.[77]
c.
Verifikasi
Sudah menjadi kesepakatan umum dalam dunia penelitian
bahwa adalah keharusan bagi seorang peneliti melakukan verifikasi terhadap
pendapat dan pemikiran-pemikiran yang ia ketengahkan dalam penelitiannya. Atau
dengan kata lain menyebutkan sumber pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran
yang ia kutip.
Dalam ilmu perbandingan agama, secara umum ketentuan
ini tidaklah berbeda. Apabila seorang peneliti mengutip suatu pemikiran atau
isu, apakah keyakinan-keyakinan agama atau perilaku-perilaku agama, maka dia
harus menunjukkan sumber pemikiran atau isu yang ia nukil tersebut. Baik yang
bersumberkan dari kitab suci, penafsiran, catatan-catatan atau riwayat pendiri
agama tersebut.[78]
d.
Ilmu-ilmu Bantu
Seorang peneliti dalam bidang ilmu perbandingan agama
diharuskan memiliki pengetahuan yang cukup terhadap ilmu-ilmu bantu. Hal ini
bertujuan membantunya melakukan kajian tentang agama-agama secara benar. Diantara
yang terpenting dari ilmu-ilmu bantu tersebut adalah:
1.
Bahasa, seorang peneliti kajian ilmu perbandingan agama hendaknya
memiliki kemampuan dan penguasaan terhadap bahasa asli agama yang ditelitinya.
Hal ini sangat urgen sebab pada setiap agama terdapat ungkapan-ungkapan khusus,
majazi, isyarat-isyarat simbol yang menggambarkan konsep-konsep terpenting
agama tersebut yang tidak mungkin dapat dipahami secara benar bila hanya
mengandalkan terjemahan.[79]
Banyak diantara ilmuan Islam yang menulis tentang
agama-agama, baik dalam bidang sejarah agama maupun perbandingan agama yang
telah melakukannya. Salah satunya adalah al-Birûnî ketika mengkaji dan meneliti
agama-agama orang-orang India, ia telah mengusai bahasa agama mereka yaitu
bahasa Sansekerta, bahkan belia banyak menulis buku dalam bahasa India dan
telah menterjemahkan kitab suci agama orang India.[80]
2.
Sejarah, selain kemampuan bahasa pengetahuan tentang sejarah pun
merupakan perkara yang sangat urgen dalam membantu seorang peneliti dalam
penelitiannya tentang agama-agama. Baik sejarah tentang perilaku pemeluk suatu
agama atau pun sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama tersebut. Hal ini
sangat penting, karena sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian konsep-konsep
suatu agama tidak mungkin dapat dipahami dengan benar kecuali dilihat dari
sudut kompleksitas sejarahnya. Bagaimana perkembangan konsep tersebut dalam
pemahaman pemeluk-pemeluknya, demikian juga perubahan-perubahan, mazhab, maupun
sekte-sekte yang lahir dalam agama tersebut.
Para sarjana Muslim yang bergelut dalam bidang ilmu
perbandingan agama telah memiliki penguasaan yang cukup terhadap sejarah agama
yang mereka teliti. Hanya saja kualitasnya berbeda satu dengan yang lain.
Misalnya al-Bîrûnî memiliki pengetahuan sejarah lebih luas tentang agama-agama
di India dibandingkan dengan al-Syahrastânî yang tidak melakukan penelitian
agama tertentu.
3.
Sosiologi dan psikologi. Ilmu bantu lainnya yang sangat dibutuhkan dan harus
dimiliki oleh seorang sarjana agama adalah pengetahuan yang cukup tentang
kemasyarakatan (sosiologi) dan kejiwaan (psikologi), yang akan membantu seorang
peneliti mengetahui sifat-sifat dan adat istiadat pemeluk suatu agama yang
ditelitinya. Sebagaimana kita ketahui bahwa banyak diantara perkara-perkara
agama baik dari segi keyakinan maupun perilaku yang tidak dapat dipahami dengan
baik kecuali dengan mengetahui sifat-sifat dan adat istiadat pemeluknya.
Dan para sarjana
Muslim memiliki peran yang sangat besar dalam pertumbuhan kedua cabang ilmu
ini, kita dapat lihat pada karya al-Bîrûnî dalam kitabnya “Tahqîq mâ
Lilhindi min Maqûlah” yang mana didalamnya dibahas bagaimana sifat dan adat
istiadat masyarakat India baik dari segi keyakinan, pemikiran-pemikiran dan
lain sebagainya yang beliau lakukan perbandingan dengannya dengan keyakinan
atau agama lainnya. [81]
e.
Metode Perbandingan
Dalam penelitian perbandingan agama harus dilakukan
perbandingan. Bentuk-bentuk atau metode-metode perbandingan yang banyak
digunakan oleh para sarjana Muslim dalam bidang ilmu perbandingan agama,
terdiri dari tiga bentuk:
Pertama: membandingkan hal-hal yang asasi (ushul) dalam setiap agama.
Misalnya dalam masalah uluhiyyah, masalah nubuwah atau yang
lainnya dari pokok-pokok agama.
Akan tetapi dalam prakteknya cara atau metode seperti
ini dalam perbandingan agama-agama mengandung beberapa kesulitan, antara lain:
1.
Bahwa masalah ushul dalam setiap agama tidak selalu sama pada
setiap agama. Misalnya masalah kenabian,
ini merupakan pembahasan yang sangat penting dalam agama-agama samawi, tetapi
masalah kenabian tidak terdapat dalam beberapa agama lainnya, seperti Budha
yang merupakan salah satu agama besar.
2.
Boleh jadi pembahasan sejarah membawa pengaruh terhadap
pembentukan suatu keyakinan, baik saat pertumbuhan agama-agama tersebut atau
saat terjadi perubahan-perubahan terhadap agama itu. Sebagaimana diketahui
bahwa kompleksitas sejarah suatu agama berbeda dengan agama yang lain, oleh
karena itu harus disajiakan secara integral tanpa terbatas pada penyebutan
suatu masalah tertentu dan membandingkan dengan masalah yang semisalnya pada
agama lainnya.
3.
Terdapat hubungan dan adaptasi antara pembahasan-pembahasan yang
berbeda dalam setiap agama dari agama-agama yang ada. Sehingga setiap agama
harus disajikan secara menyeluruh, atau sekurang-kurangnya menyajikan masalah-masalah
yang dibandingkan tersebut dalam konteks hubungannya dengan masalah-masalah
lainnya.
Kedua, menyajikan secara menyuluruh agama-agama yang sedang diteliti
untuk dibandingkan satu sama lain. yang termasuk dalam hal ini adalah
konsep-konsep, keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual atapun sejarah asal usul
pertumbuhan agama tersebut serta bagaimana terjadinya perubahan-perubahan
didalamnya dan terbentuknya mazhab, aliran atau sekte-sekte agama tersebut.
Bentuk perbandingan seperti ini paling banyak digunakan
oleh para sarjana Muslim dalam karya-karya mereka tentang ilmu perbandingan
agama. Diantaranya: al-Syahrastânî dalam kitabnya al-Milal wa al-Nihal, Abû ʿîsâ Muḥammad ibn Hârûn ibn Muḥammad al-Warrâq dalam kitabnya al-Maqâlât, kitab al-ârâi wa
al-Diyânât karya al-Nûbahtî dan lain-lain.
Ketiga, lebih memfokuskan penelitiannya pada agama tertentu dari
agama-agama yang ada dengan segala aspeknya, baik aspek sejarah,
kepercayan-kepercayaan, perilaku maupun aspek syari’atnya. Kemudian setiap ada
kesempatan melakukan perbandingan pada bagian-bagian tertentu yang sedang
dibahas dengan bagian yang semisal pada agama-agama lain. Diantara
pemikir-pemikir Muslim yang menggunakan metode seperti ini sangat jelas
terlihat dalam karya al-Bîrûnî “Tahqîq mâ Lilhindi min Maqûlah”.[82]
f.
Analisa
Deskripsi obyek penelitian dalam suatu penelitian
tidaklah dikategorikan sebagai metode ilmiah tanpa diikuti dengan analisa.
Berkaitan dengan studi ilmu perbandingan agama, dapat
dikatakan bahwa seorang peneliti tidak membatasi pembahasannya hanya pada
deskripsi atau catatan-catatan berkenaan dengan masalah-masalah yang diteliti,
tetapi harus diikuti dengan membuat kesimpulan dengan cara perbandingan.
Kemudian melakukan analisa terhadap hasil kajiannya tersebut dari sudut pandang
budaya dan peradaban setiap agama dari agama-agama yang dibandingkan itu,
sehingga ia mampu menjelaskan secara baik dua masalah besar di dalamnya, yaitu:
Pertama, menjelaskan dengan sejelas-jelasnya semua aspek persamaan dan
perbedaan antara agama-agama yang sedang dikaji.
Kedua, menjelaskan dengan sejelas-jelasnya letak kekuatan dan letak
kelemahan atau kekurangan-kekurangan setiap agama dari agama-agama yang sedang
dikaji.
Adapun interpretasi hasil dari kesimpulan
perkara-perkara tersebut, tidaklah digambarkan secara tegas dalam kajian
perbandingan agama karena hal ini menjadi kajian bidang yang lain yaitu
filsafat agama.
Andai pun proses analisa merupakan satu-satunya yang
memungkinkan digunakan dalam metode perbandingan, maka berlebih-lebihan dalam
menggunakannya akan membawa kepada kekeliruan besar, karena sebagaimana
diketahui bahwa dalam metode ini unsur-unsur agama dengan segala alirannya
disusun dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorisasikan dan terakhir
dilakukan penafsiran terhadap data-data parsial tersebut. Sehingga dalam hal
ini para sarjana Muslim yang berkontribusi di bidang ilmu perbandingan agama
dalam karya-karya mereka belum sepenuhnya menggunakan analisa dalam metode
perbandingan. Ini dapat dipahami karena para ilmuan Muslim tersebut berusaha
obyektif dalam penelitian mereka.[83]
Demikianlah uraian tentang unsur-unsur metode ilmiah
dalam penelitian perbandingan agama di kalangan sarjana muslim. Tokoh-tokoh
Islam dalam bidang ini telah melakukan dan menetapkan unsur-unsur metode ilmiah
ini secara maksimal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode ilmiah yang
digunakan dan dipraktekkan oleh para sarjana Muslim dalam studi perbandingan
agama tidak jauh berbeda dengan metode-metode ilmiah yang ada di masa moderen
ini.
5. Memahami Agama Orang Lain
Dalam memandang agama lain, Islam
memiliki rumah besar yang disebut ”rahmatan lil ’alamin.” Hal itu
berdasarkan kehadiran Rasulullah sebagai pembawa risalah Islam (QS. Al Anbiya:
107). Nabi SAW. dengan jelas mengatakan hal tersebut:
"إني لم أبعَثْ لَعَّانًا، وإنما بُعثْتُ رحمة"
”Sesunggunya aku tidak diutus
sebagai pelaknat, namun sesungguhnya aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim, No: 2559)
Risalah Islam adalah rahmat di
dunia dan diakhirat. Kehadiran Islam di dunia bukanlah untuk menciptakan kekacauan
peradaban. Ia hadir untuk melindungi yang lemah, mewujudkan kesejahteraan,
serta menciptakan keamanan bagi penduduk bumi, atas dasar beribadah kepada
Allah semata-mata.
Imam At Thabari rahimahullah
di dalam tafsirnya menegaskan bahwa kata rahmat di dalam surah Al Anbiya: 107
diperuntukkan kepada orang mu’min dan mereka yang tidak beriman kepada kenabian
Muhammad. Hal tersebut berdasarkan riwayat sahabat Ibnu Abbas ra dan sejumlah
tabi’in senior lainnya[84]. Namun demikian, tentu saja
bagi mereka yang menerima kerasulan Muhammad dan menjalankan risalah yang
dibawa, maka ia akan mendapatkan rahmat di dunia, juga di akhirat kelak.
Dalam praktek kehidupan, risalah
Islam yang dibawa oleh Rasulullah telah membuktikan tingginya peradaban manusia
yang benar-benar berbeda dengan yang lainnya. Melalui risalah Islam itu,
Rasulullah telah mampu menunjukkan sebuah tatanan kehidupan baru yang
menggantikan peradaban rendah bangsa Arab. Bahkan tidak hanya itu, beliau telah
mampu menciptakan keadilan dengan sistem yang tidak dikenal oleh para raja dan
penguasa timur dan barat ketika itu. Oleh karena itulah, ketika Gustave le Bon
membaca penaklukan Palestina oleh kaum muslimin, ia menyebut Amirul Mukminin
Umar bin Khattab sebagai ”Sahabat Agung” karena telah menerapkan kehidupan
toleransi yang sangat mengagumkan.[85]
Untuk memperjelas uraian di atas,
penulis akan menyebutkan satu persatu ajaran Islam yang mengandung
prinsip-prinsip hubungan dengan agama lain, berikut penjelasannya.
1. Tidak ada paksaan dalam beragama
Islam tidak mengajarkan untuk
memaksa pemeluk agama lain berpindah agama kepada Islam. Hal itu karena
beribadah kepada Allah haruslah disertai dengan ikhlas dan sesuai dengan apa
yang diajarkan Rasul-Nya. Keikhlasan akan hadir ketika seseorang ridha dengan
apa yang ditetapkan bagi dirinya. Sikap terpaksa hanya akan menjadikan
pelakunya munafiq dihadapan Allah, dan berislam dengan tidak sungguh-sungguh.
Allah berfirman surat al-Baqarah ayat 256:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4
”Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat.”
Ayat di atas merupakan petunjuk
tentang tidakbolehnya seseorang memaksa orang lain untuk masuk Islam karena di
dalam Islam, seluruh aturan telah dijelaskan dengan terang.[86]
Islam menekankan pada aspek seruan
atau ajakan (da’wah) yang dilakukan dengan kode etik (QS. An Nahl: 125). Tidak
boleh seruan dilakukan secara serampangan sehingga membuat objek da’wah menjadi
apriori. Orang-orang yang telah diseru namun menolak seruan, tetap tidak boleh
dipaksa untuk berislam. Hidayah tetaplah hak Allah semata-mata. Kaum muslimin
hanya dibebankan untuk mengajak sejauh yang mereka mampu. (QS. Al Qashhash:
56).
2. Tetap menegakkan keadilan dalam
setiap perkara.
Keadilan adalah salah satu prinsip
Islam. Seseorang yang tidak berbuat adil maka ia telah terjerumus kedalam
kezaliman, dan kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.[87]
Tentang perintah berbuat adil, diantaranya adalah firman Allah surat as-Syura
ayat 15:
ö@è%ur àMZtB#uä !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# `ÏB 5=»tGÅ2 ( ßNöÏBé&ur tAÏôãL{ ãNä3uZ÷t/ ( ª!$# $uZ/u öNä3/uur ( !$uZs9 $oYè=»yJôãr& öNä3s9ur öNà6è=»yJôãr& ( w sp¤fãm $uZoY÷t/ ãNä3uZ÷t/ur ( ª!$# ßìyJøgs $uZoY÷t/ ( Ïmøs9Î)ur çÅÁyJø9$# ÇÊÎÈ
Katakanlah: "Aku beriman
kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya Berlaku
adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami amal-amal
Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu,
Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".
Menurut Imam Al Baghawi dalam
tafsirnya, ayat ini adalah perintah Allah kepada baginda Nabi untuk menegakkan
keadilan dalam setiap perkara.[88] Khitab ayat ini juga
ditujukan kepada orang-orang yang berada dalam da’wah Nabi dari kalangan
orang-orang kafir. Oleh karena itu, dalam perjanjian-perjanjian yang dilakukan
dengan orang kafir Quraish atau kepada orang-orang Yahudi di Madinah, tidak
tercatat dalam sejarah bahwa Nabi memutuskan janji secara sepihak atau berbuat
curang terhadap perjanjian yang telah terjalin dengan mereka.[89] Disamping itu,
perkara-perkara yang diputuskan oleh Nabi semuanya dapat diterima dan tidak
menimbulkan gejolak sesudahnya.
Prinsip keadilan di dalam Islam
telah memberikan pengaruh yang nyata dalam sikap kaum muslimin generasi awal.
Ketika terjadi perselisihan diantara mereka, yang mereka lihat adalah kebenaran
bukan perwalian sehingga objektifitas hukuman dapat ditegakkan kepada siapa
saja.
3. Memberikan perlindungan kepada
mereka yang berlindung
Dalam kenyataan sejarah, kaum
muslimin adalah ummat yang memiliki peri kemanusiaan yang tinggi dibanding
dengan sejarah agama-agama lain. Mereka tidak memperlakukan tawanan dengan
semena-mena, tidak membunuh wanita, anak-anak, kaum tua renta tidak berdosa yang
tidak turut serta dalam peperangan. Mereka juga tidak diperkenankan merampas
harta mereka. Mereka bahkan diperintahkan untuk menunjukkan akhlak mulia dengan
memberikan jaminan perlindungan penuh bagi siapa saja yang meminta
perlindungan. Dalam Islam mereka dikenal dengan ahlu dzimmah. Dalam
masalah ini, Nabi bahkan sangat tegas memperingatkan kepada para sahabatnya
untuk menjaga hak-hak mereka.[90]
Ahlu dzimmah tidak hanya dilindungi namun
diberikan hak-hak mereka untuk menjalankan keyakinan dalam beragama, serta
merayakan hari-hari besar. Mereka juga diberikan hak untuk mempertahankan
keberlangsungan agama dan keyakinan dengan mendirikan institusi pendidikan dan
lain-lain, mendirikan tempat beribadah, mendirikan peradilan khusus dengan
agama mereka, sementara darah dan kehormatan mereka berada dalam perlindungan
kaum muslimin.[91]
4. Tolong menolong dan bermu’amalah
dalam hal selain urusan akidah dan ibadah
Tidak ada kesulitan bagi seorang
muslim untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, karena hal itu juga
dilakukan oleh Rasul mereka Muhammad SAW. Rasulullah pernah menjenguk orang
sakit meskipun ia adalah seorang anak Yahudi. Beliau juga pernah menolong
orang-orang lemah diantara mereka, berjual beli, berhutang dan lain-lain. Hal
ini menunjukkan bahwa keislaman seseorang tidak menjadikan mereka menjadi
ekslusif ditengah-tengah kemajemukan.
Secara
gamblang Allah telah mengizinkan seorang muslim untuk berbuat baik kepada
orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi. Mereka adalah tetangga dan
kerabat dalam hubungan sosial. Allah berfirman surat al-Mumthahanah ayat 8:
w â/ä38yg÷Yt ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ br& óOèdry9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍkös9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ
“Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.”
Adapun berbuat baik dan tolong
menolong dalam masalah agama dan ibadah adalah hal yang terlarang. Seorang
mu’min yang telah berserah diri kepada Allah tidak mungkin mencintai dan
meridhai dua millah di dalam satu hatinya. Oleh karena itu Rasulullah telah
mencontohkan untuk tidak tolong menolong dalam hal ibadah seperti merayakan
hari besar agama lain dan turut memeriahkannya. Hal itulah yang kemudian
melahirkan syari’at berhariraya Iedhul Fitri dan Iedhul Adha. Keduanya telah
menggantikan kebiasaan lama untuk turut bergembira pada hari raya agam lain.[92]
Dengan demikian dalam Islam,
agama-agama lain tetap dipandang sebagai kenyataan yang eksis. Suatu agama
tidak bisa melebur dalam satu kesatuan karena masing-masing memiliki kekhasan.
Adapaun bagaimana membangun hubungan sosial kemasyarakatan, Islam memiliki
ruang yang luas untuk mengekspresikan hal tersebut tanpa harus mengorbankan
bangunan keyakinan masing-masing agama.
C. Ilmu Perbandingan Agama Dalam Literatur Barat
1. Definisi
Sebelum menguraikan definisi ilmu perbandngan agama dalam
pandangan sarjana-sarjana Barat, maka penting untuk melihat apa
definisi-definisi agama itu sendiri menurut mereka. Sebab pendefinisian agama
di Barat dibanguan di atas teori-teori asal usul agama itu sendiri, yang mana
mereka tidak mempercayai adanya agama wahyu.[93]
Perumusan definisi “agama” dikalangan sarjana-sarjana
Barat sendiri masih menjadi suatu problem yang sampai saat ini belum
terselesaikan. Dalam berbagai buku maupun ensiklopedi, kita jumpai puluhan
definisi tentang “agama” yang sedemikian beragam, sehingga malah mengaburkan
apa yang sebenarnya hendak kita pahami.[94]
E. B. Tylor, misalnya merumuskan definisi agama sebagai
“kepercayaan terhadap wujud spiritual”,[95]
dalam bahasa berbeda Allan Menzies, menganggap agama sebagai “penyembahan
terhadap kekuatan yang lebih tinggi karena adanya rasa membutuhkan”.[96] George Galloway merumuskan
agama sebagai “keyakinan manusia kepada sebuah kekuatan yang melampaui dirinya,
kemana ia mencari pemuasan kebutuhan emosional dan mendapatkan ketenangan
hidup, yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian.[97]
Definisi dengan corak berbeda dikemukanan oleh Melpord
E. Spiro, yang menyatakan agama sebagai “sebuah institusi berpola budaya yang
berhubungan dengan wujud-wujud supra-manusiawi yang dipostulatkan secara
budaya.[98] Dengan makna yang hampir
sama Milton Yinger merumuskan definisi agama sebagai “Sebuah sistem kepercayaan
dan perilaku, yang dengannya sekelompok manusia bergulat dengan problem
kehidupan manusiawi yang bersifat ultima”.[99]
Sedangkan Ninnian Smart memberikan batasan bahwa
“sebuah agama dari suatu kelompok adalah serangkaian ritual yang dilembagakan
dan diidentikkan dengan suatu tradisi serta mengekspresikan dan atau
memunculkan perasaan-perasaan sakral yang diarahkan kepada suatu fokus ilahi atau
tran-ilahi yang dilihat dalam konteks lingkungan fenomena manusia dan, paling
tidak secara parsial, memiliki penjelasan dalam bentuk mitos atau mitos dan
doktrin”.[100]
C.S. Lewis mengajukan jenis definisi, “tactical
definition”, yang berbeda dengan definisi-definisi di atas yang disebut
Lewis jenis definisi “working definition”, yaitu definisi yang mencoba
mendeskripsikan sifat-sifat dari sesuatu yang dimaksud. Adapun tactical
definition yang diajukan Lewis adalah sejenis ungkapan atau perlambang,
yang sama sekali tidak merujuk kepada pengertian istilah yang dimaksud, dan
biasanya dimaksudkan untuk memunculkan kontroversi. Contoh populer dari jenis
definisi ini adalah ungkapan Karl Marx yang mengatakan agama adalah “nafas dari
makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, jiwa dari kebekuan
yang tak bernyawa, candu masyarakat”.[101]
John David Garcia menyebutkan sebagai “penindas kemerdekaan dan perusak
kesadaran manusia”.[102]
Ada juga mencoba merumuskan pengertian agama melalui
pola “akar kata” dan “paradigma”. Istilah “religion” yang berakar kata
Latin “relegere’ yang berarti mengumpulkan, membaca”, dan “religere” yang
berarti mengikat”. Sehingga agama merupakan pengikat kehidupan manusia dengan
Tuhan yang terdiri dari kumpulan-kumpulan ritual pengabdian”.[103] Sedangkan pola “paradigma”
lebih bersifat praktis, dengan cara penunjukan langsung terhadap contoh konkrit
yang disebut paradigma. Ini dilakukan untuk mengatasi kesulitan mendeskripsikan
definisi agama, sehingga terhadap pertanyaan “apa itu agama”, metode ini
memberikan jawaban “agama adalah Hindu, Budha, Kristen dan lain sebagainya.[104]
Adapun Wilfred Cantwell Smith[105],
setelah melakukan kajian yang panjang
dan mendalam berkesimpulan bahwa yang dinamakan “agama” dewasa ini
adalah sesuatu yang dianggap oleh orang—melalui kacamata pemikiran
tertentu—sebagai nama sekumpulan keyakinan-keyakinan yang terorganisir yang
terus berkembang dari masa ke masa yang kemudian disebut “agama” padahal
kenyataannya tidak ada esensinya sama sekali yang bisa difahami secara jelas
tanpa perdebatan. Konsep ‘agama’ di Barat menurut Smith, terdapat perkembangan
dan proses yang dapat dicatat dan dikenali yang ia namakan a process of
reification (sebuah proses gradual untuk menegaskan “agama” sebagai suatu
entitas yang terorganisir dan positif, dan sebagai kata benda). Lebih lanjut
Smith mengatakan:
Maka terminologi ini dikenal sangat sulit
didefinisikan…. Ia merupakan konsep yang kabur, ambigu, dan diselewengkan, yang
hakikatnya tidak punya hubungan sama sekali dengan sesuatu yang definitif dan
dapat dikenali di alam nyata. Fenomena-fenomena yang kita sebut religious jelas
ada. Namun suatu konsep bahwa fenomena-fenomena religious ini membentuk entitas
yang karakteristik (yang disebut agama) dengan sendirinya, adalah sesuatu analisa
yang tak didukung dengan bukti dan unjustifiable.[106]
Oleh karena itu, Smith mengajak untuk melepaskan
terminologi “agama” (agama-agama: Hinduisme, Budhisme, Judaisme, Kristen, Islam
dan lain-lain) sebagai kata benda, bukan sebagai kata sifat, secara sepenuhnya
dan selamanya. Sebagai gantinya ia mengajukan dua terminologi baru; pertama, cumulative
tradition yaitu tradisi-tradisi yang terhimpun dalam sejarah manusia
sebagai hasil interaksi antara berbagai kumpulan dari anasir keagamaan dan
budaya hidup—seperti keyakinan, ritus, ritual, teks suci dan tafsirnya, mitos,
seni dan sebagainya sehingga membentuk sebuah system tersendiri yang
karakteristik yang kemudian disebut tradisi Hindu, atau Budha, Yahudi, Kristen
dan Muslim dan lain sebagainya.[107] Kedua, sebagai ganti
terminologi ‘agama’ adalah faith (iman yang sifatnya sangat pribadi).[108]
Smith mengklaim dengan kedua terminologi alternatif ini
akan dapat menyelesaikan problem pluralitas agama yang telah menjadikan manusi
terkotak-kotak, sekte-sekte, bertentangan bahkan sampai bermusuhan, yang
menurutnya timbul dari problem dalam memberikan definisi “agama” itu sendiri.
Adapun terminologi alternatif baru ini maknanya jelas, definitive, spesifik,
distinctive, realistis, dapat diketahui, diobservasi dan dikaji secara historis
dan empiris. Dan lebih penting dari itu semua, bahwa teori alternative ini
mencakup orang beriman, tek beriman dan skeptik, muslim, Budhis, Kristen, Sufi
dan sebagainya.[109]
Problem dalam perumusan definisi objek ilmu ini (agama)
juga menghasilkan problem penamaan terhadap ilmu ini. Ilmu perbandingan agama
ini memiliki sekian banyak sinonim nama yang sama-sama popular. Pada awalnya
nama yang digunakan oleh Max Muller (1823-1900), adalah Religionswissenschaft.
Namun ketika ilmu ini mulai berkembang luas di berbagai negara, diperlukan
nama yang lebih menginternasional.Tetapi tidaklah mudah sebab istila Wissenschaft
(Jerman) memiliki makna yang utuh sebagai science dan knowledge,
dan tidak dijumpai padanannya dalam bahasa Inggris, sehingga memunculkan nama Science
of Religion (konotasinya lebih dekat pada ilmu-ilmu alam).
Nama lain yang juga digunakan Max Muller adalah Comparative
Religion, yang ia pinjam dari ilmu bahasa, yaitu filologi perbandingan,
bidang keahliannya sebelum menekuni studi agama-agama. Nama ini dan juga
variannya Comparative Study of Reloigion, sempat digunakan secara luas,
departemen-departemen universitas-universitas di Swedia dan Finlandia umpamanya
menggunakan istila “perbandingan agama”, sedang journal Pan-Skandinavian,
Timenos, menggunakan judul “studies in Comparative religion”, di Canada
“comparative religion” juga digunakan, dan di Indonesia sampai saat ini masih
menggunakan istilah “ilmu perbandingan agama”.[110]
Istila ketiga yang juga sinonim bagi ilmu perbandingan
agama adalah Phenomenology of Religion, atau fenomenologi agama.[111] Sebagaimana perbandingan
agama, nama ini juga berasal dari salah satu metode disiplin studi agama yang
mendapatkan sambutan yang luas. Nama keempat yang juga digunakan secara luas
adalah History of Religions, bahkan nama ini digunakan secara resmi sebagai
nama asosiasi internasional studi agama, yaitu Internasional Association for
the History of Religion, didirikan tahun 1951 di Denhaag. Selain itu masih
banyak nama-nama lain disiplin ilmu ini, sesuai pendekatan yang digunakan yang
kemudian menjadi disiplin-displin ilmu baru dan atau menjadi cabang ilmu agama.[112] Sehingga dikenallah
Arkeologi Agama, Filologi Agama, Antropologi Agama, Sosiologi Agama, Psikologi
Agama dan lain-lain.
Melihat realitas bahwa nama disiplin ilmu ini sangatlah
beragam, dan untuk menfokuskan penelitian sesuai judul tesis ini, maka dalam
penelitian ini menggunakan istilah “ilmu perbandingan agama”.
Istilah ilmu perbandingan agama sebagai istilah teknis
merupakan terjemahan secara harfiah dari istilah Inggris The Comparative
Study of Religion, yang biasanya diperpendek sebagai Comparative
Religion.[113]
F. de Graeve mengajukan sebuah definisi yang cukup mewakili pemahaman
sarjana-sarjana Barat terhadap kajian perbandingan agama. Graeve mengatakan
bahwa kajian perbandingan agama sebenarnya adalah cabang kajian non-normatif
tentang agama-agama yang menyelidiki secara ilmiah persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan antara berbagai agama atau berbagai gejala keagamaan, agar
tidak hanya mencapai suatu pemahaman komprehensif tentang objek itu sendiri
tetapi juga menentukan adanya--watak dan sifat—atau tidak adanya pengaruh
timbale balik atau sepihak anata berbagai agama atau berbagai gejala keagamaan.[114]
Dari definisi ini dapat kita simpulkan bahwa dalam
pemahaman Barat kajian perbandingan agama bersifat non-normatif karena ia
adalah kajian “ilmiah” dan sebagai kajian “ilmiah” tentu ia tidak memberikan
penilaian apakah suatu agama benar atau sesat. Seorang pengkaji kajian
perbandingan agama tidak akan mencari kelemahan-kelemahan agama lain untuk menunjukkan
keunggulan-keunggulan agamanya sendiri.
2. Sejarah Perkembangannya
Dalam bagian ini akan diuraikan secara rinci sejarah
perkembangan ilmu perbandingan agama di dunia Barat sejak zaman Yunani Kuno,
zaman pencerahan hingga zaman modern.
a.
Zaman Yunani dan Romawi Kuno
Dikalangan bangsa Yunani dan Romawi kuno, rasa tertarik
terhadap agama lain sudah dapat ditemukan. Kajian tentang agama-agama mulai
didokumentasikan sejak abad ke-5 SM. Minat terhadap agama-agama itu terwujud
dalam dua bentuk: pertama, melalui catatan-catatan oleh para pengembara
yang mengisahkan tentang kultus dan ritus berbagai agama yang mereka temui.
Kemudian dibandingkan dengan agama Yunani sendiri, dan kedua, melalui
kritik filosofis terhadap agama tradisional.[115]
Heredotus yang hidup pada tahun 484-425 SM adalah salah
satu sejarawan Yunani yang telah mengunjungi lebih dari 50 bangsa yang
berbeda-beda. Dia telah banyak mencatat tentang adat dan kebiasaan, baik yang
bersifat sekular maupun yang bersifat agamis yang sebagian catatannya itu
sangat terperinci.[116] Pengembara lainnya yang
juga sangat tertarik pada agama-agama asing adalah Demokritos (c. 460-370 SM),
catatan-catatan pengembaraannya dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Sacred
Writings of Babylon (Tulisan Suci dari Babilonia), demikian juga Chaldean
Treatise (buku tetang Kaldean) dan Phrygian Treatise (Buku tentang
Prigian). Selain mereka Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) juga
melakukan kajian tentang agama-agama.[117]
Sedangkan kajian agama dalam bentuk kritik filosofis
tampak jelas dalam karya Xenophanes dari Colophon (l.k. 570-475 SM). Ia sering
dianggap sebagai awal dari tradisi panjang sikap kritis terhadap agama asli dan
menjadi ciri utama pemikiran filosofis Yunani. Menurut Xenophanes, tidak
seorang pun dapat tahu tentang sesuatu yang menyangkut hakikat para dewa,
karena semua yang dikatakan tentang dewa-dewa tersebut hanya merupakan pendapat
(doxa) saja. Agama masyarakat Yunani ketika itu dikritiknya melalui dua arah,
yaitu dari sifatnya yang antroporfis dan dari sifatnya yang immoral.[118] Demikian juga Parmenides
(lahir c. 520 SM) dan Empedokles (c. 495-435 SM) berpendapat bahwa dewa-dewa
itu tidak lain hanyalah personifikasi dari berbagai kekuatan Alam.
Pada masa pemerintahan Alexander Agung, kajian-kajian
agama semakin terbuka luas. Pada masa ini banyak karya studi agama yang
dihasilkan. Dan untuk pertama kalinya studi agama-agama telah dikelompokkan
menurut tempat asal-usulnya.[119]
Adapun yang paling banyak memberikan pengaruh pada
zaman kuno ini adalah golongan Stois, dengan mengembangkan metode interpretasi
alegoris. Menurut mereka bahwa sebenarnya dewa-dewa itu menunjukkan kepada
Tuhan yang tunggal, dan agama-agama yang berbeda-beda sebenarnya juga
pengespresikan kebenaran yang sama—hanya berbeda istilahnya saja. Kepercayaan
seperti ini mereka sebut natural religion. Dikemudian hari gema metode
semacam ini dapat ditemukan dalam karya Max Muller pada akhir abad ke-19.[120]
Sikap penulis-penulis Yunani di atas jauh berbeda
dengan penulis-penulis Kristen-Yahudi yang bersikap eksklusif dan intoleran
dalam persoalan agama. Dalam pandangan bangsa Yahudi-Kristen, semua agama lain
pasti salah, mereka berusaha keras membuktikan kepalsuan agama-agama selain
Kristen atau Yahudi. Baik perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sama sekali
tidak memperlihatkan pandangan yang positif dan objektif terhadap agama-agama
lain. Dalam pandangan Perjanjian Baru sangat fatal menjalin hubungan apapun
dengan pemeluk agama-agama lain. Teori-teori biblikal menyatakan agama non-
Kristen merupakan karya syetan atau ruh-ruh jahat lainnya, yang sering
dikemukakan oleh para apologis Kristen abad kedua Masehi, seprti Justin Martyr,
Tatian, Minucius Felix, Tertullian dan Cyprian.[121]
Agustinus dalam bukunya The City of God, dan Paulus Orosius dalam Histories
merupakan penolakan terakhir kepada Paganisme.
b.
Zaman Pencerahan
Pada zaman Renaisan kembali ditemukan dan dihidupkan
penyelidikan agama pagan, terutama karena popularitas interpretasi alegoris
dari neo-Platonisme. Marsilio Ficino (1433-1499) mengkaji Porphyry, pseudo
Iamblichus, dan Hermes Trismegestus, kemudian menulis Platonic Theology; ia
menganggap murid Platinus sebagai penafsir paling otoritatif terhadap Plato.
Kaum humanis meyakini bahwa ada suatu tradisi yang sama dalam semua agama,dan
bahwa itu sudah cukup untuk keselamatan manusia. Akhirnya dalam analisis akhir
semua agama memiliki nilai yang sama.
Pada tahun 1530 muncul buku yang pertama tentang
sejarah agama secara umum berjudul The Customs, Laws and Rites of all
Peoples karya Jean Boem dari ordo Teutonik; buku ini berisi uraian tentang
kepercayaan masyarakat di Afrika, Asia dan Eropa.[122]
Tokoh yang merupakan mata rantai yang menghubungkan
zaman pertengahan dan zaman Renaisan adalah Giovani Boccaccio (1313-1375)
dengan karyanya Genealogy of the Gods. Buku ini merupakan usaha untuk
mensistematiskan keseluruhan mitologi klasik yang dikenal pada zamannya.
Salah satu tokoh pengkritik agama pada zamannya yang
juga penting untuk disebutkan adalah Lord Herbert dari Cherbuty (1583-1648). Ia
adalah salah seorang rasionalis yang mula-mula menyatakan secara sistematis
bentuk-bentuk prinsip dewa dalam agama. Yang menjadi dasar teorinya adalah
hubungan ide ‘insting alam’ dengan ‘pengertian umum’. Agama seharusnya memiliki
pengertian umum, sebab agama dijumpai pada setiap bangsa dan setiap periode.
Dalam sejarah studi agama teori Lord Herbert ini penting dikarenakan setelah
dia studi agama secara bertahap telah menjadi lebih ilmiah serta lebih
objektif. [123]
Kemudian muncul para skeptis yang berani memperlakukan
agama sebagai sesuatu yang netral. Thomas Hobbes (1588-1679) seorang filosof
Inggris yang skeptis menyatakan bahwa agama lahir dari rasa gelisah dan rasa
takut manusia, sehingga ia mulai mencari sesuatu. Lambat laun manusia menjumpai
kekuatan gaib yang merupakan permulaan lahirnya agama dengan alasan khayalan
yang berbeda-beda.[124]
Selanjutnya pada periode ini mulai bermunculan
teori-teori lahirnya agama manusia, Giambatista Vico ( 1688-1744), dalam
karyanya New Science (1725) menyebutkan suatu sintesis dari berbagai
teori sebelumnya. Secara singkat isi buku ini mensekularisasikan sejarah
kehidupan manusia dan sejarah agama.
Vico berkeyakinan segala perubahan yang terjadi dalam sejarah manusia,
perbedaan antara susunan sosial yang sezaman dan perbedaan sistem keagamaan
bukan kehendak Tuhan , melainkan disebabkan oleh perubahan pemikiran dan
keinginan manusia itu sendiri. Disamping itu ada David Hume (1711-1776) yang
juga menyajikan teori yang lengkap mengenai asal-usul agama dan perkembangan
monoteisme.
Charles de Broses (1707-77) pada tahun 1760,
memperkenalkan istilah fetishisme ke dalam bahasa-bahasa Eropa.
Pemikiran orisinil ini mengganti teori asal usul agama politheisme dengan
teori fetishisme.
Kemudian muncul August Comte (1798-1857) yang menciptakan
konsep ilmu sosiologi, menurut Comte agama tidak bisa menstabilkan masyarakat
dan tidak bisa membentuk masyarakat menjadi permanen, sehingga harus diganti
dengan sains. [125]
c.
Zaman Modern
Memasuki abad ke-17 dan abad ke-18, penyelidikan
terhadap masalah Sinologi dan agama-agama semakin terbuka luas.[126] Di masa inilah istilah
“perbandingan agama” atau “ilmu perbandingan agama” atau “sejarah agama” yang
menunjuk pada suatu disiplin ilmu atau suatu metodologi dalam mempelajari
agama-agama lahir. Kelahiran ilmu baru ini ditandai dengan lahirnya karya-karya
Fedrick Max Muller (1823-1900) yang mengemukakan secara jelas kemungkinan
adanya “ilmu agama”. Karyanya Essay on Comparative Mythology (1856)
merupakan awal dari rangkaian kajian panjang Max Muller bersama para pengikut
teorinya.[127] Tahun 1867 terbit karya
Max Muller Chips From a German Workshop, yang di dalamnya dengan tegas
ditulis nama Religion Wissenchaft.[128]
Kemudian pada tanggal 19 Februari 1870 di Royal Institution di London, Max
Muller menyampaikan ceramanya tentang ilmu perbandingan agama. Ia mengatakan:
Ilmu
agama yang didasarkan kepada perbandingan agama-agama yang tidak memihak dan
benar-benar ilmiah, atau paling tidak, agama-agama yang paling penting dari
ummat manusia, sekarang ini hanya merupakan masalah waktu. Ia dituntut oleh
orang-orang yang suaranya tidak bisa diabaikan. Namanya, sekalipun masih
merupakan suatu janji daripada memenuhi kebutuhan, telah banyak dikenal di
Jerman, Prancis, dan Amerika; masalah-masalah besar telah menarik perhatian peneliti,
dan hasilnya diharap-harapkan dengan khawatir maupun dengan gembira. Oleh
karena itu menjadi kewajiban bagi mereka yang mencurahkan hidupnya untuk
mempelajari agama-agama besar dunia dalam dokumen-dokumennya yang asli, dan
yang menilai agama dan menghargainya dalam bentuk apapun agama itu menampakkan
dirinya, untuk mulai menggarap wilayah baru ini dengan nama ilmu yang
sebenarnya.[129]
Ceramah Max Muller ini diterbitkan tiga tahun kemudian
dengan judul Introduction to the Science of Religion (1873). Sebuah
buku yang dianggap sebagai dokumen besar bagi perbandingan agama di dunia yang
berbahasa Inggris. Meskipun bahasan Max Muller ini bukanlah sesuatu yang baru
di dunia Barat, tetapi Muller lah yang pertama-tama melakukan usaha
mensistematiskan bahan-bahan dari studi
ini untuk diatur dalam metode yang jelas dan menjadikannya suatu “ilmu”.
Sarjana-sarjana pengikut Max Muller menamakannya “the
science of religion” (di Prancis la science de religion, di Jerman
Religionswissenschaft); sedangkan sarjana-sarjana lainnya memilih untuk
menekankan keharusan adanya perbandingan dan memilih studi ini dengan nama “the
comparative study of religion” atau “comparative religion”.[130]
Untuk pertama kali ilmu ini diajarkan pada Fakultas
Teologia Universitas Genewa, Swiss tahun 1868 dengan nama Allegemaine
Religionsgeschicte, namun jabatan dosennya baru terbentuk tahun 1873. Demikian
juga di Universitas Zurich membentuk jabatan dosen dalam mata kuliah History of
Religions and Biblical Geography. Beberapa tahun kemudian tempat pengajaran
ilmu perbandingan agama terpenting berpusat di Universitas Besel Swiss, dimana
para guru besar terkenal seperti Van Oralli dan Alfred Bartholot bertindak
sebagai tuan rumah Kongres Internasional Sejarah Agama Kedua yang
diselenggarakan tahun 1904.[131] Kemudian hal serupa
terjadi di Belanda, Prancis, Belgia, Jerman dan Inggris.
Atas inisiatif seksi ilmu agama-agama, tahun 1900 di
Paris untuk pertama kalinya diselenggarakan Kongres Internasional Sejarah
Agama-agama, bertindak sebagai presiden kongres adalah Albert Meville serta
mengangkat presiden kehormatan bagi Max Muller dan C.P. Tiele.[132]
Berbagai gerakan lain juga muncul menjelang akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Ada Emile Durkheim (1858-1917) yang meyakini bahwa
ia telah menemukan penjelasan agama yang bersifat sosiologis dalam bentuk
totemisme (totem menunjuk pada binatang yang namanya dijadikan nama suku/klan
dan dianggap nenek moyang mereka). Dalam pandangan Durkheim dewa klan itu
adalah klan itu sendiri yang dijadikan dewa dan totemisme itu adalah bentuk
agama yang paling rendah. Sarjana lain yang sezaman Durkheim adalah Lucien
Levy-Bruhl (1857-1939) mencoba membuktikan sebuah hipotesis sosiologis bahwa
perilaku keagamaan dapat dijelaskan melalui mentalitas pra-logika dari
orang-orang primitif.
Kajian hipotesis-hipotesis sosiologis ini telah
berpengaruh terhadap studi perbandingan agama, demikian juga para etnolog yang
terus berusaha untuk melakukan pendekatan melalui disiplin mereka sebagai
sebuah disiplin historis, yang tentu saja kajian-kajian ini memberikan
kontribusi yang penting bagi studi perbandingan agama. Diantara etnolog yang
berorientasi historis ini adalah: F. Graebner, Leo Frobenius, W.W. Rivers, dan
Wilhelm Scmidt di Eropa dan Frans Boas di Amerika. Selanjutnya penjelasan psikologi
terhadap agama juga telah dimulai oleh Wilhelm Wundt (1832-1920), Willam James
(1842-1910), dan Sigmund Freud (1856-1939). Sedangkan fenomenologi agama yang
pertama oleh Gerardus Van der Leew (1890-1950).
Dewasa ini, sejarawan agama terbagi dalam dua wilayah
besar berdasarkan orientasi metodologisnya, yang berbeda tapi saling
melengkapi. Pertama mengarahkan penelitiannya kepada struktur fenomena
keagamaan dengan berusaha memahami esensi agama. Kedua lebih memilih
mengkaji konteks historisnya, untuk menemukan dan mengkomunikasikan sejarahnya.[133]
4. Memahami Agama Orang Lain
Memahami agama orang lain dalam konsepsi
sarjana-sarjana agama Barat dapat kita rujuk kepada beberapa tokoh dalam bidang
ini, diantaranya adalah Max Muller. Ia mengingatkan bahwa dalam kegiatan kajian
ilmu perbandingan agama tidak ada obyek persembahan yang direndahkan, tidak ada
sekte yang diremehkan, tidak ada kitab suci yang diejek, bahkan semua bentuk
peribadatan dihormati, dan semuanya akan dihargai secara ilmiah.[134] Makna dari pesan Max
Muller ini adalah bahwa setiap peniliti ilmu perbandingan agama dalam
penelitiannya tidak boleh merugikan agama yang diteliti, dia harus menghormati
dan menyajikan data hasil penelitiannya apa adanya.
Sedangkan Wilfred C. Smith, berpendapat bahwa sikap yang harus
ditunjukkan seseorang dalam menghadapi agama orang lain adalah apa yang
dinamakan personalization, yang diklaimnya sebagai perbaikan dari
sikap-sikap selama ini dalam memandang dan menilai agama lain. Tesis Smith ini
diuraikan dalam salah satu bukunya “Comparative Religion: Whither—and Why?”.
Personalization melalui beberapa tahap, dimulai dengan menghadirkan impersonal,
menganggap obyeknya sebagai benda, sebagai
“it”[135], kemudian menjadi personalization,
tidak lagi menganggap obyeknya sebagai benda tetapi sebagai orang. Yang
mula-mula dianggap sebagai orang ketiga “they”[136],
lalu sebagai orang kedua “you”, sehingga terjadi mendengarkan secara
timbal-balik (dialog), maka menjadi kami “we” [137]
berbicara dengan engkau “you”, dan puncaknya adalah “we all”[138]
are talking with each other about us (kita berbicara bersama tentang kita).[139]
Intinya tidak jauh berbeda dengan Max Muller bahwa
dalam studi agama seseorang tidak dibenarkan menganggap agama orang lain lebih
rendah dari agamanya, terlebih sampai menyalahkan dan menghina agama tersebut.
Adapun Joachim Wach mengemukakan bahwa sepintas tidak
mungkin seseorang memahamai agama yang bukan agamanya sendiri. Padahal hal ini
bisa saja terjadi. Bukankah seorang sarjana agama A lebih mungkin memahami agama
B dibandingkan dengan seorang yang awam atau bodah dari pemeluk agama B
tersebut. Karenanya keanggotaan resmi suatu agama tidak dapat dijadikan ukuran
untuk mencapai pemahaman tentang agama yang diikuti.[140]
Untuk memahami agama secara integral, Wach mensyaratkan
beberapa kelengkapan. Pertama, kelengkapan yang bersifat intelektual,
karena tidak mungkin memahami suatu agama atau gejala keagamaan tanpa adanya
informasi dan data yang cukup luas, sehingga penguasaan bahasa merupakan suatu
keharusan. Kedua, persyaratan emosional yang tepat. Sebab sebagaimana
diketahui agama adalah persoalan pribadi yang melibatkan akal, perasaan dan
kehendak. Ketiga, kemauan, ini sangat diperlukan dalam memahami agama
orang lain. Keinginan tahu yang pasif atau hasrat tidak mengabaikan perbedaan
status seseorang bukan hal yang baik dalam bidang ini. Ketidak tahuan, kemauan
yang tak terkendali, dan tidak adanya tujuan akan menghalangi akal sehat,
padahal akal menjanjikan keberhasilan pencapaian pemahaman. Keempat,
kelengkapan pengalaman, ini merupakan persyaratan utama dalam usaha memahami
agama orang lain. Siapa yang sudah mengetahui banyak hal tentang karakter
manusia, maka ia lebih memenuhi syarat untuk memahami agama orang lain. Karena
ia telah berhubungan dengan pemikiran-pemikiran manusia yang tercermin dalam
tingkah laku, perasaan dan cara berfikir yang berbeda-beda.[141]
Pandangan Wach ini bila dicermati lebih menekankan pada
partisipasi, yaitu seseorang yang ingin mengetahui dan memahami agama orang
lain meskipun jauh berbeda bahkan bertentangan dengan keyakinannya harus
mengambil bagian bahkan ikut serta dalam kebiasaan atau kegiatan agama yang
sedang diteliti. Jadi partisipasi ini dalam rangka menghayati agama yang sedang
dipelajari.
[1] Ali
Anwar dan Tono TP, Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama dan
Filsafat, Bandung: Pustaka Setia, 2005, hlm. 145
[2] Di antaranya adalah: Surat Al-Baqarah(2): 62,
yang menyebutkan keberadaan agama-agama slain Islam. Surat An-Nisa(4): 46,
menyebutkan beberapa sifat orang-orang Yahudi. Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an
lainnya yang berbicara tentang agama-agama di luar Islam.
[4] Lihat dialog lengkap Rasullah SAW dengan orang-orang Yahudi dalam hadits
yang diriwayatkan Imam Bukhari, hadits no. 3169 kitab Al-Jizyatu wa
Al-Muwada’atu. Dan hadits No. 6840 Hukum Bagi Ahli Dzimmi dan Perlindungan Mereka apabila Melakukan Perzinahan. Shahih Bukhari, Riyad: Darussalam, 1997, hlm. 646 dan hlm. 1436
[5] Bashori dan Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, Indramayu: Pustaka
Sayid Sabiq, 2010. Hlm.64-65
[6] Prof. Dr. A. Mukti Ali menyebutkan bahwa ada dua nama pemikir muslim yang
meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan agama yaitu Ali Ibn Hazm (994-1064)
dengan kitabnya Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal dan Muhammad Abd
al-Karim al-Syahrastani (1072-1153) yang menulis kitab al-Milal wa al-Nihlm.
Jauh sebelum Max Muller (1823-1900) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Perbandingan
Agama, karena dialah yang dianggap telah melakukan penelitan tentang agama
secara objektif dan dengan metode ilmiah dalam karya-karyanya. Lihat Mukti Ali
dalam Burhanuddin Daya (ed), dkk., Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia:
Beberapa Permasalahan, Jakarta: INIS, 1990, hlm. 5. dan juga Bashori dan
Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 62
[8] Djam’annuri, Ibn Hazm Tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Studi
Kitab Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal), dalam Journal al-Jami’ah, No.
59/1996, hlm. 227-228. Tulisan ini merupakan ringkasan Disertasi Doktoral
Djam’annuri pada Program Pasca Sarjana UIN SUKA Yogyakarta.
[9] Pembahasan terperinci dapat dilhat pada, Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastānī, al-Mila wa al-Nihal,
Beirut: Darus Surur, Jilid I-III, 1948.
[11]
Farah Antun lahir di Suriah 1947, dari keluarga Kristen Ortodok, salah satu
intelektual social dan politik diwilayah Arab. Tahun 1897 ia pindah ke Mesir
dan bergelut dibidang Jurnalistik, mendirikan majalah al-Jami’ah, pengusung
sekularisme dan menyebarkan nilai-nialai dibalik kemajuan perdaban Barat di
kawasan Timur Tengah. http://en.wikipedia.org/wiki/Farah_Antun/diakses
tanggal 12/12/2011
[12] Pembahasan lebih rinci tentang kesimpulan-kesempulan penyelidikan Abduh
dapat dilihat dalam, Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2,
hlm. 126-129
[13] Dr.
Anis Malik Thoha, pakar Perbandingan Agama di International Islamic University Malaysia (IIUM), dalam salah satu artikelnya yang berjudul
“Objectivity and the Scientific Study of Religion” menyimpulkan
bahwa “objektif” dalam al-Qur’an adalah bersikaf adil dalam segala hal (In the Qur’Én, this “objectivity” is associated with
al-adl (justice), a principle that must be enforced in all situations), termasuk adil terhadap objek yang diteliti. Dalam Jurnal Intellectual Discourse,
IIUMPress, VOL 17, No. 1/2009, hlm. 89
[15] Mirciea Hildea, The Sacred and the Prophane, New York and London:
Harcourt, Brace & World, Inc, 1959, hlm. 219. Dalam Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan
Agama, Jil. 2, hlm. 1
[19] Burhanuddin Daya, Herman Leonard Beck, Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda; Kumpulan Makalah Seminar,
Jakarta: INIS, 1992, hlm. 181
[21] Kusuma et. All (ed), Paradigma Baru Pendidikan Islam Rekaman Implementasi
IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007, Jakarta: IISEP
bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan tinggi Islam Direktorat Pendidikan
Islam DEPAG RI. Hlm. 10
[22] Adian Husaini dalam Makalahnya: Pemikiran Modern Ala Barat:Paradigma Baru Pendidikan
Islam di Indonesia/ http://www.insistnet.com/diakses
16 Agustus 2011
[23] Peran Harun Nasutiaon dan Mukti Ali dalam penyebaran metodologi Barat pada
studi Islam di IAIN sangat gamblang dipaparkan dalam 2 buku: pertama,
IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia dengan penyunting Fuad Jabali dan Jamhari, diterbitkan oleh CIDA bekerjasama
dengan Direktorat Pendidikan tinggi Islam Direktorat Pendidikan Islam DEPAG RI tahun 2002. Buku kedua adalah: Paradigma Baru
Pendidikan Islam, diterbitkan oleh IISEP bekerjasama dengan Direktorat
Pendidikan tinggi Islam Direktorat Pendidikan Islam DEPAG RI tahun 2008. Kedua buku tersebut ditulis oleh para alumni McGill,
untuk menunjukkan keberhasilan kerjasama McGill dan IAIN di Indonesia.
[24] Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama
di indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS, 1992, hlm. 181
[26] Ibid, hlm. 186
[27] Adburrahman, Burhanuddin Daya, Djam’annuri (ed), Agama dan Masyarakat:
70 Tahun H.A. Mukti Ali, Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993. hlm.29
[28]
Meskipun Abdul Mukti Ali sangat terpengaruh oleh konsep Wilfred C. Smith dalam
studi agama, ia tidak banyak mendapatkan materi metodologi ilmu perbandingan
agama yang merupakan bidang keahliannya dari Smith, karena Smith hanya
mengarang sebuah buku kecil yang merupakan materi kuliah yang ia sampaikan
berjudul : Comparative Religion, Why and Whether?. Selebihnya Abdul Mukti Ali
kembangkan yang selanjutnya dapat dijumpai bahwa pendekatan dan metodologi
Mukti Ali dalam studi ilmu perbandingan agama banyak dipengaruhi Joachim Wach.
Bandingkan buku Mukti Ali “Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan
Tentang Metodos dan Sistema dengan Joachim Wach, The Comparative Study
Of Religion, New York: Columbia University Press, 1958.
[29] Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed), Mentri-Mentri Agama RI: Biografi
Sosial Politik, Jakarta: PPIM, 1998. hlm. 282
[30] Abu
Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, (Hyderabad), 10-11 yang dikutip Fatimah
Abdullah dari M. M. Sharif, A History of Muslim philosophy, Wiesbaden:
Pakistan Philosophical Congress, 1963, 1:247 dalam Fatimah Abdullah, Konsep
Islam Sebagai Dîn Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN. al-Attas,
Majalah Islamia, Th. I / no. 3 /
September-November 2004, hlm. 50
[31]
Al-Bâqillânî, al-Tamhid, 345, dalam Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai
Dîn Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN. al-Attas, hlm. 51
[33] Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Dîn
Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN. al-Attas, hlm. 52
[34]
Muhammad ‘Abdullâh Darrâz, al-Dîn Buhūth Mumahi li Dirâsat al-Adyân,
Kuwait: Dâr al-Qalam, 1952, hlm. 52
[35]
Bahkan sebagian sarjana-sarjana Barat pun mengakui hal tersebut, diantaranya:
A. Jeffery dalam karyanya “Al-Biruni’s Contribution to Comparative Religion,”
dalam Al-Biruni: Commemoration Volume, Calcutta: Iran Society, 1951,
Theodore Pulcini, Exegesis as Polimenal Discourse: Ibn Hazm on Jewisy and
Christian Scriptures, Atlanta Georgia: Scholars Press, 1998, Eric J.
Sharpe, Comparative Religion A History, London: Gerald Duckworth and
Company Ltd., 1975. Uraian tentang pengakuan sarjana Barat akan disebutkan
lebih detail pada pembahasan berikutnya.
[36]
Pembahasan tentang sarjana-sarjana muslim dan karya-karya mereka dalam bidang
studi agama akan diuraikan pada sub judul : “Sejarah Perkembangan Ilmu
Perbandingan Agama dalam Khazanah Islam, Bab III”
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ( ال عمران: 85 )
[38] Ibrahim
Turki, ‘Ilmu Muqaranatu al-Adyan ‘Inda Mufakkiri al-Islam, Iskandaria:
Darul Wafa, 2002, hlm. 37
[39]
Lihat sub bahasan sebelumnya “Latar Belakang Studi Ilmu Perbandingan Agama
dalam Khazanah Islam”.
[40] Djam’annuri, Studi Agama-Agama Sejarah dan
Pemikiran, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003, hlm. 4-6
[41] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan:
Al-Yahufiyyah, Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, cet. 8, 1988, hlm.
25
[42] Ibid,
hlm. 26
[43] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan:
Al-Yahufiyyah, hlm. 27
[44] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqaranatu al-Adyan
‘Inda Mufakkiri al-Islam, hlm. 55
[45] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan:
Al-Yahufiyyah, hlm. 27. Lihat juga Muhammad Abdullah Darraz, al-Din
Buhuts Mumahhadah li Dirasah Tarikh al Adyan, Dar al-Qalam, 1371H/1952, hlm.
22
[47]
Diantara orientalis Barat adalah A. Jeffery, dalam tulisannya : “Al-Bîrûnî’s
Contribution to Comparative Religion,” dalam Al-Bîrûnî: Commemoration
Volume, Calcutta: Iran Society, 1951. W. Montgomery Watt dalam artikelnya: ” Bîrûnî and the study of non-Islamic Religions, http://www.fravahr.org/spip.php?article31n. dan
Bill Scheppler dalam “Al-Biruni: Master Astronomer and Muslim Scholar
of the Eleventh Century Persia, Rosen Publishing Grou, 2005.
[48] Muhammad Gharib Jaudah, Abaqirah Ulama’ Al-Hadharah wa al-Islamiyah,
diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida, 147
Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam, cet.1, Jakarta: al-Kautsar, 2007.
Hal. 249-251
[49] A.
Jeffery, “Al-Bîrûnî’s Contribution to Comparative Religion,” dalam Al-Bîrûnî:
Commemoration Volume (Calcutta: Iran Society, 1951), 125. Dalam Hilman
Latief, “Literatur Muslim Abad Pertengahan Tentang Agama dan Sekte: Sebuah
Survei Awal” http://www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Hilman%20Latief..rtf/
diakses tanggal 2 Agustus 2012
[50]
Wikipedia, Abū Rayḥān al-Bīrūnī, http://en.wikipedia.org/wiki/Abū_Rayḥān_al-Bīrūnī/
diakses taggal 3/8/2012
[51] Lihat Badri Yatim, Perkembangan
Historiografi Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009,
hlm. 104
[52] Wan
Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, hlm. 344
[54] Djam’annuri, Ibn Hazm Tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Studi
Kitab Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal), dalam Journal al-Jami’ah, No.
59/1996, hlm. 227-228. Lihat juga Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm wa Manhajuhû fî
Dirâsati al- Adyân, Cairo, Dâr al-Ma’ârif, 1983, hlm. 148-149
[55]
Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm wa Manhajuhû fî Dirâsati al- Adyân, hlm.
148-149. Kajian lebih mendalam tentang metodologi yang digunakan oleh Ibn Hazm
dalam studinya terhadap agama-agama dapat dibaca dalam kitab ini. Selain itu
ada beberapa penelitian berupa tesis yang mengkaji metode studi agama Ibn Hazm
seperti: Metode studi Agama Ibn Hazm: Sebuah kajian terhadap Kitab al-Fashl
fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal, oleh Bakhruddin Fannani, pada jurusan
Ilmu Perbandingan Agama Pasca Sarjana UGM Yogyakarta dan Ibn Hazm dan
Al-Syahrastani dalam diskursus ilmu perbandingan agama: Studi komparatif
terhadap metodologi Kitab "Al-Fasl" dan "Al-Milal wa al-Nihal,
oleh Sofiyan Hadi pada Universitas yang sama.
[56]
Lihat Will Durant, The Age of Faith, New York: Simon and Schuster, 1980.
[57]
Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad bin Utsman Az Zahabî, Siyar A’lam An-Nubalâ, Beirut:
al-Risâlah, Jil. 20, Cet. 11, 2001, hlm. 286-288
[58]
Muhammad bin Nâshir bin Shâlih al-Sîhibanî, Manhaj al-Syahrastânî fî Kitâbihî al-ilalwa al‑Nihal, Riyâd: Dâr
al-Wathan, 1412 H, hlm. 291
[59]
Lihat al-Syahrastânî, al-Milal wa
al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, Jil. I, 2003, hlm.
33-187
[60] Ibid,
hlm. 192-200
[61] Ibid, hlm. 201-209
[62] Ibid,
hlm. 216-225
[63] Lihat al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, Jil. II, 2003, hlm. 53-
209
[64]
Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqaranatu al-Adyan ‘Inda Mufakkiri al-Islam, hlm.
57
[65]
Mohammad ‘Abdullah al-Syarqâwî, Buhûts Fî Muqâranatu al-Adyân, Cairo,
Dâr Fikr al-‘Arabî, 2000, hlm. 35-37
[66]
Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, hlm. 28-29. Adapun
ayat-ayat yang menunjukkan kearah perbandingan agama diantaranya:
1 tíu° . Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷)الشورى الاية 13)
¨bÎ) .2 úïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 (أل عمران
الاية 19)
`tBur .3 Æ÷tGö;t uöxî ÄN»n=óM}$# $YYÏ `n=sù @t6ø)ã çm÷YÏB (أل عمران الاية 85)
[67]
Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, hlm. 29-30
[68] Ibid,
hlm. 30-31
[70]
Anis Malik Thoha, Religionswissenschaft, Antara Obyektivitas dan
Subyektivitas Praktisinya, Majalah ISLAMIA, Vol. III No. 1, 2006, hlm. 21
[71]
Program Maktabah Syamilah, Shahih Ibnu Hibban 2/361
[72]
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005, hlm. 175
[73]
Jasques Waardenburg, Reflections on the Study of Religion, The Huge:
Mouton, 1978, hlm. 9-21, dalam Anis Malik Thoha, Religionswissenschaft,
Antara Obyektivitas dan Subyektivitas Praktisinya, Majalah ISLAMIA, Vol III
No. 1, 2006, hlm. 17
[74]
Bulen Senay, An Other Introduction to Islam: The Myth of the Value-Free
Study of Religon, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 15,
No.2, 1998, hlm. 83-92, dalam Ibid.
[75]
Anis Malik Thoha, Religionswissenschaft, Antara Obyektivitas dan
Subyektivitas Praktisinya, hlm.21
[77]
Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm.
92-95
[78] Ibid,
hlm. 95-97
[79]
Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm.
99
[80] Muhammad Gharib Jaudah, Abaqirah Ulama’ Al-Hadharah wa al-Islamiyah,
diterjemahka oleh Muhyiddin Mas Rida, hlm. 252
[81]
Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm.
97-103
[82]
Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm.
103-108
[83]
Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm.
108-110
[84]Muhammad
bin Jarir At Thabari, Al Jâmi’ al Bayân fî Ta’wîl al Qur’ân, Tahqiq:
Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasah Al Risalah, 2000, Jilid 18, hal. 552
[85]
Raghib As Sirjani, Wa Syahida Syahidun min Ahliha, terj. Misbahul Munir,
Bandung: Sygma Publishing, 2010, hlm.
202. Ia mengutip buku Gustave le Bon, La Civilisation des Arabes, hlm. 135
[86]
Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’ân al ‘Adzîm, Jilid 1, hal. 682
[87] Sebagaimana hadits Nabi;
« اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة »
“Takutlah berbuat zalim, karena kezaliman
adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” [HR. Al-Bukhari (2447) dan Muslim
(2578)]
[88] Abu
Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi, Ma’âlim at Tanzîl, Tt; Dar at
Thayyibah li an Nashr, 1997, Jilid 7, hlm. 188
[89]
Misalnya pada situasi sulit perjanjian Hudaibiyah. Saat itu ada sejumlah
sahabat yang masih tertahan di Makkah, mereka dianiaya dan tidak mendapatkan
perlindungan. Salah satu dianara mereka Abu Basyir ra lari dari Makkah menuju
Madinah. Namun Rasulullah menolak kehadiran Abu Basyir, bukan karena
keislamannya, namun karena perjanjian yang terlah diputuskan dengan kafir
Makkah. Lihat, Ibnu Ishaq, As Sirah An Nabawiyah, Terj. Samson Rahman,
Jakarta: Akbar Media, 2012, hlm. 595
[90] Hal
itu berdasarkan hadits Nabi;
(من
قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة، وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang membunuh orang kafir
mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat
tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun” (oleh
Al-Bukhari no. 3166, Ibnu Majah no. 2686, Ahmad 2/186, dan An-Nasa’iy no.
4750.)
[91]
Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama; Tinjauan Kritism Jakarta:
Prespektif, 2005, hlm. 256
[92]
Dalam sebuah riwayat, ketika beliau memasuki Madinah, Rasulullah melihat
orang-orang bergembira pada sebuah hari raya diluar Islam. Nabi kemudian
bersabda;
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ
يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ
أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ
الْأَضْحَى
“Dahulu orang
jahiliyah memiliki dua hari untuk mereka bermain-main pada tiap tahunnya.”
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, dia
bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang kalian bisa bermain-main saat
itu. Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik dari
keduanya, yakni hari Fithri dan hari Adha.” Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al Albani, As Silsilah Ash Shahihah No. 2021
[93]
Uraian tentang teori-teori asal usul agama dalam pandangan Barat, sejak zaman
Yunani-Romawi kuno, hingga zaman modern dapat dibaca pada sub bab berikutnya
“sejarah perkembangannya”
[94]
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000, hlm. 14
[95]
E.B. Tylor, Mediavel Mind, I, Massachusset: Harvard University Press,
1929, hlm. 424. Dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm.
14
[96]
Allan Manzies, History of Religion, London: Joh Murray, 1922, hlm. 13. Ibid.
[97]
George Golloway, The Philosophy of Religion, Edinburgh: T.&T. Cark,
1935, hlm. 184. Ibid.
[98] Melford E. Spiro, Religion: Problems of
definition and Explanation, dalam Banton, Anthropological Approach to
the study of religion, London: Travistock, 1965, hlm. 96. Ibid.
[99]
Milton J. Yinger, The Scientific Study Of Religion, London:Macmillan,970,
hlm. 7. Ibid.
[100]
Ninnian Smart, Scinece of Religion
and the Sociology of Knowledge, New Jesey: Princeton University
Press, 1973, hlm. 15. Ibid.
[101]
Kathleen Bliss, The Future of Religion, New York: Penguin Books, 1972, hlm. ix.
Ibid.
[102]
John David Garcia, The Moral Society, A Moral Alternative to Death, New
York: The Julian Press, 1971, hlm. 10. Ibid.
[103]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI
Press, 2011, hlm. 1-2
[104]
Mark B. Woodhouse, A Preafece to Philosophy, Wadsworth publishing
Company, 1984, hlm. 91. dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama,
hlm. 18
[105]
Wilfred Cantwell Smith adalah salah satu tokoh perbandingan agama Barat yang
banyak mempengaruhi pemikiran Abdul Mukti Ali yang menjadi objek kajian tesis
ini. Pembahasan lengkap tentang pengaruh Smith terhadap Mukti Ali akan dibahas
pada bab III.
[106]
Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, London: SPCK,
1978, hlm. 17, dalam Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis,
hlm.74. Dengan gagasan ini eksistensi agama akan hilang, tidak aka ada lagi
benar atau salah pada suatu agama dan
yang terpenting adalah bahwa semua agama sama.
[107]
Teori Smith ini berlaku untuk semua agama termasuk Islam yang menurutnya, Islam
sebagai kata benda pun harus dilepaskan. Karena Islam juga seperti yang lain
mengalami refikasi baru saja pada era modern. Lihat catatan kaki Anis Malik
Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, no. 75, hlm.75
[108]
Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, hlm. 156. Smith
menjelaskan kedua konsep alternative agama ini dalam dua bab penuh dari bukunya
ini, yaitu bab 6: The Cumulative Tradition; dan bab 7: Faith dari halaman
154-192, kajian tentang “iman” ini juga dibahas secara mendetail pada karyanya
yang lain yaitu Wilfred Cantwell Smith, Faith
nd Belief, passim, Dalam Ibid. hlm. 75,
[109]
Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, hm. 156-157, Ibid.
[110]
H.A. Mukti Ali, Ilmu perbandingan Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1990, hlm. 3
[111]
Perdebatan mengenai fenomenologi agama, apakah termasuk sinonim, atau cabang
dan atau malah salah satu metode dari disiplin studi agama. Baca Herman L. Beck,
“Ilmu Perbandingan agama dan Fenomenologi Agama: Mencari Inti Sari Agama?”,
dalam Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di
indonesia dan Belanda, hlm. 47
[112]
Polemik tentang aliran, pendekatan dan nama serta pengertian disiplin ilmu
agama senantiasa mewarnai kajian agama sarjana-sarjana Barat dan sampai saat
ini tidak ada kata sepakat diantara mereka mengenai aliran, pendekatan dan nama
serta pengertian untuk ilmu ini.
[113]
Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di indonesia
dan Belanda, Jakarta: INIS, 1992, hlm. 50
[114] F.
de Graeve, Comparative Study of religion, New Catholic Encyclopaedia,
Vol. XII, New York, 1967, hlm. 250, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro
Prasetyo, Problem & prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta:
Depag RI, 2000, hlm. 1999
[115]
Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad
Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 63
[117] Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama
Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama,
hlm. 63-64
[118] Djam’annuri,
Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran, hlm. 2
[119] Ibid,
hlm. 3
[120] Ibid,
hlm. 3
[121] Ibid.
hlm. 4-5
[122]
Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad
Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 69
[124] Ibid,
hlm. 16
[125]
Ibid, hlm. 17-27
[126]
Eric J. Sharpe, Camparative Religion: A Histoy, hlm. 13, dalam Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2,
hlm. 28
[127]
Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad
Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 70
[129] Max
Muller, Introduction to the Science of Reriligion (1873) : 34f…dalam
H.A. Mukti Ali, Ilmu perbandingan Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1990, hlm. 1
[130]
H.A. Mukti Ali, Ilmu perbandingan Agama di Indonesia, hlm. 1-2
[131]
Eric J. Sharpe, Camparative Religion: A Histoy, hlm. 120. Dalam Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm.
28-29
[132] J.
Waardenbuurg, Religion, “Religoun Swissencechaft in Continental Europe”,
Including Scandinavia:, Humen, Vol. XXIII, tahun 1876, hlm. 220-223. Dalam Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2,
hlm. 30
[133]
Lihat Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 71-72 dan Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2,
hlm. 31-34
[134]
Jacques Wardenburg (ed), Classical Approaches to the studies of Religion, Vol.
I, Paris: Moutton-The Haque ,1973, hlm. 90, dalam Romdon, Metodologi
Ilmu Perbandingan Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996, hlm. 11
[135] “It”, bentuk tradisional yang biasa digunakan
orang Barat untuk membicarakan agama-agama (non-Kristen). “It” menunjukkan
sesuatu yang “impersonal”. Pada tahapan ini agama non-Kristen adalah agama yang
impersonal, masih asing, belum bisa dijadikan obyek kajian. Penjelasan
pronominal terms yang digunakan Smith ini dikutip dari Makalah Adeng Muchtar
Ghazali “Pluralisme dan Titik Temu Agama-Agama”, http://www.uinsgd.ac.id/read/karya_ilmiah/artikel-dosen/pluralisme-dan-titik-temu-agama-agama/
diakses tanggal 1 September 2012.
[136] “They”; agama yang impersonal menjadi
“personal”, sesuatu yang “asing” menjadi “dikenal” dan bisa didekati sebagai
obyek kajian. Pada tahapan ini, ada “pengakuan” bahwa agama-agama non-Kristen
(“they”) merupakan bagian dari komunitas manusia beragama. Ibid.
[137] “We”; sudah tercapai adanya hubungan yang
bersifat dialogis anatar agama Kristen dan non-Kristen. “We” mencakup “they”
dan “you”. “They” menunjukkan bahwa para penstudi memandang agama yuang
dikajinya sebagai obyek, dan penstudi berkedudukan hanya sebagai partisipan.
Sedangkan “you” menunjukkan adanay dialog yang harmonis, tadinya “we’re
speaking (to) you”, – kami berbicara (kepada) Anda, menjadi “we’re speaking
(with) you”, – kami berbicara (kepada) Anda. Di sini nampak, bahwa yang tadinya
“(to) you” sebagai obyek, berubah menjadi “(with) you” sama-sama sebagai
subyek. Ibid.
[138] “We all”;
merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya, sebagai tahapan terkahir dalam
personalisasi agama dengan menggunakan pronominal terms. Unsur kebersamaan dari
berbagai umat beragama yang berlainan, menjadi satu komunitas, satu sama lain
saling berbicara dan bertukar pikiran tentang agamanya. “We all” yang
dibicarakan tiada lain adalah “with each other about us” –marilah bersama-sama
berbicara tentang kita, yakni agama yang sedang kita anut dan tersebar di
seluruh pelosok dunia. Ibid.
[139]
Wilfred Cantwell Smith, Comparative Religion: Whither—and Why?, dalam
Mircea Eliade and Joseph M. Katigawa (ed), The History of Religion, Chicago
and London: University of Chicago Press, 1959, hlm. 34
[140]
Joachim Wach, The Comparative Study Of Religions, New York and London:
Columbia University Press, 1958, hlm. 10
[141] Joachim Wach, The Comparative Study Of
Religions, hlm. 11-13
0 comments:
Post a Comment