Friday, December 4, 2020

Sebuah Historis di Hari Milad GAM



Mentari mulai terbenam dan burung-burung beterbangan mencari tempat aman untuk istirahat. Sore itu sepertinya tidak seperti biasanya. Ibu saya di dalam memanggil saya untuk makan malam, karena suasana sepertinya mau hujan. Angin sesekali mulai agak kencang, hal ini terlihat di pepohonan yang bergoyang. Sesuai arah mata angin. Setelah makan malam, seperti biasa kita santai. 


Jam terus berjalan. Ibu mengatakan, gimana kalau besok pagi kita rebus labu yang ada di belakang. Namun malam itu juga kita memetik labu di belakang rumah. Labu yang ditanam ibu dekat pohon Mane yang batangnya naik ke pohon tersebut. 


Rumah kita memang terlalu jauh antara satu sama yang lain. Maklum saat itu memang penduduk belum sepadat saat ini.


Setelah kita rebus labu dan parut kelapa. Kemudian kita santap bersama. Kira-kira setelah makan itu, sekitar pukul 10 malam. 


Sekitar pukul 4 pagi adek saya bangun mau kencing. Saat itu ternyata rumah kita sudah di kepung oleh Tentara Indonesia yang saat itu Aceh masuk daerah operasi militer. 


Di kampung saya (Kp. Masjid - Nurussalam) memang kerap kali terjadi kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI. 


Orang meninggal karena tertembak atau diculik oleh TNI sudah hal biasa di daerah kami. Pengungsian juga sering kita lakukan dan bahkan adik saya yang masih bayi juga meninggal dunia di pengungsian. 


Hidup kita saat itu semakin susah, untuk bertahan hidup juga sudah susah. Karena untuk pergi bekerja kita takut untuk di culik tentara, atau kita tertembak saat terjadi kontak senjata. 


Kembali lagi ke rumah kami yang kepung oleh tentara. Setelah terdengar suara kami di dalam, para tentara langsung merusak jendela dan pintu rumah kami. Tentu saja jendela yang ala kadar saat itu langsung jatuh dan terbuka. 


Kita kaget dan panik sekeluarga. Setelah kita keluar, saya melihat tentara dari segala arah. Ujung senjata semua menuju ke rumah kita. 


Saat itu kita merasa mungkin ini terakhir kali kita hidup, setelah ini kita semua akan di tembak seperti yang kita dengar-dengar cerita selama ini. Peristiwa simpang KKA, krung Arakundo dan lain-lain. 


Kita semua di baris di depan rumah, ditanya dengan bahasa Indonesia. Saat itu saya tidak tau satu pun bahasa Indonesia. Kita ditakuti dengan senjata yang di arahkan ke kita. Saya sendiri sempat dibawa terpisah, karena saya yang tertua laki-laki di rumah. Padahal umur saya saat itu belum masuk 10 tahun. 


Saya diinterogasi secara terpisah, tentu semua pertanyaan saya jawab "Hana lon teupeu" (tidak tau). Setelah berkali-kali ditanya saya menjawab demikian. Akhirnya saya ditendang dengan pucuk senjata M16 pas di bagian perut. 


Saya hampir pingsan, sudah tidak bisa lagi menangis. Tidak bisa keluar suara. Ibu sangat takut dengan kondisi saya. 


Dari jam 4 pagi sampai sekitar 7 pagi baru kita di lepas. Kita pun menjadi trauma dengan kejadian itu. 


Keesokan saya baru tau saat ibu cerita kalau para tentara itu mencari bapak saya. Padahal bapak saya sudah meninggal pada tahun 2000. Daerah operasi militer saat presiden Megawati terjadi dari tahun 2002 dan kejadian penggeledahan rumah saya itu terjadi pada tahun 2003. 



Setelah kejadian itu rumah saya di pindahkan ke depan dekat jalan. Karena takut di belakang terlalu jauh dengan jalan dan juga dengan warga yang lain. Walaupun dekat jalan rumah-rumah disana tetap saja jauh-jauh. 


Kejadian selanjutnya rumah saya hampir dibakar paska terjadi kontak senjata di Simpang Punti. Saya dan keluarga saat itu berada di rumah saudara sedang ada pesta pernikahan. 


Namun untungnya rumah saya tidak jadi dibakar karena ada saudara kami yang sedang lewat dan menjelaskan kalau orang yang punya rumah sendang ada acara di Batubong. 


Konflik demi konflik terus kita lewati. Setelah tsunami yang menimpa Aceh. Lewat MOU Helsinki Finlandia akhirnya Aceh dinyatakan damai. 


Krue semeungat kepada para pejuang Aceh. Semoga para korban diberikan tempat terbaik oleh Allah SWT dan keluarga serta korban konflik diberikan ketabahan dalam hidupnya. 


Terima kasih para pejuang, wali Nanggroe (Moehammad Hasan Tiro), panglima tinggi, panglima sagoe, para janda korban konflik, mantan Kombatan, dan semua warga Aceh. Selamat Milad GAM ke 44, mari merawat perdamaian dan persatuan menuju Aceh Hebat.


Amriadi Al Masjidiy

(Warga Aceh yang saat ini tinggal di Jawa Barat)


SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: