A. Pengertian Shintoisme (agama Shinto)
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti
kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti
“jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh
langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang
berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin”
atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah,
negatif dan sebagainya.[1]
B.
Awal Mula Agama Shinto
Agama Shinto timbul pada zaman Prasejarah, namun siapa
pembangunnya tak dapat dikenal secara pasti. Penyebarannya ialah di Asia namun
penyebaran yang terbanyak ialah di Jepang.[2]
Sekitar abad 6 masehi agama Budha masuk ke Jepang dari Tiongkok dengan
melalui Korea. Satu abad kemudian agama itu telah berkembang dengan pesat.
Bahkan seiring berjalannya waktu agama Budha mampu mendesak agama Shinto. Akan
tetapi karena agama Shinto mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti
kepada raja, mka raja pun berusaha untuk melindungi agama Shinto tersebut.
Sehingga pada tahun 1396 agama Shinto ditetapkan sebagai agama Negara.[3]
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara
agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhirnya
mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa
Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan
hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha
ke dalam sistem keagamaan mereka.[4]
Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian
besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk
bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha.
Patung-patung dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan
dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi
lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.[5]
C.
Sistem Kepercayaan Agama Shinto
1.
Kepercayaan kepada “Kami”
Dalam agama Shinto yang merupakan
perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap
gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun
yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula
berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya
kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto),
daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
Istilah “Kami” dalam agama Shinto
dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan
untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih
bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Tradisi Shinto
mengenal beberapa nama Dewa yang bagi Shinto bisa juga berarti Tuhan yang dalam
bahasa Jepang disebut dengan istilah Kami atau Kamisama. Kamisama
ini bersemayam atau hidup di berbagai ruang dan tempat, baik benda mati maupun
benda hidup. Pohon, hutan, alam, sungai, batu besar, bunga sehingga wajib untuk
dihormati. Penamaan Tuhan dalam kepercayaan Shinto bisa dibilang sangat
sederhana yaitu kata Kami ditambah kata benda. Tuhan yang berdiam di
gunung akan menjadi Kami no Yama, kemudian Kami no Kawa (Tuhan Sungai), Kami no
Hana (Tuhan Bunga) dan Dewa/Tuhan tertingginya adalah Dewa Matahari (Ameterasu
Omikami) yang semuanya harus dihormati dan dirayakan dengan perayaan tertentu.[6]
Jadi inti dari konsep Tuhan dalam
kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu ”semua benda di dunia, baik
yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atu kekuatan
jadi wajib dihormati” . konsep ini memiliki pengaruh langsung didalam kehidupan
masyarakat Jepang.
2.
Hubungan antara Manusia dengan Tuhan (Dewa)
Hubungan antara Kami dengan manusia
menurut konsep Shinto juga cukup unik kaerna polanya cenderung tidak bersifat
Vertikal, namun lebih banyak bersifat horizontal. Kami hidup dan berada dibawah
gunung, hutan, laut, atau di tengah perkampungan penduduk yang ditandai dengan
berdirinya kuil penjaga desa.
Jadi konsep Tuhan di atas atau
langit dan manusia di bumi sepertinya kurang tepat untuk kepercayaan Shinto.
Mikoshi atau Dashi sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong
beramai-ramai selam festival di kuil mungkin salah satu contoh menarik. ”Kereta
Tuhan” ini tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang
guncangkan, dibentur-benturkan. Dinaiki beramai-ramai bahkan tidak jarang
diduduki pada bagian atapnya oleh beberarapa orang selama proses prosesi.
3. Konsep Dosa
Salah satu tokoh Shinto Shimogamo
Shrine mengatakan bahwa, Shinto tidak mengajarkan adanya perbuatan dosa. Jika
melakukan perbuatan tertentu yang menciptakan dosa seseorang harus mau
dibersihkan semata-mata untuk ketenangan pikiran sendiri dan nasib baik, dan
bukan karena dosa yang salah dalam dan dari dirinya sendiri. Perbuatan jahat
dan salah disebut "Kegare",. "cerah" atau hanya
"baik". Membunuh apa pun untuk dapat bertahan hidup harus dilakukan
dengan rasa syukur dan melanjutkan ibadah. Jepang Modern terus menempatkan
penekanan pada pentingnya "aisatsu" atau ritual frasa dan salam.
Sebelum makan, orang harus mengucapkan "itadakimasu",. "Saya
akan dengan rendah hati menerima", dalam rangka untuk menunjukkan rasa
syukur dari makanan pada khususnya dan umumnya kepada semua makhluk hidup yang
kehilangan nyawa mereka untuk membuat makanan. Kegagalan untuk menunjukkan rasa
hormat yang tepat adalah tanda kebanggaan dan kurangnya kepedulian terhadap
orang lain.
4. Konsep Surga dan Neraka
(ajaran dalam alam akhirat)
Sepertinya adalah hal yang umum
ditemukan pada ajaran agama ataupun kepercayaan primitif sekalipun. Shinto
sepertinya memiliki tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep surga dan neraka
hampir tidak disentuh sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa
dilihat dari hampir tidak ditemukannya ritual upacara kematian pada tradisi
Shinto. Ritual dan tata cara pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan dengan
tata cara agama Budha dan sisanya menggunakan ritual agama Kristen. Kuburan dan
tempat makam juga umumnya berada di bawah organisasi kedua agama tersebut.
Sepertinya ritual Shinto lebih difokuskan pada kehidupan pada kehidupan duniawi
atau kehidupan sekarang terutama yang berhubungan dengan alam khususnya
keselarasan antara manusia dengan alam sekitarnya.
5. Kitab Suci Agama Shinto
Kitab suci yang tertua dalam agama
Shinto itu ada dua buah, akan tetapi disusun sepuluh abad setelah meninggalnya
Jimmu Tenno sang Kaisar Jepang yang pertama, dan dua buah lagi disusun pada
masa belakangan, keempat kitab itu adalah :
a. Kojiki, yang
bermakna : catatan peristiwa purbakala disusun pada tahun 712 M, setelah
Kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara yang pada waktu itu ibu kota Nara
dibangun pada tahun 710 M, arsitek ini seperti ibukota Changan di Tiongkok.
b. Nihonji, yang
bermakna : riwayat Jepang, disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama
dengan dibantu sang pangeran di istananya.
c. Yengishiki,
yang bermakna : berbagai lembaga pada masa Yengi. Kitab itu disusun pada abad
ke 10 M terdiri atas lima puluh bab. Dan sepuluh bab yang pertama berisikan
ulasan kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus. Dan dilanjutkan dengan kisah
selanjutnya sampai abad ke 10 M, tetapi inti dari kitab ini ialah mencatat 25
buah Nurito, yakni do’a-do’a, atau pujaan yang sangat panjang pada berbagai
macam upacara keagamaan.
d. Manyoshiu, yang bermakna
: himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai, terdiri dari atas 4496
buah sajak, disusun antara abad ke 5 dengan abad ke 8 M.[7]
6. Peribadatan Agama Shinto
Agama Shinto sangat mementingkan
ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat
mistis.Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan
bersih.Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan
negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae).Karena itu
agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan
pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa
dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi
Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan
serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang
pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.[8]
7. Upacara Keagamaan dan
pemujaan
Pada setiapa hari kelahiran kaisar,
seluruh lembaga pendidikan di Jepang, atas perintah resmi, melakukan uapacara
yang kidmat dengan menundukan diri di depan gambar sang Kaisar. Kaisar itu
dipandang suatu yang sangat sakral, Kaisar tidak menampakan diri didepan umum.
Dalam upacara-upacara tertentu, pada saat kendaraan Kaisar melintas di jalan
besar, seorang yang boleh memandang dari atas kepala Kaisar dibawah. Segala
jendela pada setiap tingkatan atas itu mesti ditutup rapat.
Akan tetapi sehabis perang dunia
kedua, maka perubahan besar terjadi pada kekuasaan Kaisar yang absolut itu
telah digantikan kekuasaan rakyat melalui sitem pemilihan umum, dan kaisar
sudah ditempatkan pada lambang belaka, yang kini bukan lagi suatu yang sakral
akan tetapi dipandang sebagai manusia biasa, yang saat ini sudah bias bergaul
dengan masyarakat umum, sebuah keyakinan asazi dalam agama Shinto itu telah menghilang
tempat untuk berpijak.[9]
Selain itu juga ada beberpa peryaan yang biasnya di peringati oleh pemeluk agam
Shinto dan perayaan itu diadakan untuk tujuan tujuan yang berkenaan dengan
pusaka leluhur, pengudusan, pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak puncak
perayaan diadakan pada tahun baru, saat menanam padi pada musim semi dan pada
saat panen pada musim gugur, musim semi dan musim gugur adalah saat untuk
menghormati leluhur dan mengunjungi makamnya, selama perayaan kami sering
diarak melewati jalan jalan dalam tempat pemujaan yang bisa dibawa bawa untuk
membuat setiap orang yakin bahwa kami sedang mengunjungi masyarakat untuk
memberikan perlindungan.[10]
D.
Sekte-sekte Agama Shinto
Secara umum Shinto bisa dikelompokkan menjadi 4 bagian atau kelompok.
Yang masing masing mempunyai keunikannya tersendiri.
1) Imperial
Shinto (Kyuchu Shinto atau Koshitsu Shinto).
kelompok ini sangat sulit ditemukan. Karena hanya memiliki
beberapa kuil saja yang kalau tidak salah 5 buah di seluruh negeri. Nama kuil
ini biasanya berakhir dengan nama Jingu, misalnya Heinan Jingu, Meiji Jingu,
Ise Jingu dll. Kuil Shinto kelompok ini selain berfungsi sebagai tempat untuk
memuja Kami juga berfungsi sebagai tempat memuja leluhur khususnya keluarga
kerajaan. Salah satu dari kuil ini dibangun khusus untuk menghormati dewa
Matahari.
2)
Folk Shinto (Minzoku Shinto)
Mithyologi tentang Kojiki, cerita terbentuknya pulau Jepang
dan cerita tentang dewa dewa lain adalah ciri khas dari Shinto kelompok ini.
Jadi Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita tua, legenda,
hikayat dan cerita sejarah. Kuil Kibitsu Jinja yang terletak di daerah Okayama,
Jepang tengah adalah salah satu contoh menarik karena dibangun untuk
menghormati tokoh utama dalam cerita rakyat yaitu Momo Taro.
Disamping itu Shinto kelompok ini juga mendapat pengaruh
yang kuat dari agama Buddha, Konghucu, Tao dan ajaran penduduk local seperti
Shamanism, praktek penyembuhan dan lain-lain. Kuil kelompok ini biasanya mudah
dibedakan dengan kuil lainya karena adanya sejarah pendirian kuil yang unik.
Jadi jangan kaget kalau Anda menemukan kuil yang penuh dengan ornament dan
pernak pernik kucing atau binatang dan benda lainya karena sejarah pendiriannya
yang memang berkaitan dengan binatang tersebut.
3)
Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto)
Shinto kelompok ini mulai muncul pada abad ke 19 dan sampai
saat ini memiliki kurang lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini yang cukup
banyak pengikutnya adalah Tenrikyo atau Kenkokyo. Keberadaan dari Sect Shinto ini
cukup unik karena memiliki ajaran, doktrin, pemimpin atau pendiri yang dianggap
sebagai nabi dan yang terpenting biasanya menggolongkan diri dengan tegas
sebagai penganut monotheisme. Shinto golongan ini sepertinya jarang dibahas
ataupun kurang dikenal oleh kebanyakan orang.sehingga konsep monotheisme dari
shinto aliran baru nyaris luput dari tulisan kebanyakan orang.
4)
Shrine Shinto (Jinja Shinto)
Dari semua kelompok kuil Shinto yang ada, kelompok inilah
yang sepertinya paling mudah untuk ditemukan. Diperkirakan saat ini ada sekitar
80 ribuan kuil yang ada di seluruh negeri dan semuanya tergabung dalam satu
organisasi besar yaitu Association of Shinto Shrines.[11]
Penutup
Agama shinto di Jepang itu tumbuh
dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk, bukan datang dari luar.
Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Shinto (dari
bahasa Cina Shen dan Tao, yang berarti "Jalan dari Jiwa-jiwa") disebut
Kami-no-michi dalam bahasa Jepang, kami adalah banyak Dewa atau jiwa alam.
Sistem ketuhanan agama Shinto
dikenal dengan Kami. Menurut masyarakat Jepang kuno, istilah Kami ditujukan
untuk menyebut suatu kekuatan atau kekuasaan tertentu yang terdapat dalam
berbagai hal atau benda, tanpa membedakan apakah objek tersebut hidup atau
mati.
Ada unsur Kami dalam segala hal atau
benda, telah menguatkan bahwa konsep kepercayaan yang diusung oleh agama Shinto
lebih mengarah poleteistis murni. Ritual dalam agama Shinto bertempat di kuil
yang biasa di kenal dengan Jinja. Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam
kuil Shinto sangat sederhana, yaitu dengan melemparkan uang logam sebagai
sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai.
0 comments:
Post a Comment