Saturday, September 19, 2015

Agama Shinto

 Berkas:Shinto torii icon vermillion.svg
A.    Pengertian Shintoisme (agama Shinto)
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti  “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya.[1]

B.     Awal Mula Agama Shinto
Agama Shinto timbul pada zaman Prasejarah, namun siapa pembangunnya tak dapat dikenal secara pasti. Penyebarannya ialah di Asia namun penyebaran yang terbanyak ialah di Jepang.[2] Sekitar abad 6 masehi agama Budha masuk ke  Jepang dari Tiongkok dengan melalui Korea. Satu abad kemudian agama itu telah berkembang dengan pesat. Bahkan seiring berjalannya waktu agama Budha mampu mendesak agama Shinto. Akan tetapi karena agama Shinto mengajarkan penganutnya untuk memuja dan berbakti kepada raja, mka raja pun berusaha untuk melindungi agama Shinto tersebut. Sehingga pada tahun 1396 agama Shinto ditetapkan sebagai agama Negara.[3]
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhirnya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka.[4]
Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patung dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.[5]

C.    Sistem Kepercayaan Agama Shinto
1.      Kepercayaan kepada “Kami”
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Tradisi Shinto mengenal beberapa nama Dewa yang bagi Shinto bisa juga berarti Tuhan yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah Kami atau Kamisama. Kamisama ini bersemayam atau hidup di berbagai ruang dan tempat, baik benda mati maupun benda hidup. Pohon, hutan, alam, sungai, batu besar, bunga sehingga wajib untuk dihormati. Penamaan Tuhan dalam kepercayaan Shinto bisa dibilang sangat sederhana yaitu kata Kami ditambah kata benda. Tuhan yang berdiam di gunung akan menjadi Kami no Yama, kemudian Kami no Kawa (Tuhan Sungai), Kami no Hana (Tuhan Bunga) dan Dewa/Tuhan tertingginya adalah Dewa Matahari (Ameterasu Omikami) yang semuanya harus dihormati dan dirayakan dengan perayaan tertentu.[6]
Jadi inti dari konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu ”semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atu kekuatan jadi wajib dihormati” . konsep ini memiliki pengaruh langsung didalam kehidupan masyarakat Jepang.
2.      Hubungan antara Manusia dengan Tuhan (Dewa)
Hubungan antara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto juga cukup unik kaerna polanya cenderung tidak bersifat Vertikal, namun lebih banyak bersifat horizontal. Kami hidup dan berada dibawah gunung, hutan, laut, atau di tengah perkampungan penduduk yang ditandai dengan berdirinya kuil penjaga desa. 
Jadi konsep Tuhan di atas atau langit dan manusia di bumi sepertinya kurang tepat untuk kepercayaan Shinto. Mikoshi atau Dashi sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai-ramai selam festival di kuil mungkin salah satu contoh menarik. ”Kereta Tuhan” ini tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang guncangkan, dibentur-benturkan. Dinaiki beramai-ramai bahkan tidak jarang diduduki pada bagian atapnya oleh beberarapa orang selama proses prosesi.
3.      Konsep Dosa
Salah satu tokoh Shinto Shimogamo Shrine mengatakan bahwa, Shinto tidak mengajarkan adanya perbuatan dosa. Jika melakukan perbuatan tertentu yang menciptakan dosa seseorang harus mau dibersihkan semata-mata untuk ketenangan pikiran sendiri dan nasib baik, dan bukan karena dosa yang salah dalam dan dari dirinya sendiri. Perbuatan jahat dan salah disebut "Kegare",. "cerah" atau hanya "baik". Membunuh apa pun untuk dapat bertahan hidup harus dilakukan dengan rasa syukur dan melanjutkan ibadah. Jepang Modern terus menempatkan penekanan pada pentingnya "aisatsu" atau ritual frasa dan salam. Sebelum makan, orang harus mengucapkan "itadakimasu",. "Saya akan dengan rendah hati menerima", dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur dari makanan pada khususnya dan umumnya kepada semua makhluk hidup yang kehilangan nyawa mereka untuk membuat makanan. Kegagalan untuk menunjukkan rasa hormat yang tepat adalah tanda kebanggaan dan kurangnya kepedulian terhadap orang lain. 
4.      Konsep Surga dan Neraka (ajaran dalam alam akhirat)
Sepertinya adalah hal yang umum ditemukan pada ajaran agama ataupun kepercayaan primitif sekalipun. Shinto sepertinya memiliki tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep surga dan neraka hampir tidak disentuh sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa dilihat dari hampir tidak ditemukannya ritual upacara kematian pada tradisi Shinto. Ritual dan tata cara pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan dengan tata cara agama Budha dan sisanya menggunakan ritual agama Kristen. Kuburan dan tempat makam juga umumnya berada di bawah organisasi kedua agama tersebut. Sepertinya ritual Shinto lebih difokuskan pada kehidupan pada kehidupan duniawi atau kehidupan sekarang terutama yang berhubungan dengan alam khususnya keselarasan antara manusia dengan alam sekitarnya.
5.      Kitab Suci Agama Shinto
Kitab suci yang tertua dalam agama Shinto itu ada dua buah, akan tetapi disusun sepuluh abad setelah meninggalnya Jimmu Tenno sang Kaisar Jepang yang pertama, dan dua buah lagi disusun pada masa belakangan, keempat kitab itu adalah :
a.       Kojiki, yang bermakna : catatan peristiwa purbakala disusun pada tahun 712 M, setelah Kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara yang pada waktu itu ibu kota Nara dibangun pada tahun 710 M, arsitek ini seperti ibukota Changan di Tiongkok.
b.      Nihonji, yang bermakna : riwayat Jepang, disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu sang pangeran di istananya.
c.       Yengishiki, yang bermakna : berbagai lembaga pada masa Yengi. Kitab itu disusun pada abad ke 10 M terdiri atas lima puluh bab. Dan sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus. Dan dilanjutkan dengan kisah selanjutnya sampai abad ke 10 M, tetapi inti dari kitab ini ialah mencatat 25 buah Nurito, yakni do’a-do’a, atau pujaan yang sangat panjang pada berbagai macam upacara keagamaan.
d.      Manyoshiu, yang bermakna : himpunan sepuluh ribu daun, berisikan bunga rampai, terdiri dari atas 4496 buah sajak, disusun antara abad ke 5 dengan abad ke 8 M.[7]
6.      Peribadatan Agama Shinto
Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis.Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih.Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae).Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto. Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.[8]
7.      Upacara Keagamaan dan pemujaan
Pada setiapa hari kelahiran kaisar, seluruh lembaga pendidikan di Jepang, atas perintah resmi, melakukan uapacara yang kidmat dengan menundukan diri di depan gambar sang Kaisar. Kaisar itu dipandang suatu yang sangat sakral, Kaisar tidak menampakan diri didepan umum. Dalam upacara-upacara tertentu, pada saat kendaraan Kaisar melintas di jalan besar, seorang yang boleh memandang dari atas kepala Kaisar dibawah. Segala jendela pada setiap tingkatan atas itu mesti ditutup rapat.
Akan tetapi sehabis perang dunia kedua, maka perubahan besar terjadi pada kekuasaan Kaisar yang absolut itu telah digantikan kekuasaan rakyat melalui sitem pemilihan umum, dan kaisar sudah ditempatkan pada lambang belaka, yang kini bukan lagi suatu yang sakral akan tetapi dipandang sebagai manusia biasa, yang saat ini sudah bias bergaul dengan masyarakat umum, sebuah keyakinan asazi dalam agama Shinto itu telah menghilang tempat untuk berpijak.[9] Selain itu juga ada beberpa peryaan yang biasnya di peringati oleh pemeluk agam Shinto dan perayaan itu diadakan untuk tujuan tujuan yang berkenaan dengan pusaka leluhur, pengudusan, pengusiran roh jahat atau pertanian, puncak puncak perayaan diadakan pada tahun baru, saat menanam padi pada musim semi dan pada saat panen pada musim gugur, musim semi dan musim gugur adalah saat untuk menghormati leluhur dan mengunjungi makamnya, selama perayaan kami sering diarak melewati jalan jalan dalam tempat pemujaan yang bisa dibawa bawa untuk membuat setiap orang yakin bahwa kami sedang mengunjungi masyarakat untuk memberikan perlindungan.[10]

D.    Sekte-sekte Agama Shinto
Secara umum Shinto bisa dikelompokkan menjadi 4 bagian atau kelompok. Yang masing masing mempunyai keunikannya tersendiri.
 1)     Imperial Shinto (Kyuchu Shinto atau Koshitsu Shinto).
kelompok ini sangat sulit ditemukan. Karena hanya memiliki beberapa kuil saja yang kalau tidak salah 5 buah di seluruh negeri. Nama kuil ini biasanya berakhir dengan nama Jingu, misalnya Heinan Jingu, Meiji Jingu, Ise Jingu dll. Kuil Shinto kelompok ini selain berfungsi sebagai tempat untuk memuja Kami juga berfungsi sebagai tempat memuja leluhur khususnya keluarga kerajaan. Salah satu dari kuil ini dibangun khusus untuk menghormati dewa Matahari.
2)      Folk Shinto (Minzoku Shinto)
Mithyologi tentang Kojiki, cerita terbentuknya pulau Jepang dan cerita tentang dewa dewa lain adalah ciri khas dari Shinto kelompok ini. Jadi Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita tua, legenda, hikayat dan cerita sejarah. Kuil Kibitsu Jinja yang terletak di daerah Okayama, Jepang tengah adalah salah satu contoh menarik karena dibangun untuk menghormati tokoh utama dalam cerita rakyat yaitu Momo Taro.
Disamping itu Shinto kelompok ini juga mendapat pengaruh yang kuat dari agama Buddha, Konghucu, Tao dan ajaran penduduk local seperti Shamanism, praktek penyembuhan dan lain-lain. Kuil kelompok ini biasanya mudah dibedakan dengan kuil lainya karena adanya sejarah pendirian kuil yang unik. Jadi jangan kaget kalau Anda menemukan kuil yang penuh dengan ornament dan pernak pernik kucing atau binatang dan benda lainya karena sejarah pendiriannya yang memang berkaitan dengan binatang tersebut.
3)      Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto)
Shinto kelompok ini mulai muncul pada abad ke 19 dan sampai saat ini memiliki kurang lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini yang cukup banyak pengikutnya adalah Tenrikyo atau Kenkokyo. Keberadaan dari Sect Shinto ini cukup unik karena memiliki ajaran, doktrin, pemimpin atau pendiri yang dianggap sebagai nabi dan yang terpenting biasanya menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut monotheisme. Shinto golongan ini sepertinya jarang dibahas ataupun kurang dikenal oleh kebanyakan orang.sehingga konsep monotheisme dari shinto aliran baru nyaris luput dari tulisan kebanyakan orang.

4)      Shrine Shinto (Jinja Shinto)
Dari semua kelompok kuil Shinto yang ada, kelompok inilah yang sepertinya paling mudah untuk ditemukan. Diperkirakan saat ini ada sekitar 80 ribuan kuil yang ada di seluruh negeri dan semuanya tergabung dalam satu organisasi besar yaitu Association of Shinto Shrines.[11]
Penutup

Agama shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk, bukan datang dari luar. Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa. Shinto (dari bahasa Cina Shen dan Tao, yang berarti "Jalan dari Jiwa-jiwa") disebut Kami-no-michi dalam bahasa Jepang, kami adalah banyak Dewa atau jiwa alam.
Sistem ketuhanan agama Shinto dikenal dengan Kami. Menurut masyarakat Jepang kuno, istilah Kami ditujukan untuk menyebut suatu kekuatan atau kekuasaan tertentu yang terdapat dalam berbagai hal atau benda, tanpa membedakan apakah objek tersebut hidup atau mati.
Ada unsur Kami dalam segala hal atau benda, telah menguatkan bahwa konsep kepercayaan yang diusung oleh agama Shinto lebih mengarah poleteistis murni. Ritual dalam agama Shinto bertempat di kuil yang biasa di kenal dengan Jinja. Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana, yaitu dengan melemparkan uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai.



[1] H.M. Arifin. M.Fd, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: GT Press, tt), hal. 47
[2] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Jakarta: PT Renika Cipta, 1991), hal. 67.
[3] Ibid, hal.67
[4] H.M. Arifin. M.Fd, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, hal.51
[5]Ibid,
[6] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 241-246.
[7] Joesoeb Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, ( Ja karta: PT.Al-Huzna Zikra, 1996), hal. 212
[8] Huston Smith, Agma-agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal 148.
[9] Joesoef Sou’yb, Agama-agama besar di dunia.hal. 213
[10] Michael keene, Agama-agama dunia. (Jakarta: kanisius, 2006), hal 176.
[11] Huston Smith, Agma-agama Manusia, hal 148.

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: