Oleh: Suprianto & Ibrahim*) Alumni Akademi Da'wah Indonesia Lampung
ZAMAN PADA YUNANI KUNO
A.
Pengertian Filsafat
Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi
segala sesuatu berdasarkan pikiran atau rasio. Filsafat adalah pandangan hidup
seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan
yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang
sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin
melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
B.
Faedah Mempelajari Filsafat
Ilmu harus didasari oleh asumsi filsafat agar keberadaan ilmu itu
tidak rancu. Karena ilmu tanpa didasari oleh filsafat akan mengalami kehancuran
dan menyalahi aturan-aturan. sebab filsafat di sini berfungsi sebagai
penyelaras dan membuat manusia cinta terhadap kebijaksanaan dan dalam
mengiplikasinya akan dibarengi dengan prilaku yang baik dan membuahkan hasil
yang sangat bermakna. Filsafat juga berperan sebagai induk dari segala ilmu dan
prinsip – prinsip dasar ilmu itu diambil dari filsafat (ilmu lahir dari
filsafat), dan untuk mengkaji ilmu diperlukan filsafat, karena asumsi filsafat
lebih berpikir secara mendalam untuk mencapai kebenaran, kebaikan dan menjawab
setiap persoalan yang ada, sehingga ilmu yang ada kini bisa kita rasakan
manfaatnya karena telah melewati pengkajian yang mendalamdan dapat dibuktikan
kebenarannya.
Orang berfilsafat sama halnya dengan berfikir yakni menafsirkan
sesuatu hal yang sedang dihadapi atau yang akan dihadapi tetapi perbedaanya
kalau berfikir hanya menafsirkan sesuatu hal tersebut denga biasa dalam arti
kurang mengandung makna dan belum tentu kebenaranya juga tanpa dibarengi
pengetahuan kebijaksaaan dan hikmah.
Mengetahui isi filsafat tidak perlu bagi setiap orang. Akan tetapi
orang-orang yang ingin berpartisipasi dalam membangun dunia perlu mengetahui
ajaran-ajaran filsafat. Dunia di bentuk oleh dua kekuatan. Agama dan filsafat,
jika kita tau filsafatnya, kita akan tahu tentag manusianya (Beerling, 1966:7 )
yang di miliki oleh manusia adalah kebudayaan. Yang berdiri di belakang
kebudayaan itu adalah agama dan filsafat itu sendiri adalah bagian penting atau
inti kebudayaan, Agama dalam arti tertentujuga merupakan inti kebudayaan.[1]
Sebaliknya berfilsafat berarti berpikir itu
memang benar adanya karena, berfilsafat akan selalu berusaha untuk berpikir
guna mencapai kebaikan dan mencari kebenaran dari berbagai teori atau
ilmu-ilmu, maka dengan berfilsafat itu berarti penyelidikan tentang apanya,
bagaimananya dan untuk apa, berpikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu
secara disiplin dan mendalam. Orang yang berfilsafat akan menggunakan pemikiran
yang bermakna seperti:
a.
berfikir radikal, yaitu berfikir sampai
keakar-akarnya dan tidak tanggung2 tidak ada sesuatu yang terlarang untuk
dipikirkan.
b.
sistematik yaitu berfikir logis yang bergerak
selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
c.
universal,yaitu berfikir secara menyeluruh
tidak terbatas pada bagian2 tertentu tetapi
C.
Filsafat ialah buah pikiran filosof
ini adalah kata lain bagi bagaimana cara
memahaminya. Pertama sekali perlu kiranya diketahui bahwa isi filsafat amat
luas. Luasnya itu disebabkan oleh luasnyna objel penelitian (objek materia)
filsafat, yaitu yang segala yang ada dan mungkin ada. Sebab lain ialah filsafat
merupakan cabang pengetahuan yang tertua, dan sebab yang ketiga adalah pendapat
filosof tidak ada yang tidak layak dipelajari, tidak ada filsafat yang
ketinggalan jaman.. Lalu, bagaimana menghadapinya.
Ada tiga
macam metode mempelajari filsafat :
1.
Metode sistematis
Berarti
pelajar menghadapi karya filsafat. Misalnya mula-mula pelajar menghadapi teori
pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia
mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang lain. Kemudian ia mempelajari
teori nilai dan filsafat nilai.
2.
Metode Historis
Digunakan
bila para pelajar mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya, jadi
sejarah pemikiran. Ini dilakukan dengan membicarakan tokoh demi tokoh menurut
kedudukan dalam sejarah. Mulai dari membicarakan biografinya, teori
pengetahuannya, teori hakikat maupun sampai teori nilainya.
3.
Metode Kritis
Digunakan
oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Pelajar haruslah
sedikit banyak memiliki pengetahuan filsafat. Pelajar filsafat pada tingkat
pascasarjana sebaiknya menggunakan metode ini. Kritik itu mungkin dalam bentuk
menentang, dapat juga berupa dukungan terhadap ajaran filsafat yang sedang ia
pelajari. Ia mengkritik menggunakan pendapatnya sendiri.
D.
Objek Penelitian Filsafat
Tujuan berfilsafata ialah
menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun
secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu
biasanya terbagi atas tiga cabang besar filsafat, yaitu teori pengetahuan,
teori hakikat, dan teori nilai.
Isi
filsafat ditentukan oleh obyek apa yang dipikirkan. Obyek yang dipikirkan oleh
filosof ialah segala yang ada dan mungkin ada. Jadi luas sekali. Obyek yang
diselidiki oleh filsafat ini disebut obyek material, yaitu segala ada dan
mungkin ada tadi. Tentang obyek material ini banyak yang sama dengan obyek
material sains. Bedanya ialah dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki obyek
material yang empiris, filsafat menyelediki obyek itu juga, tetapi bukan bagian
yang empiris, melainkan bagian yang abstraknya. Kedua, obyek material filsafat
yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu
obyek material yang untuk selama-lamanya tidak empiris. Jadi, obyek material
filsafat tetap saja lebih luas dari pada obyek material sains.[2]
Selain obyek material ada lagi obyek forma,
yaitu sifat penyelidikan. Obyek forma filsafat ialah penyelidikan yang
mendalam. Artinya ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu
bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang obyek yang tidak
empiris[3]
A. Filsafat Yunani Kuno
Orang Yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem
kepercayaan, bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai suatu kebenaran
yang bersumber pda mitos atau dongeng-dongeng. Artinya, suatu kebenaran lewat
akal pikir (logos) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang
bersumber pada mitos (dongeng-dongeng).
Setelah pada abad
ke -6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Mereka
menginginkan pertanyaan tentang misteri alam semesta ini jawabannya dapat
diterima akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitologi,
artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan
meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi. Upaya para ahli pikir untuk
mengarahkan kepada suatu kebebasan berpikir ini kemudian banyak orang yang
mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni.
Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat Yunani lahir, yaitu:
1.
Bangsa
Yunani yang kaya akan mitos (dongeng), di mana mitos dianggap sebagai awal dari
upaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian
disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional shingga
muncul mitos selektif rasiona, seperti syair karya homerus, Orpheus dan
lain-lain.[4]
2.
Karya
sastra Yunani yang dapat diangap sebagai mendorong kelahiran filsafat Yunani,
karya Homerus mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk pedoman hidup
orang-orang Yunani yang di dalamnya mengandung nilai-nilai edukatif.
3.
Pengaruh
ilmu – ilmu pengetahuan yang bersal dari Babylonia (Mesir) di Lembah Sungai
Nil. Kemudian berkat kemampuan dan kecakapnnya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan
sehingga mereka mempelajarinya tidak didasarkan pada aspek praktisnya saja,
tetapi juga aspek teoritis kreatif.
Periode Yunani Kuno lazim disebut periode filsafat alam. dikatakan
demikian, kaRena pada peiode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir
alam, di mana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati di
sekitarnya mereka membuat pernyataan-pernyataan tentang gejala alam yang
bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak berdasarkan pada
mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta yang sifatnya mutlak,
yang berada di belakang segala sesuatu yang berubah.
B. Filsafat Pra Socrates
Filsafat Pra Socrates adalah filsafat yang dilahirkan karena
kemenangan akal atas dongeng yang diterima dari agama yang memberitahukan
tentang asal muasal segala sesuatu baik di dunia maupun manusia para pemikir
atau ahli filsafat yang disebut orang bijak yang mencari-cari jawabannya
sebagai akibat terjadinya alam semesta beserta isinya tersebut.
Pemikiran filusuf inilah yang memberikan asal muasal segala sesuatu
baik di dunia maupun manusia yang menyaebabkan akal manusia tiak puas dengan
keterangan dongeng tersebut dengan dimulai oleh akal manusia untuk mencari-cari
dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu.
Filsafat Pra Socrates dapat dikatakan bahwa mereka dalah filsafat
alam artinya para ahli pikir yang menjadikan alam yang luas dan penuh
keselarasan yang menjadi sasaran para ahli filsafat tersebut, atau objek
pemikirannya adalah alam semesta. Tujuan filosofi mereka adlam memikirkan soal
alam besar darimana terjadinya alam itulah yang menjadi sentral persoalan bagi
mereka, pemikiran yang demikian itu merupakan pemikiran yang sangat maju,
rasional dan radikal. Sebab pada waktu itu kebanyakan orang menerima begitu
saja keadaan alam seperti apa yang dapat ditangkap dengan indranya, tanpa
mempersoalkannya lebih jauh. Sedang di lain pihak orang cukup puas menerima
keterangan tentang kejadian alam dari cerita nenek moyang.
Daftar Pustaka
Tafsir Ahmad, 2003, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Noeng Muhadjir,2001, filsafat Ilmu Positivisme,Post Positivism,
dan Post Modernisme, Yogyakarta:Rakesarasasin.
Bertrand Russell,2001, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
[1]Prof. Dr. Ahmad Tafasir. Filsafat Umum Akal dan hati sejak Thales
sampai capra. Remaja Rosdakarya, bandung , hal 8
[2] Prof. Dr.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra, Ramaja Rosdakarya. Bandung 2003, hal 44
[3] Prof. Dr.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra, Ramaja Rosdakarya. Bandung 2003, hal 43
[4] Pro. Dr. H.
Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu Positivesme, PostPositivisme, dan
PostModernisme. Rakesarasin. 2001, hal 57
0 comments:
Post a Comment