Penulis: Amriadi
Al Masjidiy
E-Mail: amriadicyber@gmail.com blog:
http://amriadicyber.blogspot.com
Kenapa undang-undang harus di kritisi,
karena undang-undang hasil buatan manusia bukan wahyu Allah, kalau wahyu Allah
sangat jelas; “ini adalah kitab (Al-Qur’an) tidak ada keraguan didalamnya…”
(QS. Al-Baqarah: 2). So, tidak ada undang-undang lain yang lebih benar selain
Al-Qur’an. Begitu juga dengan undang-undang penyiaran, disamping ada positifnya
juga tidak sedikit negatifnya. Undang-undang penyiaran yang harus mengikuti
syariat bukan syariat yang mengikuti undang-undang penyiaran. Alhamdulillah
undang-undang yang akan kita kritisi kali ini adalah undang-undang mengenai kelancaran
dan hambatan dalam berda’wah di media, jadi tidak terlalu banyak yang harus
dikritisi. So, kalau undang-undang penyiaran yang bertentangan dengan syariat
disuruh kritisi, hampir 70% bisa dikritisi. Karena menurut penulis tidak ada
yang lebih benar dan baik selain Al-Qur’an dan Hadits, standar yang tidak bisa
ditawar menawar walau harus nyawa melayang, tetap penulis pertahankan. Sebagaimana
yang sering kita dengar bahwa media siaran memiliki pengaruh yang besar di
dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Begitu besarnya pengaruh media tersebut
sampai dinyatakan bahwa media adalah pilar keempat demokratisasi. Melihat besarnya
pengaruh tersebut, maka pantaslah jika pemilik media menyadari akan arti
pentingnya media bagi pemberdayaan masyarakat. Kita dapat mengatakan bahwa
media penyiaran memiliki dampak yang positive dan negative terhadap masyarakat.
Ini sesuai dengan konsep pengaruh media massa yang terdiri atas 3 varian,
pertama: menimbulkan peniruan langsung (copy-cut), kedua: menyebabkan
ketumpulan terhadapa norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas dari tekanan
psikis (catharsis) bagi khayalak media massa. Dampak positive dan negative di
media massa, ini kembali lagi terhadap esensi format penyiaran dalam unsure
muatannya, apabila memberikan nilai baik; nilai pendidikan, budaya, sosial,dll,
maka dampaknya pun akan baik pula bagi masyarakat, begitupun sebaliknya.
Pembentukan undang-undang penyiaran
tahun 2002 besar peluang untuk berda’wah dimedia massa. Seperti yang tertera
dalam Bab II Pasal 3; Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh
integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan
bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam
rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri
penyiaran Indonesia. Pasal ini secara tidak langsung sangat mendukung kegiatan
da’wah, karena da’wah dapat membina watak dan jati diri bangsa yang beriman dan
bertakwa. So, seharusnya media-media itu menyiarkan 70% hal yang berkaitan
dengan agama, guna terwujudnya undang-undang tersebut. Komisi penyiaran Indonesia (KPI) bertugas
menetapkan serta mengontrol media-media di Indonesia sebagaimana yang tertera
dalam Bab III Pasal 2; Dalam menjalankan
fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai wewenang:
a. menetapkan
standar program siaran;
b. menyusun
peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
c. mengawasi
pelaksanaan peraturan dan pedoman
perilaku penyiaran serta standar program siaran;
d. memberikan
sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standar program siaran;
e. melakukan
koordinasi dan/atau kerjasama dengan Peme-rintah, lembaga penyiaran, dan
masyarakat.
Dalam pasal ini akan menghambat da’wah
jika orang-orang dalam KPI adalah orang-orang Liberal, plularis, sekuler,
aliran sesat lainnya serta agama-agama diluar Islam yang tentunya sangat anti
terhadap da’wah yang benar. Standar kebenaran sudah bertentangan dengan
pemahaman Islam, program yang disiarkan akan membawa dampak negative pada
masyarakat, pedoman penyiaran tentu tidak mempunyai ruang bagi penegak da’wah.
Tentu pasal ini sangat berbahaya bagi semua kalangan jika tidak diterbitkan
pasal lainnya untuk anggota KPI.
Dalam Bab III pasal 9
di katakan “Anggota KPI Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang dan KPI Daerah
berjumlah 7 (tujuh) orang”. Pada Pasal
10 dikatakan orang yang terpilih harus menjadi anggota KPI dalam ayat 1. Warga
negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ayat 2. Setia kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada pasal ini akan
merugikan umat Islam dalam menyampaikan aspirasinya. Bagaimana tidak, yang
dimaksud ketuhanan yang maha esa dalam pancasila sangat rancu, Indonesia
mengakui banyak agama. Dalam agama yahudi sila pertama monotisme yaitu
ketuhanan yang maha esa, sama persis dengan sila pertama pancasila. Penjelasan
kerancuan ini ditafsiran dan dijelaskan oleh MPR no. II/MPR/1978
tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi
36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.
Pertama; Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Dari penjelasan di atas
dapat kita ketahui bahwa, jika yang terpilih menjadi anggota KPI adalah
orang-orang yang diluar Islam. Sungguh umat yang mayoritas di Indoneisia ini
akan kehilangan suara. Untuk kebebasan suara penegak da’wah maka anggota KPI
harus orang-orang yang ingin menegakkan kebenaran, bukan orang-orang menentang
kebenaran. Undang-undang ini, sudah seharusnya diganti dengan yang baru agar
penegak da’wah tidak terhalangi oleh media dan Anggota KPI. Pembentukkan team pemantauan
sangat diperlukan agar da’wah tidak melonceng dari aturan yang ada.
Kesimpulannya
undang-undang penyiaran tahun 2002 berada pada situasi yang menegangkan, sangat
menentukan, serta peluang untuk terpilih menjadi anggota KPI dari kalangan
penda’wah tidak lebih dari 20%. Jika yang aggota KPI yang terpilih para mujahid
da’wah otomatis akan terselenggarakan da’wah dengan baik, namun jika yang
terpilih dari luar itu maka siap-siap akan ada peratuaran yang mehalangi
gerakkan da’wah. Penentu semua hal yang berkaitan dengan penyiaran menurut
undang-undang ini ada ditangan Komisi penyiaran Indonesia.
Demikian yang dapat penulis tanggapi
pada kesempatan ini, namun jika ada waktu lain akan penulis tanggapi
undang-undang ini dalam prospektif syariat Islam. Wallahu ‘alam...
***
0 comments:
Post a Comment