Ilustrasi
Oleh: Amriadi Al Masjidiy*
Pagi-pagi sudah diajak keliling kota Medan oleh toke Min. Maklum kita baru sampai di Medan tadi malam jam 12:20 WIB. Tubuhku terasa lelah dan capek karena baru pertama kali bangun pagi-pagi segini. Aku sempat melihat Arloji yang menandakan sudah jam 06:03 WIB. Biasanya aku bangun jam 8 pagi sekarang bersama toke Min harus pagi-pagi begini.
Apa boleh buat, aku seorang anak yang terpengaruh dengan lingkungan sekitarku. Tidak sama seperti abang-abang aku yang merantau ke luar daerah untuk sekolah. Ya, Cuma aku yang tidak mau sekolah. Karena kecanduan rokok, mengharuskan aku untuk bekerja dan bekerja. Sekarang bersama toke Min.
Setelah berkeliling kota Medan dekat tempat tinggal kami. Kami istirahat sambil menikmati kopi khas Gayo (Aceh). Sebuah kebiasaan anak-anak Aceh menghabiskan berjam-jam di waroeng kopi.
“Baim habis ini kita beres-beres semuanya, karena nanti malam kita akan mulai usaha kita disini.” Kata toke Min kepada ku. Ya, namaku Baim. Umurku baru 17 tahun yang seharusnya aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Tapi apa boleh buat, karena tubuhku gemuk dan tinggi membuat sekolah-sekolah sulit menerimaku karena dianggap sudah seharusnya di Bangku Kuliah, seperti abangku di Jakarta.
Bersama toke Min aku membereskan alat-alat memasak dan yang lainnya untuk persiapan jualan Martabak, Mie Aceh dan yang lainnya nanti malam. Di sela-sela membereskan peralatan tiba-tiba datang seorang agen property yang ingin menyewakan tokonya kepada kita.
Kesepakatan antara kami dan dia adalah 50 ribu permalam sewaan. Aku terkejut karena bagaimana mungkin toke Min bisa membayar uang 50 ribu permalam. Laku barang yang kita jual saja belum tentu sampai 50 ribu.
Malam pertama dan ketiga penghasilan kita Cuma 70 ribu. Toke Min pasti rugi karena tidak ada pemasukan. Namun malam selanjutnya keliatan untungnya. Kami sudah bisa menjual mie Aceh dan martabak mencapai 250 ribu.
Hal ini terus berlanjut, kami juga sempat berkunjung ke beberapa warga Aceh yang tinggal di Medan. Para warga bercerita kepada kami yang sebenarnya mereka itu sangat wawas dengan masyarakat Medan yang dekat dengan pabrik Sawit, dimana tempat mereka sehari-hari bekerja.
Pabrik Sawit itu di bagun atas dasar perdamaian warga di sekitar disini. Kami tidak sanggup merawat dan menggarap lahan-lahan itu. Kemudian kami jual kepada pabrik. Pabrik berjanji Sawit kami akan mahal harganya dan para pekerja di pabrik orisinil masyarakat dari sini. Namun buktinya sekarang mereka menipu masyarakat disini. Pekerja di datangkan dari luar, Sawit kami di beli dengan harga murah. Agar kami rugi dan menjual tanah kepada meraka dan kita terusir begitu saja, cerita seorang warga asli Batak yang tinggal sekitar 70 meter dari pabrik Sawit.
Aku yang tidak sekolah menanyakan kepada mereka, lantas apa pemerintah tidak mempedulikan rakyatnya yang terusir oleh investor.
Tidak, pemerintah telah disuap oleh mereka dan pemerintah hanya memperdulikan perut diri mereka sediri. Tidak pernah datang melihat langsung bagaimana para investor itu memperlakukan rakyat disini. Bekerja di pabrik seperti budak yang tidak ada nilai harga diri.
Waktu terus berjalan tanpa terasa aku sudah 15 hari di Medan. Toke Min berkata kepadaku. Kalau kamu sekolah tentu saja kamu bisa bekerja layak mereka di Mall, Bank dan perusahaan yang memadai.
Aku bepikir sejenak. Ya, apa yang bapak katakana itu benar. Namun bapak harus tau kondisi kita disana bagaimana. Toke Min, kayak terlalu tergesa-gesa memberikan pertanyaan kepadaku. Dia tidak tau kalau aku membantahnya dengan jalan se simpel itu.
Kehidupan kami di kampong hanya bisa makan sehari 2 kali itu sudah sangat bersyukur. Toke Min tau aku yang sudah candu dengan rokok hanya bisa makan sekali sehari lantaran tidak punya banyak duit.
Aku tidak sekolah lantaran biaya yang sangat tidak memungkinkan. Pendaftaran SMA di tempatku yang jarak tempuh pakai motor sekitar 2 jam lebih, baru sampai ke sekolah. Biaya pendaftaran sekolah negeri 150 ribu. Kalau Swasta lebih tinggi lagi, itu belum uang buku, baju seragam dan yang lainnya. Dengan kondisiku yang hanya makan sekali sehari itu sudah pasti tidak bisa sekolah. Karena aku tidak memiliki bapak yang bisa menyekolahkan kami.
Abangku merantau bisa sekolah. Aku merantau mencari kerja. Siapa tau nasip kita akan sama nanti atau mereka juga akan menjadi pengangguran setelah selesai sekolahnya.
Hari-hariku memang terlalu banyak fashion di Medan. Namun akhirnya toke Min Bangkrut. Dia harus gulung tikar pulang kampong. Padahal usahanya belum sampai satu bulan. Karena pihak property tidak mau tau, laku atau tidak toke Min harus bayar 50 ribu permalam. Dia juga membayarku 20 ribu semalam. Dengan pendapatan 100 ribu sampai 120 ribu rata-rata permalam membuatnya bangkrut.
Ya, kita yang tidak memiliki pendidikan tentunya akan menjadi gembel. Aku kembali teringat cerita orangtua ku mengenai sejarah Islam, yang pemerintahannya bertanggung jawab kepada rakyatnya dan rakyatnya tidak ada yang kelaparan.
Sialnya kita hidup di Zaman kapitalisme yang hanya menjadi pemenang bagi yang memiliki modal besar. Aku banyak tau istilah ini karena aku suka membaca tulisan abangku di blognya. Dia anak sekolahan tentu sangat paham dan banyak kata-kata Istilah. Dari itu aku belajar mengenal istilah dan jika aku tidak mengerti langsung ku telephone ke dia.
Suatu malam, setelah toke Min bangkrut aku telephone abangku yang ada di Jakarta. Dia mengatakan belum ada kerja dan sibuk dengan skripsinya. Semoga dia cepat lulus sarjana siapa tau dia bisa menopang keluarga kami.
Aku pesan ke abangku untuk segera melakukan risetnya dan segera untuk keluar dari kegelapan ini. Aku bilang ke abangku “Bang rumah kita sudah bocor, abang di suruh cepat pulang sama ibu untuk memperbaikinya.” Dia paham apa maksudku.
Maksudku ibu sudah tua, sudah seharusnya mendapatkan perhatian dari anaknya. Jangan hanya makan sehari dua kali sepanjang hanyatnya. Abangku juga berpesan kepadaku untuk menjaga diri baik-baik, Isya Allah dia pulang 2017 ini.
“Usahalah apa yang engkau impikan walaupun dengan darah danging terkupas dari tubuhmu untuk perubahan yang abadi.”
*) Pimpinan umum Tebar Suara [Cerita ini hanya fiktif belaka mohon maaf bila ada nama tempat yang sama. Kami tidak bermaksud untuk untuk menghina atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu.]
0 comments:
Post a Comment