Monday, September 21, 2015

Filsafat Post Modernisme

Oleh: Deny Juanda*
*) Mahasiswa KPI sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad Natsir

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya postmodernisme. Pada umumnya yang dianggap sebagai titik tolak lahirnya postmodernisme adalah filsafat Nietzschean, seperti penolakannya terhadap absolutisme filsafat Barat dan sistem pemikiran tunggal. Menurut Sarup (2003: 231-232) postmodernisme adalah gerakan kultural yang semula terjadi di masyarakat Barat tetapi telah menyebar ke seluruh dunia, khususnya dalam bidang seni. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang seni, antara lain hilangnya batas-batas sekaligus hierarki antara budaya populer dengan budaya elite, budaya massa dengan budaya tinggi. Dalam karya sastra, misalnya, hilangnya batas-batas yang tegas antara seniman sebagai pencipta dengan pembaca sebagai penerima, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.
            Dalam karya seni juga terjadi pergeseran dari keseriusan, dari kedalaman ke permukaan, ke permainan sehingga terjadi ironi, parodi, interteks, dan pastiche. Secara umum, postmodernisme merupakan hasil gerakan mahasiswa 1968. Oleh karena kekuatan negara tidak dapat dihancurkan, maka postmodernisme mencoba menemukan jalan melalui struktur bahasa, melalui kekuatan wacana. Struktur bahasa dan dengan demikian struktur teks menjadi model, semua disiplin dianggap sebagai tulisan, sebagai teks dan wacana, sehingga pemecahannya pun dapat dilakukan secara tekstual. Sasarannya adalah semua sistem pemikiran total, khususnya organisasi politik yang didasarkan atas struktur masyarakat secara keseluruhan.
            Pada awalnya estetika merupakan studi tentang keindahan, baik dalam karya seni maupun keindahan alam pada umumnya. Atas dasar pengaruh Plato, sebagian para filsuf memandang keindahan sebagai kualitas intrinsik yang terkandung dalam objek. Berbeda dengan pendapat tersebut, pendekatan semiotika, khususnya periode postmodern lebih banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai estetika semiotis, dengan pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari dan dihasilkan melalui pemahaman terhadap sistem tanda. Menurut Noth (1990: 421-428), dengan mempertimbangkan keterlibatan filsuf Jerman, Baumgarten dan Lambert, mereka menggunakan istilah estetika dan semiotika pada abad ke-18, secara historis semiotika dan estetika memiliki asal-usul yang hampir sama. Apabila teori-teori tradisional mengenai seni cenderung didasarkan atas dua prinsip yang berbeda, bahkan bertentangan, yaitu karya seni sebagai tiruan (mimesis) dan karya seni sebagai karya seni (I’art pour I’art), semiotika estetis didasarkan atas prinsip semantis dan pragmatis. Estetika semantik dicirikan oleh karya seni sebagai memiliki tipe-tipe tanda tertentu dengan mode referensi tertentu juga, sedangkan estetika pragmatis dicirikan melalui hakikat dan kemampuan karya seni sebagai komunikasi.
            Kualitas estetis dapat dipahami semata-mata melalui tanda, sebagai sistem komunikasi. Dalam sastralah, sebagai bahasa model kedua, sebagai teks, sistem tanda tersebut dieksploitasi secara maksimal. Dengan kalimat lain, teks sastra secara keseluruhan merupakan sistem tanda dan demikian juga sebagai sistem komunikasi. Kualitas estetis jelas paling banyak ditunjukkan dalam stilistika dan gaya bahasa pada umumnya.dalam hal ini genre puisilah yang paling banyak berperan.

2.1 Pengertian Postmodern
Menurut Pauline Rosenau (1992) postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu:
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru. Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi.

2.2 Ciri-Ciri Postmodernisme
Terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
1.      Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
2.       Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
3.      Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4.      Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
5.      Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
6.      Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
7.      Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
8.      Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks

2.3 Tokoh-Tokoh Postmodernisme
Tokoh-tokoh memegang peran penting sebab tokohlah, sebagai subyek, yang bertugas untuk mengakumulasikan konsep-konsep sehingga menjadi teori. Setiap tokoh adalah mata rantai terakhir dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuam demi kemajuan umat manusia secara keseluruhan. Tokoh – tokoh periode postmodernisme antara lain:

1.    Charles Sanders Peirce
Peirce lahir di USA ( 1839-1914). Sebagai ahli semiotika, logika, dan matematika, Pairce lahir sezaman dengan saussure tetapi Peirce melangkah  lebih jauh daripada Saussure dengan latar belakang sebagai ahli filsafat, ia dapat melihat dunia di luar struktur sebagai struktur bermakna. Berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik, Peirce menawarkan konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner. Pierce jugalah yang mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih banyak terlibat dalam teori linguistik umum.
Pada dasarnya Peirce tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi teori-teorinya mengenai tanda menjadi dasar pembicaran estetika generasi berikutnya. Menurutnya makana tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Tanda harus diinterpretasikan agar dari tanda yang orisinil berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-tanda tidak bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda yang bebas konteks. Tanda selalu bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi kaitannya denga tanda lain.
2.    Roman Osipocich Jakobson
Jakobson adalah seorang linguist, ahli sastra, dan semiotikus yang lahir di Rusia (1896-1982). Pusat perhatiannya adalah integrasi bahasa dan sastra sesuai dengan tulisannya yang berjudul “Linguistics and Poetics”. Jakobson melukisakan antar hubungan tersebut dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa yang disebut poetic function of lenguage.
Enam faktor bahasa, yaitu:
                                                Contecxt
            Addresser                    Message                      Addressee
                                                Contact                                               
                                                Code
            Enam fungsi bahasa, yaitu:
                                                Referential
            Emotive                       Poetic                          Conative
                                                Phatic
                                                Metalingual
3.    Jan Mukarovsky
Mukarovsky lahir di Bohemia(1891-1975). Sebagai pengikut strukturalisme Praha, ia kemudian mengalami pergeseran perhatian dari struktur ke arah tanggapan pembaca. Aliran inilah yang disebut strukturalisme dinamik. Sebagai pengikut kelompok formalis, ia memandang bahwa aspek estetis dihasilkan melalui fungsi puitika bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh, penyimpangan, dan pembongkaran norma-norma lainnya. Meskipun demikian, ia melangkah lebih jauh, aspek estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya sastra sebagai fakta transindividual. Singkatnya, karya sastra harus dipahami dalam kerangka konteks sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial tertentu.
            Peran penting Mukarovsky adalah kemampuannya untuk menunjukkan dinamika antara totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai penanggap. Ia membawa karya sastra sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam kaitannya dengan tanggapan pembaca yang berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamik, karya sastra selalu baerada dalam tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu sendiri
4.    Hans Robert Jauss
Jauss lahir di Jerman. ahli sastra dan kebudayaan abad pertengahan, Jauss ingin memperbaharui cara-cara lama yang semata-mata mendiskripsikan aspek-aspek kesejarahan sehingga menjadi lebih bersifat hermeneuitas. Tetapi di pihak lain, ia juga ingin memperbaharui kelemahan kelompok formalis yang semata-mata bersifat estetis dan kelompok Marxis yang semata-mata bersifat kenyataan.
Tujuan pokok Jauss adalah memebongkar kecenderungan sejarah sastra tradisional yang dianggap bersifat universal teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak berkaitan dengan sejarah nasional, sejarah umum, dan rangkaian periode. Konsekuensi loguisnya adalah keterlibatan pembaca. Untuk mempertegas peranan pembaca ini, Jauss mengintroduksi konsep horison harapan (Erwatungshorizont). Horison harapan mengandaikan harapan pembaca, cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat proses pembacaan terdahulu. Jadi, nilai sebuah karya, aspek-aspek estetis yang ditimbulkannya bergantung dari hubungan antara unsur-unsur karya dengan horison harapan pembaca.
5.    Jurij Mikhailovich Lotman
Lotman lahir di rusia (1922). Lotman (Fokkema-Kunne Ibsch, 1977: 2) adalah seorang ahli semiotika struktural,  ahli Rusia abad XVII dan XIX. Konsep dasar yang dikemukakan adalah peranan bahasa sebagai sistem model pertama (ein primares modellbildendens system) (PMS) sekaligus sebagai sistem model kedua (ein sekundares modellbildendes system) (SMS), seperti sastra, film, seni, musik, agama, dan mitos. Dalam sejarah sastra barat, Lotman (1977: 24-25) juga membedakan antara estetika persamaan atau identitas (the aesthetic of identy) dengan estetika pertentangan atau oposisi (the aesthetic of opposition). Estetika pertama merupakan ciri khas foklor atau karya-karya sastra lama. Sedangkan estetika yang kedua merupakan ciri karya-karya romantisme, realisme, garda depan, dan karya-karya sastra modern.menurut Lotman (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977: 41-43), karya sastra yang bermutu tinggi justru karya-karya yang menawarkan banyak entropy, kaya dengan ketidakterdugaan yang tinggi. Aspek estetis dicapai dengan adanya kaitan erat antara aspek semantis dengan aspek formal teks, sehingga dalam bahasa sehari-hari yang tidak memiliki makna menjadi bermakna.
6.    Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg, Perancis (1915-1980). Barhes dan dengan pengikutnya menolak keras pandangan tradisional yang menganggap pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni. Jenis paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Melalui Bartheskarya sastra mempunyai kekuatan baru, memperoleh kebebasan khususnya penafsiran pembaca. Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks mempunyai arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis. Konsep lain yang dikemukakan adalah teks sebagai readerly (lisible) dan writterly (rewritten/scriptible). Teks tidak semata-mata untuk dibaca, tetapi juga untuk ditulis (kembali). Dalam entensitas readerly penulislah yang aktif, sedangkan pembaca bersifat pasif. Sebaliknya dalam writterly, dengan anggapan bahwa penulis berada dalam kontruksi anonimitas, maka pembacalah yang bersifat aktif, melalui aktivitas menulis.
7.    Umberto Eco

Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmot, Italia (1932). Menurut Eco (1979: 7), semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Menurut Eco (1979: 182-183) semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Peirce, esensi tanda adalah kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks, sebagai konteks sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa sebuah tanda memiliki banyak makna dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan menjadi dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Peirce. Kedua, adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya ikon dalam pengertian Peirce.

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: