Oleh: Deny Juanda*
*) Mahasiswa KPI sekolah Tinggi Ilmu Da'wah Mohammad Natsir
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya postmodernisme. Pada umumnya yang dianggap sebagai titik tolak
lahirnya postmodernisme adalah filsafat Nietzschean, seperti penolakannya
terhadap absolutisme filsafat Barat dan sistem pemikiran tunggal. Menurut Sarup
(2003: 231-232) postmodernisme adalah gerakan kultural yang semula terjadi di
masyarakat Barat tetapi telah menyebar ke seluruh dunia, khususnya dalam bidang
seni. Beberapa masalah pokok yang dikaitkan dengan postmodernisme dalam bidang
seni, antara lain hilangnya batas-batas sekaligus hierarki antara budaya populer
dengan budaya elite, budaya massa dengan budaya tinggi. Dalam karya sastra,
misalnya, hilangnya batas-batas yang tegas antara seniman sebagai pencipta
dengan pembaca sebagai penerima, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimitas.
Dalam karya seni juga terjadi pergeseran dari keseriusan, dari kedalaman ke
permukaan, ke permainan sehingga terjadi ironi, parodi, interteks, dan pastiche.
Secara umum, postmodernisme merupakan hasil gerakan mahasiswa 1968. Oleh karena
kekuatan negara tidak dapat dihancurkan, maka postmodernisme mencoba menemukan
jalan melalui struktur bahasa, melalui kekuatan wacana. Struktur bahasa dan
dengan demikian struktur teks menjadi model, semua disiplin dianggap sebagai
tulisan, sebagai teks dan wacana, sehingga pemecahannya pun dapat dilakukan
secara tekstual. Sasarannya adalah semua sistem pemikiran total, khususnya
organisasi politik yang didasarkan atas struktur masyarakat secara keseluruhan.
Pada awalnya estetika merupakan studi tentang keindahan, baik dalam karya seni
maupun keindahan alam pada umumnya. Atas dasar pengaruh Plato, sebagian para
filsuf memandang keindahan sebagai kualitas intrinsik yang terkandung dalam
objek. Berbeda dengan pendapat tersebut, pendekatan semiotika, khususnya
periode postmodern lebih banyak memberikan perhatian pada tanda-tanda, sebagai
estetika semiotis, dengan pertimbangan bahwa kualitas estetis bersumber dari
dan dihasilkan melalui pemahaman terhadap sistem tanda. Menurut Noth (1990:
421-428), dengan mempertimbangkan keterlibatan filsuf Jerman, Baumgarten dan
Lambert, mereka menggunakan istilah estetika dan semiotika pada abad ke-18,
secara historis semiotika dan estetika memiliki asal-usul yang hampir sama.
Apabila teori-teori tradisional mengenai seni cenderung didasarkan atas dua
prinsip yang berbeda, bahkan bertentangan, yaitu karya seni sebagai tiruan (mimesis)
dan karya seni sebagai karya seni (I’art pour I’art), semiotika estetis
didasarkan atas prinsip semantis dan pragmatis. Estetika semantik dicirikan
oleh karya seni sebagai memiliki tipe-tipe tanda tertentu dengan mode referensi
tertentu juga, sedangkan estetika pragmatis dicirikan melalui hakikat dan
kemampuan karya seni sebagai komunikasi.
Kualitas estetis dapat dipahami semata-mata melalui tanda, sebagai sistem
komunikasi. Dalam sastralah, sebagai bahasa model kedua, sebagai teks, sistem
tanda tersebut dieksploitasi secara maksimal. Dengan kalimat lain, teks sastra
secara keseluruhan merupakan sistem tanda dan demikian juga sebagai sistem
komunikasi. Kualitas estetis jelas paling banyak ditunjukkan dalam stilistika
dan gaya bahasa pada umumnya.dalam hal ini genre puisilah yang paling
banyak berperan.
2.1 Pengertian Postmodern
Menurut Pauline Rosenau (1992) postmodernisme
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi
janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban
Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,
kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern
seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal,
toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi,
prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. teoritisi postmodern
cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world
view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for
begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa
postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi.
Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh
pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari
modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki
besar, yaitu:
Ia melawan dan mengaburkan pengertian
postmodernisme Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang
telah dilampaui oleh zaman baru. Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat
bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita
dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi.
2.2 Ciri-Ciri Postmodernisme
Terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme
yang menonjol, yaitu :
1. Timbulnya
pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan
pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan
pluralisme relativisme kebenaran.
2. Meledaknya
industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera,
organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa
kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama”
atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh
agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa,
semisal program televisi.
3. Munculnya
radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau
alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi
dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia,
tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4. Munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan
rasionalisme dengan masa lalu.
5. Semakin
menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah
pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya
dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik
pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
6. Semakin
terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan
pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut
mendorong bagi proses demokratisasi.
7. Era
postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan
realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok
budaya secara eksklusif.
8. Bahasa yang
digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan
makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak
mengandung paradoks
2.3 Tokoh-Tokoh Postmodernisme
Tokoh-tokoh memegang peran penting sebab
tokohlah, sebagai subyek, yang bertugas untuk mengakumulasikan konsep-konsep
sehingga menjadi teori. Setiap tokoh adalah mata rantai terakhir dalam rangka mengembangkan
ilmu pengetahuam demi kemajuan umat manusia secara keseluruhan. Tokoh – tokoh
periode postmodernisme antara lain:
1.
Charles Sanders Peirce
Peirce lahir di USA ( 1839-1914). Sebagai ahli
semiotika, logika, dan matematika, Pairce lahir sezaman dengan saussure tetapi
Peirce melangkah lebih jauh daripada Saussure dengan latar belakang
sebagai ahli filsafat, ia dapat melihat dunia di luar struktur sebagai struktur
bermakna. Berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik, Peirce menawarkan konsep
triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner. Pierce jugalah yang
mengembangkan teori umum tanda-tanda, sebaliknya Saussure lebih banyak terlibat
dalam teori linguistik umum.
Pada dasarnya Peirce tidak banyak
mempermasalahkan estetika dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi teori-teorinya
mengenai tanda menjadi dasar pembicaran estetika generasi berikutnya.
Menurutnya makana tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Tanda
harus diinterpretasikan agar dari tanda yang orisinil berkembang tanda-tanda
yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-tanda tidak
bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda yang bebas
konteks. Tanda selalu bersifat plural, tanda-tanda hanya berfungsi kaitannya
denga tanda lain.
2.
Roman Osipocich Jakobson
Jakobson adalah seorang linguist, ahli sastra,
dan semiotikus yang lahir di Rusia (1896-1982). Pusat perhatiannya adalah
integrasi bahasa dan sastra sesuai dengan tulisannya yang berjudul “Linguistics
and Poetics”. Jakobson melukisakan antar hubungan tersebut dengan
mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa yang disebut poetic
function of lenguage.
Enam faktor bahasa, yaitu:
Contecxt
Addresser
Message
Addressee
Contact
Code
Enam fungsi
bahasa, yaitu:
Referential
Emotive
Poetic
Conative
Phatic
Metalingual
3.
Jan Mukarovsky
Mukarovsky lahir di Bohemia(1891-1975). Sebagai
pengikut strukturalisme Praha, ia kemudian mengalami pergeseran perhatian dari
struktur ke arah tanggapan pembaca. Aliran inilah yang disebut strukturalisme
dinamik. Sebagai pengikut kelompok formalis, ia memandang bahwa aspek estetis
dihasilkan melalui fungsi puitika bahasa, seperti deotomatisasi, membuat aneh,
penyimpangan, dan pembongkaran norma-norma lainnya. Meskipun demikian, ia
melangkah lebih jauh, aspek estetika melalui karya seni sebagai tanda, karya
sastra sebagai fakta transindividual. Singkatnya, karya sastra harus dipahami
dalam kerangka konteks sosial, aspek estetis terikat dengan entitas sosial
tertentu.
Peran penting Mukarovsky adalah kemampuannya untuk menunjukkan dinamika antara
totalitas karya dengan totalitas pembaca sebagai penanggap. Ia membawa karya
sastra sebagai dunia yang otonom tetapi selalu dalam kaitannya dengan tanggapan
pembaca yang berubah-ubah. Menurutnya, sebagai struktur dinamik, karya sastra
selalu baerada dalam tegangan antara penulis, pembaca, kenyataan, dan karya itu
sendiri
4.
Hans Robert Jauss
Jauss lahir di Jerman. ahli sastra dan
kebudayaan abad pertengahan, Jauss ingin memperbaharui cara-cara lama yang
semata-mata mendiskripsikan aspek-aspek kesejarahan sehingga menjadi lebih
bersifat hermeneuitas. Tetapi di pihak lain, ia juga ingin memperbaharui
kelemahan kelompok formalis yang semata-mata bersifat estetis dan kelompok
Marxis yang semata-mata bersifat kenyataan.
Tujuan pokok Jauss adalah memebongkar
kecenderungan sejarah sastra tradisional yang dianggap bersifat universal
teleologis, sejarah sastra yang lebih banyak berkaitan dengan sejarah nasional,
sejarah umum, dan rangkaian periode. Konsekuensi loguisnya adalah keterlibatan
pembaca. Untuk mempertegas peranan pembaca ini, Jauss mengintroduksi konsep
horison harapan (Erwatungshorizont). Horison harapan mengandaikan
harapan pembaca, cakrawala pembaca, citra yang timbul sebagai akibat proses
pembacaan terdahulu. Jadi, nilai sebuah karya, aspek-aspek estetis yang
ditimbulkannya bergantung dari hubungan antara unsur-unsur karya dengan horison
harapan pembaca.
5.
Jurij Mikhailovich Lotman
Lotman lahir di
rusia (1922). Lotman (Fokkema-Kunne Ibsch, 1977: 2) adalah seorang ahli semiotika
struktural, ahli Rusia abad XVII dan XIX. Konsep dasar yang dikemukakan
adalah peranan bahasa sebagai sistem model pertama (ein primares
modellbildendens system) (PMS) sekaligus sebagai sistem model kedua (ein
sekundares modellbildendes system) (SMS), seperti sastra, film, seni,
musik, agama, dan mitos. Dalam sejarah sastra barat, Lotman (1977: 24-25) juga
membedakan antara estetika persamaan atau identitas (the aesthetic of identy)
dengan estetika pertentangan atau oposisi (the aesthetic of opposition).
Estetika pertama merupakan ciri khas foklor atau karya-karya sastra lama.
Sedangkan estetika yang kedua merupakan ciri karya-karya romantisme, realisme,
garda depan, dan karya-karya sastra modern.menurut Lotman (Fokkema dan
Kunne-Ibsch, 1977: 41-43), karya sastra yang bermutu tinggi justru karya-karya
yang menawarkan banyak entropy, kaya dengan ketidakterdugaan yang
tinggi. Aspek estetis dicapai dengan adanya kaitan erat antara aspek semantis
dengan aspek formal teks, sehingga dalam bahasa sehari-hari yang tidak memiliki
makna menjadi bermakna.
6.
Roland Barthes
Barthes adalah
seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di
Cherbourg, Perancis (1915-1980). Barhes dan dengan pengikutnya menolak keras
pandangan tradisional yang menganggap pengarang sebagai asal-usul tunggal karya
seni. Jenis paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna
karya sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya. Melalui
Bartheskarya sastra mempunyai kekuatan baru, memperoleh kebebasan khususnya
penafsiran pembaca. Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca
teks mempunyai arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan
estetis. Konsep lain yang dikemukakan adalah teks sebagai readerly (lisible)
dan writterly (rewritten/scriptible). Teks tidak semata-mata
untuk dibaca, tetapi juga untuk ditulis (kembali). Dalam entensitas readerly
penulislah yang aktif, sedangkan pembaca bersifat pasif. Sebaliknya dalam writterly,
dengan anggapan bahwa penulis berada dalam kontruksi anonimitas, maka
pembacalah yang bersifat aktif, melalui aktivitas menulis.
7.
Umberto Eco
Eco adalah
seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmot, Italia
(1932). Menurut Eco (1979: 7), semiotika dikaitkan dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda. Menurut Eco (1979: 182-183) semua bidang dapat
dikenal sebagai kode sejauh mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama
dengan Peirce, esensi tanda adalah kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda.
Setiap kode memiliki konteks, sebagai konteks sosiokultural. Oleh karena
itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa sebuah tanda memiliki
banyak makna dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk. Dalam
hubungan inilah dibedakan menjadi dua unsur, pertama, unsur yang dapat
disesuaikan atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Peirce. Kedua,
adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya ikon dalam
pengertian Peirce.
0 comments:
Post a Comment