Oleh:
Amriadi Al Masjidiy*
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Muhammad Natsir
Nama lengkapnya adalah Mohammad
Natsir, lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Dan Meninggal dunia pada hari sabtu 6 Februari 1993,
pukul 12.10 WIB
di RS. Cipto mangunkusumo jakarta, dalam usia 85 tahun[1].
Innalillahi wa inna ilaihi
raji’un.
Ayanhnya bernama Idris Sutan
Saripado dan ibunya bernama Khadijah. Ayahnya berkarja sebagai juru tulis
konteler di maninjau, Kab. Agam. Istri M. Natsir bernama Putri Nurnahar ( lahir
di bukit tinggi pada 28 Mei 1905, dan wafat di jakarta pada 22 juli 1991). Mempunyai
2 anak putra dan 4 anak putri, serta 15 cucu. (No 2 meninggal 7 januari 1951,
dalam usi 13 tahun).[2]
Semasa kecil
Muhammad Natsir dididik di lingkungan yang menghadirkan
nilai-nilai religiusitas, Masjid dan Surau marupakan tempat Muhammad
Natsir belajar ilmu agama. Selain belajar agama, Muhammad Natsir juga di
sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. M. Natsir
mempunyai daya intlektual yang lebih dari teman temansebayanya, diusia 8 tahun
ia masuk HIS
(Holland Inlandse School) di Kota Padang. Dengan
kecerdasannya yang lebih, kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke Sekolah HIS
Pemerintah yang mempunyai system pendidikan murni barat.
“Pada usia yang boleh dikatakan
masih sangat muda itulah Natsir mulai belajar mengarungi hidup. Meskikipun
masih samar-samar, dia mulai sadar akan artinya tanggung jawab, akan saling
berbagi dalam hidup bersama”.[3]
Setelah usia tujuh atau delapan
tahun, mulailah dia tidur disurau bersama dengan kawan-kawannya......laki-laki.
Hanya pada waktu siang dan pada saat-saat tertentu saja dia ada di rumah, kalau
dia masih tidur juga di rumah, niscaya akan jadi......ejekan kawan-kawannya
yang akan menyebutnya sebagai anak yang masih menyusu dan sebaginya. Anak
berusia tujuh atau delapan tahun harus berpisan dari orang tuanya, belajar
hidup dewasa.[4]
M. Natsir mulai mengikuti pendidikan formal di
saat ia berusia 8 tahun pada mulanya ia berkeinginan untuk mengikuti pendidikan
di HIS (Hollandse Inlandse School) yaitu sekolah negeri belanda.
Namun keinginan untuk masuk sekolah itu
gagal ketika M. Natsir diketahui anak seorang pegawai rendahan semangatnya yang
tinggi untuk sekolah membuat orang tuanya menyekolahkannya ke HIS Adabiyah
padang. Sebelum M. Natsir menyelesaikan pendidikannya di HIS Adabiah, M. Natsir
dipindahkan oleh Orang Tuanya ke HIS pemerintah Solok[5].
Di Solok M. Natsir tinggal di rumah Haji
Musa. Seorang sodagar terkemuka di situ. Haji Musa juga mempunyai anak yaitu
Ubaidillah, bersama-sama Ubaidillah ini M. Natsir mengikuti berbagai pendidikan
keagamaan, seperti belajar Bahasa Arab dan al Qur’an di Madrasah Diniyyah.[6].
Natsir begitu kerasan disana, walaupun
pada akhirnya sang Ayah kembali dipindah. Kali ini dia dipindah ke Makasar.
Natsir tetap di rumah Haji Musa. Walau dia tidak ikut ayah, tetapi kelurga Haji
Musa memperlakukannya sebagai keluarganya sendiri. Sebagai bentuk balas budi
dari seorang Muhammad Natsir dia setiap hari membiasakan diri bangun pagi untuk
membersihkan rumah dan memompa air. Gaya hidup yang dipraktekkan oleh Muhammad
Natsir tersebut semakin memacu semangat keluarga Haji Musa untuk
memperlakukannya dengan lebih baik.
Kemampuannya dalam berbahasa Arab, serta
pertemuannya dengan tokoh-tokoh pembaharuan seperti Abdullah Ahmad dan Tuanku
Mudo Amin disertai kegemarannya membaca tulisan-tulisan pembaharuan, membuat
Natsir terlibat intensif menggeluti ide dan pemikiran para pembaharu dalam usia
yang relatif muda. Muhammad Natsir pada awalnya ditolak untuk masuk sekolah
HIS. Hal ini disebabkan bukan karena dia tidak mempunyai kecerdasan intelektual,
melainkan HIS kala itu hanya mau menerima anak pegawai dan anak sodagar yang
kaya raya.
Maka tak heran kalau Muhammad Natsir
kecil begitu terpukul saat kali melihat gedung sekolah yang ia dambakan
ternyata tidak mau menerimanya. Kejadian itu menjadi pukulan berarti bagi
Muhammad Natsir. Di padang Natsir masuk ke kelas lima. Di HIS yang dahulu tak
dapat ia masuki karna ayahnya hanya pegawai kecil saja! Tetapi sebagi pindahan
dari HIS solok., dia secara otomatis diterima sebagai murid. Tiga tahun dia
sekolah di situ, sampai dia tamat HIS.
Pada tahun 1923, Natsir melanjutkan
pendidikannya ke MULO (Middlebare Uitgebreid Larger Onderwyis), di kota Padang[7].
Di samping sibuk mengikuti pendidikan di Mulo, ia juga aktif dalam kegiatan
kepanduan Natipij yang bernaung di bawah Jong Islamited Bond (JIB) yang bernama
Natipij[8].
seperti organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) sekarang.
M. Natsir menyelesaikan pendidikannya di
MULO pada tahun 1927 [9],
kemudian ia merantau ke Bandung untuk mengikuti pendidikan lanjutan di AMS
(Algemene Middlebare School), AMS merupakan jenjang pendidikan untuk persiapan
mengikuti universitas di Belanda.
Saat di AMS, Muhammad Natsir sudah
menginjak umur 19 tahun. Agar wawasannya menjadi maju, dia mencoba menekuni
Bahasa Belanda, Bahasa Latin dan kebudayaan Yunani. Pendidikan di AMS ini
dijalani dengan seksama dan semangat tinggi olehnya, walau dalam kenyataannya
dia sedikit memendam kekecewaan mengingat pendidikan yang dia dapatkan tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan.
Di sekolah ini ia mulai menekuni ilmu
pengetahuan Barat. Ia mempelajari berbagai aspek sejarah peradaban Islam,
Romawi, Yunani dan Eropa melalui buku-buku berbahasa Arab, Perancis dan Latin.
Tanpa kesulitan Natsir dapat mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, bahkan
dari sinilah Natsir memulai keseriusannya dalam merumuskan konsepsinya tentang
Islam dan berbagai sejarah Islam melalui kacamata Barat (buku-buku barat).
Setelah setahun masuk AMS. Natsir
kembali memasuki organisasi JIB, ia aktif dalam JIB sampai studinya “di AMS
selesai tahun 1930[10].
Motivasinya masuk JIB, karena ia prihatin terhadap besarnya pengaruh Barat di
kalangan pelajar-pelajar muslim, yang terlihat dari cara berpikir dan bergaul
ala Barat, mereka bangga mengidentifikasikan diri dengan orang Belanda.
Dengan aktifnya di JIB ia berusaha
melakukan pendekatan dan menumbuhkan simpati di kalangan pelajar terhadap Islam
dan organisasi JIB. Selama tinggal di Bandung Natsir juga belajar pada tokoh
ulama Persis A. Hasan[11],
peristiwa ini tercatat dalam sejarah hidup Natsir sebagai peristiwa yang
menariknya dalam gerak perjuangan Persis. Natsir mulai meniti kariernya sebagai
seorang pejuang, negarawan dan agamawan. Natsir terlibat dalam penerbitan
majalah Pembela Islam(oktober1229)
Prestasinya semakin menjulang saat dia
berhasil menjadi lulusan terbaik di AMS pada tahun 1930. M. Natsir “( lulus
dengan nilai tertinggi, dan berhak melanjutkan ke Falkultas Hukum di Batavia,
sesuai dengan keinginan orang tuanya agar mendapatkan titel Meester in de
Reachten, atau ke Falkultas Ekonomi di Rotterdam, atau menjadi pegawai negri
yang sangat cukup, Tetapi ketiganya di tolak oleh Natsir karna ia lebih
tertarik dengan masalah-masalah Islam dan gerakan Islam)”[12]
Setelah menyelesaikan studi di AMS.
Natsir tidak melanjutkan kuliahnya, ia menolak beasiswa yang ditawarkan
untuknya, malahan ia mengajar di salah satu MULO di Bandung. Kenyataan in
merupakan panggilan jiwanya untuk mengajar agama yang pada masa itu belum
memadai.
Dia lebih memilih untuk memperdalam ilmu
agama. di Persatuan Islam Bandung di bawah bimbingan Ustadz A. Hassan. Sejak
saat itulah Natsir menceburkan diri ke dalam kawah candradimuka gerakan Islam
yang mencita-citakan Indonesia merdeka.[13]
Mantapnya pemahaman agama Muhammad bukan
dikarenakan hanya semata diajar oleh Ustadz A. Hassan, melainkan dia belajar
ataupun diajar oleh ayahnya sendiri yang kebetulan menjadi pegawai Pemerintah
Belanda dan begitu mendalam terhadap pemahaman agama.
Di samping itu ia juga belajar dari H.
Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji,
tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh
pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh di Mesir.
Natsir kemudian mendirikan Lembaga
Pendidikan Islam (Pendis)[14]
suatu bentuk pendidikan modern yang mengkombinasikan kurikulum pendidikan umum
dengan pendidikan pesantren. Natsir menjabat sebagai Direktur Pendis selama
sepuluh tahun sejak tahun 1932.
B. Karir dan Perjuangan Muahammad natsir
“Muhammad Natsir, tokoh nasional
berbasis organisasi dan pemikiran islam. Gagasan dan ide-idenya mengenai bidang
berbagai kehidupan mencerminkan sikap dasar yang tidak memisahkan kehidupan
beragama dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara
dikotomis”.[15]
“Di panggung Internasional, Muhammad Natsir
dikenal pemikirannya yang multi dimensional dan salah satunya berpengaruh dalam
proses modernisasi pemikiran Islam di dunia”.[16]
Terjadinya perubahan dalam pergerakan
Islam yang pada awalnya terfokus pada-
pergumulan
fiqhiyyah dan furu’iyyah beranjak kepada pergumulan Islam yang ideologis dan
politis. Natsir ikut terbawa ke dalam arus perubahan ini, ditandai dengan
keterlibatan Natsir dalam aktivitas politik, ketika pertama kali mendaftarkan
diri menjadi anggota partai Islam Indonesia (PII), dan “ Angota Dewan Kabupaten
bandung”[17]
pada tahun 1940, ia terpilih sebagai ketua umum cabang partai tersebut di
Bandung. Di samping itu ia aktif pula dalam kepemimpinan Majellis al- Islam
A’la Indonesia (MIAI).
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945)
Natsir menjabat sebagai “kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung”.[18]
dalam jabatannya sebagai Kepala Bagian Kotamadya , Natsir ikut mendirikan
Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dimasa awal kemerdekaan Indonesia,
Natsir tampil menjadi salah seorang politikus dan pemimpin Negara.
“Pada awalnya ia menjadi anggota kerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), kemudian menjadi Menteri Penerangan
tahun 1946-1948. Akhirnya karir politik Natsir mencapai puncaknya ketika ia
dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia (1950-1951)”.[19]
Pelantikannya sebagai Perdana Mentri
adalah konsekuensi yang wajar mengingat kedudukannya sebagai ketua Partai
Masyumi, partai politik terbesar di Indonesia pada saat itu. Oleh sebab itu
keberadaan Natsir dalam Masyumi telah membawa nuansa baru bagi perjuangan umat
Islam terhadap kepentingan agama, politik, ekonomi dan sosial.
Natsir memimpin Masyumi sebagai ketua
umum, sejak tahun 1949 sampai 1958,[20]
dua tahun sebelum dibubarkan. Sembilan tahun Natsir memainkan perannya dalam
Masyumi sebagai partai Islam terbesar dalam persaturan politik di Indonesia.
Sebagai pemimpin politik Islam, Natsir secara maksimal telah memberikan seluruh
tenaga dan pikirannya bagi kepentingan umat Islam Indonesia dan seluruh bangsa
Indonesia.
Di samping itu, tampilnya Natsir ke puncak
pemerintahan, sebagai Perdana Menteri, juga tidak terlepas dari langkah
strategisnya dalam mengemukakan Mosi pada sidang parlemen Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada tanggal 3 April 1950, leibh dikenal dengan Mosi Integral M.
Natsir. Mosi itulah yang memungkinkan RI terpecah belah menjadi tujuh belas
Negara bagian serta menjadi Negara kesatuan RI.
“Sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas
dari misi integral Natsir, dan oleh beberapa politisi dianggap sebagai
proklamasi kedua setelah 17 agustus 1945. Hal ini tidaklah mudah bagi Natsir
sebab sebagai ketua Umum Masyumi, ia harus berulangkali mengadakan pendekatan
terhadap berbagai partai dan kekuatan golongan saat itu”.[21]
Selama menjabat sebagai Perdana Menteri
berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Natsir semuanya baertujuan untuk membangun
pemerintahan yang demokratis dan kehidupan perekonomian yang stabil dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat Aktivitas politik Natsir, yang tidak dapat
dilupakan adalah perdebatan-perdebatan yang dilakukannya dalam sidang
Konstituante tahun 1956- 1959.
Perdebatan-perdebatan tersebut
berhubungan dengan upaya Natsir untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan
sekaligus menolak berbagai berbagai ideology lain, seperti : Nasionalis,
Sosialis dan Pancasila untuk dijadikan sebagai dasar Negara.
Ide-ide yang dilontarkan Natsir dalam
berbagai rapat Konstituante, semakin mempertegas keterlibatannya dalam usaha
membangun sebuah system politik yang demokratis berdasarkan kepada Syari’ah.
Walaupun tidak dapat dielakkan, bahwa dengan kegagalan Konstituante yang
kemudian melahirkan kekuasaan terpimpin dibawah Presiden Soekarno, berakibat
kepada dibubarkannya partai politik islam Masyumi pada tahun 1960.
Karir Natsir sebagai politikus mengalami
pasang surut. Oposisinya terhadap presiden Soekarno dimasa Demokrasi Terpimpin
(1950-1959), dan sikap anti komunisnya yang keras mendorongnya untuk bergabung
dengan kaum pembangkang, yang pada mulanya digerakkan oleh panglima-panglima
militer di daerah.
Oposisi ini akhirnya merebak menjadi
pergolakan bersenjata, setelah mereka membentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia) Di Sumatera Barat. Namun akhirnya PRRI dilumpuhkan secara
militer oleh pemerintah pusat. Setelah menerima amnesti dari keterlibatannya
didalam PRRI, Natsir ternyata ditahan oleh pemerintah Soekarno dengan dakwaan
subversif. Selama tujuh tahun, ia berada dalam tahanan tanpa proses peradilan.[22]
Natsir baru dibebaskan oleh Pemerintah
Orde Baru, beberapa waktu setelah Pemerintahan Presiden Soekarno jatuh. Tatkala
pemerintahan orde baru muncul (1967), Natsir pun tidak mendapat tempat dan
kedudukan dalam pemerintahan. Natsir
mengalihkan
strategi perjuangannya kepada kegiatan Dakwah Strategi inilah yang kemudian
melahirkan DDII pada tanggal 26 Februari 1967.[23]
Keberanian Natsir mengoreksi
Pemerintah Orde Baru dengan ikut menandatangani Petisi 50, tanggal 5 Mei 1980,
menyebabkan ia dicekal ke luar Negeri tanpa melewati proses pengadilan. Sikap
politik Natsir yang paling akhir menjelang akhir hayatnya, adalah dukungannya
terhadap Partai Persatuan Pembangunan dalam pemilu 1992.
Di samping itu karena dukungan dan
gagasan-gagasannya M. Natsir mendapat bgerbagai penghargaan International di
antaranya sejak tahun 1967, ia dilantik menjadi wakil presiden World
Congress yang bermarkas di Pakistan dan anggota Badan Pendiri Rabithah
al-A’lam al-Islami yang berpusat di Saudi Arabia.[24]
“Tahun 1980 ia menerima bintang
penghargaan dari pemerintah
Tunisia”[25]
dan Yayasan Raja Faisal Arab Saudi atas pengabdiannya terhadap dunia Islam. Di
dunia akademik ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Lebanon
(1967) dalam bidang sastra. Sedangkan dalam “bidang pemikiran Islam diterimanya
dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Teknologi Malaysia (1991).[26]
C. Konsep Gerakkan Muhammad Natsir
Konsep
kepemimpinan yang diaplikasikan oleh Mohammad Natsir mencakup berbagai bidang
yaitu politik, sosial, pendidikan dan ekonomi. Namun bila ditinjau dari latar
belakang, perjuangan, aktifitas dan kiprahnya di bidang politik, agaknya bentuk
kepemimpinan inilah yang lebih dominan diaplikasikan olehnya, baik secara teori
maupun praktek. Di samping itu, ia juga mengaplikasikan kepemimpinan pendidikan
dan ekonomi, karena menurutnya kedua hal ini juga merupakan masalah dalam
kepemimpinan Islam secara keseluruhan. Berikut bentuk kepemimpinan yang lebih
dominan diaplikasikan olehnya.
1. Muhammad Natsir dan Politik
Pemikiran
Mohammad Natsir yang memadukan antara Islam dengan politik dinilai agak
bertolak belakang dengan kebanyakan pemikiran masyarakat yang menganggap tidak adanya
kaitan antara agama dengan politik. Sebagai negarawan yang berpihak pada masyarakat,
ia memang dikenal sebagai tokoh Islam yang vokal terhadap kebijakan pemerintah.
Oleh karena itulah ia menempatkan dakwah terhadap pemerintah sebagai prioritas.
Ia melakukan hal tersebut semenjak kepemimpinan Orde Lama (Soekarno) hingga
pemerintahan Orde Baru (Soeharto) hingga akhir hayatnya. Gagasan-gagasan politiknya
yang pertama kali dilontarkan pada awal tahun 1930. Pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno, ia gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Ia juga kerap mengoreksi
kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa itu.
Perjuangannya
pada Orde Lama membawanya pada polemik dengan Soekarno dan akhirnya berujung di
rumah tahanan. Hussein Umar, sebagaimana yang dikutip oleh Syuhada Bahri pernah
mengatakan bahwa Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia lahir dari perenungan
Mohammad Natsir selama di rumah tahanan.[27] Namun
demikian, langkah membentuk Dewan Da‘wah Islamiah Indonesia sebenarnya tidak
dapat disebut sebagai putar haluan dari gelanggang politik ke kancah dakwah.
Karena sesungguhnya, Islam dan politik mempunyai hubungan erat dan tidak terpisahkan.
Politik merupakan bagian dari Islam. Dengan kata lain saat terjun ke politik, Mohammad
Natsir juga tampil sebagai seorang pemimpin dakwah (da‘i).[28] Karena
itulah ia mengambil bagian dalam aktifitas politik dalam rangka melaksanakan
dakwah demi tegaknya Islam. Dalam bingkai politik seperti inilah ia menghimbau
agar setiap umat Islam dapat berpolitik sebagai sarana dakwah. Menurutnya,
seorang muslim tidak dapat melepaskan diri dari politik, karena menegakkan
Islam terkait erat dengan menegakkan masyarakat, negara dan kemerdekaan.[29]
Ia menggunakan
istilah modernisasi politik Islam yang mengandung arti sebagai sikap dan
pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohanian, sosial,
dan politik Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadith serta menyesuaikannya
dengan perkembangan zaman.[30]
Meskipun Dewan Da‘wah Islamiah Indonesia bukan lembaga politik, namun
organisasi ini tidak ‘buta politik.’ Oleh karena itu, di samping kegiatan
sosial keagamaannya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga mengikuti
perkembangan perpolitikan di Indonesia terutama yang berkaitan dengan Islam.[31]
Di masa Orde
Baru, ia memfokuskan sasaran dakwahnya pada penguasa/pemerintah. Kepada
pemerintah Orba, Mohammad Natsir berdakwah dengan melakukan social support
(dukungan sosial), social control (kontrol sosial) dan social participant
(partisipasi sosial). Sedangkan kepada masyarakat ia melakukan tarbiyah
alsahihah (mengajar kebenaran). Dengan demikian, setiap kebijakan dan aktifitas
pemerintahan tidak pernah luput dari perhatiannya. Yang baik didukung,
sementara yang melenceng dikoreksi.[32]
2. Muhammad Natsir dan
Pendidikan
“Maju atau
mundurnya salah satu kaum sebagian besar bergantung kepada pelajaran dan
pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa yang terbelakang
menjadi maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak
dan pemuda-pemuda mereka.” Demikianlah salah satu bunyi pidato Mohammad Natsir
dalam bidang pendidikan yang disampaikannya pada rapat Persatuan Islam di
Bogor, 17 Juni 1934.[33]
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa pendidikan merupakan pembinaan jasmani dan
rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan
dalam arti yang sesungguhnya. Sehingga, pendidikan.
Islam tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena tujuan pendidikan Islam sama dengan
tujuan kehidupan manusia, yaitu dalam rangka menyembah dan beribadah kepada
Allah.[34] Dalam
hal ini ia mengungkapkan:
“Mengenal
Allah, mentauhidkan Allah, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah harus
menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi
yang kita didik, jika kita sebagai guru ataupun ibu-bapak, betul-betul cinta kepada
anak-anak yang telah dipercayakan oleh Allah kepada kita itu...Pendidikan dengan
tauhid sebagai prinsip-prinsip utama, akan memberi nilai tambah bagi manusia
dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang
benar. Bagi orang yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan dalam
arti ia tidak memiliki pegangan hidup yang benar, semakin lama ia memperdalam
ilmu, semakin hilang rasa tempat berpijak, apa yang kemarin masih benar,
sekarang sudah tidak betul lagi. Apa yang betul sekarang, besok sudah salah
pula.”[35]
Dari ungkapan tersebut
dapat dipahami bahwa tauhid haruslah dijadikan dasar dalam kehidupan manusia,
untuk mendapatkan pegangan hidup yang benar, tauhid harus menjadi dasar dalam
berbagai bidang, di antaranya dalam masalah pendidikan. Di sisi lain, pendidikan
bukanlah bersifat parsial melainkan universal yang menuntut adanya keseimbangan
antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat jasmani dan rohani sehingga
tidak menimbulkan dikotomis antara cabang-cabang ilmu. Jika ilmu pengetahuan dipisahkan
dari ilmu agama maka akan lahir para ilmuwan yang tidak beragama atau para agamawan
yang tidak berilmu. Mohammad Natsir memandang bahwa lahirnya para intelektual
muslim yang menentang Islam adalah akibat dari pendidikan yang tidak berbasis
agama yang benar.[36]
Dakwah di bidang pendidikan ini diaplikasikan oleh Mohammad Natsir lewat
berbagai upaya, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) dan
berusaha menggabungkan pengetahuan umum dengan agama. Pendis juga menjadi cikal
bakal lahirnya Universitas Islam Bandung (UNISBA), yang saat ini menjadi
universitas terpandang di kota kembang.[37]
b. Melakukan koordinasi dan penyelarasan
program pendidikan perguruan Islam yang bakal melahirkan institusi pendidikan
Islam yang memiliki keseragaman dasar dan cita-cita. Ia menyeru perguruan dan institusi
pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk wadah bersama yang diberi nama
Perikatan Perguruan-Perguruan Muslim (PERMUSI). Dari gagasan Mohammad Natsir lahirlah
kampus-kampus Islam yang memiliki nama besar, seperti Universitas Islam
Indonesia (UII) di Yogyakarta, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di
Medan, Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung, Universitas Muslim
Indonesia (UMI) di Makasar, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) di
Semarang, Universitas Islam Riau (UIR) di Riau, Universitas Al-Azhar Indonesia
dan LPDI Jakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad
Natsir.[38]
c. Melengkapi perpustakaan-perpustakaan di
berbagai universitas, lembagalembaga dakwah dan mendirikan Pesantren Husnayain.[39] Memprakarsai
berdirinya lembaga pendidikan TKIT, SDIT dan SMPIT yang menggabungkan kurikulum
pendidikan umum dan pendidikan Islam yang berbasis pesantren.[40]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Mohammad Natsir memahami pendidikan Islam haruslah berisi pelajaran yang bisa
menghantarkan kepada tujuan pendidikan dalam Islam, yaitu menjadi khalifah di
muka bumi ini sebagai bentuk ibadah kepada Allah dalam arti yang luas. Di
samping itu, kebahagiaan dunia dan akhirat tidak hanya didapat melalui
penguasaan ilmu agama semata, tetapi juga ilmu pengetahuan umum dan teknologi
yang merupakan perangkat untuk mengemban perintah Allah.
3. Dakwah dan Ekonomi
Sebagai pemimpin yang selalu
berorientasi kepada kepentingan Islam, Mohammad Natsir berpendirian bahwa
kegiatan ekonomi juga harus berlandaskan Islam. Baginya, kegiatan ekonomi bukan
semata-mata usaha memperbanyak kekayaan materi, tetapi kekayaan itu harus
didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dalam hal ini ia
mengungkapkan:
“Harta milik harus dimanfaatkan
untuk kesejahtaraan hidup bersama. Dengan perkataan lain harta milik mempunyai
fungsi sosial. Maka salah satu dari infaq fisabilillah ialah
menggerakkan dan memutar harta benda dalam proses produksi sehingga menjadi
produktif dan dengan demikian dapat mempertinggi kemakmuran hidup masyarakat
sebagai keseluruhan.”[41]
Dari ungkapan di atas dapat dipahami
bahwa dakwah di bidang ekonomi merupakan hal yang penting dilakukan, khususnya
dalam rangka pengembangan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, dakwah
ekonomi lebih ditonjolkan pada aspekaspek kemampuan pelaku ekonomi, Islam
sebagai pedoman ekonomi dan fungsi sosial dari harta itu sendiri. Hal ini
dikarenakan semakin banyak harta yang bergerak di bidang produksi, semakin
banyak hasil dan jasa yang akan dapat dinikmati oleh masyarakat umum, baik
secara langsung maupun tidak langsung.[42] Kepemimpinan
di bidang ekonomi ini diaplikasikannya lewat berbagai upaya, di antaranya
adalah sebagai berikut.
a. Mendirikan Pasantren Pertanian Darul
Fallah yang melibatkan diri dalam pembangunan masyarakat dengan program
teknologi tepat guna dalam bidang pertanian, peternakan, perbengkelan,
manajemen, pengembangan koperasi, peternakan, kesehatan masyarakat (membuat
saluran air bersih) dan berbagai keterampilan lainnya dalam rangka mengurangi
pengangguran dan peningkatan perekonomian masyarakat.[43]
b. Memprakarsai berdirinya Lembaga Amil
Zakat Nasional Dewan Da‘wah yang merupakan badan otonom di bawah Yayasan Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia yang kemudian dilegitimasi oleh pemerintah Republik
Indonesia menjadi Lembaga Amil Zakat Nasional melalui S. Kep MENAG RI No. 407
pada tanggal 17 September 2002. Lembaga ini lebih berfokus kepada masyarakat
miskin dan berkontribusi dengan pengelolaan sumber dana lokal bersumber dari
zakat, infaq, sadaqah dan donasi sosial individu/perusahaan.[44]
c. Memprakarsai berdirinya instrumen yang
bersifat bisnis di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia sebagai pendukung kegiatan
dakwah di bidang pembiayaan. Atas prakarsanya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
mendirikan beberapa perusahaan, antara lain: penerbit dan toko buku Media
Da‘wah, percetakan Abadi, rumah makan dan layanan Bimbingan Ibadah Haji
dan Umrah Dewan Da‘wah (sejak 1998 dan mendapat sertifikat penghargaan
Departemen Agama RI). Kemudian, pada tahun 2000 Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia juga mendirikan Biro Perjalanan Wisata PT Hudaya Safari. Perusahaan
ini, selain melayani perjalanan wisata dan tiket, juga melaksanakan pelayanan
khusus ONH Plus. Biro perjalanan wisata ini sudah mendapat izin resmi dari
Menteri Agama RI.[45]
D. Muhammad Natsir dan Dewan Da’wah
Para pemimpin nasional
seperti Mohammad Natsir, Mochtar Lubis, Isa Anshari, Assaat, Sjafruddin
Prawiranegara, Boerhanoeddin Harahap, M. Yunan Nasution, Buya Hamka, Kasman
Singodimedjo dan Muttaqin yang bersikap kritis terhadap politik Demokrasi
Terpimpin, ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Puncak dari masa
penuh kegelapan itu ialah pecahnya peberontakan berdarah G.30.S/PKI. Setelah Mohammad
Natsir keluar dari tahanan pada tahun 1967 dan berharap dapat menghidupkan kembali
lembaga politik (Masyumi), namun ternyata tidak terwujud. Sebagai solusi terhadap
persoalan tersebut, maka pada 26 Februari 1967 atas undangan pengurus masjid Al-Munawwarah
Kampung Bali Tanah Abang Jakarta Pusat, Mohammad Natsir bersama para alim ulama
dan tokoh-tokoh lainnya[46]
berkumpul untuk bermusyawarah, membahas, meneliti dan menilai beberapa masalah,
terutama yang berhubungan dengan usaha pembangunan umat. Pertemuan itu juga
membahas tentang usaha mempertahankan akidah di dalam kesimpangsiuran
kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat serta menyimpulkan dua hal sebagai
berikut:
a.
Menyatakan
rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam
usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan
umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi serta atas usaha-usaha
yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
b.
Memandang
perlu untuk lebih meningkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi
sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan
dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.[47]
Untuk
menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama
tersebut merumuskan beberapa persoalan, antara lain:
a.
Mutu
dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan system perlengkapan,
peralatan, peningkatan teknik komunikasi yang dirasa perlu dalam usaha
menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat
dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan lain
terhadap masyarakat Islam.
b.
Planning
dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh
penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan
badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama
yang baik dan berencana.[48]
Dalam menampung
persoalan-persoalan yang mengandung cakupan yang luas dan sifat yang kompleks,
maka musyawarah ulama tersebut memandang perlu dibentuknya sebuah wadah yang
kemudian dikukuhkan keberadaannya melalui Akte Notaris Syahrim Abdul Manan No.
4, tertanggal 9 Mei 1967. Organisasi tersebut kemudian didirikan dalam bentuk
yayasan yang diberi nama Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, di singkat dengan sebutan
DDII atau Dewan Da‘wah saja. Pengurus Pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota
negara dan bila dimungkinkan memiliki perwakilan di tiap-tiap ibukota daerah
tingkat I serta pembantu perwakilan di tiap-tiap ibukota daerah tingkat II
seluruh Indonesia.[49]
Didirikannya
Dewan Dawah Islamiyah Indonesia oleh Muhammad Natsir, dianggap sebagai pilihan
cerdik guna menghindari dari konteks keormasan dan partai politik. Dalam sebuah
wawancara, Mohammad Natsir mengibaratkan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
sebagai mesin pembangkit tenaga listrik yang ditempatkan di belakang rumah,
dalam suatu tempat yang dirancang khusus di bawah tanah agar tidak menimbulkan
kebisingan. Dengan fungsi dan tempat seperti itu, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
diharapkan dapat menerangi umat tanpa menimbulkan suara berisik dan ‘polusi yang
bersifat politis.’[50]
Musyawarah alim
ulama kemudian merumuskan program kerja sebagai penjabaran dari landasan
kebijakan di atas. Program kerja yang ditetapkan oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
pada saat itu adalah sebagai berikut:
a.
Mengadakan
pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan pelatihan bagi da‘i dan
calon-calon da‘i.
b. Mengadakan research (penelitian) atau
membantu mengadakan penelitian yang hasilnya dapat segera dimanfaatkan bagi
perlengkapan usaha para da‘i pada umumnya.
c.
Menyebarkan
aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur atau siaran lain yang
ditujukan untuk melengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu
agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan mutu dan hasil
dakwah. Usaha ini diharapkan dapat mengisi kekosongan-kekosongan di bidang
spiritual yang diperlukan dalam masyarakat.[51]
Dari uraian di
atas dapat dipahami bahwa pertumbuhan dan perkembangan Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia tidaklah dapat dipisahkan dari peran Mohammad Natsir di dalamnya.
Fokus Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ketika pertama kali didirikan adalah dalam
rangka mengusahakan pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan akidah
di dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Di awal berdirinya,
program utama Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia lebih terfokus dalam meningkatkan
mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan system perlengkapan,
peralatan, peningkatan teknik komunikasi yang dirasa belum memadai serta mengaktifkan
jamaah masjid sebagai inti dakwah umat Islam.
Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia juga mempersiapkan upaya-upaya dalam menghadapi tantangan
(konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh
penganut kepercayaan, aliran serta agama lain terhadap masyarakat Islam. Dengan
demikian, pada masa tersebut Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia berusaha untuk
melaksanakan pemantapan akidah umat Islam agar terhindar dari berbagai masalah
yang dapat mengganggu kemurniannya (murtad, syirik, tahayul dan khurafat)
dengan merumuskan berbagai program dalam rangka meningkatkan kualitas dakwah
Islam, khususnya di Indonesia. Semasa kepemimpinan Mohammad Natsir, Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia juga membantu pembangunan masjid dari segi fisik.
Selama periode 1986-1990 misalnya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah
membangun 168 mesjid/musalla di kompleks pesantren, kompleks perumahan, lokasi
transmigrasi, kampus perguruan tinggi, kompleks rumah sakit, daerah suku
terasing, kompleks Scapa Polri, dan kompleks Lembaga Pemasyarakatan. Di bidang
ini, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga telah membantu pembangunan berbagai
masjid kampus, melengkapi perpustakaan-perpustakaan di masjid-masjid.
Di antara masjid
yang telah dibinanya adalah masjid Salman ITB dan masjid Arif Rahman Hakim di
kampus Universitas Indonesia, Jakarta.[52] Ikut
sertanya Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia secara nyata dalam masyarakat
membuktikan bahwa lembaga yang dimotori oleh Mohammad Natsir itu bukan sekedar
organisasi teoritis, tetapi juga praktis. Thohir Luth menjelaskan bahwa dalam
rangka pembinaan umat Islam terutama di pedesaan, pedalaman dan daerah
transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari berbagai pengaruh terhadap
pendangkalan akidah dan pemurtadan, Mohammad Natsir melalui Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia mengirimkan da‘i ke tempat-tempat tersebut. Para da‘i
umumnya direkrut dari masyarakat desa itu sendiri. Mereka dididik, dilatih dan dibekali
dengan berbagai ilmu serta keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas
di lapangan. Melalui pengiriman da‘i ke berbagai daerah diharapkan umat Islam yang
berada di daerah-daerah tersebut dapat terbina keislamannya.[53]
Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia telah mengirimkan da‘i ke berbagai pelosok tanah air hingga
ke daerah terpencil seperti Mentawai dan Irian Jaya. Sejak pemerintah menggalakkan
program transmigrasi, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah mengirim da‘i ke
lokasi-lokasi transmigrasi dan daerah-daerah terpencil lainnya. Dalam hal ini, Mohammad
Natsir mempergunakan pendekatan ‘bawah-atas.’ Artinya, jika ada suatu lokasi
yang memerlukan da‘i, maka da‘i yang dikirim adalah da‘i yang sudah disepakati oleh
masyarakat setempat. Sebab, bagaimanapun da‘i tersebut pada akhirnya akan hidup
berdampingan dengan masyarakat setempat.[54]
Langkah Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia ternyata telah membangkitkan semangat tolong-menolong
dalam kebaikan dari lembaga-lembaga dakwah lainnya. Muhammadiyah dan Yayasan
Kiblat Centre kini terhitung sebagai lembaga yang giat mengirim da‘i ke lokasi
transmigrasi dan suku-suku terasing.[55]
Mohammad Natsir tidak hanya berdakwah dengan cara bi al-hal dan bi al-lisan saja.
Ia juga merancang dakwah bi al-kitabah, yaitu melalui tulisan-tulisan yang diorganisasi
oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Mulai dari brosur berupa lembaran sampai
pada majalah maupun buku-buku yang ditulisnya sendiri maupun oleh orang lain. Dakwah
bi al-kitabah yang dilaksanakan Mohammad Natsir dapat menjangkau semua pihak,
mulai dari golongan awam, menengah, maupun terpelajar.
Tujuannya adalah
memberikan informasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan pada masyarakat secara
luas, agar mereka dapat memahami agama dan persoalan- persoalan sosial secara
tepat. Ada lima terbitan dakwah yang dikelola oleh Mohammad Natsir dan semuanya
dikerjakan di kompleks sekretariat Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Adapun
kelima terbitan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Majalah Serial
Media Da‘wah yang dititikberatkan sebagai konsumsi golongan terpelajar dan
menengah. Kedua, Majalah Suara Masjid yang isinya lebih difokuskan untuk
konsumsi masyarakat awam yang berisi uraian-uraian tentang tafsir, hadith dan
lain-lain. Ketiga, Serial Khutbah Jum‘at, khusus memuat bahanbahan khutbah
Jumat untuk para da‘i dan masyarakat luas. Isinya kemudian ditambah dengan
manajemen dan pembinaan masjid. Keempat, Majalah Sahabat yang merupakan bacaan
agama dan bimbingan untuk anak-anak dalam membentuk generasi yang saleh.
Kelima,
Buletin Da‘wah yang terbit setiap hari Jumat yang isinya diatur sedemikian rupa
sehingga dapat dipahami oleh semua belah pihak. Di samping itu, Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia pada tahun 1988 mulai menerbitkan Tabloid Al-Salam. Isinya menyangkut
masalah keagamaan dan laporan masalah-masalah kegiatan sosial keagamaan. Dengan
terbitan-terbitan tersebut, terjalinlah hubungan yang erat dengan
wilayah-wilayah sedikit banyaknya juga dikembangkan bahan-bahan dakwah yang
dapat dikatakan “satu nafas” dan “satu bahasa.”[56]
Aktifitas
pembinaan Islam diaplikasikan oleh Mohammad Natsir dengan melaksanakan berbagai
kegiatan meliputi pengamat kebijakan pemerintahan, membendung kristenisasi dan
menggalang persatuan umat Islam yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pengamat
kebijakan pemerintahan Di masa Orde Baru, Mohammad Natsir memfokuskan sasaran
dakwahnya pada penguasa/pemerintah. Adapun tujuan yang ingin dicapainya adalah
perbaikan dan terciptanya iklim hidup yang baik dalam bermasyarakat dan
bernegara. Thohir Luth menyebutkan bahwa upaya lain yang dilakukan Mohammad
Natsir dalam meluruskan kebijakan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru
adalah sebagai berikut.
a. Mengoreksi dan meluruskan kebijakan
Presiden Soeharto yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan baik melalui
pidato, ceramah dan tulisannya.
b. Bergabung dalam kelompok Petisi 50[57]
untuk menyusun pernyataan keprihatinan terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah
kekuasaan Soeharto.
c. Memberikan imbauan kepada pemerintah,
anggota DPR, Ketua beserta Anggota Mahkamah Agung RI, para cendekiawan dan para
alim ulama agar senantiasa mengingat dan menghayati kembali apa yang telah
diikrarkannnya di depan DPR-GR tanggal 16 agustus 1967 yang menetapkan bahwa
“Orde baru lahir sebagai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala
bentuk penyelewengan yang dilakukan Orde Lama.”[58]
2. Membendung kristenisasi Mohammad Natsir
menaruh perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia. Perhatian khusus
ini dituangkan dalam bentuk konkret dengan melakukan tiga upaya, yaitu:
a. Mengirimkan da‘i Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
ke pelosok daerah.
b. Menulis dua karya ilmiah berjudul Islam
Dan Kristen Di Indonesia dan Mencari
Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia.
c. Mengirim surat terbuka kepada Paus Yohanes
Paulus II di Vatikan melalui Duta Besar Tahta Suci dengan pengharapan agar mereka
mau membuka mata, memperhatikan kristenisasi yang tengah digencarkan di Negara Republik
Indonesia dengan penduduk yang mayoritas muslim.[59]
Mohammad Natsir
menyoroti kristenisasi di Indonesia ini pada tiga hal utama, yaitu kristenisasi
itu sendiri, diakonia[60]
dan perlunya warga yang beragama melakukan modus vivendi. Adapun tujuan dari
modus vivendi (jalan keluar) adalah menciptakan kehidupan berdampingan secara
damai. Mohammad Natsir menegaskan perlunya modus vivendi karena umat Islam menginginkan
hal-hal berikut:
1. Antara pemeluk agama di Indonesia ini
supaya hidup berdampingan secara baik, saling menghargai dan toleransi.
2. Agar semua agama di Indonesia merasakan
arti hidup intern umat beragama dengan pemerintah.
3. Terwujudnya perdamaian antara masyarakat
yang berbeda agama di Negara ini dengan kepentingan pembangunan nasional.
4. Menghindari terjadinya perang agama sebagaimana
yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia ini.
5. Mengajak semua manusia dengan perbedaan
agama masing-masing untuk mengamalkan salah satu perintah agama yang paling
esensial, yaitu keadilan dalam keragaman beragama.[61]
Upaya Mohammad Natsir
melalui modus vivendi tersebut patut dihargai oleh pemerintah dan semua umat
beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yusuf Al-Qaradhawi dalam program
Asy-Syariah wal Hayat di Aljazeera Channel menyebutkan bahwa prestasi besar Mohammad
Natsir dalam menyelamatkan akidah umat adalah dengan melakukan gerakan
membendung kristenisasi di Indonesia melalui Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia.[62]
*) Penulis merupakan peneliti Islamic Research
Forum-http://amriadicyber.blogspot.com
[1] Lukman Hakiem, Pemimpin
Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu,
1993, hal.253.
[3] Ajib Rosyidi, M.
Natsir Sebuah Biografi , hal. 146.
[4] Ibid, hal. 147.
[6] Ibid.
[7] Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman
Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal.253.
[8] Ajib Rosyidi, Moh.
Natsir Sebuah Biografi , hal. 151
[9] Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman
Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal.253.
[11] Ajib Rosyidi, M.
Natsir Sebuah Biografi , hal. 159.
[12] Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang Rekaman
Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal.253.
[13]
Lihat,http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/2009/05/kesederhanaan-seorang mohammad-natsir-1.html . Diakses, 17
Januari 2013.
[14] Ajib Rosyidi, Moh.
Natsir Sebuah Biografi ,hal. 158.
[15] Anwar Harjono, Pemikiran
dan Perjuangan Muhammad Natsir, hal. 32.
[16]. Ibid.
[17] Lukman Hakiem, Pemimpin
Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal. 254.
[20] Ibid, hal.254.
[21] Anwar Harjono, Pemikiran
dan Perjuangan Muhammad Natsir, hal. 58.
[22] Lukman Hakiem, Pemimpin
Pulang Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, hal. 254.
[23] Ibid, hal. 255.
[24] Ibid, hal. 258.
[25] Ibid, hal.257.
[26] Ibid, hal.258.
Seabad M.Natsir, (Jakarta: 2008), hal. 65
Kepemimpinan Mohammad Natsir,
http//www.linkpdf.com/ebook, diakses tanggal 24 Oktober 2010.
12 April 2010.
Mujtama‘..., hal. 45.
Majalah Sabili..., hal. 47.
Da‘wah Islamiyah Indonesia,
(Jakarta: 1999).
pada tanggal 24 Juli 2010.
[46] Mereka adalah mantan Menteri Agama ( H.M. Rasjidi);
Mantan Menteri Luar Negeri (Mohammad Roem); mantan Presiden Pemerintahan
Darurat RI-Gubernur Bank Sentral (Sjafroeddin Prawiranegara); mantan Perdana
Menteri (Burhanuddin Harahap, Kasman Singodimejo, Osman Raliby dan Yunan
Nasution); mantan Duta Besar untuk Irak (Datuk Palimo Kayo); serta para
intelektual muslim (Anwar Harjono, Taufiqurrahman, Hasan Basri, Prawoto
Mangkusasmito, Nawawi Duski, Abdul Hamid, Abdul Malik Ahmad dan Buchari Tamam).
(Tim Penyunting, “Generator Lapangan Dakwah,” dalam Seri Buku Tempo Natsir:
Politik Santun Diantara Dua Rezim, Jakarta: Gramedia, 2011, hal. 116).
diakses tanggal 16 Maret 2010.
(Jakarta: Media Da‘wah, 1993), hal. 238.
jenderal,
para pengusaha, intelektual maupun para da‘i. Kelompok ini melakukan
koreksi dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru khususnya mengenai
pelaksanaan konstitusi dan UUD 1945 agar dilaksanakan secara murni, konsekuen,
jujur dan adil. Pernyataan tersebut disampaikan kepada pemerintah,
lembagalembaga formal, nonformal dan masyarakat pada umumnya. (Thohir Luth, M.
Natsir Da‘wah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani, 1999, hal. 107).
toleran orang-orang Kristen terhadap terhadap umat
Islam. (Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 122).
Seabad Mohammad Natsir,
(Jakarta: 2008), hal. 49.
0 comments:
Post a Comment