MASA PATRISTIK
Oleh Mustofa
Akmal
(Mahasiswa STID Mohammmad Natsir)
Lahirnya agama Kristen pada awal
abad Masehi secara tidak langsung mempengaruhi kedudukan filsafat di Barat.
Pemikiran-pemikiran para filsuf mulai dipengaruhi atau bahkan dicampuri oleh
pembahasan tentang pandangan hidup kristiani. Agama Kristen yang ketika itu
sedang berkembang, membawa suatu dimensi baru dalam perjalanan filsafat
selanjutnya. Dimensi itu tak lain ialah sebuah masa dimana
pembahasan-pembahasan filosofis diarahkan pada pembicaraan tentang “iman”
kristiani. Dengan kata lain inilah masa yang dikenal sebagai periode
“pengkristenan” filsafat. Inilah yang dikenal dengan masa Patristik[1]
Pengertian dan Sejarah Singkat
Istilah Patristik berasal dari kata
latin patres (bentuk plural dari pater) yang berarti bapak-bapak dalam
lingkungan gereja, yang dimaksudkan adalah para pujangga Kristen (Gereja) dan
tokoh-tokoh Gereja yang sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual
kekristenan. Di dunia Barat agama Katolik mulai tersebar dengan ajarannya
tentang Tuhan, manusia, dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan
menyebarkanya maka mereka menggunakan filsafat Yunani dan menderivasi lebih
lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang berhubungan dengan manusia, kepribadian,
kesusilaan, juga sifat Tuhan[2].
Para pemikir Kristen pada zaman
Patristik mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap filsafat Yunani. Ada yang
menolak sama sekali filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran
manusia semata, sehingga setelah ada wahyu Tuhan dianggap tidak diperlukan lagi
dan berbahaya bagi “keimanan” umat Kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima
filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai
persiapan bagi Injil. Kedua macam sikap ini yang mewarnai di zaman pertengahan
itu[3].
Periode ini ditandai dengan adanya
Bapak-bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet dan para
pengarang Gereja. Apologet adalah orang yang secara resmi menentang
ajaran-ajaran sesat dengan mengemukakan ajaran-ajaran “iman” yang benar. Mereka
dikenal juga sebagai pembela-pembela ajaran yang benar. Para Apologet memiliki
tugas utama menjawab berbagai persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran
Gereja, terhadap berbagai ajaran atau paham-paham filosofis yang mengancam
ajaran “yang benar”[4].
Para pengarang Gereja adalah
orang-orang yang menulis buku dan karangan-karangan tentang berbagai ajaran
Gereja secara menyeluruh dan mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan
sebelumnya. Mereka-mereka itu adalah Clemens dari Alexandria (150-219 M) dan
Origenes (185-254 M). Kemudian tampil
juga para pujangga Gereja (325-500 M) yang membaktikan jasa mereka bagi Gereja
dan ajaran Kristen, diantaranya: Athanasius (296-373 M), Gregorius dari Naziaza
(329-389 M), Basilius (330-379 M), Gregorius dari Nyssa (330-395 M), Sirilus
dari Alexandria[5] dan Dyonisius Areopagita (± 500 M),
mereka adalah para pujangga Gereja tradisi Yunani dan menggunakan Bahasa Yunani
(Patristik Yunani). Sedangkan
Hilarius (315-367 M), Ambrosius (339-397 M), Hieronymus (374-420 M) dan
Agustinus (354-430 M) termasuk dalam tradisi Latin yang menggunakan bahasa
Latin (Patristik Latin). Ajaran-ajaran mereka, terutama ajaran Agustinus,
berkembang luas dan sangat berpengaruh dalam diri para filosuf abad pertengahan.
Masa Agustinus (354-430 M) sampai 1000 M dikenal dalam sejarah filsafat sebagai
periode transisi, dan para filsuf yang terkelompok dalam periode ini adalah
Agustinus sendiri, Boethius (480-525 M) dan John Scotus Eriugena (lahir 800 M)[6].
Pada abad-abad pertama, Gereja
Kristen mengalami penganiayaan terus-menerus dari pihak penguasa-penguasa
Romawi. Kedaan ini berubah secara radikal, ketika pada tahun 313 Kaisar
Constantinus Agung mengeluarkan pernyataan yang biasa disebut “edik Milano”
dimana kebebasan beragama untuk semua orang Kristen terjamin. Sesudah kejadian
itu Agama Kristen berkembang pesat dalam semua propinsi kekaisaran Romawi.
Sejak saat itu mulailah zaman keemasan Patristik, baik dalam wilayah yang
berbahasa Yunani maupun dalam wilayah yang berbahasa Latin[7].
Menurut para sejarawan, filsafat
Patristik mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad VIII. Selanjutnya di
barat dan timur muncul tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak
pemikiran yang mulai berbeda dengan masa Patristik.
Kesimpulan dan Kritik Pemikiran Secara Umum
Filsafat pada masa patristik menandai bahwa
pemikiran-pemikiran para filsuf mulai dipengaruhi atau bahkan dicampuri oleh
pembahasan tentang pandangan hidup kristiani. Sehingga melahirkan sebuah
dimensi di mana pembahasan-pembahasan filosofis diarahkan pada pembicaraan
tentang “iman” kristiani. Secara lebih lugas, masa ini merupakan masa di mana
terjadi proses “kristenisasi” filsafat.
Sebagaiman sudah dijelaskan, para pemikir Kristen pada zaman
Patristik mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap filsafat Yunani. Ada yang
menolak sama sekali filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran
manusia semata, sehingga setelah ada wahyu Tuhan dianggap tidak diperlukan lagi
dan berbahaya bagi “keimanan” umat Kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima
filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai
persiapan bagi Injil.
Kondisi para pemikir Kristen semacam ini mirip dengan sikap
yang ditunjukkan oleh pemikir Muslim ketika harus berhadapan dengan pemikiran
filsafat yang masuk ke dunia Islam pada masa yang lain. Bedanya, jika
beragamnya respon para pemikir Kristen lebih didasarkan pada kekhawatiran akan
terkontaminasinya ajaran kristiani, maka beragamnya respon di dunia Islam lebih
dikarenakan oleh problem substansial filsafat jika dihadapkan dengan al-Qur’an.
Dalam ajaran Kristen, ajaran kristiani sendiri tidak sepi dari koreksi manusia.
Artinya body of knowledge ajaran kristiani tidak terdeskripsi
dengan bentuk yang jelas. Sehingga, upaya untuk melakukan kompromi antara
filsafat dengan ajaran Kristen dipandang sebagai pilihan rasional. Hal itu
sebagaimana dilakukan oleh Klemens dari Aleksandria. Salah satu pemikiran
Klemens yang penting adalah usahanya untuk membangun hubungan yang baik antara
“iman” Kristen dengan filsafat. Pada waktu itu, kebanyakan orang takut untuk
menghubungkan keduanya karena akan dianggap sesat. Klemens mengklaim bahwa
dengan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan filsafat tidak lantas
membuat orang menjadi sesat. Upaya Klemens didasarkan kepada pertimbangan bahwa
kalau gereja menutup diri terhadap kebudayaan dan filsafat yunani, maka gereja
akan tertutup bagi orang-orang yang berpendidikan. Itulah mengapa kami katakan
bahwa “kristenisasi filsafat” atau bahkan “filsafatisasi Kristen” menjadi
pilihan bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Karena pada kenyataannya,
terminologi dan batasan dari istilah “sesat” sendiri menjadi delicated dalam
ajaran kristiani. Hal ini berbeda dengan yang dialami umat Islam pada masa jauh
setelah masa ini. Studi filsafat di dunia Islam lebih kental dengan metodologi
al-Qur’an yang vis a vis dengan metodologi filsafat dalam membangun
keimanan dan pandangan hidup.
Walhasil, perkembangan filsafat barat pada masa patristik
lebih didasarkan pada tradisi intelektual dalam koridor keyakinan yang berakhir
dengan tidak tersisanya apa yang disebut dengan ajaran “orisinil” keduanya,
kecuali menghasilkan kompromi, hal itilah yang kita bias lihat dari pemikir
paling terkemuka Agustinus. Agustinus dalam argumen filsafat dan
teologinya, banyak dipengaruhi oleh Platonisme dan Neoplatonisme, terutama oleh
karya plotinus, penulis Enneds, kemungkinan melalui perantaraan Profiri dan
Victorius (seperti dalam argumen Pierre Hadot). Pandangannya yang umumnya
positif terhadap pemikiran Neoplatonik ikut menolong “dibaptiskannya” pemikiran
Yunani dan masuknya ke dalam tradisi Kristen dan kemudian tradisi intelektual
Eropa. Tulisan awalnya yang berpengaruh tentang kehendak manusia, sebuah topik
sentral dalam etika, kelak menjadi fokus bagi para filsuf berikutnya seperti
Arthur Scopenhaur dan Nietzsche.
Adapun jika kita analogikan dengan
masuknya filsafat ke dunia Islam, memang merupakan tradisi intelektual dalam
koridor keimanan, yang berakhir dengan skema yang masih mapan, keduanya masih
merupakan entitas pemikiran keyakinan yang berdiri sendiri. Meskipun usaha untuk
mengkompromikannya sudah dilakukan sejak watu yang lama, namun belum bisa
dipandang berhasil dan hanya diadopsi oleh sebagian kecil umat Islam. Tetap
saja masih dalam arena perdebatan intelektual. Secara teoretis, filsafat
menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq). Secara praktis,
filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr). Dari dua
spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan
manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam
konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa
filsafat adalah paham (isme) di luar agama para Nabi. Di sinilah
problematikanya, sebab Islam telah mengajarkan tentang al-haq
(kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas
tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan
batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. (Yuana Ryan
Tresna : Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung).
Daftar
Pustaka
Anonim.
2011. Inkulturasi Iman Menurut St Agustinus (Periode Patristik),
Salam,
Burhanuddin. 2003. Pengantar Filsafat. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Hadiwijono,
Harun. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Penerbit Kanisius:
Yogyakarta.
Kebug,
Kondrad. 2008. Filsafat Itu Indah. Pustakaraya: Jakarta.
Bertens,
K. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
[2] Diantara yang
terkenal: Tertulianus (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430) yang
sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei: tentang kota Allah). Berdasarkan
ajaran Neo-Plaonisi da Stoa, ajarannya meliputi pengetahuan, tata dalam alam,
bukti adanya Tuhan, tentang manusia, jiwa, etika, masyarakat dan sejarah.
Lihat:
Burhanuddin
Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2003), hlm. 191
[4] Diantara Apologet yang terkenal: Ireneus,
Justin Martyr, Tatianus, Hermias, Athenagoras, Tertulianus, Origenes, dan Arius
[5] Mungkin yang dimaksud adalah Cyril of
Alexandria (412-444 M).
[6]Kondrad Kebug, Filsafat
Itu Indah, (Jakarta, Pustakaraya, 2008), hlm. 180
0 comments:
Post a Comment