Friday, August 26, 2016

Sejarah Filsafat Patristik

Image result for MASA PATRISTIK
MASA PATRISTIK
Oleh Mustofa Akmal
(Mahasiswa STID Mohammmad Natsir)

Lahirnya agama Kristen pada awal abad Masehi secara tidak langsung mempengaruhi kedudukan filsafat di Barat. Pemikiran-pemikiran para filsuf mulai dipengaruhi atau bahkan dicampuri oleh pembahasan tentang pandangan hidup kristiani. Agama Kristen yang ketika itu sedang berkembang, membawa suatu dimensi baru dalam perjalanan filsafat selanjutnya. Dimensi itu tak lain ialah sebuah masa dimana pembahasan-pembahasan filosofis diarahkan pada pembicaraan tentang “iman” kristiani. Dengan kata lain inilah masa yang dikenal sebagai periode “pengkristenan” filsafat. Inilah yang dikenal dengan masa Patristik[1]
            Pengertian dan Sejarah Singkat
Istilah Patristik berasal dari kata latin patres (bentuk plural dari pater) yang berarti bapak-bapak dalam lingkungan gereja, yang dimaksudkan adalah para pujangga Kristen (Gereja) dan tokoh-tokoh Gereja yang sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan. Di dunia Barat agama Katolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia, dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggunakan filsafat Yunani dan menderivasi lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang berhubungan dengan manusia, kepribadian, kesusilaan, juga sifat Tuhan[2].
Para pemikir Kristen pada zaman Patristik mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap filsafat Yunani. Ada yang menolak sama sekali filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran manusia semata, sehingga setelah ada wahyu Tuhan dianggap tidak diperlukan lagi dan berbahaya bagi “keimanan” umat Kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi Injil. Kedua macam sikap ini yang mewarnai di zaman pertengahan itu[3].
Periode ini ditandai dengan adanya Bapak-bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet dan para pengarang Gereja. Apologet adalah orang yang secara resmi menentang ajaran-ajaran sesat dengan mengemukakan ajaran-ajaran “iman” yang benar. Mereka dikenal juga sebagai pembela-pembela ajaran yang benar. Para Apologet memiliki tugas utama menjawab berbagai persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran Gereja, terhadap berbagai ajaran atau paham-paham filosofis yang mengancam ajaran “yang benar”[4].
Para pengarang Gereja adalah orang-orang yang menulis buku dan karangan-karangan tentang berbagai ajaran Gereja secara menyeluruh dan mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Mereka-mereka itu adalah Clemens dari Alexandria (150-219 M) dan Origenes (185-254 M). Kemudian tampil juga para pujangga Gereja (325-500 M) yang membaktikan jasa mereka bagi Gereja dan ajaran Kristen, diantaranya: Athanasius (296-373 M), Gregorius dari Naziaza (329-389 M), Basilius (330-379 M), Gregorius dari Nyssa (330-395 M), Sirilus dari Alexandria[5] dan Dyonisius Areopagita (± 500 M), mereka adalah para pujangga Gereja tradisi Yunani dan menggunakan Bahasa Yunani (Patristik Yunani). Sedangkan Hilarius (315-367 M), Ambrosius (339-397 M), Hieronymus (374-420 M) dan Agustinus (354-430 M) termasuk dalam tradisi Latin yang menggunakan bahasa Latin (Patristik Latin). Ajaran-ajaran mereka, terutama ajaran Agustinus, berkembang luas dan sangat berpengaruh dalam diri para filosuf abad pertengahan. Masa Agustinus (354-430 M) sampai 1000 M dikenal dalam sejarah filsafat sebagai periode transisi, dan para filsuf yang terkelompok dalam periode ini adalah Agustinus sendiri, Boethius (480-525 M) dan John Scotus Eriugena (lahir 800 M)[6].
Pada abad-abad pertama, Gereja Kristen mengalami penganiayaan terus-menerus dari pihak penguasa-penguasa Romawi. Kedaan ini berubah secara radikal, ketika pada tahun 313 Kaisar Constantinus Agung mengeluarkan pernyataan yang biasa disebut “edik Milano” dimana kebebasan beragama untuk semua orang Kristen terjamin. Sesudah kejadian itu Agama Kristen berkembang pesat dalam semua propinsi kekaisaran Romawi. Sejak saat itu mulailah zaman keemasan Patristik, baik dalam wilayah yang berbahasa Yunani maupun dalam wilayah yang berbahasa Latin[7].
Menurut para sejarawan, filsafat Patristik mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad VIII. Selanjutnya di barat dan timur muncul tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak pemikiran yang mulai berbeda dengan masa Patristik.
Kesimpulan dan Kritik Pemikiran Secara Umum
Filsafat pada masa patristik menandai bahwa pemikiran-pemikiran para filsuf mulai dipengaruhi atau bahkan dicampuri oleh pembahasan tentang pandangan hidup kristiani. Sehingga melahirkan sebuah dimensi di mana pembahasan-pembahasan filosofis diarahkan pada pembicaraan tentang “iman” kristiani. Secara lebih lugas, masa ini merupakan masa di mana terjadi proses “kristenisasi” filsafat.
Sebagaiman sudah dijelaskan, para pemikir Kristen pada zaman Patristik mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap filsafat Yunani. Ada yang menolak sama sekali filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran manusia semata, sehingga setelah ada wahyu Tuhan dianggap tidak diperlukan lagi dan berbahaya bagi “keimanan” umat Kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi Injil.
Kondisi para pemikir Kristen semacam ini mirip dengan sikap yang ditunjukkan oleh pemikir Muslim ketika harus berhadapan dengan pemikiran filsafat yang masuk ke dunia Islam pada masa yang lain. Bedanya, jika beragamnya respon para pemikir Kristen lebih didasarkan pada kekhawatiran akan terkontaminasinya ajaran kristiani, maka beragamnya respon di dunia Islam lebih dikarenakan oleh problem substansial filsafat jika dihadapkan dengan al-Qur’an. Dalam ajaran Kristen, ajaran kristiani sendiri tidak sepi dari koreksi manusia. Artinya body of knowledge ajaran kristiani tidak terdeskripsi dengan  bentuk yang jelas. Sehingga, upaya untuk melakukan kompromi antara filsafat dengan ajaran Kristen dipandang sebagai pilihan rasional. Hal itu sebagaimana dilakukan oleh Klemens dari Aleksandria. Salah satu pemikiran Klemens yang penting adalah usahanya untuk membangun hubungan yang baik antara “iman” Kristen dengan filsafat. Pada waktu itu, kebanyakan orang takut untuk menghubungkan keduanya karena akan dianggap sesat. Klemens mengklaim bahwa dengan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan filsafat tidak lantas membuat orang menjadi sesat. Upaya Klemens didasarkan kepada pertimbangan bahwa kalau gereja menutup diri terhadap kebudayaan dan filsafat yunani, maka gereja akan tertutup bagi orang-orang yang berpendidikan. Itulah mengapa kami katakan bahwa “kristenisasi filsafat” atau bahkan “filsafatisasi Kristen” menjadi pilihan bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Karena pada kenyataannya, terminologi dan batasan dari istilah “sesat” sendiri menjadi delicated dalam ajaran kristiani. Hal ini berbeda dengan yang dialami umat Islam pada masa jauh setelah masa ini. Studi filsafat di dunia Islam lebih kental dengan metodologi al-Qur’an yang vis a vis dengan metodologi filsafat dalam membangun keimanan dan pandangan hidup.
Walhasil, perkembangan filsafat barat pada masa patristik lebih didasarkan pada tradisi intelektual dalam koridor keyakinan yang berakhir dengan tidak tersisanya apa yang disebut dengan ajaran “orisinil” keduanya, kecuali menghasilkan kompromi, hal itilah yang kita bias lihat dari pemikir paling terkemuka Agustinus.  Agustinus dalam argumen filsafat dan teologinya, banyak dipengaruhi oleh Platonisme dan Neoplatonisme, terutama oleh karya plotinus, penulis Enneds, kemungkinan melalui perantaraan Profiri dan Victorius (seperti dalam argumen Pierre Hadot). Pandangannya yang umumnya positif terhadap pemikiran Neoplatonik ikut menolong “dibaptiskannya” pemikiran Yunani dan masuknya ke dalam tradisi Kristen dan kemudian tradisi intelektual Eropa. Tulisan awalnya yang berpengaruh tentang kehendak manusia, sebuah topik sentral dalam etika, kelak menjadi fokus bagi para filsuf berikutnya seperti Arthur Scopenhaur dan Nietzsche.
Adapun jika kita analogikan dengan masuknya filsafat ke dunia Islam, memang merupakan tradisi intelektual dalam koridor keimanan, yang berakhir dengan skema yang masih mapan, keduanya masih merupakan entitas pemikiran keyakinan yang berdiri sendiri. Meskipun usaha untuk mengkompromikannya sudah dilakukan sejak watu yang lama, namun belum bisa dipandang berhasil dan hanya diadopsi oleh sebagian kecil umat Islam. Tetap saja masih dalam arena perdebatan intelektual. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq). Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr). Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para Nabi. Di sinilah problematikanya, sebab Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. (Yuana Ryan Tresna : Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung).

Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Inkulturasi Iman Menurut St Agustinus (Periode Patristik),
Salam, Burhanuddin. 2003. Pengantar Filsafat. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Hadiwijono, Harun. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Kebug, Kondrad. 2008. Filsafat Itu Indah. Pustakaraya: Jakarta.
Bertens, K. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.



[1] Anonim, Inkulturasi Iman Menurut St Agustinus (Periode Patristik),

[2] Diantara yang terkenal: Tertulianus (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430) yang sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei: tentang kota Allah). Berdasarkan ajaran Neo-Plaonisi da Stoa, ajarannya meliputi pengetahuan, tata dalam alam, bukti adanya Tuhan, tentang manusia, jiwa, etika, masyarakat dan sejarah. Lihat:
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2003), hlm. 191

[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2005) hlm. 70

[4] Diantara Apologet yang terkenal: Ireneus, Justin Martyr, Tatianus, Hermias, Athenagoras, Tertulianus, Origenes, dan Arius

[5] Mungkin yang dimaksud adalah Cyril of Alexandria (412-444 M).
[6]Kondrad Kebug, Filsafat Itu Indah, (Jakarta, Pustakaraya, 2008), hlm. 180
[7] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1998), hlm. 21

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: