Saturday, August 20, 2016

Ilmu Perbandingan Agama Dalam Khazanah Islam Dan Dalam Literatur Barat

ILMU PERBANDINGAN AGAMA DALAM KHAZANAH 
ISLAM DAN DALAM LITERATUR BARAT
Oleh: Lukman M.Pd.I
(Pengatar Mata Kuliah Sejarah Agama-Agama pada Semester VI STID Mohammad Natsir)


A. Latar Belakang
Apabila ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang mempelajari, mengkaji agama-agama, dan tujuannya dapat memahami kemudian mendeskripsikannya sesuai dengan pengertian yang dipercayai dan diakui oleh pemeluk-pemeluknya[1], maka pada dasarnya ilmu perbandingan agama di dunia Islam telah ada seiring munculnya Islam. Karena al-Qur’an yang merupakan kitab suci dan rujukan utama ummat Islam banyak membahas agama-agama diluar Islam[2], termasuk agama yang sudah tidak berkembang. Di samping itu al-Qur’an memberikan pedoman bagaimana seharusnya bersikap terhadap agama-agama lain[3]. Imam Bukhari dan ahli-ahli hadits lainnya telah memberi keterangan yang sangat jelas kepada kita tentang penguasaan Rasulullah SAW terhadap agama Yahudi, beliau dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang Yahudi seputar kenabian dan mengusai hukum-hukum syari’at yang terdapat dalam Tauran, kitab suci kaum Yahudi[4].
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di pelbagai bidang, terutama masuknya filsafat Yunani ke dalam dunia Islam, memberikan pengaruh yang cukup besar dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk ilmu agama. Maka bermunculanlah penulis-penulis Muslim dalam diskursus ilmu agama-agama, di antaranya adalah Ali Ibn Sahl Rabban al-Thabary (meninggal tahun 854 M), ia menulis kitab berjudul; Al-Dien wa al Daulah, dalam kitab ini tidaklah terdapat serangan-serangan terhadap agama lain termasuk agama Kristen, malahan sebaliknya kitab tersebut memuat keterangan yang positif tentang agama Kristen. Kitab ini mengulas mengenai sejarah nabi. Bahwa mu’jizat nabi Muhammad SAW lebih dapat dipercayai dibandingkan mu’jizat nabi Isa a.s. sehingga seharusnya ummat Kristen menerima kenabian Muhammad SAW. Dalam ulasannya, Ali Ibn Sahl banyak mengemukakan ayat-ayat Bibel yang memberitakan kedatangan Nabi Muhammad SAW[5].
Selanjutnya pada abad ke-10 tampillah Ali Ibn Hazm (994-1064)[6], seorang ulama Spanyol yang kakeknya adalah seorang muslim yang tadinya Kristen. Beliau salah satu dari sekian ulama Islam yang sangat produktif, tulisannya tidak kurang dari 400 judul buku dalam berbagai bidang seperti sejarah, teologi, hadits, logika, dan sebagainya. Kitabnya yang berkaitan dengan studi agama-agama adalah Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal, dalam kitab tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan kitab Bible, pengetahuannya tentang kitab Bible sangat mendalam, ini terbukti dengan analisa-analisanya yang sangat kritis terhadap isi Bible.[7] Ibn Hazm berpendapat bahwa sumber paling utama setiap agama adalah kitab sucinya, studi terhadap teks kitab suci merupakan tataran paling awal dan paling penting dalam memahami suatu agama. Karena itu, ketika membahas agama Yahudi dan Kristen pada masanya, ia lebih menekankan pada analisis kitab-kitab suci kedua agama tersebut. Analisis itu tentunya tetap bersandarkan pada al-Qur’an dan hadits-hadits rasulullah SAW.
Ibn Hazm yang mendasarkan studinya pada pengamatan (shahadah al-hiss) dan logika ini berusaha tidak menyimpang dari fakta-fakta yang ada. Metode analisis  kritik teks terhadap Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang dipakainya  sesuai dengan metode yang dipakai oleh para kritikus Bible modern. Ia mengumpulkan ayat-ayat atau bagian-bagian dari kedua kitab tersebut yang dipandangnya mengandung masalah; membandingkannya satu sama lain secara sinoptik; kemudian menganalisisnya secara kritis; menghubungkan temuan-temuannya satu sama lain dan  juga melengkapi metodenya dengan melakukan dialog dengan para sarjana Yahudi dan Kristen pada masanya sepanjang diperlukan. Dan akhirnya mengambil kesimpulan secara objektif disertai bukti-bukti. Inkonsistensi dan kontradiksi yang ditemukannya dikemukakan secara apa adanya disertai kritikan-kritikan tajam. [8]
Tokoh terkenal lainnya adalah Muhammad Abd. al-Karim al-Syahrastani (1071-1143), seorang ulama besar dari Persia, sejarawan dan tokoh perbandingan agama abad VI H. Karya monumentalnya dalam studi perbandingan agama adalah kitab al-Milal wa al-Nihal. Kitab yang ditulis pada abad ke-12 M ini mampu mengurai secara objektif tentang doktrin agama-agama lain, selain juga mengkritik argumentasi rasio dari ahli kitab yang dianggap menyimpang dari aqidah Islam. Perkembangan berbagai aliran, sekte, dan kelompok agama juga dipaparkan dengan akurat.
Dalam kitab al-Milal wa al-Nihal, terlihat dengan gamblang akan pengetahuan al-Syahrastani tentang agama-agama di luar Islam sedemikian luasnya. Ia memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan aliran keagamaan serta sekte-sekta di dalamnya. Secara umum ia mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut; Pertama, Agama Islam beserta sekte-sekte yang telah muncul pada masanya. Kedua, Agama Yahudi (Ahlul Kitab) beserta sekte-sekte di dalamnya. Ketiga, Agama Nashrani (Ahlul Kitab) beserta sekte-sekte di dalamnya.. Keempat, Agama yang memperoleh wahyu di luar Yahudi, Kristen dan Islam.  Kelima, Agama hasil kebudayaan manusia atau hasil ahli filsafat.[9]
Selain sarjana-sarjana muslim tersebut di atas, masih banyak sederetan nama-nama penulis muslim lainnya yang telah membuahkan karya tentang studi agama-agama, sebut saja Ibnu Taimiyah, menulis kitab al-Jawabus Shahih Liman Baddala Dien al-Masih, sebanyak empat jilid. Yang merupakan jawaban dan balasan terhadap tulisan Paulus al-Rahib, Uskup dari Sidon yang berjudul Risalah ila Ahad al-Muslimin.[10] Kemudian ada juga Muhammad Abduh di Mesir (wafat 1905), yang melakukan penyelidikan terhadap sifat agama Kristen, sehingga berkesimpulan bahwa dalam agama Kristen terdapat kejanggalan dan keanehan-keanehan, seperti pijakan kebenaran mereka adalah keajaiban-keajaiban yang dikabarkan Injil, hidup membiara, dan lain sebagainya. Tulisan Abduh yang berupa serangkaian artikel di majalah al-Manar tahun 1901 ini adalah jawaban terhadap tulisan Farah Antun[11] dalam majalah Al-Jami’ah yang menyerang Islam. Kumpulan artikel Abduh itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Al Islam wa Nasharaniyyah ma’al Ilm wa Madaniiyah.[12]
Dari uraian di atas serta penelaahan lebih dalam terhadap karya-karya ulama Islam tentang studi agama-agama -meskipun mereka tidak menyebutnya sebagai ilmu perbandingan agama- dapat disimpulkan bahwa dalam mengkaji dan meneliti agama-agama di luar Islam, baik dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan objektif tentang suatu agama maupun sebagai pembelaan dan bantahan terhadap tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Islam, senantiasa berlandaskan pada metode ilmiah dan objektif.[13] Yang terpenting penelitian itu dilakukan dengan tetap dalam bingkai dan bimbingan teks-teks al-Qur’an dan  Hadits-hadits Nabi SAW.
Adapun ilmu perbandingan agama di dunia Barat, bisa dikatakan masih relatif muda dan baru diakui sebagai disiplin ilmu yang mandiri serta mendapatkan kedudukan akademik pada tahun 1873.[14] Biasanya kelahiran studi ini selalu dikaitkan dengan Fredrick Max Muller (1823-1900) sebagai pendirinya, terutama saat diterbitkan dua karyanya dalam bidang ini yaitu: Chips from German Workshop (1867) dan Introduction to the Study of Religion (1873). Walaupun demikian, tidaklah berarti bahwa sebelum itu tidak ada sarjana Barat yang menaruh perhatian terhadap studi agama. Tercatat dalam sejarah bahwa dokumen pertama mengenai studi agama dijumpai pada zaman Yunai kuno, abad ke-5 sebelum Masehi. Pada zaman ini studi tentang agama diutarakan dalam dua cara. Pertama, dengan melalui catatan-catatan perjalanan berupa deskripsi pemujaan keagamaan diluar Yunani dan diperbandingannya dengan praktek-praktek keagamaan Yunani. Cara kedua, dengan cara kritik filosofis tehadap agama tradisional.[15]
Metode ini terdapat dalam karya tulis Heredotus yang hidup pada tahun 484-425 sebelum Masehi. Catatan pengembaraannya ke 50 bangsa dan suku yang berbeda-beda, telah memberikan sumbangan besar bagi studi agama selanjutnya. Dengan teori “persamaan dewa-dewa” Heredotus mempergunakan metode perbandingan sehingga berkesimpulan bahwa para dewa yang terdapat di dalam sistem keagamaan dengan berbagai nama dan sifat yang berbeda-beda itu sebetulnya memilki fungsi yang sama.[16]
Setelah itu diikuti tokoh-tokoh studi agama lainnya, hingga zaman modern Barat, seperti pada tahun 1520 muncul Jean Boem dengan bukunya tentang sejarah agama berjudul The Customs, Laws and Rites of all People yang berisi kepercayaan orang-orang Eropa, Asia dan Afrika.[17] Memasuki zaman modern Barat bermunculanlah sarjana-sarjana Barat dari berbagai Negara. Mereka adalah; G.P. Tiele (1830-1902), EB. Taylor (1832-1917), Wilhem Wunt (1832-1920), Emile Durheim (1853-1917) dan lain-lainnya. Sekian banyak tokoh studi agama yang telah melakukan penelitian agama sejak zaman Yunani Kuno, zaman pencerahan, hingga zaman modern Barat, tetapi yang dianggap sebagai tokoh yang mempelopori lahirnya studi perbandingan agama adalah Fredrick Max Muller (1823-1900). Diantara karya-karyanya adalah: Comparative Mythology, terbit tahun 1865, Introduction of Religion, tahun 1870, The Sacred books of the East (1875) 50 Jilid, Origion and Growth of Religion as Illustrated by the Religion of India (1879), Natural Religion (1889), Physical Religion (1891). Anthropological Religion (1892), dan Theosophy: or, Psychological Religion (1893).[18]
Walaupun Max Muller diakui sebagai pelopor perbandingan agama, namun ia tidak pernah memakai istilah “perbandingan agama” sebagai judul karangannya. Beberapa tahun setelah Max Muller, barulah ada sebuah buku yang terbit di bawah judul “Perbandingan Agama” yaitu karya L.H. Jordan, Comparative Religion (1905).[19]
            Fredrick Max Muller dalam studi agamanya menekankan pada metode “objektif” dan “saintifik”. Dengan memakai dua pendekatan utama, yaitu pendekatan “sejarah agama” (History of Religion) dan “fenomenologi agama” (Phenomenology of Religion), yang diklaim sekedar deskriptif dan bebas nilai (value-free).            Berdasarkan metode ini, para sarjana Barat dalam bidang ini menolak karya-karya sarjana muslim dalam studi perbandingan agama yang dihasilkan jauh sebelum zaman Modern Barat. Sumbangan besar sarjana muslim dalam studi agama-agama, seperti karya Ibn Hazm, Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal, al-Syahrastani  dengan karyanya al-Milal wan al-Nihal, tidak dianggap dan tidak dikategorikan sebagai bagian dari ilmu perbandingan agama. Mereka mengkritisi karya-karya sarjana muslim klasik dengan menggunakan perspektif dan metode Barat. Dan berkesimpulan bahwa para sarjana muslim telah gagal menampilkan agama-agama lain secara objektif, karena itu penelitian ilmuwan muslim tidak ilmiah karena tidak mengikuti metode “objektif-ilmiah” seperti yang digunakan para ilmuan Barat.[20]
Sarjana Barat lainnya yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam studi agama-agama dewasa ini adalah Wilfred Cantwell Smith, seorang pendeta Kristen berkebangsaan Amerika dan pendiri Pusat Studi Islam di McGill University. Terutama pendekatannya dalam studi Islam, Smith menggunakan pendekatan holistik. Dengan pendekatan ini, ia menganggap bahwa Islam tidak semata fenomena normatif, tetapi harus juga dipandang dari sudut lain, sebagai fakta sejarah dan sebagaimana agama-agama lain di dunia, Islam muncul dalam peradaban manusia. Maka pendekatan yang digunakan pun pendekatan kemanusiaan. Empiris kemanusiaan menjadi pendekatan yang dipilih untuk mendekati ajaran Islam dan fenomena umatnya.[21]
Pendekatan atau metode semacam ini telah mengubah cara pikir begitu banyak cendekiawan muslim yang terjebak kepada ”penyamaan” Islam dengan agama-agama lain, dengan menempatkan Islam sebagai bagian dari produk sejarah. Padahal, Islam adalah agama wahyu yang memiliki karakter yang khas, yang berbeda dengan agama-agama lain. Al-Quran juga merupakan teks wahyu yang tidak sama dengan kitab-kitab lain yang merupakan teks manusia dan teks sejarah. Karena itu, metode pemahamannya juga tidak bisa begitu saja menggunakan pendekatan pemahaman historisitas yang serba relatif.[22]
Bahaya dari metode semacam ini adalah bermunculannya sarjana-sarjana muslim yang enggan lagi mengakui bahwa agamanyalah yang benar. Sebab jika dia melihat agama lain dari sudut pandang agamanya, maka dia dikatakan “tidak objektif” atau “tidak ilmiah” dan kepakarannya tidak diakui. Jadi ilmuwan studi agama menurut perspektif Barat akan dikatakan ilmiah, bila dia netral agama, alias tidak beragama ketika ia melakukan penelitiannya.
Metodologi studi agama-agama ala Barat ini telah menjamur diberbagai perguruan tinggi Islam dihampir semua negara-negara muslim. Termasuk perguruan tinggi Islam di Indonesia yang banyak mengirim mahasiswa dan dosen-dosennya ke Barat untuk belajar Islam.
Di Indonesia, periode awal pembaratan (Westrenisasi) di IAIN di pelopori oleh Prof. Dr. Harun Nasution dan Prof. Dr. Abdul Mukti Ali. Mereka berdua adalah alumni Barat. Harun Nasution mengembangkan ide Baratnya tersebut di IAIN Jakarta, terutama ketika ia menjadi Rektor (1973-1984) maupun sebagai Direktur Pascasarjana (1990) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan Mukti Ali mengembangkan apa yang telah didapatnya dari Barat itu di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di IAIN Yogyakarta Mukti Ali pernah menduduki jabatan sebagai pembantu Rektor I bidang akademik, guru besar ilmu agama Islam, tahun 1971 dan penggagas berdirinya Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.[23]
Penting untuk diungkapkan disini bahwa sebelum hadirnya metodologi dan konsep Barat dalam wacana studi agama di Indonesia, ilmu perbandingan agama di Indonesia telah diajarkan. Pada pertengahan abad ke-17, Nuruddin ar-Raniri (w. 1685) di Aceh, menulis buku berjudul tibyan fi Ma’rifat al-Adyan, yang memuat keterangan-keterangan tentang agama-agama yang pernah lahir ke dunia sejak nabi Adam a.s. sampai nabi Isa a.s., juga memuat sejarah aliran-aliran ilmu kalam dalam Islam.[24]
Adapun dilembaga pendidikan, ilmu perbandingan agama telah diajarkan sejak tahun 1930-an. Seperti di Cursus Normaal Putri an Tsanawiyah di Bukit Tinggi dan Islamic College di Padang yang didirikan oleh Permi. Di dalam kuriulum sekolah-sekolah ini dicantumkan pelajaran “perbandingan agama”. Tenaga pengajarnya adalah Muchtar Luthfi dan Ilyas Ja’qub. Pada sekolah Islam lainnya, seperti Al-Jami’ah al-Islmiyah Sungayang Batusangkar, Normaal Islam Padang, keduanya berdiri tahun 1931, Training College Payakumbuh tahun 1934 dan Madrasah Tsanawiyah (setingkat MULO), juga mengajarkan mata pelajaran “perbandingan agama”. Tega pengajarnya adalah Mahmud Yunus dengan karangan beliau sendiri, al-Adyan, berbahasa Arab.
Pada tahun 1957, di Palembang berdiri perguruan Tinggi Islam Palembang oleh perguruan tinggi Islam Sumatra Selatan. Pada tingkat sarjana muda lengkap diajarkan “perbandingan agama”. Di Jawa, mulai tahun 1951 dikembangkan oleh pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil, dengan nama mata pelajaran “Mengenal agama-agama lain”. Demikian juga di Jakarta, pada tahun yang sama 1951, berdiri Perguruan Tinggi Islam Jakarta, terdapat mata kuliah “lain-lain agama dan kepercayaan”. Perguruan agama negri yang muncul kemudian juga mengajarkan “perbandingan agama” antara lain Pendidikan Guru Agama Negri (PGAN) dan Sekolah Guru Hakim Agama.[25]   
Sedangkan di Perguruan Tinggi Agama Islam Negri (PTAIN) di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta yang didirikan masing-masing tahun 1951 dan 957, sebelum dilebur menjadi IAIN diajarkan pada tingkat pertama PTAIN “Pengantar Ilmu Agama” dan pada tingkat dua diajarkan “Perbandingan Agama”. Begitu jua pada ADIA diberikan mata kuliah “Agama-Agama Besar”. Dosen perbandingan agama waktu itu adalah Prof. Dr. Ahmad Syalabi untuk PTAIN dan Prof. Mahmud Yunus untuk ADIA. Sampai saat itu pemahaman terhadap perbandingan agama masih murni dipelajari sebagai alat da’wah. Demikian juga buku-buku yang ditulis dan bahan rujukan, masih terbatas pada sudut pandang Islam terhadap agama-agama lain.[26]
Hal ini meulai berubah setelah Mukti Ali masuk dan mengajar sekaligus sebagai penggagas berdirinya jurusan Perbandingan Agama di IAIN. Atas keprihatinannya terhadap perkembangan dan minat mahasiswa dan dosen yang masih sangat rendah terhadap studi agama, Mukti Ali mulai memperkenalkan metodologi-metodologi dan konsep Barat dalam mempelajari agama. Baik melalui bangku perkuliahan maupun forum-forum diskusi dosen.
Mukti Ali pernah mengenyam pendidikan pesantren, kemudian menyelesaikan studinya sampai tingkat doktor di Universitas Karachi, Pakistan, dalam bidang sejarah Islam. Setelah itu ia melanjutkan studinya di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada. Tepat dua tahun Mukti Ali menyelesaikan program Masternya (1957) dan memperoleh gelar Master of Arts (MA) dari McGill University.[27]
Di Universitas McGill inilah, Mukti Ali berkenalan dengan metode studi agama-agama ala Barat. Salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi cara pandangnya adalah Wilfred Cantwel Smith. Seperti yang diakuinya sendiri, bahwa ia benar-benar dibuat terpikat oleh program kajian Islam di Universitas McGill itu yang diajarkan dengan pendekatan yang sistematis dan rasional, baik dari segi ajaran, sejarah maupun peradabannya.[28] Di McGill juga Mukti Ali mendapatkan bahwa belajar Islam, atau agama apapun, mestinya diarahkan pada usaha bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah-masalah masyarakat modern. Atas dasar ini, ia menegaskan perlunya memperkenalkan pendekatan yang empiris atas Islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah pemikiran Islam dalam konteks modernitas.[29]
Metode inilah yang terus dikembangkan dan dipropagandakan Mukti Ali sepulangnya ke Indonesia. Berbekal pengetahuan Islam yang didapatkan sejak mondok di Pesantren, ditambah metodologi studi agama Barat (historis-sosiologis) di Universitas McGill, Mukti Ali merumuskan sebuah metodologi dalam studi perbandingan agama yang disebutnya dengan “sintesis Scientific Cum Doctriner” atau “religio-scientific” atau “ilmiah agamis. Sebuah metode yang mencoba memadukan antara metode ilmiah Barat (historis-sosiologis) dengan metode doktriner dalam memahami Islam. 


B. Ilmu Perbandingan Agama Dalam Khazanah Islam
1. Definisi

Sebelum menguraikan pengertian ilmu perbandingan agama dalam khazanah Islam, maka terlebih dahulu akan dijabarkan definisi dan makna agama itu sendiri dalam pandangan sarjana-sarjana muslim. pendefinisian ini sangat penting sebagai pijakan ilmiah dan metodologis untuk melakukan sebuah pengkajian dan analisa. Berikut bebarapa definisi tentang agama yang telah dirumuskan oleh beberapa sarjana muslim.
Dalam Islam dikenal istilah dîn, yang umumnya diterjemahkan sebagai ‘agama’ atau religion. Terjemahan ini menimbulkan beberapa problem dan kebingungan karena istilah dîn bermakna lebih dari sekedar ‘agama’ atau religion. Oleh karena itu, di sini penting untuk mengkonsepkan Islam sebagai dîn. Dalam sejarah pemikiran Islam para ulama telah memberi penjelasan tentang makna dîn dalam kaitannya dengan Islam. Aliran Hanafi-Mâturidî mencoba menjelaskan konsep dîn sebagai petunjuk yang mempunyai kandungan keyakinan, penyerahan diri dan komandemen hukum, yang dibawa oleh ajaran Nabi SAW. Karena itu menurut Abū Hanîfah Islam mempersyaratkan pada para pengikutnya dua hal: Iman dan amal, dan keduanya merupkan hal yang penting bagi seorang muslim. Singkatnya, istilah dîn mencakup keyakinan dan perbuatan.[30]
al-Bâqillânî sepakat dengan pengertian diatas, dengan menambahkan beberapa pengertian lainnya, yaitu:
a.       Pembalasan berhubungan dengan pemberian ganjaran (dalam ungkapan yawm al-dîn).
b.      Perhitungan dalam makna keputusan hukum (hukum);
c.       Dîn al-haq, dimana Islam membiarkan dirinya sendiri dipimpin oleh Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepadaNya.[31]
al-Syahrastânî juga menyimpulkan hal yang sama, sehingga menurutnya dapat dikatakan bahwa orang yang beragama adalah orang yang berserah diri, taat, dan yakin terhadap adanya balasan dan hisâb di hari kemudian. Jadi dalam pandangan al-Syahrastânî agama adalah kepasrahan diri, dan ketaatan kepada Tuhan yang disertai keyakinan adanya balasan dan perhitungan atas segala perbuatan manusia di dunia.[32]    
Kesimpulan seperti itu pula yang dikatakan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dan ia menambahkan bahwa konsep dîn ini berakar pada al-Qur’an yaitu dalam konsep perjanjian (al-mîthâq). al-Attas menekankan bahwa nama agama, Islam, sebenarnya adalah definisi agama: berserah diri kepada Tuhan. Dia menambahkan bahwa “dalam ide penyerahan diri itu berimplikasi pada rasa, kepercayaan dan amal, dan elemen paling mendasar dalam tindakan berserah diri kepada Tuhan itu adalah adanya rasa keberhutangan manusia kepada Tuhan karena telah memberinya kewujudan.”  
Dengan demikian secara khusus al-Attas menyoroti tiga aspek tentang Islam yaitu: a) sebagai penyerahan diri (submission), b) sebagai definisi agama, dan c) sebagai nama khusus sebuah agama. Sehingga menurut al-Attas istilah bahasa Arab yang tepat untuk kata religion sebagaimana yang dipahami dan diperaktekan di Barat dan timur adalah millah dan bukan dîn, karena kata dîn dalam bahasa Arab kaya akan pengertian, dimana tidak dapat dibatasi dengan istilah religion/agama saja.[33]
Sedangkan Prof. Dr. Muhammad Abdullah Darraz, salah satu sarjana Islam yang juga konsen dalam kajian agama-agama, melalui karyanya “al-Dîn Buhûts Mumahhidah li Dirasah Tarikh al Adyan”, mencoba mendefiniskan agama secara umum. Menurutnya agama dapat didefinisikan dari dua aspek: Pertama sebagai keadaan psikologis (etat Subjectif), yaitu: kepercayaan atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang patut ditaati dan disembah. Kedua dilihat sebagai hakikat eksternal, bahwa agama adalah seperangkat panduan teoritis yang mengajarkan konsepsi ketuhanan dan seperangkat aturan praktis yang mengatur aspek ritualnya.[34]
Adapun definisi ilmu perbandingan agama sendiri, tidak dijumpai pembahasan secara mendalam oleh sarjana-sarjana Muslim baik dizaman klasik maupun dizaman modern ini. Sehingga disini hanya akan disebutkan kesimpulan dari pemahaman sarjana-sarjana muslim tentang ilmu perbandingan agama. Yaitu: “suatu ilmu yang membandingakan diantara agama untuk menyimpulkan aspek-aspek persamaan dan perbedaan diantara agama-agama itu dan mengetahui yang benar dan yang salah diantara agama itu.

2. Latar Belakang Munculnya Studi Ilmu Perbandingan Agama dalam Khazanah Intelektual Islam

Peneliti dan pengkaji dalam bidang pemikiran Islam sepakat bahwa para sarjana muslim telah mulai melakukan perbandingan agama-agama sejak masa awal Islam.[35] Bahkan dapat disimpul kan bahwa para sarjana muslimlah yang pertama menyelami dan melakukan penelitian dalam bidang ini, yaitu di sekitar abad ke-8 M.[36]
Kajian studi agama secara ilmiah dan objektif yang dilakukan oleh para sarjana muslim itu tidak lepas dari adanya faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Faktor-faktor itu adalah:
a.       Dalam Al-Qur’ân telah banyak disebutkan informasi tentang agama-agama selain Islam. Dimana informasi tentang agama-agam tersebut sangatlah ringkas, maka menjadi tugas para ulama Islam untuk melakukan kajian secara luas sehingga dapat menyajikan uraian yang lengkap tentang agama-agama tersebut. Kajian ulama Islam tersebut dalam kerangka penafsiran terhadap al-Qur’ân. Dan tafsir adalah salah satu cabang ilmu dalam Islam yang banyak ditulis para ulama, pada awal-awal kemunculan peradaban Islam.
b.      Informasi tentang agama-agama selain Islam dalam al-Qur’ân difahami dalam kerangka ajakan kepada kaum muslimin untuk mengetahui agama-agama lain tersebut. Dengan melakukan kajian yang mendalam dan melakukan perbandingkan terhadap agama-agama itu, akan semakin jelas diketahui mana agama yang haq dan mana yang bathil, mana agama yang benar dan mana yang salah dalam bidang aqidah.[37]
c.       Bahwa agama samawi yang terakhir adalah agama Islam, sehingga merupakan keharusan untuk mengetahui agama-agama lain yang telah tumbuh sebelum Islam. Tentu hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan kajian ilmiah tentang agama-agama itu sendiri.
d.      Dalam Al-Qur’ân al-Karim sudah ditegaskan bahwa agama yang haq adalah agama Islam, dan keyakinan-keyakinan serta agama-agama selainnya adalah bathil, atau merupakan penyimpangan dari agama yang asli (benar). Maka itu para ulama Islam berkewajiban untuk mengindentifikasi kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama itu untuk dikaji secara ilmiah, hingga bisa diketahui kebathilannya.
e.       Ketika Islam semakin jauh menyebar ke wilayah-wilayah yang penduduknya menganut berbagai macam agama yang berbeda, maka terjadilah persentuhan kebudayaan dan aqidah antara kaum muslimin dan penganut agama dari penduduk wilayah-wilayah tersebut. Fenomena persentuhan pemikiran dan keyakinan ini melahirkan diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan agama, sebab setiap pemeluk agama pasti meyakini bahwa agama merekalah yang benar dan yang lainnya salah. Hal ini menuntut para sarjana muslim untuk mengetahui secara dalam, cermat dan komprehensif hakikat agama-agama tersebut sebagai bahan berdiskusi dan berdebat dengan mereka.  
f.       Bermunculannya firqah-firqah dalam Islam yang berpengaruh terhadap kajian agama-agama secara ilmiah. Sebab setiap firqah berusaha membantah ajaran agama-agama di luar Islam dan berusaha meluruskan pendapat-pendapat firqah lainnya. Hal ini tentu saja menuntut pemahaman dan pengetahuan yang baik terhadap agama-agama tersebut. [38]    
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa studi agama dalam khazanah Islam telah muncul sejak masa awal Islam. Pendorong utamanya adalah karena al-Quran banyak menjelaskan tentang ajaran-ajaran agama lain, sehingga mendorong kaum muslimin untuk melakukan kajian lebih jauh tentang agama-agama tersebut. Apalagi setelah kaum muslimin banyak bersentuhan dengan penganut agama-agama lain seiring dengan perluasan wilayah Islam maka urgensi mempelajari agama-agama lain semakin besar.

3. Sejarah Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama dalam Khazanah Islam

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ilmu perbandingan agama dalam khazanah Islam sudah muncul sejak abad ke 8 M, jauh sebelum kemunculannya di dunia Barat pada abad ke 19 M. Sejumlah sarjana muslim telah melakukan penelitian dan kajian secara ilmiah dan objektif terhadap agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang ada pada masa itu. Selain bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan objektif tentang suatu agama atau kepercayaan, juga karena mempelajari agama-agama lain merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi keislaman.[39]
Berikut ini akan diuraikan secara singkat pertumbuhan dan perkembangan ilmu perbandingan agama atau studi agama-agama dalam khazanah Islam dari satu periode ke periode berikutnya. 

a.   Periode Awal dan Pembentukan
Pada dasarnya ilmu perbandingan agama belum ditemukan sebelum datangnya Islam, karena agama-agama sebelum Islam tidak mau saling mengenal  dan memahami satu sama lain. Karena itu sikap mereka sangat keras kepada penganut agama lain, bahkan hingga menjatuhkan hukuman mati.
Sebagai contoh sikap eksklusif dan intoleran kaum Yahudi dan Kristen. Kitab Perjanjian Lama menggambarkan kepercayaan agama-agama lain dalam konteks polemik. Dalam pandangan kaum Yahudi, semua agama pasti salah. Demikian pula Kristen, “Perjanjian Baru” sama sekali tidak memperlihatkan pandangan yang positif dan objektif tentang agama-gama lain. Dalam pandangan Gereja, keselamatan hanya dapat dicapai melalui iman kepada Yesus Kristus. Perjanjian Baru menganggap sangat fatal dan keliru menjalin hubungan apapun dengan para pemeluk agama-agama di luar Kristen. Sikap seperti ini jelas tidak memungkinkan tumbuhnya studi yang ilmiah dan objektif terhadap agama-agama lain.[40]
Dalam kondisi seperti inilah Islam datang, membawa pemahaman yang berbeda terhadapa agama-agama lainnya.
Islam adalah agama terakhir dari rangkaian agama-agama yang diturunkan oleh Allah SWT, oleh karena itu Islam mewarisi aspek-aspek terpenting dari agama-agama terdahulu disamping ada penyempurnaan sesuai kebutuhan manusia. Firman Allah SWT:
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur (
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa…”.

Oleh karena itu secara teori Islam mengakui adanya agama-agama terdahulu yang benar. Namun kini sudah terdapat penyimpangan dan perubahan pada agama-agama tersebut. Sehingga lahirlah pembahasan-pembahasan tentang ilmu perbandingan agama untuk memilah dan menentukan kedudukan agama-agama tersebut.[41]
Selain itu al-Qur’ân al-Karim pun, sebagai kitab suci dan rujukan utama ummat Islam telah meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan agama, salah satunya disebutkan dalam ayat 6 surah al-Ankabut:
Ÿwur (#þqä9Ï»pgéB Ÿ@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr&
“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik…".

Berdebat dengan cara yang baik dengan penganut agama-agama lain adalah makna dari ilmu perbandingan agama. Karena tidak mungkin seseorang dapat berdebat dengan baik jika belum melakukan kajian dan penelitian secara mendalam terhadap apa yang akan diperdebatkan. Beberapa ayat al-Qur’ân juga mengandung makna tentang perbandingan (21:22, 16:17) begitu juga al-Qur’ân banyak menyoroti komunitas agama-agama di luar Islam, baik itu agama samawi (yang datangnya dari Allah) maupun agama-agama thabi’i (buatan manusia).[42]
Rasulullah SAW. sendiri menaruh perhatian terhadap ilmu perbandingan agama. Misalnya dalam beberapa hadits beliau telah mengisahkan tentang umat-umat terdahulu. Beliau juga pernah perdebatan langsung dengan orang Yahudi dan Nashrani. Salah satu yang menarik adalah diskusi dan dialog beliau dengan orang-orang Yahudi tentang kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT. Orang-orang Yahudi yang diwakili oleh Mahsur bin Subhan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah SAW: “Apa bukti bahwasanya Al-Qur’ân itu berasal dari Allah?” maka turunlah ayat 82 surat An-Nisa:
öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã ÎŽöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2    
“…Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

Setelah melalui perdebatan dan perbandingan ajaran Islam dan agama-gama mereka, banyak diantara mereka yang kemudian memeluk Islam seperti Abdullah bin Salam, Sa’labah bin Sa’id, Asad bin Ubaid dari golongan Yahudi dan kaum Nashara Najran.[43]
Sikap dan pandangan Islam seperti yang disebutkan dalam al-Qur’ân maupun apa yang diperaktekkan oleh Rasululah SAW di atas, melahirkan sikap toleransi beragama kaum muslimin dalam kehidupannya bersama pemeluk agama-agama lainnya. Selanjutnya hal ini memicu lahirnya kajian oleh kaum muslimin terhadap agama lainnya.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum kedatangan Islam tidak ditemukan konsep ilmu perbandingan agama. Konsep ini muncul setelah datangnya Islam. Salah satu faktor penyebabnya karena konsep toleransi yang ada dalam ajaran Islam yang mengharuskan kaum muslimin bersikap  toleran kepada penganut agama lain. Salah satu bentuk toleransi itu adalah dengan memahami dengan baik agama-agama lain.[44]

b.   Periode Kodifikasi dan perkembangan
Pada pertengahan abad ke 2 Hijriyah, sarjana-sarjana muslim mulai menulis kitab-kitab perbandingan agama. Di antaranya adalah al-Nuhbahkti (w. 202 H) dengan bukunya al-Ara’ wa al-Diyanat, yang dipercaya sebagai buku pertama dalam bidang ini. Setelah itu al-Mas’udi (346 H) menulis dua buku tentang al-Diyanat, kemudian muncul al-Masbahi (420 H) yang menulis buku dengan judul Dark al-Bugyah fi Wasfi al-Adyan wal-Ibadat  setebal 3.000 halaman. [45] Selanjutnya datang Ali Ibn Sahl Rabban al-Thabary (w. 854 M), ia menulis kitab berjudul; Al-Dien wa al Daulah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Alphonse Mingana dengan judul The Books of Religion and Empire, buku ini memuat uraian-urain tentang agama-agama di luar Islam secara objektif.[46] Setelah itu banyak bermunculan karya-karya muslim lainnya dalam bidang ini.
Di antara sekian banyak sarjana muslim dalam bidang studi agama ada tiga orang yang paling fenomenal, yaitu al-Bîrûnî, Ibn Hazm dan al-Syahrastânî. Ketiganya telah mencurahkan segenap kemampuannya dalam studi agama-agama dan menyusun metode studi agama yang ilmiah. Karya-karya mereka dalam bidang perbandingan agama menjadi rujukan yang sangat penting bagi sarjana-sarjana agama kontemporer baik di Barat maupun di Timur. Berikut pembahasan ringkas mengenai ketiga orang tersebut:

1)                  Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad al-Bîrûnî (362-440 H/973-1048 M), lebih dikenal dengan nama al-Bîrûnî. Ia adalah sarjana kenamaan asal  Khawarizm, Turkmenistan (kini kota Kiva, wilayah Uzbekistan). Para sarjana Barat menyebutnya sebagai pelopor ilmu perbandingan agama[47], dan memberikan penghargaan yang tinggi atas karya monumentalnya tentang studi agama-agama. Salah satu karyanya adalah “Tahqîq mâ li al-Hindî min Maqbulah fî al-‘Aqlî aw Marâhulah” yang dikenal dengan “Takhqiq ma li al-Hindi”. Karya ini mengulas secara empirik dan objektif tentang agama Hindu.
Pengkajian agama secara ilmiah dan objektif yang dilakukan oleh al-Bîrûnî merupakan pengamatan langsung kepada adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat India. al-Bîrûnî tinggal di India dalam waktu yang cukup lama, ada yang mengatakan hampir 40 tahun.[48]
Arthur Jeffery, menyatakan bahwa kontribusi al-Bîrûnî dalam bidang studi agama dengan meneguhkan prinsip-prinsip ilmiah yang cermat dan teliti, seperti keparipurnaan (completeness), ketepatan (accuracy), dan sikap jujur (unbiased treatment) adalah sangat langka di zamannya dan dapat dikatakan sangat unik dalam sejarah keyakinan keagamaan yang dianutnya.
Bila “Perbandingan Agama” berarti studi tentang Agama dengan menggunakan metode ilmiah sebagaimana yang digunakan dalam Perbandingan Philologi, seperti mengumpulkan fakta tentang  kepercayaan dan praktik [keagamaan] berbagai kelompok agama, kemudian menyusun, mengklasifikasi dan membandingkan mereka satu sama lain atau membandingkan mereka dengan kepercayaan dan praktik keagamaan lainnya dengan tujuan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang signifikansi agama, maka cabang studi semacam ini sesungguhnya telah memiliki riwayat cukup panjang dalam wilayah kajiannya al-Bîrûnî.[49]

Dalam Encyclopaedia Iranica disebutkan bahwa al-Bîrûnî adalah salah satu sarjana Muslim yang paling autoritatif dalam bidang sejarah agama, dialah perintis lahirnya ilmu perbandingan agama. al-Bîrûnî telah mengkaji dan meneliti agama Zoroaster, Yahudi, Hindu, Kristen, Budha dan agama-agama lainnya secara objektif. Kajiannya tentang agama Hidu dianggap yang paling lengkap, beliau membagi penganut Hindu kepada yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan. Beliau menguraikan bahwa mereka yang terdidik memiliki kepercayaan monoitisme, yakni meyakini satu Tuhan, yang Abadi, Maha Kuasa dan bersih dari semua bentuk penyembahan berhala. Adapun yang tidak terdidik menyembah banyak berhala.[50]
Karya beliau lainnya, sebelum takhqîq mâ li al-Hindî  adalah  Al-Atsâr al-Bâqiyah min al-Qurûn al-Khâliyah yang beliau tulis ketika masih berumur 25 tahun (998 M). Dalam karyanya tersebut, al-Bîrûnî antara lain mengupas seputar upacara-upacara ritual, pesta, dan festival bangsa-bangsa kuno, ini merupakan pembahasan tentang agama-agama sebelum datangnya Islam.
al-Bîrûnî dalam melakukan penelitian tentang agama-agama menggunakan metode wawancara langsung terhadap penganut agama yang diteliti, seperti beliau melakukan wawancara dengan ahlul kitab, penganut sekte-sektenya, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang diteliti. Data yang diperoleh dari mereka ini merupakan data awal, yang kemudian diolah, dibandingkan satu sama lain, dan kemudian dilakukan kritik sehingga diketahui mana yang haq dan mana yang bathil atau diragukan.[51]
Menurut Al-Attas apa yang telah dilakukan al-Bîrûnî dalam melakukan pengembangan ilmu perbandingan agama ini merupakan salah satu bukti kemampuan ummat Islam mengembangkan ilmu-ilmu baru yang diilhami oleh ajaran Islam.[52]

2)                  Al-Hafizh Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm (384-458 H/994-1064 M), yang lebih masyhur dengan nama Ibn Hazm. Adalah seorang ulama Spanyol yang kakeknya adalah seorang muslim yang tadinya Kristen. Tulisannya tidak kurang dari 400 buah buku dalam berbagai bidang seperti sejarah, teologi, hadits, dan logika. Bukunya “Al-Fasl fil-Milâl wal-Ahwâ’ wan-Nihâl”, adalah karya besar dalam sejarah perbandingan agama. Buku ini telah menjadi rujukan sarjana agama modern di Barat maupun di Timur.[53]
Ibn Hazm yang mendasarkan studinya pada pengamatan (shahadah al-hiss) dan logika ini berusaha tidak menyimpang dari fakta-fakta yang ada. Ia berpendapat bahwa sumber paling utama setiap agama adalah kitab sucinya. Karean itu studi terhadap teks kitab suci merupakan tataran paling awal dan paling penting dalam memahami suatu agama. Metode analisis  kritik teks terhadap Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang dipakainya  sesuai dengan metode yang dipakai oleh para kritikus Bible modern. Ia mengumpulkan ayat-ayat atau bagian-bagian dari kedua kitab tersebut yang dipandangnya mengandung masalah; membandingkannya satu sama lain secara sinoptik; kemudian menganalisisnya secara kritis; menghubungkan temuan-temuannya satu sama lain dan  juga melengkapi metodenya dengan melakukan dialog dengan para sarjana Yahudi dan Kristen pada masanya. Dan akhirnya mengambil kesimpulan secara objektif disertai bukti-bukti. Inkonsistensi dan kontradiksi yang ditemukannya dikemukakan secara apa adanya disertai kritikan-kritikan tajam. [54]
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa dalam sejarah studi agama-agama Ibn Hazm dengan kitabnyalah yang paling pertama melakukan kajian secara ilmiah, mendalam, teliti dan komprehensif terhadap kitab-kitab suci agama-agama, Jauh sebelum tumbuh dan berkembangnya studi ini di dunia Barat pada abad ke-18 dan abad ke-19. Bahkan kitab ini menjadi rujukan utama sarjana-sarjana agama kontemporer baik di Barat maupun di Timur dalam mengkaji kitab suci Yahudi dan Kristen.[55]
Seorang sarjana Barat, Will Durant mengatakan bahwa kitab Ibn Hazm Al-Fasl fil-Milâl wal-Ahwâ’ wan-Nihâl, adalah salah satu karangan paling pertama dalam bidang perbandingan agama.[56]

3)                  Abu al-Fatih Muhammad Abdul al-Karîm bin Ahmad al-Syahrastânî, lahir tahun tahun 467 H/1069 M, beliau lebih populer dengan nama al-Syahrastânî, nama yang dinisbatkan kepada daerah asalnya yaitu Syahrastan, Persia. Beliau wafat tahun 548 H/1153 M (1071-1143 M).[57]
Karya monumentalnya dalam studi perbandingan agama adalah kitab al-Milal wa al-Nihal. Kitab yang ditulis pada abad ke-11 M ini mampu mengurai secara ilmiah dan objektif tentang doktrin agama-agama lain, selain juga mengkritik argumentasi rasio dari ahli kitab yang dianggap menyimpang dari aqidah Islam. Perkembangan berbagai aliran, sekte, dan kelompok agama juga dipaparkan dengan akurat.
Dalam pandangan al-Syahrastânî manusia terbagi menjadi dua kelompok dari segi pemikiran dan kepercayaannya. Golongan pemeluk agama (ahl al-Diyânat wa al-Milal) terdiri dari: Majusi , Nashrani, Yahudi dan Islam, dan golongangan pemikir bebas (ahl al-Ahwâ’ wa al-Nihal) seperti: Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman.[58]
Pembahasan al-Syahrastânî tentang kelompok pemeluk agama di mulai dengam membahas Islam berikut sekte-sektenya serta turunan dari sekte tersebut hingga berjumlah 73 sekte.[59] Setelah itu ia menguraikan ahl al-Kitab, dari 71 sekte keagamaan dalam agama Yahudi al-Syahrastânî hanya menguraikan empat sekte (sekte al-Inâniyyah, al-‘Isâwiyyah, al-Yuz’âniyyah dan as-Sâmirah) saja yang dipandangnya sebagai induk dari sekte-sekte lainnya.[60] Mengenai Nashrani, al-Syahrastânî hanya menjelaskan tiga macam sekte saja dari 72 sekte yang terdapat dalam agama Nashrani, yaitu: al-Mulkâniyyah, an-Nusthûriah, dan al-Ya’qûbiyyah.[61] Adapun pembahasan mengenai pemilik kitab mirip Al-Kitab/suhuf, (agama Majusi, dan kepercayan-kepercayan lainnya), untuk agama Majusi al-Syahrastânî mengemukakan tiga sekte (al-Kuyûmurthiyyah, ar-Razwaniyyah dan az-Zardaythiyyah), yang lahir dari dua permasalahan pokok dalam kepercayaan agama Majusi: (1) tentang bercampur antara cahaya dan kegelapan dan (2) sebab-sebab lepasnya cahaya dari kegelapan.[62] Dari semua sekte-sekte agama yang diuraikan, menurut al-Syahrastânî bahwa yang selamat di antara sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.
Untuk kelompok pemikir bebas (para filusuf) al-Syahrastânî membaginya dalam beberapa pembahasan, dimulai dengan menguraikan pola pikir para filusuf terebut kemudian menyebutkan nama-nama filusuf Romawi, Yunani Kuno maupun filusuf Islam beserta ajaran dan pendapat-pendapat mereka. Pada pembahasan ini al-Syahrastânî lebih pada diskripsi aliran maupun pendapat para filusuf tersebut.[63]
Pada masa ini ilmu perbandingan agama memang banyak ditulis oleh ahli kalam dan tumbuh serta berkembang seiring tumbuhnya kajian ilmu Kalam.[64] Meskipun demikian ilmu perbandingan agama bukanlah bagian dari ilmu kalam. Karena kajian agama-agama di kalangan mutakallimin bukan selalu untuk dijadikan alat jidal, tetapi penelitian yang dilakukan memang untuk lahirnya sebuah cabang ilmu yang berdiri sendiri.[65]

c. Periode Kemunduran
Kemundurun studi perbandingan agama dalam khazanah intelektual Islam dimulai seiring datangnya masa-masa kemunduran Islam. Runtuhnya kekhalifahan Islam di Bagdad oleh tentara Mongol, merebaknya penjajahan atas negeri-negeri Muslim, munculnya fanatisme mazhab dan lain sebagainya telah menjadi faktor mundurnya tradisi kajian studi agama-agama dikalangan intelektual Islam.
Secara ringkas Ahmad Syalaby menyebutkan beberapa faktor mundurnya kajian studi perbandingan agama di dunia Islam, sebagai berkut:
1.      Banyaknya ahl al-Kitab di istana-istana kekhalifahan Islam, baik sebagai istri, dokter maupun menteri. Peran mereka inilah yang menjadi salah satu sebab lemahnya gaung ilmu perbandingan agama, dimana ilmu ini mengkritisi penyimpangan keyakinan-keyakinan mereka.
2.      Adanya serbuan kaum Salibis terhadap negeri-negeri kaum Muslim untuk menghancurkan Islam. Sehingga terjadilah peperangan yang dahsyat. Kaum Salibis tidak mengenal toleransi beragama dan dialog yang baik dengan pemeluk agama lain.
3.      Di era kemunduran, umumnya para fuqaha mengarah pada fanatisme terhadap mazhabnya sendiri. Sedikit sekali yang mengetahui tentang mazhab-mazhab lain. Terlebih lagi mereka tidak memiliki pengetahuan atau kajian tentang agama-agama di luar Islam, sehingga kajian studi agama-agama semakin jauh dari kaum muslimin.
4.      Sebagian kaum muslimin telah mengadopsi jejak pemeluk agama-agama sebelum Islam,  dengan tidak mengakui keberadaan agama selain agama mereka. Sehingga mereka pun tidak mengenal perbandingan antar agama. Mereka beranggapan bahwa ilmu perbandingan agama tidaklah perlu, bahkan diantara mereka ada yang mencela orang-orang yang menggeluti bidang ini. Karena mereka berkeyakinan bahwa Islam telah sempurna dan tidak boleh dibanding-bandingkan dengan agama lain.[66]  

d.   Periode Peralihan Ke Barat
Jika kaum muslimin di periode kemunduran mengabaikan ilmu perbandingan agama, maka sikap kaum Nashrani di Barat terhadap ilmu ini sebaliknya. Ini dikarenakan kehidupan damai yang mereka rasakan ketika hidup berdampingan dengan kaum muslimin di Syam, Andalusia dan di Sicilia. Sehingga kaum Nashrani mengenal ilmu perbandingan agama, dan mengukuhkan nilai ilmu ini, kemudian mereka mulai mempelajari dasar-dasarnya dan berusaha untuk memanfaatkannya.
Geliat ilmu perbandingan agama semakin gencar digalakkan di Barat ketika mereka menjajah Negara-negara Islam dan melakukan gerakan kristenisasi di sana. Karena ilmu ini dijadikan sarana misionaris dalam penyebaran agama Nashrani.[67]    

e.    Periode Kembalinya ke Dunia Islam          
Setelah sekian lama kaum Muslimin meninggalkan kajian ilmu perbandingan agama, maka di masa modern ini mereka mulai berusaha untuk kembali menghidupkan ilmu perbandingan agama. Salah satu tujuannya untuk dijadikan sebagai sarana dalam menda’wahkan dan membela Islam sebagaimana pada zaman yang lalu. Sehingga para da’i mulai mengaplikasikan pokok-pokok atau prinsip-prinsip ilmu ini dalam mengemban da’wah Islam.
Perlu juga dijelaskan disini bahwa sebagian sarjana Islam kadang-kadang menggunakan perbandingan agama dalam penelitian mereka, meskipun mereka boleh jadi tidak dimaksudkan untuk mendalami ilmu ini. Contoh dalam hal ini adalah kajian dan penelitian yang dilakukan Ibn Taimiyah dalam kitabnya al-Jawâbu al-Shahîh liman Bandala Dîn al-Masîh.[68]
Demikianlah ilmu perbandingan agama kembali muncul, tumbuh dan berkembang di lembaga-lembaga keilmuan Islam, meskipun pada kenyataannya belum menempati posisi yang baik.

4. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama Dalam Khazanah Islam

Dalam bukunya ‘Ilmu Muqaranatu al-Adyan ‘Inda Mufakkiri al-Islam, Dr. Ibrahim Turki menyebutkan bahwa dalam kajian sarjana-sarjana muslim tentang perbandingan agama tidaklah ditemukan pembahasan secara khusus mengenai metode yang diikuti dan diterapkan dalam penelitian-penelitian mereka. Namun demikian, dari kajian terhadap karya-karya para pemikir muslim dalam bidang ini dapat disimpulkan beberapa prinsip dan metode yang senantiasa ditempuh oleh para sarjana muslim dalam kajiannya. Adapun prinsip dan metode tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Obyektivitas
Yang dimaksud dengan obyektivitas dalam studi perbandingan agama adalah bahwa setiap peneliti dalam melakukan penelitiannya menjauhkan diri untuk memberikan pandangan atau pemikirannya ketika menuliskan fenomena-fenomena atau isu-isu keagamaan yang ia teliti. Sehingga ia memandang agama-agama tersebut sebagaimana adanya,  bukan seperti yang ia pahami atau yang ia yakini.
Bersikaf obyektif merupakan syarat mutlak dalam setiap penelitian, pengkajian, analisis, atau penilaian apapun, termasuk dalam bidang studi perbandingan agama. Namun menerapkan obyektivitas secara mutlak sebagaimana pengertian di atas, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu teoritis dan humaniora adalah sesuatu yang mustahil dapat dilakukan.[69]
Dalam perspektif intelektual Islam bersikaf obyektif bukan hanya sah dan dianjurkan, tetapi juga memiliki landasan teologis. Obyektivitas dalam bahasa al-Qur’ân disebut dengan istilah “al-adl” (adil). Sebuah prinsip yang harus ditegakkan dalam keadaan bagaimana pun. Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 8:
Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 (
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”.

Para ulama Islam yang bergelut dalam bidang ilmu perbandingan agama sejak dahulu sadar betul akan arti pentingnya prinsip “obyektivitas”. Menerapkan prinsip ini merupakan upaya serius mengejawantahkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Qur’ani yang mulia. Jadi “obyektivitas” dalam arti memperlakukan obyek secara adil, sebagaimana yang diperintahkan al-Qur’ân, adalah pengertian yang sangat mungkin dilakukan.[70]
Sejalan dengan itu, dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW bersabda:
قل الحق وإن كان مرا
”Katakanlah kebenaran itu walaupun rasanya pahit/berat.”[71]

Artinya ungkapkanlah fakta secara obyektif, meskipun itu menyakitkan diri, kelompok atau golongan kita sendiri. Ini berarti obyektivitas harus diterapkan terhadap diri sendiri maupun orang lain.[72] Etika inilah yang selalu dijunjung tinggi ilmuan-ilmuan Islam dalam penelitiannya.
Pengertian objektif semacam ini berbeda dengan pengertian objektif menurut para sarjana Barat. Menurut mereka objektif adalah “bebas nilai” (value-free). Sudah menjadi “keyakinan” umum dikalangan pakar ilmu perbandingan agama di Barat, seorang peneliti dalam bidang ini mutlak harus menjaga jarak antara dirinya (sebagai subyek) dan materi kajiannya (sebagai obyek), dengan prinsip “menahan diri” dan “membiarkan fakta yang berbicara”. Jadi seorang peneliti tidak dibenarkan membuat penilaian apapun, baik benar atau salah terhadap obyek penelitian dan kajiannya.[73]
Sebagian peniliti yang kritis, menyebut prinsip ini sebagai “mitos”,[74] sebab seorang pengkaji atau peneliti adalah manusia, yang berpikir dan bertindak sesuai dengan lingkup dan bingkai nilai atau seperangkat nilai yang diyakininya. Isma’il al-Faruqi, seorang intelektual Muslim yang menekuni bidang ini menjelaskan bahwa penilaian adalah suatu keniscayaan. Tentu penilaian ini tunduk pada kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dan metodologi yang valid dan dapat diverifikasi secara logis dan rasional, bukan sembarang penilaian yang bebas sesuai “subyektifitas” penilai.[75]      
 Praktek-praktek obyektif dalam penelitian oleh sarjana-sarna Muslim dapat kita jumpai dalam karya-karya mereka dalam bidang ini, semisal “Tahqîq mâ Lilhindi min Maqûlah” karya al-Bîrûnî dan al-Milal wa al-Nihal al-karya Syahrastânî. Bahkan karya-karya Muslim tersebut lebih obyektif dibandingkan tulisan-tulisan kontemporer dalam bidang ini.[76]

b.      Pengumpulan data atau Informasi
Pengumpulan data dan informasi tentang fenomena-fenomena atau hal-hal yang diteliti merupakan sesuatu yang sangat urgen dari segi metodologi, baik dalam ilmu perbandingan agama maupun dalam ilmu-ilmu lainnya. Karena ini sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi nilai keilmiahan dan keobyektifan dari penelitian tersebut.
Dalam bidang ilmu perbandingan agama proses pengumpulan data tentang agama yang diteliti dari sumbernya yang asli adalah suatu yang mutlak. Seorang peneliti harus memperoleh data-data tentang agama yang ia tulis dari sumber pertama (primer). Adapun sumber asli atau primer tentang suatu agama secara umum terbagi pada tiga kategori, yaitu:

1.      Kitab Suci, yaitu kitab yang dibawa oleh pendiri agama sebagai sumber ajaran bagi pengikut-pengikutnya. Sementara penelitian terhadap agama-agama yang tidak memiliki kitab suci dapat menjadikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sejarah agama atau cerita-cerita suci (mitos) agama tersebut sebagai sumber. Selain itu kitab-kitab yang membahas biografi perjalanan pendiri suatu agama yang ditulis langsung oleh pengikutnya juga dapat digolongkan sebagai kitab suci.

2.      Syarah atau tafsir yang disusun oleh pendiri atau ulama-ulama yang menonjol dari suatu agama atas kitab sucinya.
Namun perlu disebutkan bahwa syarah atau penafsiran-penafsiran tersebut senantiasa berbeda satu sama lain sesuai dengan kecenderungan pemikiran atau mazhab penulisnya, terutama pada kasus agama samawi. Terdapat tiga corak pokok dalam hal ini, yaitu: corak yang lebih mengedepankan akal (aqli), corak yang lebih mengedepankan nash (naqli) dan corak pertengahan dalam syarah atau dalam penafsirannya. Maka bagi seorang peneliti ilmu perbandingan agama, harus menggunakan dan memahami tiga corak penafsiran tersebut. Ia tidak boleh membatasi diri hanya pada satu corak penafsiran saja.

3.      Berinteraksi langsung dengan pendiri agama dan atau dengan pemeluk-pemeluk agama yang diteliti secara umum.
Selain dari kitab suci dan tafsirnya, penelitian tentang satu agama juga dapat menjadikan kebiasaan-kebiasaan atau perilaku-perilaku penganutnya sebagai sumber penelitian. Ini hanya bisa dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan pemeluk-pemeluk agama tersebut.
Metode semacam ini dalam ilmu penelitian modern dikenal dengan istilah metode pengamatan langsung, yang bisa diposisikan sebagai salah satu bagian metode deskriptif, yaitu metode ilmiah yang digunakan dalam ilmu Antropologi dan Etnologi.
Metode semacam ini sudah dilakukan oleh al-Bîrûnî ketika mengadakan penelitian langsung terhadap penduduk India untuk mengetahui sistem kepercayaan masyarakat sekaligus mengetahui peradaban mereka. Bahkan beliau menetap bersama mereka selama bertahun-tahun sehingga dapat menguasa bahasa orang-orang India (sanksekerta) dan menterjemahkan kitab sucinya. Demikian juga penelitian yang dilakukan Ibn Hazm yang berpandangan bahwa sumber paling utama setiap agama adalah kitab sucinya, kemudian beliau juga melengkapi kajiannya dengan melakukan dialog dan debat langsung dengan tokoh-tokoh agama yang sedang ditelitinya.[77]

c.    Verifikasi
Sudah menjadi kesepakatan umum dalam dunia penelitian bahwa adalah keharusan bagi seorang peneliti melakukan verifikasi terhadap pendapat dan pemikiran-pemikiran yang ia ketengahkan dalam penelitiannya. Atau dengan kata lain menyebutkan sumber pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikiran yang ia kutip.
Dalam ilmu perbandingan agama, secara umum ketentuan ini tidaklah berbeda. Apabila seorang peneliti mengutip suatu pemikiran atau isu, apakah keyakinan-keyakinan agama atau perilaku-perilaku agama, maka dia harus menunjukkan sumber pemikiran atau isu yang ia nukil tersebut. Baik yang bersumberkan dari kitab suci, penafsiran, catatan-catatan atau riwayat pendiri agama tersebut.[78] 



d.   Ilmu-ilmu Bantu
Seorang peneliti dalam bidang ilmu perbandingan agama diharuskan memiliki pengetahuan yang cukup terhadap ilmu-ilmu bantu. Hal ini bertujuan membantunya melakukan kajian tentang agama-agama secara benar. Diantara yang terpenting dari ilmu-ilmu bantu tersebut adalah:
1.               Bahasa, seorang peneliti kajian ilmu perbandingan agama hendaknya memiliki kemampuan dan penguasaan terhadap bahasa asli agama yang ditelitinya. Hal ini sangat urgen sebab pada setiap agama terdapat ungkapan-ungkapan khusus, majazi, isyarat-isyarat simbol yang menggambarkan konsep-konsep terpenting agama tersebut yang tidak mungkin dapat dipahami secara benar bila hanya mengandalkan terjemahan.[79]
Banyak diantara ilmuan Islam yang menulis tentang agama-agama, baik dalam bidang sejarah agama maupun perbandingan agama yang telah melakukannya. Salah satunya adalah al-Birûnî ketika mengkaji dan meneliti agama-agama orang-orang India, ia telah mengusai bahasa agama mereka yaitu bahasa Sansekerta, bahkan belia banyak menulis buku dalam bahasa India dan telah menterjemahkan kitab suci agama orang India.[80]
2.               Sejarah, selain kemampuan bahasa pengetahuan tentang sejarah pun merupakan perkara yang sangat urgen dalam membantu seorang peneliti dalam penelitiannya tentang agama-agama. Baik sejarah tentang perilaku pemeluk suatu agama atau pun sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama tersebut. Hal ini sangat penting, karena sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian konsep-konsep suatu agama tidak mungkin dapat dipahami dengan benar kecuali dilihat dari sudut kompleksitas sejarahnya. Bagaimana perkembangan konsep tersebut dalam pemahaman pemeluk-pemeluknya, demikian juga perubahan-perubahan, mazhab, maupun sekte-sekte yang lahir dalam agama tersebut.
Para sarjana Muslim yang bergelut dalam bidang ilmu perbandingan agama telah memiliki penguasaan yang cukup terhadap sejarah agama yang mereka teliti. Hanya saja kualitasnya berbeda satu dengan yang lain. Misalnya al-Bîrûnî memiliki pengetahuan sejarah lebih luas tentang agama-agama di India dibandingkan dengan al-Syahrastânî yang tidak melakukan penelitian agama tertentu.
3.               Sosiologi dan psikologi. Ilmu bantu lainnya yang sangat dibutuhkan dan harus dimiliki oleh seorang sarjana agama adalah pengetahuan yang cukup tentang kemasyarakatan (sosiologi) dan kejiwaan (psikologi), yang akan membantu seorang peneliti mengetahui sifat-sifat dan adat istiadat pemeluk suatu agama yang ditelitinya. Sebagaimana kita ketahui bahwa banyak diantara perkara-perkara agama baik dari segi keyakinan maupun perilaku yang tidak dapat dipahami dengan baik kecuali dengan mengetahui sifat-sifat dan adat istiadat pemeluknya.
 Dan para sarjana Muslim memiliki peran yang sangat besar dalam pertumbuhan kedua cabang ilmu ini, kita dapat lihat pada karya al-Bîrûnî dalam kitabnya “Tahqîq mâ Lilhindi min Maqûlah” yang mana didalamnya dibahas bagaimana sifat dan adat istiadat masyarakat India baik dari segi keyakinan, pemikiran-pemikiran dan lain sebagainya yang beliau lakukan perbandingan dengannya dengan keyakinan atau agama lainnya. [81]

e.    Metode Perbandingan
Dalam penelitian perbandingan agama harus dilakukan perbandingan. Bentuk-bentuk atau metode-metode perbandingan yang banyak digunakan oleh para sarjana Muslim dalam bidang ilmu perbandingan agama, terdiri dari tiga bentuk:
Pertama: membandingkan hal-hal yang asasi (ushul) dalam setiap agama. Misalnya dalam masalah uluhiyyah, masalah nubuwah atau yang lainnya dari pokok-pokok agama.
Akan tetapi dalam prakteknya cara atau metode seperti ini dalam perbandingan agama-agama mengandung beberapa kesulitan, antara lain:
1.      Bahwa masalah ushul dalam setiap agama tidak selalu sama pada setiap agama. Misalnya masalah  kenabian, ini merupakan pembahasan yang sangat penting dalam agama-agama samawi, tetapi masalah kenabian tidak terdapat dalam beberapa agama lainnya, seperti Budha yang merupakan salah satu agama besar.
2.      Boleh jadi pembahasan sejarah membawa pengaruh terhadap pembentukan suatu keyakinan, baik saat pertumbuhan agama-agama tersebut atau saat terjadi perubahan-perubahan terhadap agama itu. Sebagaimana diketahui bahwa kompleksitas sejarah suatu agama berbeda dengan agama yang lain, oleh karena itu harus disajiakan secara integral tanpa terbatas pada penyebutan suatu masalah tertentu dan membandingkan dengan masalah yang semisalnya pada agama lainnya. 
3.      Terdapat hubungan dan adaptasi antara pembahasan-pembahasan yang berbeda dalam setiap agama dari agama-agama yang ada. Sehingga setiap agama harus disajikan secara menyeluruh, atau sekurang-kurangnya menyajikan masalah-masalah yang dibandingkan tersebut dalam konteks hubungannya dengan masalah-masalah lainnya.
Kedua, menyajikan secara menyuluruh agama-agama yang sedang diteliti untuk dibandingkan satu sama lain. yang termasuk dalam hal ini adalah konsep-konsep, keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual atapun sejarah asal usul pertumbuhan agama tersebut serta bagaimana terjadinya perubahan-perubahan didalamnya dan terbentuknya mazhab, aliran atau sekte-sekte agama tersebut.
Bentuk perbandingan seperti ini paling banyak digunakan oleh para sarjana Muslim dalam karya-karya mereka tentang ilmu perbandingan agama. Diantaranya: al-Syahrastânî dalam kitabnya al-Milal wa al-Nihal, Abû ʿîsâ Muḥammad ibn Hârûn ibn Muḥammad al-Warrâq dalam kitabnya al-Maqâlât, kitab al-ârâi wa al-Diyânât karya al-Nûbahtî dan lain-lain.
Ketiga, lebih memfokuskan penelitiannya pada agama tertentu dari agama-agama yang ada dengan segala aspeknya, baik aspek sejarah, kepercayan-kepercayaan, perilaku maupun aspek syari’atnya. Kemudian setiap ada kesempatan melakukan perbandingan pada bagian-bagian tertentu yang sedang dibahas dengan bagian yang semisal pada agama-agama lain. Diantara pemikir-pemikir Muslim yang menggunakan metode seperti ini sangat jelas terlihat dalam karya al-Bîrûnî “Tahqîq mâ Lilhindi min Maqûlah”.[82] 

f.    Analisa
Deskripsi obyek penelitian dalam suatu penelitian tidaklah dikategorikan sebagai metode ilmiah tanpa diikuti dengan analisa.
Berkaitan dengan studi ilmu perbandingan agama, dapat dikatakan bahwa seorang peneliti tidak membatasi pembahasannya hanya pada deskripsi atau catatan-catatan berkenaan dengan masalah-masalah yang diteliti, tetapi harus diikuti dengan membuat kesimpulan dengan cara perbandingan. Kemudian melakukan analisa terhadap hasil kajiannya tersebut dari sudut pandang budaya dan peradaban setiap agama dari agama-agama yang dibandingkan itu, sehingga ia mampu menjelaskan secara baik dua masalah besar di dalamnya, yaitu:

Pertama, menjelaskan dengan sejelas-jelasnya semua aspek persamaan dan perbedaan antara agama-agama yang sedang dikaji.

Kedua, menjelaskan dengan sejelas-jelasnya letak kekuatan dan letak kelemahan atau kekurangan-kekurangan setiap agama dari agama-agama yang sedang dikaji.

Adapun interpretasi hasil dari kesimpulan perkara-perkara tersebut, tidaklah digambarkan secara tegas dalam kajian perbandingan agama karena hal ini menjadi kajian bidang yang lain yaitu filsafat agama.
Andai pun proses analisa merupakan satu-satunya yang memungkinkan digunakan dalam metode perbandingan, maka berlebih-lebihan dalam menggunakannya akan membawa kepada kekeliruan besar, karena sebagaimana diketahui bahwa dalam metode ini unsur-unsur agama dengan segala alirannya disusun dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorisasikan dan terakhir dilakukan penafsiran terhadap data-data parsial tersebut. Sehingga dalam hal ini para sarjana Muslim yang berkontribusi di bidang ilmu perbandingan agama dalam karya-karya mereka belum sepenuhnya menggunakan analisa dalam metode perbandingan. Ini dapat dipahami karena para ilmuan Muslim tersebut berusaha obyektif dalam penelitian mereka.[83]
Demikianlah uraian tentang unsur-unsur metode ilmiah dalam penelitian perbandingan agama di kalangan sarjana muslim. Tokoh-tokoh Islam dalam bidang ini telah melakukan dan menetapkan unsur-unsur metode ilmiah ini secara maksimal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode ilmiah yang digunakan dan dipraktekkan oleh para sarjana Muslim dalam studi perbandingan agama tidak jauh berbeda dengan metode-metode ilmiah yang ada di masa moderen ini.   

5. Memahami Agama Orang Lain
Dalam memandang agama lain, Islam memiliki rumah besar yang disebut ”rahmatan lil ’alamin.” Hal itu berdasarkan kehadiran Rasulullah sebagai pembawa risalah Islam (QS. Al Anbiya: 107). Nabi SAW. dengan jelas mengatakan hal tersebut:
"إني لم أبعَثْ لَعَّانًا، وإنما بُعثْتُ رحمة"
”Sesunggunya aku tidak diutus sebagai pelaknat, namun sesungguhnya aku diutus sebagai rahmat.” (HR. Muslim, No: 2559)
Risalah Islam adalah rahmat di dunia dan diakhirat. Kehadiran Islam di dunia bukanlah untuk menciptakan kekacauan peradaban. Ia hadir untuk melindungi yang lemah, mewujudkan kesejahteraan, serta menciptakan keamanan bagi penduduk bumi, atas dasar beribadah kepada Allah semata-mata.
Imam At Thabari rahimahullah di dalam tafsirnya menegaskan bahwa kata rahmat di dalam surah Al Anbiya: 107 diperuntukkan kepada orang mu’min dan mereka yang tidak beriman kepada kenabian Muhammad. Hal tersebut berdasarkan riwayat sahabat Ibnu Abbas ra dan sejumlah tabi’in senior lainnya[84]. Namun demikian, tentu saja bagi mereka yang menerima kerasulan Muhammad dan menjalankan risalah yang dibawa, maka ia akan mendapatkan rahmat di dunia, juga di akhirat kelak.
Dalam praktek kehidupan, risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah telah membuktikan tingginya peradaban manusia yang benar-benar berbeda dengan yang lainnya. Melalui risalah Islam itu, Rasulullah telah mampu menunjukkan sebuah tatanan kehidupan baru yang menggantikan peradaban rendah bangsa Arab. Bahkan tidak hanya itu, beliau telah mampu menciptakan keadilan dengan sistem yang tidak dikenal oleh para raja dan penguasa timur dan barat ketika itu. Oleh karena itulah, ketika Gustave le Bon membaca penaklukan Palestina oleh kaum muslimin, ia menyebut Amirul Mukminin Umar bin Khattab sebagai ”Sahabat Agung” karena telah menerapkan kehidupan toleransi yang sangat mengagumkan.[85]
Untuk memperjelas uraian di atas, penulis akan menyebutkan satu persatu ajaran Islam yang mengandung prinsip-prinsip hubungan dengan agama lain, berikut penjelasannya.

1.      Tidak ada paksaan dalam beragama
Islam tidak mengajarkan untuk memaksa pemeluk agama lain berpindah agama kepada Islam. Hal itu karena beribadah kepada Allah haruslah disertai dengan ikhlas dan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul-Nya. Keikhlasan akan hadir ketika seseorang ridha dengan apa yang ditetapkan bagi dirinya. Sikap terpaksa hanya akan menjadikan pelakunya munafiq dihadapan Allah, dan berislam dengan tidak sungguh-sungguh. Allah berfirman surat al-Baqarah ayat 256:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”

Ayat di atas merupakan petunjuk tentang tidakbolehnya seseorang memaksa orang lain untuk masuk Islam karena di dalam Islam, seluruh aturan telah dijelaskan dengan terang.[86]
Islam menekankan pada aspek seruan atau ajakan (da’wah) yang dilakukan dengan kode etik (QS. An Nahl: 125). Tidak boleh seruan dilakukan secara serampangan sehingga membuat objek da’wah menjadi apriori. Orang-orang yang telah diseru namun menolak seruan, tetap tidak boleh dipaksa untuk berislam. Hidayah tetaplah hak Allah semata-mata. Kaum muslimin hanya dibebankan untuk mengajak sejauh yang mereka mampu. (QS. Al Qashhash: 56).

2.      Tetap menegakkan keadilan dalam setiap perkara.
Keadilan adalah salah satu prinsip Islam. Seseorang yang tidak berbuat adil maka ia telah terjerumus kedalam kezaliman, dan kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.[87] Tentang perintah berbuat adil, diantaranya adalah firman Allah surat as-Syura ayat 15:
ö@è%ur àMZtB#uä !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# `ÏB 5=»tGÅ2 ( ßNöÏBé&ur tAÏôãL{ ãNä3uZ÷t/ ( ª!$# $uZš/u öNä3š/uur ( !$uZs9 $oYè=»yJôãr& öNä3s9ur öNà6è=»yJôãr& ( Ÿw sp¤fãm $uZoY÷t/ ãNä3uZ÷t/ur ( ª!$# ßìyJøgs $uZoY÷t/ ( Ïmøs9Î)ur 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÎÈ  
Katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya Berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".

Menurut Imam Al Baghawi dalam tafsirnya, ayat ini adalah perintah Allah kepada baginda Nabi untuk menegakkan keadilan dalam setiap perkara.[88] Khitab ayat ini juga ditujukan kepada orang-orang yang berada dalam da’wah Nabi dari kalangan orang-orang kafir. Oleh karena itu, dalam perjanjian-perjanjian yang dilakukan dengan orang kafir Quraish atau kepada orang-orang Yahudi di Madinah, tidak tercatat dalam sejarah bahwa Nabi memutuskan janji secara sepihak atau berbuat curang terhadap perjanjian yang telah terjalin dengan mereka.[89] Disamping itu, perkara-perkara yang diputuskan oleh Nabi semuanya dapat diterima dan tidak menimbulkan gejolak sesudahnya.
Prinsip keadilan di dalam Islam telah memberikan pengaruh yang nyata dalam sikap kaum muslimin generasi awal. Ketika terjadi perselisihan diantara mereka, yang mereka lihat adalah kebenaran bukan perwalian sehingga objektifitas hukuman dapat ditegakkan kepada siapa saja.

3.      Memberikan perlindungan kepada mereka yang berlindung
Dalam kenyataan sejarah, kaum muslimin adalah ummat yang memiliki peri kemanusiaan yang tinggi dibanding dengan sejarah agama-agama lain. Mereka tidak memperlakukan tawanan dengan semena-mena, tidak membunuh wanita, anak-anak, kaum tua renta tidak berdosa yang tidak turut serta dalam peperangan. Mereka juga tidak diperkenankan merampas harta mereka. Mereka bahkan diperintahkan untuk menunjukkan akhlak mulia dengan memberikan jaminan perlindungan penuh bagi siapa saja yang meminta perlindungan. Dalam Islam mereka dikenal dengan ahlu dzimmah. Dalam masalah ini, Nabi bahkan sangat tegas memperingatkan kepada para sahabatnya untuk menjaga hak-hak mereka.[90]  
Ahlu dzimmah tidak hanya dilindungi namun diberikan hak-hak mereka untuk menjalankan keyakinan dalam beragama, serta merayakan hari-hari besar. Mereka juga diberikan hak untuk mempertahankan keberlangsungan agama dan keyakinan dengan mendirikan institusi pendidikan dan lain-lain, mendirikan tempat beribadah, mendirikan peradilan khusus dengan agama mereka, sementara darah dan kehormatan mereka berada dalam perlindungan kaum muslimin.[91]

4.      Tolong menolong dan bermu’amalah dalam hal selain urusan akidah dan ibadah
Tidak ada kesulitan bagi seorang muslim untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, karena hal itu juga dilakukan oleh Rasul mereka Muhammad SAW. Rasulullah pernah menjenguk orang sakit meskipun ia adalah seorang anak Yahudi. Beliau juga pernah menolong orang-orang lemah diantara mereka, berjual beli, berhutang dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa keislaman seseorang tidak menjadikan mereka menjadi ekslusif ditengah-tengah kemajemukan.
            Secara gamblang Allah telah mengizinkan seorang muslim untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi. Mereka adalah tetangga dan kerabat dalam hubungan sosial. Allah berfirman surat al-Mumthahanah ayat 8:
žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ  
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.”

Adapun berbuat baik dan tolong menolong dalam masalah agama dan ibadah adalah hal yang terlarang. Seorang mu’min yang telah berserah diri kepada Allah tidak mungkin mencintai dan meridhai dua millah di dalam satu hatinya. Oleh karena itu Rasulullah telah mencontohkan untuk tidak tolong menolong dalam hal ibadah seperti merayakan hari besar agama lain dan turut memeriahkannya. Hal itulah yang kemudian melahirkan syari’at berhariraya Iedhul Fitri dan Iedhul Adha. Keduanya telah menggantikan kebiasaan lama untuk turut bergembira pada hari raya agam lain.[92]
Dengan demikian dalam Islam, agama-agama lain tetap dipandang sebagai kenyataan yang eksis. Suatu agama tidak bisa melebur dalam satu kesatuan karena masing-masing memiliki kekhasan. Adapaun bagaimana membangun hubungan sosial kemasyarakatan, Islam memiliki ruang yang luas untuk mengekspresikan hal tersebut tanpa harus mengorbankan bangunan keyakinan masing-masing agama.


C. Ilmu Perbandingan Agama Dalam Literatur Barat
1. Definisi
Sebelum menguraikan definisi ilmu perbandngan agama dalam pandangan sarjana-sarjana Barat, maka penting untuk melihat apa definisi-definisi agama itu sendiri menurut mereka. Sebab pendefinisian agama di Barat dibanguan di atas teori-teori asal usul agama itu sendiri, yang mana mereka tidak mempercayai adanya agama wahyu.[93]
Perumusan definisi “agama” dikalangan sarjana-sarjana Barat sendiri masih menjadi suatu problem yang sampai saat ini belum terselesaikan. Dalam berbagai buku maupun ensiklopedi, kita jumpai puluhan definisi tentang “agama” yang sedemikian beragam, sehingga malah mengaburkan apa yang sebenarnya hendak kita pahami.[94]
E. B. Tylor, misalnya merumuskan definisi agama sebagai “kepercayaan terhadap wujud spiritual”,[95] dalam bahasa berbeda Allan Menzies, menganggap agama sebagai “penyembahan terhadap kekuatan yang lebih tinggi karena adanya rasa membutuhkan”.[96] George Galloway merumuskan agama sebagai “keyakinan manusia kepada sebuah kekuatan yang melampaui dirinya, kemana ia mencari pemuasan kebutuhan emosional dan mendapatkan ketenangan hidup, yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian.[97]
Definisi dengan corak berbeda dikemukanan oleh Melpord E. Spiro, yang menyatakan agama sebagai “sebuah institusi berpola budaya yang berhubungan dengan wujud-wujud supra-manusiawi yang dipostulatkan secara budaya.[98] Dengan makna yang hampir sama Milton Yinger merumuskan definisi agama sebagai “Sebuah sistem kepercayaan dan perilaku, yang dengannya sekelompok manusia bergulat dengan problem kehidupan manusiawi yang bersifat ultima”.[99]  
Sedangkan Ninnian Smart memberikan batasan bahwa “sebuah agama dari suatu kelompok adalah serangkaian ritual yang dilembagakan dan diidentikkan dengan suatu tradisi serta mengekspresikan dan atau memunculkan perasaan-perasaan sakral yang diarahkan kepada suatu fokus ilahi atau tran-ilahi yang dilihat dalam konteks lingkungan fenomena manusia dan, paling tidak secara parsial, memiliki penjelasan dalam bentuk mitos atau mitos dan doktrin”.[100]
C.S. Lewis mengajukan jenis definisi, “tactical definition”, yang berbeda dengan definisi-definisi di atas yang disebut Lewis jenis definisi “working definition”, yaitu definisi yang mencoba mendeskripsikan sifat-sifat dari sesuatu yang dimaksud. Adapun tactical definition yang diajukan Lewis adalah sejenis ungkapan atau perlambang, yang sama sekali tidak merujuk kepada pengertian istilah yang dimaksud, dan biasanya dimaksudkan untuk memunculkan kontroversi. Contoh populer dari jenis definisi ini adalah ungkapan Karl Marx yang mengatakan agama adalah “nafas dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, jiwa dari kebekuan yang tak bernyawa, candu masyarakat”.[101] John David Garcia menyebutkan sebagai “penindas kemerdekaan dan perusak kesadaran manusia”.[102]
Ada juga mencoba merumuskan pengertian agama melalui pola “akar kata” dan “paradigma”. Istilah “religion” yang berakar kata Latin “relegere’ yang berarti mengumpulkan, membaca”, dan “religere” yang berarti mengikat”. Sehingga agama merupakan pengikat kehidupan manusia dengan Tuhan yang terdiri dari kumpulan-kumpulan ritual pengabdian”.[103] Sedangkan pola “paradigma” lebih bersifat praktis, dengan cara penunjukan langsung terhadap contoh konkrit yang disebut paradigma. Ini dilakukan untuk mengatasi kesulitan mendeskripsikan definisi agama, sehingga terhadap pertanyaan “apa itu agama”, metode ini memberikan jawaban “agama adalah Hindu, Budha, Kristen dan lain sebagainya.[104]
Adapun Wilfred Cantwell Smith[105], setelah melakukan kajian yang panjang  dan mendalam berkesimpulan bahwa yang dinamakan “agama” dewasa ini adalah sesuatu yang dianggap oleh orang—melalui kacamata pemikiran tertentu—sebagai nama sekumpulan keyakinan-keyakinan yang terorganisir yang terus berkembang dari masa ke masa yang kemudian disebut “agama” padahal kenyataannya tidak ada esensinya sama sekali yang bisa difahami secara jelas tanpa perdebatan. Konsep ‘agama’ di Barat menurut Smith, terdapat perkembangan dan proses yang dapat dicatat dan dikenali yang ia namakan a process of reification (sebuah proses gradual untuk menegaskan “agama” sebagai suatu entitas yang terorganisir dan positif, dan sebagai kata benda). Lebih lanjut Smith mengatakan:
Maka terminologi ini dikenal sangat sulit didefinisikan…. Ia merupakan konsep yang kabur, ambigu, dan diselewengkan, yang hakikatnya tidak punya hubungan sama sekali dengan sesuatu yang definitif dan dapat dikenali di alam nyata. Fenomena-fenomena yang kita sebut religious jelas ada. Namun suatu konsep bahwa fenomena-fenomena religious ini membentuk entitas yang karakteristik (yang disebut agama) dengan sendirinya, adalah sesuatu analisa yang tak didukung dengan bukti dan unjustifiable.[106]
Oleh karena itu, Smith mengajak untuk melepaskan terminologi “agama” (agama-agama: Hinduisme, Budhisme, Judaisme, Kristen, Islam dan lain-lain) sebagai kata benda, bukan sebagai kata sifat, secara sepenuhnya dan selamanya. Sebagai gantinya ia mengajukan dua terminologi baru; pertama, cumulative tradition yaitu tradisi-tradisi yang terhimpun dalam sejarah manusia sebagai hasil interaksi antara berbagai kumpulan dari anasir keagamaan dan budaya hidup—seperti keyakinan, ritus, ritual, teks suci dan tafsirnya, mitos, seni dan sebagainya sehingga membentuk sebuah system tersendiri yang karakteristik yang kemudian disebut tradisi Hindu, atau Budha, Yahudi, Kristen dan Muslim dan lain sebagainya.[107] Kedua, sebagai ganti terminologi ‘agama’ adalah faith (iman yang sifatnya sangat pribadi).[108]
Smith mengklaim dengan kedua terminologi alternatif ini akan dapat menyelesaikan problem pluralitas agama yang telah menjadikan manusi terkotak-kotak, sekte-sekte, bertentangan bahkan sampai bermusuhan, yang menurutnya timbul dari problem dalam memberikan definisi “agama” itu sendiri. Adapun terminologi alternatif baru ini maknanya jelas, definitive, spesifik, distinctive, realistis, dapat diketahui, diobservasi dan dikaji secara historis dan empiris. Dan lebih penting dari itu semua, bahwa teori alternative ini mencakup orang beriman, tek beriman dan skeptik, muslim, Budhis, Kristen, Sufi dan sebagainya.[109]  
Problem dalam perumusan definisi objek ilmu ini (agama) juga menghasilkan problem penamaan terhadap ilmu ini. Ilmu perbandingan agama ini memiliki sekian banyak sinonim nama yang sama-sama popular. Pada awalnya nama yang digunakan oleh Max Muller (1823-1900), adalah Religionswissenschaft. Namun ketika ilmu ini mulai berkembang luas di berbagai negara, diperlukan nama yang lebih menginternasional.Tetapi tidaklah mudah sebab istila Wissenschaft (Jerman) memiliki makna yang utuh sebagai science dan knowledge, dan tidak dijumpai padanannya dalam bahasa Inggris, sehingga memunculkan nama Science of Religion (konotasinya lebih dekat pada ilmu-ilmu alam).
Nama lain yang juga digunakan Max Muller adalah Comparative Religion, yang ia pinjam dari ilmu bahasa, yaitu filologi perbandingan, bidang keahliannya sebelum menekuni studi agama-agama. Nama ini dan juga variannya Comparative Study of Reloigion, sempat digunakan secara luas, departemen-departemen universitas-universitas di Swedia dan Finlandia umpamanya menggunakan istila “perbandingan agama”, sedang journal Pan-Skandinavian, Timenos, menggunakan judul “studies in Comparative religion”, di Canada “comparative religion” juga digunakan, dan di Indonesia sampai saat ini masih menggunakan istilah “ilmu perbandingan agama”.[110]
Istila ketiga yang juga sinonim bagi ilmu perbandingan agama adalah Phenomenology of Religion, atau fenomenologi agama.[111] Sebagaimana perbandingan agama, nama ini juga berasal dari salah satu metode disiplin studi agama yang mendapatkan sambutan yang luas. Nama keempat yang juga digunakan secara luas adalah History of Religions,  bahkan nama ini digunakan secara resmi sebagai nama asosiasi internasional studi agama, yaitu Internasional Association for the History of Religion, didirikan tahun 1951 di Denhaag. Selain itu masih banyak nama-nama lain disiplin ilmu ini, sesuai pendekatan yang digunakan yang kemudian menjadi disiplin-displin ilmu baru dan atau menjadi cabang ilmu agama.[112] Sehingga dikenallah Arkeologi Agama, Filologi Agama, Antropologi Agama, Sosiologi Agama, Psikologi Agama dan lain-lain.
Melihat realitas bahwa nama disiplin ilmu ini sangatlah beragam, dan untuk menfokuskan penelitian sesuai judul tesis ini, maka dalam penelitian ini menggunakan istilah “ilmu perbandingan agama”.
Istilah ilmu perbandingan agama sebagai istilah teknis merupakan terjemahan secara harfiah dari istilah Inggris The Comparative Study of Religion, yang biasanya diperpendek sebagai Comparative Religion.[113] F. de Graeve mengajukan sebuah definisi yang cukup mewakili pemahaman sarjana-sarjana Barat terhadap kajian perbandingan agama. Graeve mengatakan bahwa kajian perbandingan agama sebenarnya adalah cabang kajian non-normatif tentang agama-agama yang menyelidiki secara ilmiah persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara berbagai agama atau berbagai gejala keagamaan, agar tidak hanya mencapai suatu pemahaman komprehensif tentang objek itu sendiri tetapi juga menentukan adanya--watak dan sifat—atau tidak adanya pengaruh timbale balik atau sepihak anata berbagai agama atau berbagai gejala keagamaan.[114]
Dari definisi ini dapat kita simpulkan bahwa dalam pemahaman Barat kajian perbandingan agama bersifat non-normatif karena ia adalah kajian “ilmiah” dan sebagai kajian “ilmiah” tentu ia tidak memberikan penilaian apakah suatu agama benar atau sesat. Seorang pengkaji kajian perbandingan agama tidak akan mencari kelemahan-kelemahan agama lain untuk menunjukkan keunggulan-keunggulan agamanya sendiri.


2. Sejarah Perkembangannya
Dalam bagian ini akan diuraikan secara rinci sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama di dunia Barat sejak zaman Yunani Kuno, zaman pencerahan hingga zaman modern.

a.      Zaman Yunani dan Romawi Kuno 
Dikalangan bangsa Yunani dan Romawi kuno, rasa tertarik terhadap agama lain sudah dapat ditemukan. Kajian tentang agama-agama mulai didokumentasikan sejak abad ke-5 SM. Minat terhadap agama-agama itu terwujud dalam dua bentuk: pertama, melalui catatan-catatan oleh para pengembara yang mengisahkan tentang kultus dan ritus berbagai agama yang mereka temui. Kemudian dibandingkan dengan agama Yunani sendiri, dan kedua, melalui kritik filosofis terhadap agama tradisional.[115]
Heredotus yang hidup pada tahun 484-425 SM adalah salah satu sejarawan Yunani yang telah mengunjungi lebih dari 50 bangsa yang berbeda-beda. Dia telah banyak mencatat tentang adat dan kebiasaan, baik yang bersifat sekular maupun yang bersifat agamis yang sebagian catatannya itu sangat terperinci.[116] Pengembara lainnya yang juga sangat tertarik pada agama-agama asing adalah Demokritos (c. 460-370 SM), catatan-catatan pengembaraannya dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Sacred Writings of Babylon (Tulisan Suci dari Babilonia), demikian juga Chaldean Treatise (buku tetang Kaldean) dan Phrygian Treatise (Buku tentang Prigian). Selain mereka Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) juga melakukan kajian tentang agama-agama.[117]
Sedangkan kajian agama dalam bentuk kritik filosofis tampak jelas dalam karya Xenophanes dari Colophon (l.k. 570-475 SM). Ia sering dianggap sebagai awal dari tradisi panjang sikap kritis terhadap agama asli dan menjadi ciri utama pemikiran filosofis Yunani. Menurut Xenophanes, tidak seorang pun dapat tahu tentang sesuatu yang menyangkut hakikat para dewa, karena semua yang dikatakan tentang dewa-dewa tersebut hanya merupakan pendapat (doxa) saja. Agama masyarakat Yunani ketika itu dikritiknya melalui dua arah, yaitu dari sifatnya yang antroporfis dan dari sifatnya yang immoral.[118] Demikian juga Parmenides (lahir c. 520 SM) dan Empedokles (c. 495-435 SM) berpendapat bahwa dewa-dewa itu tidak lain hanyalah personifikasi dari berbagai kekuatan Alam.
Pada masa pemerintahan Alexander Agung, kajian-kajian agama semakin terbuka luas. Pada masa ini banyak karya studi agama yang dihasilkan. Dan untuk pertama kalinya studi agama-agama telah dikelompokkan menurut tempat asal-usulnya.[119]
Adapun yang paling banyak memberikan pengaruh pada zaman kuno ini adalah golongan Stois, dengan mengembangkan metode interpretasi alegoris. Menurut mereka bahwa sebenarnya dewa-dewa itu menunjukkan kepada Tuhan yang tunggal, dan agama-agama yang berbeda-beda sebenarnya juga pengespresikan kebenaran yang sama—hanya berbeda istilahnya saja. Kepercayaan seperti ini mereka sebut natural religion. Dikemudian hari gema metode semacam ini dapat ditemukan dalam karya Max Muller pada akhir abad ke-19.[120]
Sikap penulis-penulis Yunani di atas jauh berbeda dengan penulis-penulis Kristen-Yahudi yang bersikap eksklusif dan intoleran dalam persoalan agama. Dalam pandangan bangsa Yahudi-Kristen, semua agama lain pasti salah, mereka berusaha keras membuktikan kepalsuan agama-agama selain Kristen atau Yahudi. Baik perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sama sekali tidak memperlihatkan pandangan yang positif dan objektif terhadap agama-agama lain. Dalam pandangan Perjanjian Baru sangat fatal menjalin hubungan apapun dengan pemeluk agama-agama lain. Teori-teori biblikal menyatakan agama non- Kristen merupakan karya syetan atau ruh-ruh jahat lainnya, yang sering dikemukakan oleh para apologis Kristen abad kedua Masehi, seprti Justin Martyr, Tatian, Minucius Felix, Tertullian dan Cyprian.[121] Agustinus dalam bukunya The City of God, dan Paulus Orosius dalam Histories merupakan penolakan terakhir kepada Paganisme.

b.      Zaman Pencerahan
Pada zaman Renaisan kembali ditemukan dan dihidupkan penyelidikan agama pagan, terutama karena popularitas interpretasi alegoris dari neo-Platonisme. Marsilio Ficino (1433-1499) mengkaji Porphyry, pseudo Iamblichus, dan Hermes Trismegestus, kemudian menulis Platonic Theology; ia menganggap murid Platinus sebagai penafsir paling otoritatif terhadap Plato. Kaum humanis meyakini bahwa ada suatu tradisi yang sama dalam semua agama,dan bahwa itu sudah cukup untuk keselamatan manusia. Akhirnya dalam analisis akhir semua agama memiliki nilai yang sama.
Pada tahun 1530 muncul buku yang pertama tentang sejarah agama secara umum berjudul The Customs, Laws and Rites of all Peoples karya Jean Boem dari ordo Teutonik; buku ini berisi uraian tentang kepercayaan masyarakat di Afrika, Asia dan Eropa.[122]
Tokoh yang merupakan mata rantai yang menghubungkan zaman pertengahan dan zaman Renaisan adalah Giovani Boccaccio (1313-1375) dengan karyanya Genealogy of the Gods. Buku ini merupakan usaha untuk mensistematiskan keseluruhan mitologi klasik yang dikenal pada zamannya.
Salah satu tokoh pengkritik agama pada zamannya yang juga penting untuk disebutkan adalah Lord Herbert dari Cherbuty (1583-1648). Ia adalah salah seorang rasionalis yang mula-mula menyatakan secara sistematis bentuk-bentuk prinsip dewa dalam agama. Yang menjadi dasar teorinya adalah hubungan ide ‘insting alam’ dengan ‘pengertian umum’. Agama seharusnya memiliki pengertian umum, sebab agama dijumpai pada setiap bangsa dan setiap periode. Dalam sejarah studi agama teori Lord Herbert ini penting dikarenakan setelah dia studi agama secara bertahap telah menjadi lebih ilmiah serta lebih objektif. [123]
Kemudian muncul para skeptis yang berani memperlakukan agama sebagai sesuatu yang netral. Thomas Hobbes (1588-1679) seorang filosof Inggris yang skeptis menyatakan bahwa agama lahir dari rasa gelisah dan rasa takut manusia, sehingga ia mulai mencari sesuatu. Lambat laun manusia menjumpai kekuatan gaib yang merupakan permulaan lahirnya agama dengan alasan khayalan yang berbeda-beda.[124] 
Selanjutnya pada periode ini mulai bermunculan teori-teori lahirnya agama manusia, Giambatista Vico ( 1688-1744), dalam karyanya New Science (1725) menyebutkan suatu sintesis dari berbagai teori sebelumnya. Secara singkat isi buku ini mensekularisasikan sejarah kehidupan manusia dan sejarah agama.  Vico berkeyakinan segala perubahan yang terjadi dalam sejarah manusia, perbedaan antara susunan sosial yang sezaman dan perbedaan sistem keagamaan bukan kehendak Tuhan , melainkan disebabkan oleh perubahan pemikiran dan keinginan manusia itu sendiri. Disamping itu ada David Hume (1711-1776) yang juga menyajikan teori yang lengkap mengenai asal-usul agama dan perkembangan monoteisme.
Charles de Broses (1707-77) pada tahun 1760, memperkenalkan istilah fetishisme ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Pemikiran orisinil ini mengganti teori asal usul agama politheisme dengan teori fetishisme.
Kemudian muncul August Comte (1798-1857) yang menciptakan konsep ilmu sosiologi, menurut Comte agama tidak bisa menstabilkan masyarakat dan tidak bisa membentuk masyarakat menjadi permanen, sehingga harus diganti dengan sains. [125]

c.       Zaman Modern
Memasuki abad ke-17 dan abad ke-18, penyelidikan terhadap masalah Sinologi dan agama-agama semakin terbuka luas.[126] Di masa inilah istilah “perbandingan agama” atau “ilmu perbandingan agama” atau “sejarah agama” yang menunjuk pada suatu disiplin ilmu atau suatu metodologi dalam mempelajari agama-agama lahir. Kelahiran ilmu baru ini ditandai dengan lahirnya karya-karya Fedrick Max Muller (1823-1900) yang mengemukakan secara jelas kemungkinan adanya “ilmu agama”. Karyanya Essay on Comparative Mythology (1856) merupakan awal dari rangkaian kajian panjang Max Muller bersama para pengikut teorinya.[127] Tahun 1867 terbit karya Max Muller Chips From a German Workshop, yang di dalamnya dengan tegas ditulis nama Religion Wissenchaft.[128] Kemudian pada tanggal 19 Februari 1870 di Royal Institution di London, Max Muller menyampaikan ceramanya tentang ilmu perbandingan agama. Ia mengatakan:
Ilmu agama yang didasarkan kepada perbandingan agama-agama yang tidak memihak dan benar-benar ilmiah, atau paling tidak, agama-agama yang paling penting dari ummat manusia, sekarang ini hanya merupakan masalah waktu. Ia dituntut oleh orang-orang yang suaranya tidak bisa diabaikan. Namanya, sekalipun masih merupakan suatu janji daripada memenuhi kebutuhan, telah banyak dikenal di Jerman, Prancis, dan Amerika; masalah-masalah besar telah menarik perhatian peneliti, dan hasilnya diharap-harapkan dengan khawatir maupun dengan gembira. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi mereka yang mencurahkan hidupnya untuk mempelajari agama-agama besar dunia dalam dokumen-dokumennya yang asli, dan yang menilai agama dan menghargainya dalam bentuk apapun agama itu menampakkan dirinya, untuk mulai menggarap wilayah baru ini dengan nama ilmu yang sebenarnya.[129]

Ceramah Max Muller ini diterbitkan tiga tahun kemudian dengan judul Introduction to the Science of Religion (1873). Sebuah buku yang dianggap sebagai dokumen besar bagi perbandingan agama di dunia yang berbahasa Inggris. Meskipun bahasan Max Muller ini bukanlah sesuatu yang baru di dunia Barat, tetapi Muller lah yang pertama-tama melakukan usaha mensistematiskan bahan-bahan  dari studi ini untuk diatur dalam metode yang jelas dan menjadikannya suatu “ilmu”.
Sarjana-sarjana pengikut Max Muller menamakannya “the science of religion” (di Prancis la science de religion, di Jerman Religionswissenschaft); sedangkan sarjana-sarjana lainnya memilih untuk menekankan keharusan adanya perbandingan dan memilih studi ini dengan nama “the comparative study of religion” atau “comparative religion”.[130]
Untuk pertama kali ilmu ini diajarkan pada Fakultas Teologia Universitas Genewa, Swiss tahun 1868 dengan nama Allegemaine Religionsgeschicte, namun jabatan dosennya baru terbentuk tahun 1873. Demikian juga di Universitas Zurich membentuk jabatan dosen dalam mata kuliah History of Religions and Biblical Geography. Beberapa tahun kemudian tempat pengajaran ilmu perbandingan agama terpenting berpusat di Universitas Besel Swiss, dimana para guru besar terkenal seperti Van Oralli dan Alfred Bartholot bertindak sebagai tuan rumah Kongres Internasional Sejarah Agama Kedua yang diselenggarakan tahun 1904.[131] Kemudian hal serupa terjadi di Belanda, Prancis, Belgia, Jerman dan Inggris.
Atas inisiatif seksi ilmu agama-agama, tahun 1900 di Paris untuk pertama kalinya diselenggarakan Kongres Internasional Sejarah Agama-agama, bertindak sebagai presiden kongres adalah Albert Meville serta mengangkat presiden kehormatan bagi Max Muller dan C.P. Tiele.[132]
Berbagai gerakan lain juga muncul menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ada Emile Durkheim (1858-1917) yang meyakini bahwa ia telah menemukan penjelasan agama yang bersifat sosiologis dalam bentuk totemisme (totem menunjuk pada binatang yang namanya dijadikan nama suku/klan dan dianggap nenek moyang mereka). Dalam pandangan Durkheim dewa klan itu adalah klan itu sendiri yang dijadikan dewa dan totemisme itu adalah bentuk agama yang paling rendah. Sarjana lain yang sezaman Durkheim adalah Lucien Levy-Bruhl (1857-1939) mencoba membuktikan sebuah hipotesis sosiologis bahwa perilaku keagamaan dapat dijelaskan melalui mentalitas pra-logika dari orang-orang primitif.
Kajian hipotesis-hipotesis sosiologis ini telah berpengaruh terhadap studi perbandingan agama, demikian juga para etnolog yang terus berusaha untuk melakukan pendekatan melalui disiplin mereka sebagai sebuah disiplin historis, yang tentu saja kajian-kajian ini memberikan kontribusi yang penting bagi studi perbandingan agama. Diantara etnolog yang berorientasi historis ini adalah: F. Graebner, Leo Frobenius, W.W. Rivers, dan Wilhelm Scmidt di Eropa dan Frans Boas di Amerika. Selanjutnya penjelasan psikologi terhadap agama juga telah dimulai oleh Wilhelm Wundt (1832-1920), Willam James (1842-1910), dan Sigmund Freud (1856-1939). Sedangkan fenomenologi agama yang pertama oleh Gerardus Van der Leew (1890-1950).
Dewasa ini, sejarawan agama terbagi dalam dua wilayah besar berdasarkan orientasi metodologisnya, yang berbeda tapi saling melengkapi. Pertama mengarahkan penelitiannya kepada struktur fenomena keagamaan dengan berusaha memahami esensi agama. Kedua lebih memilih mengkaji konteks historisnya, untuk menemukan dan mengkomunikasikan sejarahnya.[133]

4. Memahami Agama Orang Lain
Memahami agama orang lain dalam konsepsi sarjana-sarjana agama Barat dapat kita rujuk kepada beberapa tokoh dalam bidang ini, diantaranya adalah Max Muller. Ia mengingatkan bahwa dalam kegiatan kajian ilmu perbandingan agama tidak ada obyek persembahan yang direndahkan, tidak ada sekte yang diremehkan, tidak ada kitab suci yang diejek, bahkan semua bentuk peribadatan dihormati, dan semuanya akan dihargai secara ilmiah.[134] Makna dari pesan Max Muller ini adalah bahwa setiap peniliti ilmu perbandingan agama dalam penelitiannya tidak boleh merugikan agama yang diteliti, dia harus menghormati dan menyajikan data hasil penelitiannya apa adanya.
Sedangkan Wilfred C. Smith,  berpendapat bahwa sikap yang harus ditunjukkan seseorang dalam menghadapi agama orang lain adalah apa yang dinamakan personalization, yang diklaimnya sebagai perbaikan dari sikap-sikap selama ini dalam memandang dan menilai agama lain. Tesis Smith ini diuraikan dalam salah satu bukunya “Comparative Religion: Whither—and Why?”. Personalization melalui beberapa tahap, dimulai dengan menghadirkan impersonal, menganggap obyeknya sebagai benda, sebagai  “it”[135], kemudian menjadi personalization, tidak lagi menganggap obyeknya sebagai benda tetapi sebagai orang. Yang mula-mula dianggap sebagai orang ketiga “they”[136], lalu sebagai orang kedua “you”, sehingga terjadi mendengarkan secara timbal-balik (dialog), maka menjadi kami “we” [137] berbicara dengan engkau “you”, dan puncaknya adalah “we all”[138] are talking with each other about us (kita berbicara bersama tentang kita).[139]    
Intinya tidak jauh berbeda dengan Max Muller bahwa dalam studi agama seseorang tidak dibenarkan menganggap agama orang lain lebih rendah dari agamanya, terlebih sampai menyalahkan dan menghina agama tersebut.
Adapun Joachim Wach mengemukakan bahwa sepintas tidak mungkin seseorang memahamai agama yang bukan agamanya sendiri. Padahal hal ini bisa saja terjadi. Bukankah seorang sarjana agama A lebih mungkin memahami agama B dibandingkan dengan seorang yang awam atau bodah dari pemeluk agama B tersebut. Karenanya keanggotaan resmi suatu agama tidak dapat dijadikan ukuran untuk mencapai pemahaman tentang agama yang diikuti.[140]
Untuk memahami agama secara integral, Wach mensyaratkan beberapa kelengkapan. Pertama, kelengkapan yang bersifat intelektual, karena tidak mungkin memahami suatu agama atau gejala keagamaan tanpa adanya informasi dan data yang cukup luas, sehingga penguasaan bahasa merupakan suatu keharusan. Kedua, persyaratan emosional yang tepat. Sebab sebagaimana diketahui agama adalah persoalan pribadi yang melibatkan akal, perasaan dan kehendak. Ketiga, kemauan, ini sangat diperlukan dalam memahami agama orang lain. Keinginan tahu yang pasif atau hasrat tidak mengabaikan perbedaan status seseorang bukan hal yang baik dalam bidang ini. Ketidak tahuan, kemauan yang tak terkendali, dan tidak adanya tujuan akan menghalangi akal sehat, padahal akal menjanjikan keberhasilan pencapaian pemahaman. Keempat, kelengkapan pengalaman, ini merupakan persyaratan utama dalam usaha memahami agama orang lain. Siapa yang sudah mengetahui banyak hal tentang karakter manusia, maka ia lebih memenuhi syarat untuk memahami agama orang lain. Karena ia telah berhubungan dengan pemikiran-pemikiran manusia yang tercermin dalam tingkah laku, perasaan dan cara berfikir yang berbeda-beda.[141]
Pandangan Wach ini bila dicermati lebih menekankan pada partisipasi, yaitu seseorang yang ingin mengetahui dan memahami agama orang lain meskipun jauh berbeda bahkan bertentangan dengan keyakinannya harus mengambil bagian bahkan ikut serta dalam kebiasaan atau kegiatan agama yang sedang diteliti. Jadi partisipasi ini dalam rangka menghayati agama yang sedang dipelajari.       











[1]  Ali Anwar dan Tono TP, Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat, Bandung: Pustaka Setia, 2005, hlm. 145
[2] Di antaranya adalah: Surat Al-Baqarah(2): 62, yang menyebutkan keberadaan agama-agama slain Islam. Surat An-Nisa(4): 46, menyebutkan beberapa sifat orang-orang Yahudi. Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang berbicara tentang agama-agama di luar Islam.
[3] Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 108  
[4] Lihat dialog lengkap Rasullah SAW dengan orang-orang Yahudi dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, hadits no. 3169 kitab Al-Jizyatu wa Al-Muwada’atu. Dan hadits No. 6840 Hukum Bagi Ahli Dzimmi dan Perlindungan Mereka apabila Melakukan Perzinahan. Shahih Bukhari, Riyad: Darussalam, 1997, hlm. 646 dan hlm. 1436 
[5] Bashori dan Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, Indramayu: Pustaka Sayid Sabiq, 2010. Hlm.64-65
[6] Prof. Dr. A. Mukti Ali menyebutkan bahwa ada dua nama pemikir muslim yang meletakkan dasar-dasar ilmu perbandingan agama yaitu Ali Ibn Hazm (994-1064) dengan kitabnya Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal dan Muhammad Abd al-Karim al-Syahrastani (1072-1153) yang menulis kitab al-Milal wa al-Nihlm. Jauh sebelum Max Muller (1823-1900) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama, karena dialah yang dianggap telah melakukan penelitan tentang agama secara objektif dan dengan metode ilmiah dalam karya-karyanya. Lihat Mukti Ali dalam Burhanuddin Daya (ed), dkk., Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia: Beberapa Permasalahan, Jakarta: INIS, 1990, hlm. 5. dan juga Bashori dan Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 62
[7] T.H.Thalhas, Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Galura Pase, 2006, hlm. 30
[8] Djam’annuri, Ibn Hazm Tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Studi Kitab Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal), dalam Journal al-Jami’ah, No. 59/1996, hlm. 227-228. Tulisan ini merupakan ringkasan Disertasi Doktoral Djam’annuri pada Program Pasca Sarjana UIN SUKA Yogyakarta.

[9] Pembahasan terperinci dapat dilhat pada, Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastānī, al-Mila wa al-Nihal, Beirut: Darus Surur, Jilid I-III, 1948.
[10] T.H.Thalhas, Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 31
[11] Farah Antun lahir di Suriah 1947, dari keluarga Kristen Ortodok, salah satu intelektual social dan politik diwilayah Arab. Tahun 1897 ia pindah ke Mesir dan bergelut dibidang Jurnalistik, mendirikan majalah al-Jami’ah, pengusung sekularisme dan menyebarkan nilai-nialai dibalik kemajuan perdaban Barat di kawasan Timur Tengah. http://en.wikipedia.org/wiki/Farah_Antun/diakses tanggal 12/12/2011
[12]  Pembahasan lebih rinci tentang kesimpulan-kesempulan penyelidikan Abduh dapat dilihat dalam, Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 126-129
[13] Dr. Anis Malik Thoha, pakar Perbandingan Agama di International Islamic University Malaysia (IIUM), dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Objectivity and the Scientific Study of Religionmenyimpulkan bahwa “objektif” dalam al-Qur’an adalah bersikaf adil dalam segala hal (In the Qur’Én, this “objectivity” is associated with al-adl (justice), a principle that must be enforced in all situations), termasuk adil terhadap objek yang diteliti. Dalam Jurnal Intellectual Discourse, IIUMPress, VOL 17, No. 1/2009, hlm. 89
[14]  Bashori dan Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 55

[15]  Mirciea Hildea, The Sacred and the Prophane, New York and London: Harcourt, Brace & World, Inc, 1959, hlm. 219. Dalam Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 1
[16] Ibid, hlm. 2
[17] Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 13
[18]  Bashori dan Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 62
[19]  Burhanuddin Daya, Herman Leonard Beck, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda; Kumpulan Makalah Seminar, Jakarta: INIS, 1992, hlm. 181
[20] Anis Malik Thoha, Objectivity and the Scientific Study of Religion, hlm.85
[21] Kusuma et. All (ed), Paradigma Baru Pendidikan Islam Rekaman Implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007, Jakarta: IISEP bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan tinggi Islam Direktorat Pendidikan Islam DEPAG RI. Hlm. 10
[22] Adian Husaini dalam Makalahnya: Pemikiran Modern Ala Barat:Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia/ http://www.insistnet.com/diakses 16 Agustus 2011

[23] Peran Harun Nasutiaon dan Mukti Ali dalam penyebaran metodologi Barat pada studi Islam di IAIN sangat gamblang dipaparkan dalam 2 buku: pertama, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia dengan penyunting Fuad Jabali dan Jamhari, diterbitkan oleh CIDA bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan tinggi Islam Direktorat Pendidikan Islam DEPAG RI tahun 2002. Buku kedua adalah: Paradigma Baru Pendidikan Islam, diterbitkan oleh IISEP bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan tinggi Islam Direktorat Pendidikan Islam DEPAG RI tahun 2008. Kedua buku tersebut ditulis oleh para alumni McGill, untuk menunjukkan keberhasilan kerjasama McGill dan IAIN di Indonesia.
[24] Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS, 1992, hlm. 181
[25]  Ibid,  hlm. 183
[26] Ibid, hlm. 186
[27] Adburrahman, Burhanuddin Daya, Djam’annuri (ed), Agama dan Masyarakat: 70 Tahun  H.A. Mukti Ali, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993. hlm.29
[28] Meskipun Abdul Mukti Ali sangat terpengaruh oleh konsep Wilfred C. Smith dalam studi agama, ia tidak banyak mendapatkan materi metodologi ilmu perbandingan agama yang merupakan bidang keahliannya dari Smith, karena Smith hanya mengarang sebuah buku kecil yang merupakan materi kuliah yang ia sampaikan berjudul : Comparative Religion, Why and Whether?. Selebihnya Abdul Mukti Ali kembangkan yang selanjutnya dapat dijumpai bahwa pendekatan dan metodologi Mukti Ali dalam studi ilmu perbandingan agama banyak dipengaruhi Joachim Wach. Bandingkan buku Mukti Ali “Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan Tentang Metodos dan Sistema dengan Joachim Wach, The Comparative Study Of Religion, New York: Columbia University Press, 1958.
[29] Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed), Mentri-Mentri Agama RI: Biografi Sosial Politik, Jakarta: PPIM, 1998. hlm. 282
[30] Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, (Hyderabad), 10-11 yang dikutip Fatimah Abdullah dari M. M. Sharif, A History of Muslim philosophy, Wiesbaden: Pakistan Philosophical Congress, 1963, 1:247 dalam Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Dîn Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN. al-Attas, Majalah Islamia, Th. I / no. 3 / September-November 2004, hlm. 50  
[31] Al-Bâqillânî, al-Tamhid, 345, dalam Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Dîn Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN. al-Attas, hlm. 51
[32] al-Syahrastânî, al Milal wa al-Nihal, Beirut: Dâr al-Fikr, hlm. 37-38

[33]  Fatimah Abdullah, Konsep Islam Sebagai Dîn Kajian Terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN. al-Attas, hlm. 52
[34] Muhammad ‘Abdullâh Darrâz, al-Dîn Buhūth Mumahi li Dirâsat al-Adyân, Kuwait: Dâr  al-Qalam, 1952, hlm. 52
[35] Bahkan sebagian sarjana-sarjana Barat pun mengakui hal tersebut, diantaranya: A. Jeffery dalam karyanya “Al-Biruni’s Contribution to Comparative Religion,” dalam Al-Biruni: Commemoration Volume, Calcutta: Iran Society, 1951, Theodore Pulcini, Exegesis as Polimenal Discourse: Ibn Hazm on Jewisy and Christian Scriptures, Atlanta Georgia: Scholars Press, 1998, Eric J. Sharpe, Comparative Religion A History, London: Gerald Duckworth and Company Ltd., 1975. Uraian tentang pengakuan sarjana Barat akan disebutkan lebih detail pada pembahasan berikutnya.
[36] Pembahasan tentang sarjana-sarjana muslim dan karya-karya mereka dalam bidang studi agama akan diuraikan pada sub judul : “Sejarah Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama dalam Khazanah Islam, Bab III”

[37] Sebagai contoh Firman Allah SWT:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ( ال عمران: 85 )
[38] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqaranatu al-Adyan ‘Inda Mufakkiri al-Islam, Iskandaria: Darul Wafa, 2002, hlm. 37

[39] Lihat sub bahasan sebelumnya “Latar Belakang Studi Ilmu Perbandingan Agama dalam Khazanah Islam”.
[40]  Djam’annuri, Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003, hlm. 4-6

[41]  Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, cet. 8, 1988, hlm. 25
[42] Ibid, hlm. 26
[43]  Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, hlm. 27

[44]  Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqaranatu al-Adyan ‘Inda Mufakkiri al-Islam, hlm. 55
[45]  Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, hlm. 27. Lihat juga Muhammad Abdullah Darraz, al-Din Buhuts Mumahhadah li Dirasah Tarikh al Adyan, Dar al-Qalam, 1371H/1952, hlm. 22
[46] Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 115
[47] Diantara orientalis Barat adalah A. Jeffery, dalam tulisannya : “Al-Bîrûnî’s Contribution to Comparative Religion,” dalam Al-Bîrûnî: Commemoration Volume, Calcutta: Iran Society, 1951. W. Montgomery Watt dalam artikelnya: ” Bîrûnî and the study of non-Islamic Religions, http://www.fravahr.org/spip.php?article31n. dan  Bill Scheppler dalam “Al-Biruni: Master Astronomer and Muslim Scholar of the Eleventh Century Persia, Rosen Publishing Grou, 2005.

[48] Muhammad Gharib Jaudah, Abaqirah Ulama’ Al-Hadharah wa al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida,  147 Ilmuwan Terkemuka Dalam Sejarah Islam, cet.1, Jakarta: al-Kautsar, 2007. Hal. 249-251
[49] A. Jeffery, “Al-Bîrûnî’s Contribution to Comparative Religion,” dalam Al-Bîrûnî: Commemoration Volume (Calcutta: Iran Society, 1951), 125. Dalam Hilman Latief, “Literatur Muslim Abad Pertengahan Tentang Agama dan Sekte: Sebuah Survei Awalhttp://www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Hilman%20Latief..rtf/ diakses tanggal 2 Agustus 2012
[50] Wikipedia, Abū Rayḥān al-Bīrūnī, http://en.wikipedia.org/wiki/Abū_Rayḥān_al-Bīrūnī/ diakses taggal 3/8/2012

[51] Lihat Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, hlm. 104
[52] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik  Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, hlm. 344
[53] Muhammad Gharib Jaudah, Abaqirah Ulama’ Al-Hadharah wa al-Islamiyah, hlm. 482
[54] Djam’annuri, Ibn Hazm Tentang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Studi Kitab Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal), dalam Journal al-Jami’ah, No. 59/1996, hlm. 227-228. Lihat juga Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm wa Manhajuhû fî Dirâsati al- Adyân, Cairo, Dâr al-Ma’ârif, 1983, hlm. 148-149
[55] Mahmud Ali Himayah, Ibnu Hazm wa Manhajuhû fî Dirâsati al- Adyân, hlm. 148-149. Kajian lebih mendalam tentang metodologi yang digunakan oleh Ibn Hazm dalam studinya terhadap agama-agama dapat dibaca dalam kitab ini. Selain itu ada beberapa penelitian berupa tesis yang mengkaji metode studi agama Ibn Hazm seperti: Metode studi Agama Ibn Hazm: Sebuah kajian terhadap Kitab al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal, oleh Bakhruddin Fannani, pada jurusan Ilmu Perbandingan Agama Pasca Sarjana UGM Yogyakarta dan Ibn Hazm dan Al-Syahrastani dalam diskursus ilmu perbandingan agama: Studi komparatif terhadap metodologi Kitab "Al-Fasl" dan "Al-Milal wa al-Nihal, oleh Sofiyan Hadi pada Universitas yang sama.
[56] Lihat Will Durant, The Age of Faith, New York: Simon and Schuster, 1980.
[57] Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad bin Utsman Az Zahabî, Siyar A’lam An-Nubalâ, Beirut: al-Risâlah, Jil. 20, Cet. 11, 2001, hlm. 286-288
[58] Muhammad bin Nâshir bin Shâlih al-Sîhibanî, Manhaj al-Syahrastânî fî Kitâbihî al-ilalwa al‑Nihal, Riyâd: Dâr al-Wathan, 1412 H, hlm. 291  
[59] Lihat al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, Jil. I, 2003, hlm. 33-187 
[60] Ibid, hlm. 192-200
[61]  Ibid, hlm. 201-209
[62] Ibid, hlm. 216-225

[63]  Lihat al-Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, Jil. II, 2003, hlm. 53- 209
[64] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqaranatu al-Adyan ‘Inda Mufakkiri al-Islam, hlm. 57
[65] Mohammad ‘Abdullah al-Syarqâwî, Buhûts Fî Muqâranatu al-Adyân, Cairo, Dâr Fikr al-‘Arabî, 2000, hlm. 35-37
[66] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, hlm. 28-29. Adapun ayat-ayat yang menunjukkan kearah perbandingan agama diantaranya:
1 tíuŽŸ° . Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷)الشورى  الاية  13)
¨bÎ) .2 šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 (أل عمران الاية 19)
`tBur .3 Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB  (أل عمران الاية 85)

[67] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahufiyyah, hlm. 29-30
[68] Ibid, hlm. 30-31
[69] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm. 91
[70] Anis Malik Thoha, Religionswissenschaft, Antara Obyektivitas dan Subyektivitas Praktisinya, Majalah ISLAMIA, Vol. III No. 1, 2006, hlm. 21
[71] Program Maktabah Syamilah, Shahih Ibnu Hibban 2/361
[72] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005, hlm. 175

[73] Jasques Waardenburg, Reflections on the Study of Religion, The Huge: Mouton, 1978, hlm. 9-21, dalam Anis Malik Thoha, Religionswissenschaft, Antara Obyektivitas dan Subyektivitas Praktisinya, Majalah ISLAMIA, Vol III No. 1, 2006, hlm. 17
[74] Bulen Senay, An Other Introduction to Islam: The Myth of the Value-Free Study of Religon, The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 15, No.2, 1998, hlm. 83-92, dalam Ibid.
[75] Anis Malik Thoha, Religionswissenschaft, Antara Obyektivitas dan Subyektivitas Praktisinya, hlm.21
[76] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm. 91-92
[77] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm. 92-95
[78] Ibid, hlm. 95-97

[79] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm. 99
[80] Muhammad Gharib Jaudah, Abaqirah Ulama’ Al-Hadharah wa al-Islamiyah, diterjemahka oleh Muhyiddin Mas Rida, hlm. 252
[81] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm. 97-103
[82] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm. 103-108
[83] Ibrahim Turki, ‘Ilmu Muqâranatu al-Adyân ‘Inda Mufakkirî al-Islâm, hlm. 108-110
[84]Muhammad bin Jarir At Thabari, Al Jâmi’ al Bayân fî Ta’wîl al Qur’ân, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasah Al Risalah, 2000,  Jilid 18, hal. 552
[85] Raghib As Sirjani, Wa Syahida Syahidun min Ahliha, terj. Misbahul Munir, Bandung: Sygma Publishing, 2010,  hlm. 202. Ia mengutip buku Gustave le Bon, La Civilisation des Arabes, hlm. 135
[86] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’ân al ‘Adzîm, Jilid 1, hal. 682
[87] Sebagaimana hadits Nabi;
 « اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة »
“Takutlah berbuat zalim, karena kezaliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” [HR. Al-Bukhari (2447) dan Muslim (2578)]
[88] Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi, Ma’âlim at Tanzîl, Tt; Dar at Thayyibah li an Nashr, 1997, Jilid 7, hlm. 188
[89] Misalnya pada situasi sulit perjanjian Hudaibiyah. Saat itu ada sejumlah sahabat yang masih tertahan di Makkah, mereka dianiaya dan tidak mendapatkan perlindungan. Salah satu dianara mereka Abu Basyir ra lari dari Makkah menuju Madinah. Namun Rasulullah menolak kehadiran Abu Basyir, bukan karena keislamannya, namun karena perjanjian yang terlah diputuskan dengan kafir Makkah. Lihat, Ibnu Ishaq, As Sirah An Nabawiyah, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar Media, 2012, hlm. 595
[90] Hal itu berdasarkan hadits Nabi;
(من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة، وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahid, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun” (oleh Al-Bukhari no. 3166, Ibnu Majah no. 2686, Ahmad 2/186, dan An-Nasa’iy no. 4750.)
[91] Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama; Tinjauan Kritism Jakarta: Prespektif, 2005, hlm. 256
[92] Dalam sebuah riwayat, ketika beliau memasuki Madinah, Rasulullah melihat orang-orang bergembira pada sebuah hari raya diluar Islam. Nabi kemudian bersabda;
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Dahulu orang jahiliyah memiliki dua hari untuk mereka bermain-main pada tiap tahunnya.” Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, dia bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang kalian bisa bermain-main saat itu. Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya,  yakni hari Fithri dan hari Adha.” Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,  As Silsilah Ash Shahihah No. 2021
[93] Uraian tentang teori-teori asal usul agama dalam pandangan Barat, sejak zaman Yunani-Romawi kuno, hingga zaman modern dapat dibaca pada sub bab berikutnya “sejarah perkembangannya”
[94] Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 14
[95] E.B. Tylor, Mediavel Mind, I, Massachusset: Harvard University Press, 1929, hlm. 424. Dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 14
[96] Allan Manzies, History of Religion, London: Joh Murray, 1922, hlm. 13. Ibid.
[97] George Golloway, The Philosophy of Religion, Edinburgh: T.&T. Cark, 1935, hlm. 184. Ibid. 
[98]  Melford E. Spiro, Religion: Problems of definition and Explanation, dalam Banton, Anthropological Approach to the study of religion, London: Travistock, 1965, hlm. 96. Ibid.
[99] Milton J. Yinger, The Scientific Study Of Religion, London:Macmillan,970, hlm. 7. Ibid.
[100] Ninnian Smart, Scinece of Religion  and the Sociology of Knowledge, New Jesey: Princeton University Press, 1973, hlm. 15. Ibid.
[101] Kathleen Bliss, The Future of Religion, New York: Penguin Books, 1972, hlm. ix. Ibid.
[102] John David Garcia, The Moral Society, A Moral Alternative to Death, New York: The Julian Press, 1971, hlm. 10. Ibid.
[103] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2011, hlm. 1-2
[104] Mark B. Woodhouse, A Preafece to Philosophy, Wadsworth publishing Company, 1984, hlm. 91. dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 18
[105] Wilfred Cantwell Smith adalah salah satu tokoh perbandingan agama Barat yang banyak mempengaruhi pemikiran Abdul Mukti Ali yang menjadi objek kajian tesis ini. Pembahasan lengkap tentang pengaruh Smith terhadap Mukti Ali akan dibahas pada bab III.
[106] Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, London: SPCK, 1978, hlm. 17, dalam Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, hlm.74. Dengan gagasan ini eksistensi agama akan hilang, tidak aka ada lagi benar atau salah pada suatu agama dan  yang terpenting adalah bahwa semua agama sama.
[107] Teori Smith ini berlaku untuk semua agama termasuk Islam yang menurutnya, Islam sebagai kata benda pun harus dilepaskan. Karena Islam juga seperti yang lain mengalami refikasi baru saja pada era modern. Lihat catatan kaki Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, no. 75, hlm.75 
[108] Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, hlm. 156. Smith menjelaskan kedua konsep alternative agama ini dalam dua bab penuh dari bukunya ini, yaitu bab 6: The Cumulative Tradition; dan bab 7: Faith dari halaman 154-192, kajian tentang “iman” ini juga dibahas secara mendetail pada karyanya yang lain yaitu  Wilfred Cantwell Smith, Faith nd Belief, passim, Dalam Ibid. hlm. 75,
[109] Wilfred Cantwell Smith, The Meaning and End of Religion, hm. 156-157, Ibid.
[110] H.A. Mukti Ali, Ilmu perbandingan Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1990, hlm. 3
[111] Perdebatan mengenai fenomenologi agama, apakah termasuk sinonim, atau cabang dan atau malah salah satu metode dari disiplin studi agama. Baca Herman L. Beck, “Ilmu Perbandingan agama dan Fenomenologi Agama: Mencari Inti Sari Agama?”, dalam Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di indonesia dan Belanda, hlm. 47
[112] Polemik tentang aliran, pendekatan dan nama serta pengertian disiplin ilmu agama senantiasa mewarnai kajian agama sarjana-sarjana Barat dan sampai saat ini tidak ada kata sepakat diantara mereka mengenai aliran, pendekatan dan nama serta pengertian untuk ilmu ini.
[113] Burhanuddin Daya, Herman L. Beck (ed), Ilmu Perbandingan Agama di indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS, 1992, hlm. 50

[114] F. de Graeve, Comparative Study of religion, New Catholic Encyclopaedia, Vol. XII, New York, 1967, hlm. 250, dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem & prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Depag RI, 2000, hlm. 1999
[115] Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 63
[116] Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm. 2
[117]  Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 63-64

[118] Djam’annuri, Studi Agama-Agama Sejarah dan Pemikiran, hlm. 2
[119] Ibid, hlm. 3
[120] Ibid, hlm. 3
[121] Ibid. hlm. 4-5 
[122] Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 69
[123] Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 14-15
[124] Ibid, hlm. 16
[125] Ibid, hlm. 17-27
[126] Eric J. Sharpe, Camparative Religion: A Histoy, hlm. 13, dalam Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 28 

[127] Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 70
[128] Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 28
[129] Max Muller, Introduction to the Science of Reriligion (1873) : 34f…dalam H.A. Mukti Ali, Ilmu perbandingan Agama di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1990, hlm. 1
[130] H.A. Mukti Ali, Ilmu perbandingan Agama di Indonesia, hlm. 1-2
[131] Eric J. Sharpe, Camparative Religion: A Histoy, hlm. 120. Dalam Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 28-29

[132] J. Waardenbuurg, Religion, “Religoun Swissencechaft in Continental Europe”, Including Scandinavia:, Humen, Vol. XXIII, tahun 1876, hlm. 220-223. Dalam Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 30
[133] Lihat Mirciea Eliade, Kronologi Studi Agama Sebagai Cabang Ilmu, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, hlm. 71-72 dan Zakiah Darajat, dkk. Perbandingan Agama, Jil. 2, hlm. 31-34
[134] Jacques Wardenburg (ed), Classical Approaches to the studies of Religion, Vol. I, Paris: Moutton-The Haque ,1973, hlm. 90, dalam Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 11

[135] “It”, bentuk tradisional yang biasa digunakan orang Barat untuk membicarakan agama-agama (non-Kristen). “It” menunjukkan sesuatu yang “impersonal”. Pada tahapan ini agama non-Kristen adalah agama yang impersonal, masih asing, belum bisa dijadikan obyek kajian. Penjelasan pronominal terms yang digunakan Smith ini dikutip dari Makalah Adeng Muchtar Ghazali “Pluralisme dan Titik Temu Agama-Agama”, http://www.uinsgd.ac.id/read/karya_ilmiah/artikel-dosen/pluralisme-dan-titik-temu-agama-agama/ diakses tanggal 1 September 2012.
[136] “They”; agama yang impersonal menjadi “personal”, sesuatu yang “asing” menjadi “dikenal” dan bisa didekati sebagai obyek kajian. Pada tahapan ini, ada “pengakuan” bahwa agama-agama non-Kristen (“they”) merupakan bagian dari komunitas manusia beragama. Ibid.
[137] “We”; sudah tercapai adanya hubungan yang bersifat dialogis anatar agama Kristen dan non-Kristen. “We” mencakup “they” dan “you”. “They” menunjukkan bahwa para penstudi memandang agama yuang dikajinya sebagai obyek, dan penstudi berkedudukan hanya sebagai partisipan. Sedangkan “you” menunjukkan adanay dialog yang harmonis, tadinya “we’re speaking (to) you”, – kami berbicara (kepada) Anda, menjadi “we’re speaking (with) you”, – kami berbicara (kepada) Anda. Di sini nampak, bahwa yang tadinya “(to) you” sebagai obyek, berubah menjadi “(with) you” sama-sama sebagai subyek. Ibid.
[138] “We all”; merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya, sebagai tahapan terkahir dalam personalisasi agama dengan menggunakan pronominal terms. Unsur kebersamaan dari berbagai umat beragama yang berlainan, menjadi satu komunitas, satu sama lain saling berbicara dan bertukar pikiran tentang agamanya. “We all” yang dibicarakan tiada lain adalah “with each other about us” –marilah bersama-sama berbicara tentang kita, yakni agama yang sedang kita anut dan tersebar di seluruh pelosok dunia. Ibid.
[139] Wilfred Cantwell Smith, Comparative Religion: Whither—and Why?, dalam Mircea Eliade and Joseph M. Katigawa (ed), The History of Religion, Chicago and London: University of Chicago Press, 1959, hlm. 34 
[140] Joachim Wach, The Comparative Study Of Religions, New York and London: Columbia University Press, 1958, hlm. 10

[141]  Joachim Wach, The Comparative Study Of Religions, hlm. 11-13

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: