Sekte-Sekte dalam Syi'ah dan
Tokoh-tokohnya
oleh
: Imam Taufik Alkhotob
(Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta)
Pendahuluan
Dalam pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, perselisihan agama yang
terjadi dikalangan umat Islam, pada prisnsipnya merupakan sesuatu yang tercela
(madzmumah) berdasarkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam nash
al Qur'an dan As Sunnah. Oleh karenanya para Rasul diperintahkan oleh Allah
untuk menyeru kepada agama yang satu yaitu din al Islam serta diperintahkan
untuk tidak melakukan perpecahan di dalamnya. Agama yang dimaksud Itu ialah
agama (din) yang dianut oleh generasi pertama dan terakhir dari para
Rasul (Islam).[1]
Namun demikian, perselisihan juga merupakan sunnatullah. Ia termaktub secara
gamblang di dalam al Qur'an dan sabda Nabi sebagai sebuah relitas. Dengan
demikian, realitas tersebut harus dipandang sebagai batu ujian yang tidak bisa
tidak harus dihadapi oleh Umat Islam.
Allah
berfirman;
öqs9ur uä!$x© y7/u @yèpgm:
}¨$¨Z9$# Zp¨Bé&
ZoyÏnºur
( wur tbqä9#tt úüÏÿÎ=tGøèC ÇÊÊÑÈ wÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat. Kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu… " (QS. Hûd:
118-119)
Al Imam Ibn al 'Arabi di dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa yang dimaksud kata "ummah" dalam ayat ini adalah; "Jama'ah
yang satu diatas dîn yang satu." Pendapat tersebut merupakan nukilan
beliau dari pendapat jumhur ulama.
Maksudnya, jika Allah berkehendak, tentunya Ia sanggup menciptakan seluruh
ummat ini sebagai muslim. Akan tetapi Ia membagi manusia dengan keislaman dan
kekufuran sesuai dengan Hikmah-Nya, Ilmu-Nya, serta Kehendak-Nya. Perselisihan diantara
umat manusia itu akan senantiasa terjadi terkecuali bagi mereka yang dirahmati
Allah yaitu; bi al hidayâh ilâ al hanifiyah (dengan petunjuk kepada
agama yang lurus), bi alhidâyah ila al haq (dengan petunjuk kepada
kebenaran), bi at Thâ'ah (dengan ketaatan) dan dengan sebab tidak
berselisihnya mereka.[2]
Dalam ayat lainnya Allah
juga berfirman;
tb%x. â¨$¨Z9$#
Zp¨Bé& ZoyÏnºur y]yèt7sù
ª!$# z`¿ÍhÎ;¨Y9$# úïÌÏe±u;ãB
tûïÍÉYãBur tAtRr&ur ãNßgyètB
|=»tGÅ3ø9$#
Èd,ysø9$$Î/
zNä3ósuÏ9 tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$# $yJÏù
(#qàÿn=tF÷z$#
ÏmÏù
4
Artinya:
"Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka
Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. (QS. Al Baqarah: 213)
Ibnu Katsir
menjelaskan pendapat Ibnu Abbas bahwa pada mulanya manusia itu berada pada
syari'at yang haq sejak Adam hingga Nuh 'alaihimassalam. Dan
jarak diantara mereka adalah sepuluh generasi. Setelah diantara mereka terjadi
perselisihan yang menyebabkan terjadinya kekufuran dalam pernyembahan, maka
diutuslah Rasul pertama dalam Islam yaitu Nuh alaihissalam untuk
menghukumi mereka. Adapun penyebab utama perselisihan yang tak kunjung henti
itu adalah akibat sifat al baghyu (kedengkian) diantara mereka setalah
datangnya ilmu.[3]
Penjelasan ini semakin memperkuat realitas perselisihan sebagai bentuk cobaan
yang menimpa tidak hanya kepada manusia pada umumnya, namun juga oleh para Nabi
dan Rasul.
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah juga bersabda tentang bakal terjadinya perselisihan
itu;
تَفَرَّقَت اليَهُودُ عَلَى إِحدَى وَسَبعِينَ فِرقَةً أَوثِنتَينِ وَسَبعِينَ فِرقَةً, وَالنَصَارَى مِثلَ ذَلِكَ, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ فِرقَةً) وَفِي رِوَايَةٍ (إِنَّ بَنِي إِسرَائِيلَ تَفَرَّقَت عَلَى ثِنتَينِ وَسَبعِينَ مِلَّةً, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ مِلَّةً, كُلُّهُم فِي النَارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً, قَالُوا : وَمَن هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيهِ وَأَصحَابِي
Artinya : "Orang-orang Yahudi terpecah
menjadi 71 atau 72 golongan dan orang-orang Nashrani seperti itu juga. Adapun
umat ini terpecah menjadi 73 golongan" didalam riwayat lain disebutkan :
"Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku terpecah
menjadi 73 golongan semuanya di neraka kecuali satu. Para
sahabat bertanya : siapa yang (selamat) itu wahai Rasûlullâh ? beliau menjawab
: (Yang mengikuti aku dan para sahabatku)." [4]
Kemunculan Sekte-sekter Syi'ah
Sebagai sebuah aliran yang menyimpang
dari manhaj Islam yang hanif, Syi'ah-pun menderita penyakit perselisihan itu.
Perselisihan yang berhujung perpecahan Syi'ah kedalam sekte-sekte yang
berjumlah ratusan ini, saling mengklaim merekalah yang paling memiliki otoritas
kepemimpinan. Hal pokok yang menjadi persoalan krusial sehingga muncul
perselisihan diantara mereka adalah problem imamah setelelah kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib, Hasan serta Husein. Karena sejak wafatnya Husein, para pengikut
Ali (Syi'ah) berbeda pendapat tentang siapa
yang akan mereka jadikan anutan serta pimpinan.[5]
Analisa yang
sama juga disebutkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dalam bukunya 'Apa itu Syi'ah
?', bahwa sebab terjadinya perpecahan di dalam tubuh syi'ah dikarenakan dua
hal; a) Perbedaan di dalam ajaran-ajarannya. Dimana diantara mereka ada yang
mendewakan para imam seraya mengkafirkan pihak lain, tetapi ada pula yang
moderat dan hanya menganggap keliru pandangan lain, b) karena banyaknya keturunan
Ali. Dari sini sering terjadi perbedaan dalam menentukan mana yang menjadi imam
dan mana yang tidak.[6]
Pandangan itu diperkuat pula oleh analisa sejarawan muslim Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimahnya. Ia menyebutkan munculnya sekte-sekte dalam aliran syi'ah dimulai
sejak siapakah yang akan menggantikan kekhilafahan sesudah Ali wafat.
Sebahagian diantara mereka mengatakan bahwa ia harus diberikan kepada keturunan
Fatimah secara tetap satu demi satu secara bergantian (mereka disebut golongan
Imamah), atau dilakukan dengan pertimbangan para pakar agama (ahlul hill wa
al aqdi) berdasarkan kealiman, ketaatan, pemurah, serta pemberani dan
keluar memplokamirkan keimamahannya (mereka disebut dengan kelompok Zaidiyah).
Sebagian lagi mengatakan bahwa setelah Ali dan kedua puteranya (Hasan dan
Husein) kepemimpinan diserahkan keapda putera Ali yang lain (dari ibu lain)
yang bernama Muhammad bin Hanafiyah, dan kedua putera-puteranya (mereka disebut
Kaisaniyah yang dinisbahkan kepada Kaisan maulanya).[7]
Karena
banyaknya sekte-sekte dalam Syi'ah, penulis hendak menyebutkan empat saja dari
keseluruhan sekte tersebut berdasarkan analisa Al Imam Ash sahrastani yang
menganggap keempat sekte tersebut sebagai al umm (induk). Al Imam Ash
Sahrastani dalam Al Milal wa an Nihal menyebutkan bahwa perpecahan dalam
tubuh syi'ah dapat dikelompokkan kedalam empat aliran pokok diantaranya;
Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Ghullah. Dari lima kelompok besar inilah muncul beragam
sekte-sekte lain yang diantaranya condong kepada ushul Mu'tazilah,
Sunnah dan Tasybiyah.[8]
1.
Kaisaniyah
Kaisaniyah adalah sekte syi'ah yang
mempercayai keimamahan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma.
Muhammad bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain
ibu.[9]
Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah
Ali yang juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain menyebutkan seperti al Baghdadi,
al As'ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain-lain bahwa nama Kaisan
dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas'ud at Tsaqafi salah seorang kibar
sahabat yang sangat mencintai Ali. [10]
Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam dua kelompok. Satu,
kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi ghaib
dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap
Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok
ini adalah al Karabiyah, pengikut Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah
mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi
jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang
termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam. Bahkan
menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti Abbasiyah pertama yaitu Abu Abbas As
Saffah dan Abu Ja'far Al Mansur merupakan pecahan dari pengikut Hasyimiyah itu.
Karena setelah meninggalnya Abi Hisyam, jabatan imamah berpindah kepada Muhammad
bin Ali Abdullah, kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim al Imam, as
Saffah dan al Mansur.[11]
Sekte Kaisaniyah telah lama musnah.
Namun kehebatan perjuangan Muhammad bin Hanafiyah ini banyak dijumpai dalam
cerita-cerita rakyat. Di Indonesia dan rumpun Melayu, terlebih lagi orang-orang
aceh, mereka mengenalnya dengan Hikayat Muhammad bin Hanafiyah. Di Makkah
sendiri, hikayat ini telah dikenal sejak abad ke 15 M.[12]
2. Syi'ah Zaidiyah
Sekte
Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin
Husein Zainal Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu
Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin. Beliau merupakan tokoh alhul biat yang
terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi.
Tentang Zaid bin Ali zainal Abidin ini, para ulama semisal Ibnu Hibban
menyebutkan profilnya dalam kitab At Tsiqah (Jilid I, hlm 146), dan
beliau mengatakan, al Jama'ah meriwayatkan darinya (Zaid), serta dari
para sahabat Rasulullah. Demikian pula Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i dalam "Musnad
'Ali."[13]
Dimasa Zaid inilah, sekte Syi'ah yang dikenal dengan Syi'ah Rafidhah
mulai dikenal. Al Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan
sebuah riwayat tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma. Al Hafidz
menyebutkan kedatangan para penganut syi'ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin
seraya bertanya; "Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang Abu Bakar
dan Umar ?. Zaid berkata; "Semoga Allah mengampuni keduanya, aku tidak
pernah mendengar seorangpun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada
keduanya. Adapun aku, tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan
(keduanya baik)." Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang
menyenangkan hati mereka, mereka kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid.
Mereka ini menurut Ibnu Katsir dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah.[14]
Imam Amhad rahimahullah juga pernah ditanya oleh anaknya tentang siapa
Rafidhah itu ?, maka beliau menjawab; "Mereka adalah orang-orang yang
menghina dan menghujat Abu Bakr dan Umar radhiyallahu'anhuma. Juga dalam
waktu lain beliau berkata; "Mereka adalah yang memusuhi Abu Bakar dan Umar
radhiyallahu'anhuma." Berkata pula Abul Hasan Al As'ary bahwa
sesungguhnya mereka dinamakan Rafidhah karena penolakan mereka terhadap
kekhaliafahan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma.[15]
Pada tahun 122 H, Zaid sempat
mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang
khalifah dinasti Bani Umaiyah yang terkenal dzalim. Pada saat itulah Zaid wafat
dalam pertempuran yang tak seimbang. Abul A'la al Maududi
menyebutkan peristiwa terbunuhnya Zaid bin Ali tersebut di dalam bukunya Al
Khilafah wa al Mulk melalui penjelasan Imam At Thabari dalam Tarikh-nya
(Jilid 2, hlm. 482,505). Menurut riwayat Imam At Thabari, pada tahun 120 H /
378 M Khalifah Hisyam bin Abdul Malik memecat Khalid bin Abdullah al Qasari
(salah seorang pejabat di Iraq) dengan mengadakan penyelidikan dan perhitungan
ketat dengannya. Maka diundanglah Zaid (sebagai seorang yang terkenal ke
alimannya) dari kota
Madinah ke Kuffah untuk memberikan kesaksian atas permasalahan ini. Kota Kuffah
saat itu di kenal sebagai basis pendukung Ali (syi'ah) yang telah lama menantikan
tokoh dari ahlul Bait untuk merubah nasib mereka dari tekanan serta
kezaliman pemerintahan Umawiyah. Maka kedatangan Zaid ke kota itu menjadi sebuah momentum yang baik
untuk melakukan gerakan perlawanan kepada khalifah. Maka penduduk Kuffah
mengatakan kepada Zaid bahwa terdapat sekitar 100 ribu orang yang akan berada
disampingnya. Oleh kerenanya di kumpulkanlah manusia sebanyak 15 ribu orang dan
membai'atnya saat itu juga. Merekapun menulis nama-nama mereka dalam daftar
yang panjang. Gerakan perlawanan ini ternyata berhasil tercium oleh Khalifah
sebelum waktu yang ditentukan untuk melakukan perlawanan. Maka setelah
mendengar informasi ini, Zaid berinisiatif untuk mendahulukan jadwal perlawanan
dari yang ditetapkan lebih awal (Safar, 122 H). Namun ketika perang terjadi,
pendukung Ali yang berasal dari Kuffah tiba-tiba meninggalkan Zaid sehingga
hanya tersisa 218 orang saja. Dalam pertempuran inilah Zaid rahimahullah
gugur. Dalam hal ini Al Imam Abu Hanifah yang hidup sezaman dengannya berkata;
"Sekiranya aku yakin bahwa rakyat akan tetap
berdiri secara tulus disampingnya dan tidak akan meninggalkannya, niscaya aku
juga akan ikut bersamanya dan berjuang memerangi orang-orang yang menentangnya,
sebab dia adalah imam yang haq. Tetapi aku khawatir mereka akan
menelantarkannya sebagaimana mereka telah berbuat terhadap datuknya (Husein bin
Ali bin Abi Thalib). … Bagaimanapun akau akan membantunya dengan hartaku,
sehingga dia akan menjadi semakin kuat melawan musuh-musuhnya (Al Makki, Manaqib
Imam A'zham Abu Hanifah, Jilid 5, hlm. 487,491)."[16]
Setelah wafatnya Zaid bin Ali Zainal
Abidin para pengikutnya mengklaim beliau sebagai imam Syi'ah yang kelima. Setelah ia
syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat
mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia,
Muhammad bin Abdullah (dijuluki; An Nafs Az Azzakiyah) diangkat sebagai
Imam. Juga setelah ia wafat, Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya
sebagai Imam. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi,
salah seorang khalifah dinasti Bani Abbasiyah dan terbunuh dalam sebuah
peperangan. Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang
hampir menyebabkan kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush,
salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap
penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk
membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya
belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat
mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut
mazhab Syi'ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan
dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi'ah Zaidiyah. Menurut keyakinan
mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra`
a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi
kelaliman, bisa menjadi imam. Ibnu Khaldun menyebutkan, bahwa penentuan
keimamahan dalam sekte Zaidiyah dapat pula melalui musyawarah ahlul halli wa
al aqdi, dan bukan berdasarkan nash. Mereka juga tidak menolak prinsip Imamah
al mafdhul ma'a wujud al afdhal (menerima keimamahan yang lebih rendah
derajatnya, sekalipun yang lebih baik dizamannya masih ada).[17]
Dalam perkembangannya Syi'ah Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan
kekhilafahan Ali dari khalifah Abu Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka
tetap diterima. Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam
bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu'
ia menganut paham Hanafiyah.[18]
Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan
Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah.
Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh
dengan al Qur'an dan sunnah Nabi.[19]
Sekte-sekte yang lahir dari rahim
Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah atau
as Salihiyah.[20]
Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin al Mundziry al 'Abdi. Sekte
ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali sebagai imam setalahnya,
namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya dengan Isyarat (secara
tidak langsung) atau dengan al washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali
dibandingkan lainnya). Kitab Tahdizib at Tahdzib (hlm. 386) menyebutkan
dirinya sebagai al kadzâb laisa bi tsiqah dikarenakan ia termasuk dalam
kelompok Rafidhah (menolak Abu Bakar dan Umar), dan termasuk orang-orang ghuluw
yang melampaui batas. Sekte ini kemudian berselisih faham mengenai kepemimpinan
setelah Ali dalam jumlah yang banyak.[21]
Sementara itu, sekte Sulaimaniyah
adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah
dapat ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini ummat telah
melakukan sesalahan dalam berbai'at kepada Abu Bakar dan Umar, karena
sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi bai'at
mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma'a wujud al afdhal.
Akan tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul Mu'minin Utsman bin Affan
karena dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka juga mengkufurkan Ummul
Mu'minin A'isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah berperang terhadap Ali. Sekte
ini juga dikenal dengan al Jaririyah.[22]
Pecahan lain dari sekte Zaidiyah
adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut dinisbatkan kepada
pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan Katsir an Nu'man
al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara umum,
pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja mereka
bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan. Menurut
Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni. Oleh
karenanya Imam Muslim meriwayatkan beberapa hadits darinya dalam kitab Sahih
Muslim-nya. Sementara itu kitab Tahdzib at Tahdzib menyebut Al Hasan
sebagai orang yang memiliki kezuhudan, ketaqwaan dan ahli ibadah, faqih dan
ahli kalam serta pembesar Syi'ah Zaidiyah yang memiliki beberapa kitab
diantaranya; Kitab at Tauhîd, al Jâmi' fî al Fiqh (Tahdzib at
Tahdzib, hlm. 285, Ibnu Nadhim, Fahrasat, hlm. 253).[23]
3. Syi'ah Ghulat
Syi'ah Ghulat adalah
sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka adalah pengikut Ali yang
terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan kepemimpinan beliau. Tidak
hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam pengganti setelahnya bukan
sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi, bahkan hingga ketingkat
sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah Ghulat telah ada sejak
zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil beliau dengan sebutan;
"Anta, Anta" yang merujuk kepada makna Tuhan. Sebahagian dari
mereka mendapatkan eksekusi mati dengan cara dibakar oleh Khalifah Ali,
sementara itu pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Saba '
dibuang ke Mada'in. Pada perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang
menyalahkan sikap Ali, mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak
menuntut kehilafahannya sepeninggalan Rasulullah.
Kelompok
Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah dan al
Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide Syi'ah awal yaitu Abdullah
bin Saba '. Nama Abdullah bin Saba '
diakui oleh pembesar Syi'ah seperti Al Qummi di dalam kitabnya Al Maqâlat wa
al Firâq (hlm. 10-21), sebagai seseorang yang pertamakali menobatkan
keimamahan Ali dan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat
lainnya. Sebagaimana hal itu juga diakui oleh Al Kasyi dalam kitabnya yang
terkenal Rijalul Kasyi (hlm. 170-174).[24]
Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal
Abdullah bin Saba ' sendiri merupakan tokoh
penyusup dari kalangan Yahudi dari penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai
muslim.[25]
Kelompok saba'iyah juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman
Ibn Muljam melainkan seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut
mereka Ali telah naik kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya
dan Kilat adalah senyumnya.[26]
Kelompok lainnya
adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak
seekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat
Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat
dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima
kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui
Muhammad sebagai utusan-Nya.[27]
4. Syi'ah Imamiyah
Secara garis
besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhamamd telah
melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah beliau wafat.
Oleh karena itu, mereka betul-betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan
Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami perpecahan menjadi beberapa
golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah 12 adalah yang tebesar, disusul
Isma'iliyah. Di zaman kehilafahan Abbasiyah, keduanya memerankan perpolitikan
yang cukup signifikan.
Syi'ah Isma'iliyah misalnya, kelompok
ini berhasil mendirikan dinasti Fathimiyah di Mesir dan Pemimpinnya menyatakan
diri sebagai Khalifah tandingan Abbasiyah setelah berhasil mengadakan beberapa
pemberontakan.[28] Beberpa
doktrin bermasalah yang dibawa gerakan ini diantaranya; perintah syari'at Islam
hanya berlaku bagi orang awam saja, para Nabi dan Rasul hanyalah seorang mujaddid,
para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, al Qur'an
hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu karena memiliki arti lahir dan
arti bathin, serta hanya berfungsi sebagai pensucian jiwa saja. Keyakinan
gerakan Isma'liyah yang aneh ini berakar dari perpaduan ajaran syi'ah dengan
filsafat neo Platonisme, dan sufistik ala Ikhwan as Shafa.[29]
Pemimpin pergerakan Isma'iliyah yang mewujudkan khilafah Fathimiyah
adalah Ubaidillah al Mahdi (Nama asli: Sa'id Ibn Husain/Abu Muhammad Ubaidillah
Al Mahdi) yang juga mengaku sampai kepada keturunan Ali'[30].
Akan tetapi, menurut Al Hafidz Ibnu Katsir dalam Al Bidayah,
pengakuannya tersebut dibantah oleh sejumlah ulama tarikh seperti Imam
Abu Hamid al Isfaraini, Imam Al Qadhi Al Baqilani, Al Qaduri, dan lain-lain
serta berkesimpulan bahwa Ubaidillah berketurunan Yahudi.[31]
Menurut beberapa catatan, Ubaidillah Al Mahdi dilahirkan di Kuffah tahun 260 H /
874 M. Ia memulai gerakannya dari arah Syiria dimana pusat
gerakan firqah Syi'ah Isma'iliyah berada. Dari sana ia pergi ke Afrika Utara, menelusuri
Palestina dan Mesir hingga tiba di Raqqah dan berkuasa disana atas dukungan Abu
Abdullah As Shi'i.[32]
Philip K. Hitti dalam Histor-ynya juga menyebutkan bahwa Abu Abdullah As
Shi'i yang telah membantunya merebut kekuasaan Aghlabiyah pada akhirnya dibunuh
oleh Ubaidillah.
Dalam catatan Dr. Yusuf Al Isy' dalam "Tarîkh Ashr al Khalifah
al Abbasiyah" menyebutkan bahwa Abdullah As Shi'i merupakan kepanjangan
tangan untuk propaganda Syi'ah dari seorang Syi'ah kharismatik yang bernama
Maimun Al Qaddah. Maimun Al Qaddah adalah seorang Syi'ah yang menyebarkan isu
tentang kemunculan Al Mahdi menggantikan Isma'il bin Ja'far. Demikian halnya
dengan Ubaidillah, ia juga merupakan kepanjangan tangan propaganda syi'ah dari
Maimun Al Qaddah yang mendompleng keberhasilan gerakan As Si'i di Maroko.[33]
Ubaidillah mendakwakan dirinya sebagai al Mahdi ke 7. Dakwaan itu
mendapat sambutan kelompok pengikut-pengikutnya dan terus menjadi gelombang
masa yang makin terorganisir dengan baik.
Hingga pada tahun 909 M, Ubaidillah berhasil memproklamirkan diri
menjadi khalifah/Imam untuk dinasti Fathimiyah yang terpisah dari dinasti
Abbasiyah. Nama Fathimiah diambil menjadi nama resmi kekuasaan Syi'ah
Isma'iliyah, merujuk kepada nama putri Rasulullah; Fatimah Az Zahra radhiyallahu'anha
sekaligus penisbatan keturunan mereka.[34]
Dinasti Fathimiyah, sebagaimana dinasti Abbasiyah mengkalim sebagai
pemimpin yang sebenarnya. Tidak hanya itu, Mereka menegaskan bahwa merekalah
imam-imam yang sebenarnya, yakni imam-imam al Mahdi pengganti keturunan Ali radhiyallahu'anhu.
Mereka mengklaim sebagai penerus siklus ke 6 dari para imam.[35]
Al Hakim bin Amrillah, salah seorang raja dinasti Fathimiyah di Mesir ini
bahkan diklaim sebagai Tuhan oleh pengikut Agha Khan. Prof. Dr , Ali Abdul Wahid Wafi dalam
risalah Ghurbah al Islam menyebut mereka sebagai gerakan Syi'ah ghullat
(berlebihan) yang keluar dari Islam.[36]
Adonis menganalisa, bahwa gerakan syi'ah Isma'iliyah ini pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari pengorganisasian gerakan Qaramithah (syi'ah) yang
disebarluaskan oleh Hamdan Qaramith pada 264 H di desa Kuffah dengan banyak
modifikasi.[37]
Demikian halnya dengan kelompok Syi'ah 12. Dinasti Buwaihi merupakan penjelmaan
dari gerakan syi'ah ini. Mereka berhasil menggulingkan dinasti Abbasiyah selama
kurang lebih satu abad lamanya. Bahkan hingga kini, mereka tetap eksis dengan
Republik Iran
sebagai basis gerakannya.
Kembali kepada Imamiyah. Semua golongan yang bernaung dalam nama
Imamiyah sebenarnya sepakat dengan keimaman; Ali bin Abi Thalib, kemudian
Hasan, Husein, Ali bin Husein, Muhammad al Baqir dan Ja'far As Shaddiq.[38]
Setelah wafatnya Ja'far As Shadiq rahimahullah[39],
barulah mereka berselisih pendapat tentang siapa penggantinya. Diantara mereka
ada yang berpendapat bahwa jabatan Imam pindah kepada anaknya, Musa al Kazhim.
Keyakinan inilah yang melahirkan sekte Syi'ah 12. Mereka berpandangan bahwa
Nabi Muhammad telah menetapkan 12 orang Imam sebagai penerus Risalah
diantaranya; Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin,
Muhammad bin Ali al Baqir, Ja'far bin Muhammad as Shadiq, Musa bin Ja'far Al
Kadzim, Ali bin Musa ar Ridha, Muhammad bin Ali al Jawwad, Ali bin Muhammad al
Hadi, Hasan bin Ali al Askari, dan Muhammad bin Hasan al Mahdi.[40]
Sementara yang lain meyakini
bahwa imamah pindah kepada putera Ja'far As Shadiq yang lain yaitu;
Isma'il bin Ja'far As Shadiq, sekalipun ia telah meninggal dunia sebelum Ja'far
As Shadiq sendiri. Kelompok ini disebut Islam'iliyah. Golongan lainnya
menganggap jabatan Imam cukup pada Ja'far As Shadiq. Mereka disebut dengan
kelompok Waqifiyah yaitu kelompok yang mencukupkan kepada keimamahan Ja'far As
Shadiq.
Dalam perkambangannya, Syi'ah 12 mengalami perkembangan pemahaman. Banyak
sekali pemahaman-pemahaman Syi'ah Ghulat yang kemudian hari masuk kedalam
keyakinan mereka. Inilah yang menyebabkan beberapa pandangan dari ulama ahlussunnah
bahwa Syi'ah saat ini tak dapat disatukan dengan Sunni karena perbedaan yang cukup
dalam bidang akidah maupun fiqih. Beberapa pemahaman Syi'ah Ghulat yang
kemudian diadopsi diantaranya adalah;
- Bada'. Mulanya
aqidah bada' dikembangkan oleh syi'ah Mukhtariyah, salah satu versi
syi'ah Ghulat. Aqidah bada' merupakan pemahaman bahwa Allah mengetahui
sesuatu yang sebelumnya tidak Dia ketahui. Ia bisa disebut juga dengan
pengetahuan baru dimana sebelumnya tidak mengetahui.[41]
Riwayat-riwayat tentang keyakinan bada' sangat mudah ditemukan
dalam turas syi'ah 12.
- Raj'ah. Paham
ini disebut juga dengan paham Inkarnasi. Paham ini lahir dari kelompok
syi'ah Ghulat saba'iyah. Paham ini meyakini akan datangnya Imam Mahdi dan
kebangkitan kembali seluruh Imam-imam mereka termasuk Rasulullah.
Kebangkitan mereka adalah dengan maksud menghukumi semua yang menyelisihi
mereka baik yang telah mati maupun yang masih hidup. Dalam turats
Syi'ah 12 hal itu disebutkan oleh sejumlah tokoh mereka semisal Seikh
Abbas al Qummi (Muntaha Amal, jilid 2, hlm. 341), Muhammd Baqir al
Majlisi (Haqqul Yaqin, hlm. 347),
Maqbul Ahmad (Terjemah al Qur'an Maqbul Ahmad, hlm. 535) dan
lain-lain.[42]
- Pengkultusan terhadap para Imam. Ajaran ini juga bersumber dari aqidah Saba'iyah dan sekte Ghulat
lainnya. Namun saat ini ia telah resmi menjadi pemahaman syi'ah 12. Kita
dapat menjumpai pandangan-pandangan itu dalam kitab-kitab mereka sperti al
Kafi, Bihâr al Anwâr, Tafsir al Qummi, Tafsir al 'Ayâsî, Rijal Kâsî
dan lain-lain.
- Mengutamakan Imam daripada para nabi. Ini juga merupakan salah satu ajaran Syi'ah ekstrem yang menjadi
kepercayaan Syi'ah 12.[43]
-----------Wallâhu A'lam bi As
Shawab------------
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Abdussalam bin Muhamamd bin Abdul Karim, Al Jamâ'ah wa al
Furqah li as Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah, tt, Dar al Futuh al Islamiyah,
1995
2.
Muhammad at Thahir Ibn 'Asyur, Tafsir At Tahrîr wa
at Tanwîr , Tunis : Dâr Suhnûn li An Nashr wa at Tauzi', tt,
3.
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Ibn al 'Araby, Ahkâm al
Qur'ân, tahqiq, 'Ali Muhammad Bajawi, Beirut :
Dâr al Jîl, tt
4.
Al hafidz Ibnu Katsir, Tafsîr al Qur'ân al Adzhîm, Beirut : Maktabah Al
Ashriyyah, 2000
5.
http://melayu.husayniya.org,
17 April 2009.
6.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta : Pustaka Firdaus,
2000
7.
Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al
Milal wa an Nihal, Beirut :
Dar Surûr, 1948
8.
Yahya Hasyim Hasan Farghal, Nasya'ah al Ara'u wa al Madzâhib
wa al Firâq al Kalâmiyah, tt: Majma' li al Buhuts al Islâmiyah, 1972
9.
Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah
– Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab, Sidogiri:
Pustaka Sidogiri, 2008
10. Tim Penyusun, Ensiklopedi
Islam, Jakarta :
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000
11. Jamaluddin Abi Al Hajjaj
Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar
'Awar Ma'ruf, Beirut :
Mu'assasah Ar Risâlah, 1996
12. Abi al Fida' Isma'il Ibnu
Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, Beirut :
Dâr al Ma'rifah, 1999
13. Abdullah bin Ibrahim bin
Abdulllah As Syamsan, Mauqif Ibn Taimiyah min Ar Rafîdhah, Riyadh : Dar Al Fadhilah,
2004
14. Abul
A'la Al Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, Bandung : Mizan, 2007
15. Tim Penyusun, Mengapa
Kita Menolak Syi'ah; Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah, Jakarta : Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002
16. Abdullah bin Muhammad, Min
'Aqa'id As Syi'ah, terj. Abu Salman, Ttp: Jaringan Pembelaan terhadap
Sunnah, tt
17. Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul
Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, Jakarta :
Penerbit Minaret, 1987
18. Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2000
19. Mohammad Tohir, Sejarah
Islam dari Andalus sampai Indus, Jakarta :
Dunia Pustaka Jaya, 1981
20. Muhammad Al Bahy, Al
Fikr al Islamy fî Tathawwurihi, terj. Al Yasa' Abu Bakar, Jakarta : Bulan Bintang, 1987
21. Ihsan Ilahi Dzahir, Asyi'ah
wa Ahl Sunnah, Lahore :
Idârah Turjuman as Sunnah, 1983
22. Yusuf Al 'Isy, Tarikh
Ashr al Khalifah al Abbasiyyah, terj. Arif Munandar, Jakrta: Pustaka Al
kautsar, 2007
23. Ira. M. Lapidus, A
History of Islamic Societies, terj. Ghufran A. Mas'adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000
24. Adonis, Arkeologi
Sejarah Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta , 2007
25. Ihsan Ilahi Dzahir, As
Syi'ah wa Ahl al Bait , Pakistan : Idarah Turjuman As Sunnah, 1983
- Sayyid
Husein Al Musawi, Lillahi tsumma li At Tarikh, Tt, tt
27. Muhammad Kamil al Hasyimi,
'Aqidah As syi'ah fî al Mizân, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta : Bulan Bintang, 1989, hlm. 153
28. Muhammad Abdul Sattar al
Tunsawi, Butlân Aqâ'id as Syi'ah, terj. A.Radzafatzi, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1984
29.
Mahyudin Hj. Yahya, Ensiklopedi
Sejarah Islam , Malaysia :
Universitas Kebangsaan Malaysia ,
1986
30. Sayyid Muhibbuddin al
Khatib, Al Khutût al 'Arîdhah li al Asas alati Qâma 'alaihâ dîn as Syî'ah al
Imâmiyah al Itsna 'Asariyah, terj.Munawar Putera, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1984
31. H.M. Rasjidi, Apa itu Syi'ah, Jakarta : Media Da'wah,
1999
[1]
Abdussalam bin Muhamamd bin
Abdul Karim, Al Jamâ'ah wa al Furqah li as Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah,
tt, Dar al Futuh al Islamiyah, 1995, hlm. 17-18. Imam Ibnu 'Ashur di dalam
tafsirnya juga menjelaskan bahwa yang dimaskdud ikhtilaf al mazdmumah
adalah perselisihan di dalam persoalan ushûl ad dîn yang menyebabkan
seseorang yang berselisih tersebut keluar dari agama. Maka beliau menyerukan,
wajib bagi ummat ini untuk membuka seluas-luasnya wasilah yang haq dan
seimbang dengan petunjuk atau dengan berargumentasi dan berdiskusi dengan cara
yang baik untuk menghilangkan perselisihan tercela ini. Jika hal itu tidak
berbuah hasil, maka dapat dengan cara
memerangi mereka seagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada penolak zakat,
atau seperti Ali bin Abi Thalib kepada haruriyah yang mengkufurkan kaum
muslimin. Lihat, Muhammad at Thahir Ibn 'Asyur, Tafsir At Tahrîr wa
at Tanwîr , Tunis : Dâr Suhnûn li An Nashr wa at Tauzi', tt, Jilid 6,
hlm. 198
[2]
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah
Ibn al 'Araby, Ahkâm al Qur'ân, tahqiq, 'Ali Muhammad Bajawi, Beirut : Dâr al Jîl, tt,
Jilid, 3, hlm. 1070-1071
[3]
Al hafidz Ibnu Katsir, Tafsîr
al Qur'ân al Adzhîm, Beirut :
Maktabah Al Ashriyyah, 2000, Jilid I, hlm. 219
[4]
Diriwayatkan oleh Imâm At
Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Diriwayatkan oleh Imâm Tirmidzi didalam
sunannya Jilid V, hal. 2641 dan Imâm Al-Hakim di dalam Mustadraknya Jilid, I,
hal. 128-129, Imâm Al-Ajury di dalam Kitabnya Asy-Syarî'ah, hal.16 dan Imâm
Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam kitabnya As-Sunnah, hal. 22-23 Cet. Yayasan
Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imâm Al-Lalikaai dalam Syar Ushûl I'tiqâd Ahlus
Sunnah wa al-Jamâ'ah, Jilid I, hal. 145-147
[8]
Abi al Fath Muhammad bin Abdul
Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Beirut : Dar Surûr, 1948, Jilid I, hlm. 235
[9]
Buku-buku sirah yang penulis
lacak belum menyebutkan nama ibunda Muhammad bin Hanafiyah yang merupakan juga
isteri dari Khalifah Ali radhiyallahu'anhu.
[10]
Ketika masih kecil Abu Ubaid
meletakkan anaknya dalam kedua tangannya, kemudian mengusap kepalanya dan
mengatakan; "kais, kais". (A Majlisi dalam Bihar al Anwar,
Jilid 9, hlm. 171). Demikian halnya dengan beberapa pandangan sejarawan lain
semisal Al Baghdadi dalam al farqu baina al Firaq (hlm. 38), juga Al
Isfirayaini dalam At tabsyir fi ad
Dîn (hal. 18), Al As'ari dalam Maqâlât al Islâmiyyin (Jilid. 1,hlm.
90). Lihat, Yahya Hasyim Hasan Farghal, Nasya'ah al ara'u wa al Madzahib wa
al Firâq al Kalâmiyah, tt: Majma' li al Buhuts al Islâmiyah, 1972, hlm.110
[11]
Ahmad Qusyairi Isma'il, et,
all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas Buku Dr.
Quraish Shihab, Sidogiri: Pustaka Sidogiri, 2008, hlm. 54
[13]
Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf
al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar
Ma'ruf, Beirut :
Mu'assasah Ar Risâlah, 1996, Jilid, 10, hlm. 96-98
[14]
Abi al Fida' Isma'il Ibnu
Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, Beirut :
Dâr al Ma'rifah, 1999, Jilid 9, hlm. 382
[15]
Abdullah bin Ibrahim bin
Abdulllah As Syamsan, Mauqif Ibn Taimiyah min Ar Rafidhah, Riyadh : Dar Al Fadhilah,
2004, hlm. 39
[16]Abul A'la Al
Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, Bandung : Mizan, 2007,
hlm. 308
[17]
Ahmad Qusyairi Isma'il, et,
all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas buku Dr.
Quraish Shihab, hlm. 55
[20]Terkadang namanya
dinisbatkan pula kepada; an Nahdy, ats Tsaqafi, al Kufi, al Hamdhani, al Khurasani,
(W. antara th. 150-160 H)
[24]
Abdullah bin Saba '
adalah pendeta Yahudi dari Yaman yang berpura-pura masuk Islam pada akhir
pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallâhu'anhu.keberadaannya juga
diakui oleh ulama Syi'ah lainnya seperti An Naubakhti, Al Kusyi, Abdullah Al
Nasyi' Al Akbar (rujukan tertua bagi kaum Syi'ah) dan lain-lain termasuk
buku-buku kontemporer. Lihat, Tim Penyusun, Mengapa Kita Menolak Syi'ah;
Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah, Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Islam, 2002, hlm. 6-7
[25]
Abdullah bin Muhammad, Min
'Aqa'id As Syi'ah, terj. Abu Salman, Ttp: Jaringan Pembelaan terhadap
Sunnah, tt, hlm. 4
[26] Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah
dalam Ukhuwah; Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab, hlm. 58
[27]
Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul
Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, Jakarta :
Penerbit Minaret, 1987, hlm. 25. lihat juga, Ensiklopedi Islam, Jilid V,
hlm. 10.
[29]
Mohammad Tohir, Sejarah
Islam dari Andalus sampai Indus, Jakarta :
Dunia Pustaka Jaya, 1981, hlm. 129. Isma'iliyah berpendapat bahwa pengetahuna
itu ada yang lahir dan yang bathin. Sementara yang terpenting itu adalah aspek
batin. Oleh kerenanya mereka juga disebut kelompok bathiniyah. Beberapa doktrin
yang mereka tentukan diarahkan memperkuat posisi mereka dan mengklaim al Mahdi
ada dalam keturunan Fathimiyah (mereka sendiri). Lihat; Muhammad Al Bahy, Al
Fikr al Islamy fî Tathawwurihi, terj. Al Yasa' Abu Bakar, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hlm. 41-42
[30]
Dr. Ihsan Ilahi Dzahir
mengkritik pengakuan Ubaidailah tersebut karena tidak berdasarkan pada fakta
sejarah (bhatilan wa Zuuran). Lihat. Ihsan Ilahi Dzahir, Asyi'ah wa
Ahl Sunnah, Lahore :
Idârah Turjuman as Sunnah, 1983, hlm. 283
[32]
Mahyudin Hj. Yahya, Ensiklopedi
Sejarah Islam , Malaysia :
Universitas Kebangsaan Malaysia ,
198 , Jilid I, hlm. 307
[33]
Yusuf Al 'Isy, Tarikh Ashr
al Khalifah al Abbasiyyah, terj. Arif Munandar, Jakrta: Pustaka Al kautsar,
2007, hlm. 223-225
[35]
Ira. M. Lapidus, A History
of Islamic Societies, terj. Ghufran A. Mas'adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, Jilid I & II, hlm. 532-533
[36]
Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbah
al Islam, terj. Rifyal Ka'bah, Jakarta :
Penerbit Minaret, 1987, hlm. 26. gerakan Agha Khan ini juga disebut oleh Prof
Wafi keluar dari Islam karena menyebut Rasulullah hanya sebagai mujaddid, bukan
Rasul utusan Allah. Mereka juga membanggakan imam-imam Fathimiyah ketingkat
kema'shuman.
[37]
Adonis, Arkeologi Sejarah
Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta : LKIS
Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007, Jilid I, hlm. 93
[38]
Muhammad
Al Baqir dan Anaknya Ja'far As Shadiq dalam turtas syi'ah mendapatkan
kedzaliman yang ia sendiri tidak tahu menahu akan hal itu. Orang-orang syi'ah
membuat-buat riwayat yang menyudutkan mereka berdua dengan kesimpulan; jubun,
nifaq, ghadr, khiyanah, al kadzib. Kesimpulan tersebut termuat dalam
berbagai riwayat yang menunjukkan akhlaq keduanya begitu buruk. Salah satunya
adalah riwayat tentang Muhammad al Baqir yang memberkan jawaban (fatwa)
berbeda-beda kepada sejumlah penannya padahal masih dalam satu permasalahan.
(Al ushul al Kafi, Bab, Fadhlul Ilmi, hal. 65). Lihat, Ihsan Ilahi Dzahir, As Syi'ah wa Ahl al Bait , Pakistan : Idarah Turjuman As Sunnah, 1983, hlm. 286
[39]
Kedudukan
Abu Abdullah Ja'far As Shadiq adalah tsiqah menurut pandangan ulama'
ahli hadits. Imam al Bukarhi memasukkan nama Ja'far As Shadiq dalam sanadnya
pada kitab Al Adab Al Mufrad. Demikian halnya dengan imam-imam lainnya
seperti Al Ajali, An Nasa'i dan Ibnu Hibban. Ibnu Hibban bahkan berkomentar;
Ja'far termasuk Ablul Bait yang mulia, faqih, berilmu luas, dan banyak memiliki keuatamaan." Demikian
pula ulama-ulama lain semisal Ibnu Jarij, At Tsauri, dan lain-lain. Adz Zahabi
dalam Siyar A'lam Nubala mengatakan; Ja'far tsiqah shaduq.(Siyar
A'lam Nubala, Jilid 6, hlm. 257). Lihat, Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al
Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, Jilid, 5, hlm. 97
[40]
Sayyid Hasan Al Musawi mantan
orang terdekat Khomaeni menjelaskan bahwa Mazhab Itsna Asy'ariyah hanya
berangan-angan saja tentang keyakinan mereka terhadap Imam yang ke 12. Artinya
Imam ke 12 merupakan khayalan fiktif belaka. Karena berdasarkan data-data sirah
dan pengakuan dari ulama mereka seperti At Tusi dalam Al Gaibah (hal.
74), juga dalam Al Irsyad li al Mufid (hal. 354), A'lam al Wuri
oleh At Tubrisi (hal. 380), al Maqalat wa al Farqu oleh Al Asy'ari al
Qumi (hal. 102) bahwa kematian Hasan Al Asykari (Imam ke 11) ini tidak
meninggalkan seorang keturunanpun,baik itu dari istrinya maupun dari kelaurga
dekatnya.
Lihat, Sayyid Husein Al Musawi,
Lillahi tsumma li At Tarikh, Tt, tt, hlm. 105
[41]
Sebagai
contoh; seseorang berniat membeli sesuatu, namun tiba-tiba mendapatkan ide baru
yang lebih baik. Kemudian ia meralat niatnya semula dengan pandangan baru
tersebut. Lihat, Muhammad Kamil
al Hasyimi, 'Aqidah As syi'ah fî al Mizân, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta : Bulan Bintang,
1989, hlm. 153
[42]
Muhammad Abdul Sattar al
Tunsawi, Butlân Aqâ'id as Syi'ah, terj. A.Radzafatzi, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1984, hlm. 102-103
[43]
Sayyid Muhibbuddin al Khatib, Al
Khutût al 'Arîdhah li al Asas alati Qâma 'alaihâ dîn as Syî'ah al Imâmiyah al
Itsna 'Asariyah, terj.Munawar Putera, Surabaya :
PT. Bina Ilmu, 1984, hlm.41
0 comments:
Post a Comment