Sunday, August 21, 2016

Sekte-Sekte Dalam Syi'ah Dan Tokoh-Tokohnya

Sekte-Sekte dalam Syi'ah dan Tokoh-tokohnya
oleh : Imam Taufik Alkhotob
(Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta)
Pendahuluan
Dalam pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, perselisihan agama yang terjadi dikalangan umat Islam, pada prisnsipnya merupakan sesuatu yang tercela (madzmumah) berdasarkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam nash al Qur'an dan As Sunnah. Oleh karenanya para Rasul diperintahkan oleh Allah untuk menyeru kepada agama yang satu yaitu din al Islam serta diperintahkan untuk tidak melakukan perpecahan di dalamnya. Agama yang dimaksud Itu ialah agama (din) yang dianut oleh generasi pertama dan terakhir dari para Rasul (Islam).[1]
Namun demikian, perselisihan juga merupakan sunnatullah. Ia termaktub secara gamblang di dalam al Qur'an dan sabda Nabi sebagai sebuah relitas. Dengan demikian, realitas tersebut harus dipandang sebagai batu ujian yang tidak bisa tidak harus dihadapi oleh Umat Islam.

Allah berfirman;
öqs9ur uä!$x© y7/u Ÿ@yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur ( Ÿwur tbqä9#ttƒ šúüÏÿÎ=tGøƒèC ÇÊÊÑÈ   žwÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu… " (QS. Hûd: 118-119)

            Al Imam Ibn al 'Arabi di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud kata "ummah" dalam ayat ini adalah; "Jama'ah yang satu diatas dîn yang satu." Pendapat tersebut merupakan nukilan beliau  dari pendapat jumhur ulama. Maksudnya, jika Allah berkehendak, tentunya Ia sanggup menciptakan seluruh ummat ini sebagai muslim. Akan tetapi Ia membagi manusia dengan keislaman dan kekufuran sesuai dengan Hikmah-Nya, Ilmu-Nya, serta Kehendak-Nya. Perselisihan diantara umat manusia itu akan senantiasa terjadi terkecuali bagi mereka yang dirahmati Allah yaitu; bi al hidayâh ilâ al hanifiyah (dengan petunjuk kepada agama yang lurus), bi alhidâyah ila al haq (dengan petunjuk kepada kebenaran), bi at Thâ'ah (dengan ketaatan) dan dengan sebab tidak berselisihnya mereka.[2]
Dalam ayat lainnya Allah juga berfirman;
tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur y]yèt7sù ª!$# z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# šúï̍Ïe±u;ãB tûïÍÉYãBur tAtRr&ur ãNßgyètB |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3ósuŠÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# $yJŠÏù (#qàÿn=tF÷z$# ÏmŠÏù 4

Artinya: "Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. (QS. Al Baqarah: 213)

Ibnu Katsir menjelaskan pendapat Ibnu Abbas bahwa pada mulanya manusia itu berada pada syari'at yang haq sejak Adam hingga Nuh 'alaihimassalam. Dan jarak diantara mereka adalah sepuluh generasi. Setelah diantara mereka terjadi perselisihan yang menyebabkan terjadinya kekufuran dalam pernyembahan, maka diutuslah Rasul pertama dalam Islam yaitu Nuh alaihissalam untuk menghukumi mereka. Adapun penyebab utama perselisihan yang tak kunjung henti itu adalah akibat sifat al baghyu (kedengkian) diantara mereka setalah datangnya ilmu.[3] Penjelasan ini semakin memperkuat realitas perselisihan sebagai bentuk cobaan yang menimpa tidak hanya kepada manusia pada umumnya, namun juga oleh para Nabi dan Rasul.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah juga bersabda tentang bakal terjadinya perselisihan itu;
تَفَرَّقَت اليَهُودُ عَلَى إِحدَى وَسَبعِينَ فِرقَةً أَوثِنتَينِ وَسَبعِينَ فِرقَةً, وَالنَصَارَى مِثلَ ذَلِكَ, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ فِرقَةً) وَفِي رِوَايَةٍ (إِنَّ بَنِي إِسرَائِيلَ تَفَرَّقَت عَلَى ثِنتَينِ وَسَبعِينَ مِلَّةً, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ مِلَّةً, كُلُّهُم فِي النَارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً, قَالُوا : وَمَن هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيهِ وَأَصحَابِي

Artinya : "Orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan orang-orang Nashrani seperti itu juga. Adapun umat ini terpecah menjadi 73 golongan" didalam riwayat lain disebutkan : "Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku terpecah menjadi 73 golongan semuanya di neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya : siapa yang (selamat) itu wahai Rasûlullâh ? beliau menjawab : (Yang mengikuti aku dan para sahabatku)." [4]



Kemunculan Sekte-sekter Syi'ah
Sebagai sebuah aliran yang menyimpang dari manhaj Islam yang hanif, Syi'ah-pun menderita penyakit perselisihan itu. Perselisihan yang berhujung perpecahan Syi'ah kedalam sekte-sekte yang berjumlah ratusan ini, saling mengklaim merekalah yang paling memiliki otoritas kepemimpinan. Hal pokok yang menjadi persoalan krusial sehingga muncul perselisihan diantara mereka adalah problem imamah setelelah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, Hasan serta Husein. Karena sejak wafatnya Husein, para pengikut Ali (Syi'ah) berbeda pendapat tentang siapa  yang akan mereka jadikan anutan serta pimpinan.[5]
Analisa yang sama juga disebutkan oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dalam bukunya 'Apa itu Syi'ah ?', bahwa sebab terjadinya perpecahan di dalam tubuh syi'ah dikarenakan dua hal; a) Perbedaan di dalam ajaran-ajarannya. Dimana diantara mereka ada yang mendewakan para imam seraya mengkafirkan pihak lain, tetapi ada pula yang moderat dan hanya menganggap keliru pandangan lain, b) karena banyaknya keturunan Ali. Dari sini sering terjadi perbedaan dalam menentukan mana yang menjadi imam dan mana yang tidak.[6] Pandangan itu diperkuat pula oleh analisa sejarawan muslim Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya. Ia menyebutkan munculnya sekte-sekte dalam aliran syi'ah dimulai sejak siapakah yang akan menggantikan kekhilafahan sesudah Ali wafat. Sebahagian diantara mereka mengatakan bahwa ia harus diberikan kepada keturunan Fatimah secara tetap satu demi satu secara bergantian (mereka disebut golongan Imamah), atau dilakukan dengan pertimbangan para pakar agama (ahlul hill wa al aqdi) berdasarkan kealiman, ketaatan, pemurah, serta pemberani dan keluar memplokamirkan keimamahannya (mereka disebut dengan kelompok Zaidiyah). Sebagian lagi mengatakan bahwa setelah Ali dan kedua puteranya (Hasan dan Husein) kepemimpinan diserahkan keapda putera Ali yang lain (dari ibu lain) yang bernama Muhammad bin Hanafiyah, dan kedua putera-puteranya (mereka disebut Kaisaniyah yang dinisbahkan kepada Kaisan maulanya).[7]
Karena banyaknya sekte-sekte dalam Syi'ah, penulis hendak menyebutkan empat saja dari keseluruhan sekte tersebut berdasarkan analisa Al Imam Ash sahrastani yang menganggap keempat sekte tersebut sebagai al umm (induk). Al Imam Ash Sahrastani dalam Al Milal wa an Nihal menyebutkan bahwa perpecahan dalam tubuh syi'ah dapat dikelompokkan kedalam empat aliran pokok diantaranya; Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Ghullah. Dari lima kelompok besar inilah muncul beragam sekte-sekte lain yang diantaranya condong kepada ushul Mu'tazilah, Sunnah dan Tasybiyah.[8]
1.                  Kaisaniyah
Kaisaniyah adalah sekte syi'ah yang mempercayai keimamahan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma. Muhammad bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu.[9] Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah Ali yang juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain menyebutkan seperti al Baghdadi, al As'ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain-lain bahwa nama Kaisan dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas'ud at Tsaqafi salah seorang kibar sahabat yang sangat mencintai Ali. [10] Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok ini adalah al Karabiyah, pengikut Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam. Bahkan menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti Abbasiyah pertama yaitu Abu Abbas As Saffah dan Abu Ja'far Al Mansur merupakan pecahan dari pengikut Hasyimiyah itu. Karena setelah meninggalnya Abi Hisyam, jabatan imamah berpindah kepada Muhammad bin Ali Abdullah, kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim al Imam, as Saffah dan al Mansur.[11]
Sekte Kaisaniyah telah lama musnah. Namun kehebatan perjuangan Muhammad bin Hanafiyah ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat. Di Indonesia dan rumpun Melayu, terlebih lagi orang-orang aceh, mereka mengenalnya dengan Hikayat Muhammad bin Hanafiyah. Di Makkah sendiri, hikayat ini telah dikenal sejak abad ke 15 M.[12]

2. Syi'ah Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin. Beliau  merupakan tokoh alhul biat yang terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi. Tentang Zaid bin Ali zainal Abidin ini, para ulama semisal Ibnu Hibban menyebutkan profilnya dalam kitab At Tsiqah (Jilid I, hlm 146), dan beliau mengatakan, al Jama'ah meriwayatkan darinya (Zaid), serta dari para sahabat Rasulullah. Demikian pula Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i dalam "Musnad 'Ali."[13]
Dimasa Zaid inilah, sekte Syi'ah yang dikenal dengan Syi'ah Rafidhah mulai dikenal. Al Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan sebuah riwayat tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma. Al Hafidz menyebutkan kedatangan para penganut syi'ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin seraya bertanya; "Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang Abu Bakar dan Umar ?. Zaid berkata; "Semoga Allah mengampuni keduanya, aku tidak pernah mendengar seorangpun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada keduanya. Adapun aku, tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan (keduanya baik)." Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati mereka, mereka kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid. Mereka ini menurut Ibnu Katsir dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah.[14] Imam Amhad rahimahullah juga pernah ditanya oleh anaknya tentang siapa Rafidhah itu ?, maka beliau menjawab; "Mereka adalah orang-orang yang menghina dan menghujat Abu Bakr dan Umar radhiyallahu'anhuma. Juga dalam waktu lain beliau berkata; "Mereka adalah yang memusuhi Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma." Berkata pula Abul Hasan Al As'ary bahwa sesungguhnya mereka dinamakan Rafidhah karena penolakan mereka terhadap kekhaliafahan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma.[15]
Pada tahun 122 H, Zaid sempat mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umaiyah yang terkenal dzalim. Pada saat itulah Zaid wafat dalam pertempuran yang tak seimbang. Abul A'la al Maududi menyebutkan peristiwa terbunuhnya Zaid bin Ali tersebut di dalam bukunya Al Khilafah wa al Mulk melalui penjelasan Imam At Thabari dalam Tarikh-nya (Jilid 2, hlm. 482,505). Menurut riwayat Imam At Thabari, pada tahun 120 H / 378 M Khalifah Hisyam bin Abdul Malik memecat Khalid bin Abdullah al Qasari (salah seorang pejabat di Iraq) dengan mengadakan penyelidikan dan perhitungan ketat dengannya. Maka diundanglah Zaid (sebagai seorang yang terkenal ke alimannya) dari kota Madinah ke Kuffah untuk memberikan kesaksian atas permasalahan ini. Kota Kuffah saat itu di kenal sebagai basis pendukung Ali (syi'ah) yang telah lama menantikan tokoh dari ahlul Bait untuk merubah nasib mereka dari tekanan serta kezaliman pemerintahan Umawiyah. Maka kedatangan Zaid ke kota itu menjadi sebuah momentum yang baik untuk melakukan gerakan perlawanan kepada khalifah. Maka penduduk Kuffah mengatakan kepada Zaid bahwa terdapat sekitar 100 ribu orang yang akan berada disampingnya. Oleh kerenanya di kumpulkanlah manusia sebanyak 15 ribu orang dan membai'atnya saat itu juga. Merekapun menulis nama-nama mereka dalam daftar yang panjang. Gerakan perlawanan ini ternyata berhasil tercium oleh Khalifah sebelum waktu yang ditentukan untuk melakukan perlawanan. Maka setelah mendengar informasi ini, Zaid berinisiatif untuk mendahulukan jadwal perlawanan dari yang ditetapkan lebih awal (Safar, 122 H). Namun ketika perang terjadi, pendukung Ali yang berasal dari Kuffah tiba-tiba meninggalkan Zaid sehingga hanya tersisa 218 orang saja. Dalam pertempuran inilah Zaid rahimahullah gugur. Dalam hal ini Al Imam Abu Hanifah yang hidup sezaman dengannya berkata;
"Sekiranya aku yakin bahwa rakyat akan tetap berdiri secara tulus disampingnya dan tidak akan meninggalkannya, niscaya aku juga akan ikut bersamanya dan berjuang memerangi orang-orang yang menentangnya, sebab dia adalah imam yang haq. Tetapi aku khawatir mereka akan menelantarkannya sebagaimana mereka telah berbuat terhadap datuknya (Husein bin Ali bin Abi Thalib). … Bagaimanapun akau akan membantunya dengan hartaku, sehingga dia akan menjadi semakin kuat melawan musuh-musuhnya (Al Makki, Manaqib Imam A'zham Abu Hanifah, Jilid 5, hlm. 487,491)."[16]

Setelah wafatnya Zaid bin Ali Zainal Abidin para pengikutnya mengklaim beliau  sebagai imam Syi'ah yang kelima. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah (dijuluki; An Nafs Az Azzakiyah) diangkat sebagai Imam. Juga setelah ia wafat, Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai Imam. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abbasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan. Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi'ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi'ah Zaidiyah. Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Ibnu Khaldun menyebutkan, bahwa penentuan keimamahan dalam sekte Zaidiyah dapat pula melalui musyawarah ahlul halli wa al aqdi, dan bukan berdasarkan nash. Mereka juga tidak menolak prinsip Imamah al mafdhul ma'a wujud al afdhal (menerima keimamahan yang lebih rendah derajatnya, sekalipun yang lebih baik dizamannya masih ada).[17] Dalam perkembangannya Syi'ah Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan kekhilafahan Ali dari khalifah Abu Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka tetap diterima. Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu' ia menganut paham Hanafiyah.[18] Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah. Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh dengan al Qur'an dan sunnah Nabi.[19]
Sekte-sekte yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah.[20] Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin al Mundziry al 'Abdi. Sekte ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali sebagai imam setalahnya, namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya dengan Isyarat (secara tidak langsung) atau dengan al washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali dibandingkan lainnya). Kitab Tahdizib at Tahdzib (hlm. 386) menyebutkan dirinya sebagai al kadzâb laisa bi tsiqah dikarenakan ia termasuk dalam kelompok Rafidhah (menolak Abu Bakar dan Umar), dan termasuk orang-orang ghuluw yang melampaui batas. Sekte ini kemudian berselisih faham mengenai kepemimpinan setelah Ali dalam jumlah yang banyak.[21]
Sementara itu, sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah dapat ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini ummat telah melakukan sesalahan dalam berbai'at kepada Abu Bakar dan Umar, karena sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi bai'at mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma'a wujud al afdhal. Akan tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul Mu'minin Utsman bin Affan karena dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka juga mengkufurkan Ummul Mu'minin A'isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah berperang terhadap Ali. Sekte ini juga dikenal dengan al Jaririyah.[22]
Pecahan lain dari sekte Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan Katsir an Nu'man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara umum, pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja mereka bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan. Menurut Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni. Oleh karenanya Imam Muslim meriwayatkan beberapa hadits darinya dalam kitab Sahih Muslim-nya. Sementara itu kitab Tahdzib at Tahdzib menyebut Al Hasan sebagai orang yang memiliki kezuhudan, ketaqwaan dan ahli ibadah, faqih dan ahli kalam serta pembesar Syi'ah Zaidiyah yang memiliki beberapa kitab diantaranya; Kitab at Tauhîd, al Jâmi' fî al Fiqh (Tahdzib at Tahdzib, hlm. 285, Ibnu Nadhim, Fahrasat, hlm. 253).[23]

3. Syi'ah Ghulat
            Syi'ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi, bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah Ghulat telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil beliau dengan sebutan; "Anta, Anta" yang merujuk kepada makna Tuhan. Sebahagian dari mereka mendapatkan eksekusi mati dengan cara dibakar oleh Khalifah Ali, sementara itu pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Saba' dibuang ke Mada'in. Pada perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang menyalahkan sikap Ali, mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak menuntut kehilafahannya sepeninggalan Rasulullah.
            Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide Syi'ah awal yaitu Abdullah bin Saba'. Nama Abdullah bin Saba' diakui oleh pembesar Syi'ah seperti Al Qummi di dalam kitabnya Al Maqâlat wa al Firâq (hlm. 10-21), sebagai seseorang yang pertamakali menobatkan keimamahan Ali dan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya. Sebagaimana hal itu juga diakui oleh Al Kasyi dalam kitabnya yang terkenal Rijalul Kasyi (hlm. 170-174).[24] Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal Abdullah bin Saba' sendiri merupakan tokoh penyusup dari kalangan Yahudi dari penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim.[25] Kelompok saba'iyah juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam melainkan seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut mereka Ali telah naik kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya dan Kilat adalah senyumnya.[26]
            Kelompok lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak seekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya.[27]

4. Syi'ah Imamiyah
            Secara garis besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhamamd telah melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah beliau wafat. Oleh karena itu, mereka betul-betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami perpecahan menjadi beberapa golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah 12 adalah yang tebesar, disusul Isma'iliyah. Di zaman kehilafahan Abbasiyah, keduanya memerankan perpolitikan yang cukup signifikan.
Syi'ah Isma'iliyah misalnya, kelompok ini berhasil mendirikan dinasti Fathimiyah di Mesir dan Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah tandingan Abbasiyah setelah berhasil mengadakan beberapa pemberontakan.[28] Beberpa doktrin bermasalah yang dibawa gerakan ini diantaranya; perintah syari'at Islam hanya berlaku bagi orang awam saja, para Nabi dan Rasul hanyalah seorang mujaddid, para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, al Qur'an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu karena memiliki arti lahir dan arti bathin, serta hanya berfungsi sebagai pensucian jiwa saja. Keyakinan gerakan Isma'liyah yang aneh ini berakar dari perpaduan ajaran syi'ah dengan filsafat neo Platonisme, dan sufistik ala Ikhwan as Shafa.[29]
Pemimpin pergerakan Isma'iliyah yang mewujudkan khilafah Fathimiyah adalah Ubaidillah al Mahdi (Nama asli: Sa'id Ibn Husain/Abu Muhammad Ubaidillah Al Mahdi) yang juga mengaku sampai kepada keturunan Ali'[30]. Akan tetapi, menurut Al Hafidz Ibnu Katsir dalam Al Bidayah, pengakuannya tersebut dibantah oleh sejumlah ulama tarikh seperti Imam Abu Hamid al Isfaraini, Imam Al Qadhi Al Baqilani, Al Qaduri, dan lain-lain serta berkesimpulan bahwa Ubaidillah berketurunan Yahudi.[31] Menurut beberapa catatan, Ubaidillah Al Mahdi dilahirkan di Kuffah tahun 260 H / 874 M. Ia memulai gerakannya dari arah Syiria dimana pusat gerakan firqah Syi'ah Isma'iliyah berada. Dari sana ia pergi ke Afrika Utara, menelusuri Palestina dan Mesir hingga tiba di Raqqah dan berkuasa disana atas dukungan Abu Abdullah As Shi'i.[32] Philip K. Hitti dalam Histor-ynya juga menyebutkan bahwa Abu Abdullah As Shi'i yang telah membantunya merebut kekuasaan Aghlabiyah pada akhirnya dibunuh oleh Ubaidillah.
Dalam catatan Dr. Yusuf Al Isy' dalam "Tarîkh Ashr al Khalifah al Abbasiyah" menyebutkan bahwa Abdullah As Shi'i merupakan kepanjangan tangan untuk propaganda Syi'ah dari seorang Syi'ah kharismatik yang bernama Maimun Al Qaddah. Maimun Al Qaddah adalah seorang Syi'ah yang menyebarkan isu tentang kemunculan Al Mahdi menggantikan Isma'il bin Ja'far. Demikian halnya dengan Ubaidillah, ia juga merupakan kepanjangan tangan propaganda syi'ah dari Maimun Al Qaddah yang mendompleng keberhasilan gerakan As Si'i di Maroko.[33]
Ubaidillah mendakwakan dirinya sebagai al Mahdi ke 7. Dakwaan itu mendapat sambutan kelompok pengikut-pengikutnya dan terus menjadi gelombang masa yang makin terorganisir dengan baik.  Hingga pada tahun 909 M, Ubaidillah berhasil memproklamirkan diri menjadi khalifah/Imam untuk dinasti Fathimiyah yang terpisah dari dinasti Abbasiyah. Nama Fathimiah diambil menjadi nama resmi kekuasaan Syi'ah Isma'iliyah, merujuk kepada nama putri Rasulullah; Fatimah Az Zahra radhiyallahu'anha sekaligus penisbatan keturunan mereka.[34]
Dinasti Fathimiyah, sebagaimana dinasti Abbasiyah mengkalim sebagai pemimpin yang sebenarnya. Tidak hanya itu, Mereka menegaskan bahwa merekalah imam-imam yang sebenarnya, yakni imam-imam al Mahdi pengganti keturunan Ali radhiyallahu'anhu. Mereka mengklaim sebagai penerus siklus ke 6 dari para imam.[35] Al Hakim bin Amrillah, salah seorang raja dinasti Fathimiyah di Mesir ini bahkan diklaim sebagai Tuhan oleh pengikut Agha Khan. Prof. Dr, Ali Abdul Wahid Wafi dalam risalah Ghurbah al Islam menyebut mereka sebagai gerakan Syi'ah ghullat (berlebihan) yang keluar dari Islam.[36] Adonis menganalisa, bahwa gerakan syi'ah Isma'iliyah ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengorganisasian gerakan Qaramithah (syi'ah) yang disebarluaskan oleh Hamdan Qaramith pada 264 H di desa Kuffah dengan banyak modifikasi.[37]
Demikian halnya dengan kelompok Syi'ah 12. Dinasti Buwaihi merupakan penjelmaan dari gerakan syi'ah ini. Mereka berhasil menggulingkan dinasti Abbasiyah selama kurang lebih satu abad lamanya. Bahkan hingga kini, mereka tetap eksis dengan Republik Iran sebagai basis gerakannya.
Kembali kepada Imamiyah. Semua golongan yang bernaung dalam nama Imamiyah sebenarnya sepakat dengan keimaman; Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, Husein, Ali bin Husein, Muhammad al Baqir dan Ja'far As Shaddiq.[38] Setelah wafatnya Ja'far As Shadiq rahimahullah[39], barulah mereka berselisih pendapat tentang siapa penggantinya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa jabatan Imam pindah kepada anaknya, Musa al Kazhim. Keyakinan inilah yang melahirkan sekte Syi'ah 12. Mereka berpandangan bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan 12 orang Imam sebagai penerus Risalah diantaranya; Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Muhammad bin Ali al Baqir, Ja'far bin Muhammad as Shadiq, Musa bin Ja'far Al Kadzim, Ali bin Musa ar Ridha, Muhammad bin Ali al Jawwad, Ali bin Muhammad al Hadi, Hasan bin Ali al Askari, dan Muhammad bin Hasan al Mahdi.[40]
 Sementara yang lain meyakini bahwa imamah pindah kepada putera Ja'far As Shadiq yang lain yaitu; Isma'il bin Ja'far As Shadiq, sekalipun ia telah meninggal dunia sebelum Ja'far As Shadiq sendiri. Kelompok ini disebut Islam'iliyah. Golongan lainnya menganggap jabatan Imam cukup pada Ja'far As Shadiq. Mereka disebut dengan kelompok Waqifiyah yaitu kelompok yang mencukupkan kepada keimamahan Ja'far As Shadiq.
Dalam perkambangannya, Syi'ah 12 mengalami perkembangan pemahaman. Banyak sekali pemahaman-pemahaman Syi'ah Ghulat yang kemudian hari masuk kedalam keyakinan mereka. Inilah yang menyebabkan beberapa pandangan dari ulama ahlussunnah bahwa Syi'ah saat ini tak dapat disatukan dengan Sunni karena perbedaan yang cukup dalam bidang akidah maupun fiqih. Beberapa pemahaman Syi'ah Ghulat yang kemudian diadopsi diantaranya adalah;
  1. Bada'. Mulanya aqidah bada' dikembangkan oleh syi'ah Mukhtariyah, salah satu versi syi'ah Ghulat. Aqidah bada' merupakan pemahaman bahwa Allah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak Dia ketahui. Ia bisa disebut juga dengan pengetahuan baru dimana sebelumnya tidak mengetahui.[41] Riwayat-riwayat tentang keyakinan bada' sangat mudah ditemukan dalam turas syi'ah 12.
  2. Raj'ah. Paham ini disebut juga dengan paham Inkarnasi. Paham ini lahir dari kelompok syi'ah Ghulat saba'iyah. Paham ini meyakini akan datangnya Imam Mahdi dan kebangkitan kembali seluruh Imam-imam mereka termasuk Rasulullah. Kebangkitan mereka adalah dengan maksud menghukumi semua yang menyelisihi mereka baik yang telah mati maupun yang masih hidup. Dalam turats Syi'ah 12 hal itu disebutkan oleh sejumlah tokoh mereka semisal Seikh Abbas al Qummi (Muntaha Amal, jilid 2, hlm. 341), Muhammd Baqir al Majlisi (Haqqul Yaqin, hlm. 347),  Maqbul Ahmad (Terjemah al Qur'an Maqbul Ahmad, hlm. 535) dan lain-lain.[42]
  3. Pengkultusan terhadap para Imam. Ajaran ini juga bersumber dari aqidah Saba'iyah dan sekte Ghulat lainnya. Namun saat ini ia telah resmi menjadi pemahaman syi'ah 12. Kita dapat menjumpai pandangan-pandangan itu dalam kitab-kitab mereka sperti al Kafi, Bihâr al Anwâr, Tafsir al Qummi, Tafsir al 'Ayâsî, Rijal Kâsî dan lain-lain.
  4. Mengutamakan Imam daripada para nabi. Ini juga merupakan salah satu ajaran Syi'ah ekstrem yang menjadi kepercayaan Syi'ah 12.[43]


-----------Wallâhu A'lam bi As Shawab------------

DAFTAR PUSTAKA
1.      Abdussalam bin Muhamamd bin Abdul Karim, Al Jamâ'ah wa al Furqah li as Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah, tt, Dar al Futuh al Islamiyah, 1995
2.      Muhammad at Thahir Ibn 'Asyur, Tafsir At Tahrîr wa at Tanwîr, Tunis: Dâr Suhnûn li An Nashr wa at Tauzi', tt,
3.      Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Ibn al 'Araby, Ahkâm al Qur'ân, tahqiq, 'Ali Muhammad Bajawi, Beirut: Dâr al Jîl, tt
4.      Al hafidz Ibnu Katsir, Tafsîr al Qur'ân al Adzhîm, Beirut: Maktabah Al Ashriyyah, 2000
5.      http://melayu.husayniya.org, 17 April 2009.
6.      Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
7.      Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Beirut: Dar Surûr, 1948
8.      Yahya Hasyim Hasan Farghal, Nasya'ah al Ara'u wa al Madzâhib wa al Firâq al Kalâmiyah, tt: Majma' li al Buhuts al Islâmiyah, 1972
9.      Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab, Sidogiri: Pustaka Sidogiri, 2008
10.  Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru  Van Hoeve, 2000
11.  Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, Beirut: Mu'assasah Ar Risâlah, 1996
12.  Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, Beirut: Dâr al Ma'rifah, 1999
13.  Abdullah bin Ibrahim bin Abdulllah As Syamsan, Mauqif Ibn Taimiyah min Ar Rafîdhah, Riyadh: Dar Al Fadhilah, 2004
14.  Abul A'la Al Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, Bandung: Mizan, 2007
15.  Tim Penyusun, Mengapa Kita Menolak Syi'ah; Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002
16.  Abdullah bin Muhammad, Min 'Aqa'id As Syi'ah, terj. Abu Salman, Ttp: Jaringan Pembelaan terhadap Sunnah, tt
17.  Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, Jakarta: Penerbit Minaret, 1987
18.  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
19.  Mohammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981
20.  Muhammad Al Bahy, Al Fikr al Islamy fî Tathawwurihi, terj. Al Yasa' Abu Bakar, Jakarta: Bulan Bintang, 1987
21.  Ihsan Ilahi Dzahir, Asyi'ah wa Ahl Sunnah, Lahore: Idârah Turjuman as Sunnah, 1983
22.  Yusuf Al 'Isy, Tarikh Ashr al Khalifah al Abbasiyyah, terj. Arif Munandar, Jakrta: Pustaka Al kautsar, 2007
23.  Ira. M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terj. Ghufran A. Mas'adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,  2000
24.  Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007
25.  Ihsan Ilahi Dzahir, As Syi'ah wa Ahl al Bait, Pakistan: Idarah Turjuman As Sunnah, 1983
  1. Sayyid Husein Al Musawi, Lillahi tsumma li At Tarikh, Tt, tt
27.  Muhammad Kamil al Hasyimi, 'Aqidah As syi'ah fî al Mizân, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hlm. 153
28.  Muhammad Abdul Sattar al Tunsawi, Butlân Aqâ'id as Syi'ah, terj. A.Radzafatzi, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984
29.    Mahyudin Hj. Yahya, Ensiklopedi Sejarah Islam, Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, 1986
30.  Sayyid Muhibbuddin al Khatib, Al Khutût al 'Arîdhah li al Asas alati Qâma 'alaihâ dîn as Syî'ah al Imâmiyah al Itsna 'Asariyah, terj.Munawar Putera, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984
31.  H.M. Rasjidi, Apa itu Syi'ah, Jakarta: Media Da'wah, 1999





[1] Abdussalam bin Muhamamd bin Abdul Karim, Al Jamâ'ah wa al Furqah li as Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah, tt, Dar al Futuh al Islamiyah, 1995, hlm. 17-18. Imam Ibnu 'Ashur di dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa yang dimaskdud ikhtilaf al mazdmumah adalah perselisihan di dalam persoalan ushûl ad dîn yang menyebabkan seseorang yang berselisih tersebut keluar dari agama. Maka beliau menyerukan, wajib bagi ummat ini untuk membuka seluas-luasnya wasilah yang haq dan seimbang dengan petunjuk atau dengan berargumentasi dan berdiskusi dengan cara yang baik untuk menghilangkan perselisihan tercela ini. Jika hal itu tidak berbuah hasil,  maka dapat dengan cara memerangi mereka seagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada penolak zakat, atau seperti Ali bin Abi Thalib kepada haruriyah yang mengkufurkan kaum muslimin. Lihat, Muhammad at Thahir Ibn 'Asyur, Tafsir At Tahrîr wa at Tanwîr, Tunis: Dâr Suhnûn li An Nashr wa at Tauzi', tt, Jilid 6, hlm. 198
[2] Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Ibn al 'Araby, Ahkâm al Qur'ân, tahqiq, 'Ali Muhammad Bajawi, Beirut: Dâr al Jîl, tt, Jilid, 3, hlm. 1070-1071
[3] Al hafidz Ibnu Katsir, Tafsîr al Qur'ân al Adzhîm, Beirut: Maktabah Al Ashriyyah, 2000, Jilid I, hlm. 219
[4] Diriwayatkan oleh Imâm At Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Diriwayatkan oleh Imâm Tirmidzi didalam sunannya Jilid V, hal. 2641 dan Imâm Al-Hakim di dalam Mustadraknya Jilid, I, hal. 128-129, Imâm Al-Ajury di dalam Kitabnya Asy-Syarî'ah, hal.16 dan Imâm Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam kitabnya As-Sunnah, hal. 22-23 Cet. Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imâm Al-Lalikaai dalam Syar Ushûl I'tiqâd Ahlus Sunnah wa al-Jamâ'ah, Jilid I, hal. 145-147
[6] H.M. Rasjidi, Apa itu Syi'ah, Jakarta: Media Da'wah, 1999, hlm. 7
[7] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hlm. 245
[8] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Beirut: Dar Surûr, 1948, Jilid I, hlm. 235
[9] Buku-buku sirah yang penulis lacak belum menyebutkan nama ibunda Muhammad bin Hanafiyah yang merupakan juga isteri dari Khalifah Ali radhiyallahu'anhu.
[10] Ketika masih kecil Abu Ubaid meletakkan anaknya dalam kedua tangannya, kemudian mengusap kepalanya dan mengatakan; "kais, kais". (A Majlisi dalam Bihar al Anwar, Jilid 9, hlm. 171). Demikian halnya dengan beberapa pandangan sejarawan lain semisal Al Baghdadi dalam al farqu baina al Firaq (hlm. 38), juga Al Isfirayaini dalam At tabsyir  fi ad Dîn (hal. 18), Al As'ari dalam Maqâlât al Islâmiyyin (Jilid. 1,hlm. 90). Lihat, Yahya Hasyim Hasan Farghal, Nasya'ah al ara'u wa al Madzahib wa al Firâq al Kalâmiyah, tt: Majma' li al Buhuts al Islâmiyah, 1972, hlm.110
[11] Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab, Sidogiri: Pustaka Sidogiri, 2008, hlm. 54
[12] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru  Van Hoeve, 2000, Jilid V, hlm. 7
[13] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, Beirut: Mu'assasah Ar Risâlah, 1996, Jilid, 10, hlm. 96-98
[14] Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, Beirut: Dâr al Ma'rifah, 1999, Jilid 9,  hlm. 382
[15] Abdullah bin Ibrahim bin Abdulllah As Syamsan, Mauqif Ibn Taimiyah min Ar Rafidhah, Riyadh: Dar Al Fadhilah, 2004, hlm. 39
[16]Abul A'la Al Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, Bandung: Mizan, 2007, hlm. 308
[17] Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab, hlm. 55
[18] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 246
[19] Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, hlm. 382
[20]Terkadang namanya dinisbatkan pula kepada; an Nahdy, ats Tsaqafi, al Kufi, al Hamdhani, al Khurasani, (W. antara th. 150-160 H)
[21] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 255
[22]  Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 259

[23] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 261
[24] Abdullah bin Saba' adalah pendeta Yahudi dari Yaman yang berpura-pura masuk Islam pada akhir pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallâhu'anhu.keberadaannya juga diakui oleh ulama Syi'ah lainnya seperti An Naubakhti, Al Kusyi, Abdullah Al Nasyi' Al Akbar (rujukan tertua bagi kaum Syi'ah) dan lain-lain termasuk buku-buku kontemporer. Lihat, Tim Penyusun, Mengapa Kita Menolak Syi'ah; Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002, hlm. 6-7
[25]  Abdullah bin Muhammad, Min 'Aqa'id As Syi'ah, terj. Abu Salman, Ttp: Jaringan Pembelaan terhadap Sunnah, tt, hlm. 4
[26]  Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab, hlm. 58
[27] Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, Jakarta: Penerbit Minaret, 1987, hlm. 25. lihat juga, Ensiklopedi Islam, Jilid V, hlm. 10.
[28] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 65-66
[29] Mohammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981, hlm. 129. Isma'iliyah berpendapat bahwa pengetahuna itu ada yang lahir dan yang bathin. Sementara yang terpenting itu adalah aspek batin. Oleh kerenanya mereka juga disebut kelompok bathiniyah. Beberapa doktrin yang mereka tentukan diarahkan memperkuat posisi mereka dan mengklaim al Mahdi ada dalam keturunan Fathimiyah (mereka sendiri). Lihat; Muhammad Al Bahy, Al Fikr al Islamy fî Tathawwurihi, terj. Al Yasa' Abu Bakar, Jakarta: Bulan Bintang, 1987,  hlm. 41-42
[30] Dr. Ihsan Ilahi Dzahir mengkritik pengakuan Ubaidailah tersebut karena tidak berdasarkan pada fakta sejarah (bhatilan wa Zuuran). Lihat. Ihsan Ilahi Dzahir, Asyi'ah wa Ahl Sunnah, Lahore: Idârah Turjuman as Sunnah, 1983, hlm. 283
[31] Al Hafidz Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa An Nihâyah, hlm. 213-214
[32] Mahyudin Hj. Yahya, Ensiklopedi Sejarah Islam, Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, 198 , Jilid I, hlm. 307
[33] Yusuf Al 'Isy, Tarikh Ashr al Khalifah al Abbasiyyah, terj. Arif Munandar, Jakrta: Pustaka Al kautsar, 2007, hlm. 223-225
[34] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jilid II, hlm. 4-5
[35] Ira. M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terj. Ghufran A. Mas'adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,  2000, Jilid I & II, hlm. 532-533
[36] Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbah al Islam, terj. Rifyal Ka'bah, Jakarta: Penerbit Minaret, 1987, hlm. 26. gerakan Agha Khan ini juga disebut oleh Prof Wafi keluar dari Islam karena menyebut Rasulullah hanya sebagai mujaddid, bukan Rasul utusan Allah. Mereka juga membanggakan imam-imam Fathimiyah ketingkat kema'shuman.
[37] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007, Jilid I, hlm. 93
[38] Muhammad Al Baqir dan Anaknya Ja'far As Shadiq dalam turtas syi'ah mendapatkan kedzaliman yang ia sendiri tidak tahu menahu akan hal itu. Orang-orang syi'ah membuat-buat riwayat yang menyudutkan mereka berdua dengan kesimpulan; jubun, nifaq, ghadr, khiyanah, al kadzib. Kesimpulan tersebut termuat dalam berbagai riwayat yang menunjukkan akhlaq keduanya begitu buruk. Salah satunya adalah riwayat tentang Muhammad al Baqir yang memberkan jawaban (fatwa) berbeda-beda kepada sejumlah penannya padahal masih dalam satu permasalahan. (Al ushul al Kafi, Bab, Fadhlul Ilmi, hal. 65). Lihat, Ihsan Ilahi Dzahir, As Syi'ah wa Ahl al Bait, Pakistan: Idarah Turjuman As Sunnah, 1983, hlm. 286
[39] Kedudukan Abu Abdullah Ja'far As Shadiq adalah tsiqah menurut pandangan ulama' ahli hadits. Imam al Bukarhi memasukkan nama Ja'far As Shadiq dalam sanadnya pada kitab Al Adab Al Mufrad. Demikian halnya dengan imam-imam lainnya seperti Al Ajali, An Nasa'i dan Ibnu Hibban. Ibnu Hibban bahkan berkomentar; Ja'far termasuk Ablul Bait yang mulia, faqih, berilmu luas, dan  banyak memiliki keuatamaan." Demikian pula ulama-ulama lain semisal Ibnu Jarij, At Tsauri, dan lain-lain. Adz Zahabi dalam Siyar A'lam Nubala mengatakan; Ja'far tsiqah shaduq.(Siyar A'lam Nubala, Jilid 6, hlm. 257). Lihat, Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, Jilid, 5, hlm. 97
[40] Sayyid Hasan Al Musawi mantan orang terdekat Khomaeni menjelaskan bahwa Mazhab Itsna Asy'ariyah hanya berangan-angan saja tentang keyakinan mereka terhadap Imam yang ke 12. Artinya Imam ke 12 merupakan khayalan fiktif belaka. Karena berdasarkan data-data sirah dan pengakuan dari ulama mereka seperti At Tusi dalam Al Gaibah (hal. 74), juga dalam Al Irsyad li al Mufid (hal. 354), A'lam al Wuri oleh At Tubrisi (hal. 380), al Maqalat wa al Farqu oleh Al Asy'ari al Qumi (hal. 102) bahwa kematian Hasan Al Asykari (Imam ke 11) ini tidak meninggalkan seorang keturunanpun,baik itu dari istrinya maupun dari kelaurga dekatnya. Lihat, Sayyid Husein Al Musawi, Lillahi tsumma li At Tarikh, Tt, tt, hlm. 105

[41] Sebagai contoh; seseorang berniat membeli sesuatu, namun tiba-tiba mendapatkan ide baru yang lebih baik. Kemudian ia meralat niatnya semula dengan pandangan baru tersebut. Lihat, Muhammad Kamil al Hasyimi, 'Aqidah As syi'ah fî al Mizân, terj. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, hlm. 153
[42] Muhammad Abdul Sattar al Tunsawi, Butlân Aqâ'id as Syi'ah, terj. A.Radzafatzi, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984, hlm. 102-103
[43] Sayyid Muhibbuddin al Khatib, Al Khutût al 'Arîdhah li al Asas alati Qâma 'alaihâ dîn as Syî'ah al Imâmiyah al Itsna 'Asariyah, terj.Munawar Putera, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984, hlm.41

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: