MAKALAH BIOGRAFI MOHAMAD ROEM
Oleh: Sudirman
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir)
Mohammad Roem adalah salah satu tokoh populer sebagai negosiator dalam
perundingan Roem-Royen tahun 1949. Ia pahlawan nasional yang terkenal sebagai
diplomat ulung dalam perundingan-perundingan yang melibatkan Indonesia dan
Belanda sekaligus pemimpin Indonesia pada masa Perang Revolusi.
A. Masa Muda
Mohamad Roem lahir di desa Klewogan, Kawedanan
Parakan, kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908. Ayahnya bernama
Djulkarnaen DJojosasmito, seorang Lurah (Kepala Desa) Klewogan dan ibunya
bernama Siti Tarbijah. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara, lima
orang laki-laki dan dua orang perempuan. Kakaknya yangg tertua seorang
perempuan, bernama Muti’ah, dan anak yang bungsu perempuan juga, Siti
Chatidjah. Sementara empat saudara laki-lakinya mempunyai urutan nama yang
khas, yang tertua Abu Bakar, kemudian, Umar, Usman dan Ali. Ini menggambarkan
kehidupan keluarga Mohamad Roem yang menghayati kehidupan muslim dalam rumah
tangganya.[1]
B. Pendidikan
Pendidikan formal pertama yang ditempuh
Mohammad Roem adalah Volkschool (sekolah rakyat biasa, sekolah dasar di masa Belanda) di desa
kelahirannya
tahun 1915 selama 2 tahun. Setelah itu Muhammad Roem masuk ke sekolah Belanda,
HIS (Holland Inlandsche School) di ibukota Temanggung (1917-1919) sampai
kelas III karena daerah Parakan terserang penyakit menular yang menakutkan
yaitu kolera, influenza dan pes (penyakit perut dan penyakit dari kuman tikus).
pendidikannya diteruskan ke HIS Pekalongan sampai lulus pada tahun 1924. Ia
pindah ke Pekalongan bersama dengan adiknya Siti Chatidjah di rumah kakaknya
yang tertua, nyonya Muti’ah.
Kemudian Roem mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan sekolah ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen –
sekolah untuk mendidik Dokter pribumi) di Jakarta setelah menghadiri pemeriksaan pemerintah. Lama pendidikan di sekolah
tersebut adalah 10 tahun yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu persiapan 3 tahun,
dan bagian kedokteran selama 7 tahun. Pada tahun 1927 tamatlah pendidikannya
pada bagian persiapan di STOVIA. Untuk dapat melanjutkan pelajaran, ia masuk ke
AMS (Algemene Middelbare School) atau sekolah menengah umum tingkat atas di Jakarta. Muhammad Roem masuk ke AMS pada
tahun 1927 dan lulus pada tahun 1930.
Setelah itu Muhammad Roem meneruskan
pendidikannya ke GHS (Geneeskundige Hooge School) atau sekolah tinggi
kedokteran di jalan Salemba selama 2 tahun, tetapi tidak berhasil lulus. Ujian
pertama gagal, demikian pula ujian kedua. Ia kemudian berhenti menjadi
mahasiswa di GHS dan beristirahat selama 2 tahun. Tahun 1932 Muhammad Roem
masuk ke RHS (Rechtshoogeschool te Batavia), Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta dan lulus pada tahun 1939. Melalui RHS inilah
Muhammad Roem mendapat gelar “Meester in de Rechten (Mr)” atau sarjana
hukum. Skripsinya tentang Hukum Adat
Minangkabau.
Setelah itu ia memulai kariernya sebagai seorang advokat yang membela rakyat
kecil. Ia mendirikan kantor pengacara sendiri yaitu "Mr. Mohamad
Roem" di Jakarta.[2]
C. Bergabung dibidang politik
Di tahun 1924 Roem mulai masuk ke
pentas politik dengan bergabung menjadi anggota organisasi Jong Java (Pemuda Jawa) di tahun yang sama dengan masuknya
ia ke sekolah STOVIA. Kemudian Tahun 1925 bergabung dengan JIB (Jong
Islamieten Bond) yaitu organisasi yang dikhususkan bagi pemuda/pelajar Islam yang keanggotaanya
bersifat terbuka bagi para pemuda/pelajar di berbagai daerah yang didirikan H. Agus Salim. Dalam perkembangannya, JIB kemudian
membentuk organisasi Pandu Indonesia (National Indonesische Padvinderiji/
Natipij), Yaitu organisasi kepanduan biasa, tetapi dengan perbedaan yang
penting, yakni para anggotanya diwajibkan mempelajari dan mentaati
ajaran-ajaran Islam dimana ia menjadi ketua umumnya. Di dalam JIB inilah Roem mulai
mengenal tokoh-tokoh besar seperti Agus Salim dan HOS Cokroaminoto. Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi
salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi
ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta.
Dalam masa-masa istirahatnya setelah berhenti
menjadi mahasiswa GHS tahun 1930, Mohamad Roem mulai tertarik terhadap partai politik, khususnya Partai
Sarekat Islam Indinesia (PSII) sewaktu ia masih menjadu anggota Jong Islamieten
Bond. Roem juga terhitung sebagai
aktivitis dan pengurus Partai "Penyadar" yang didirikan oleh Agus
Salim tahun 1937. ia kemudian bergabung dengan sarekat islam (SI) sebelum
akhirnya memasuki partai Masyumi (majelis syura muslimin Indonesia). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945),
Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah
adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi. Mohammad Roem kemudian terpilih
menjadi ketua Umum masyumi menggantikan Mohammad Natsir (1958-1960).
D. Kiprah terhadap Indonesia
Roem tercatat tidak pernah bekerja
untuk pemerintahan kolonial baik Belanda maupun Jepang. Selama Kebangkitan Nasional Indonesia, ia aktif di beberapa organisasi seperti
Obligasi Jong Islamieten pada tahun 1924 dan Sarekat Islam pada tahun 1925. Di awal
kemerdekaan, Setelah
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 menandakan dimulainya babak baru bagi Indonesia.
Indonesia pun mulai menyusun perangkat kenegaraan. Mohamad Roem pun mendapat
jabatan sebagai Ketua KNIP Jakarta Raya., yaitu badan pembantu presiden mirip suatu ketua DPR-darurat di
waktu itu.
Mohammad Roem dikenal sebagai
diplomat ulung. Kehebatannya diatas meja perundingan membuatnya di tunjuk Oleh Pemerintahan Soekarno menjadi anggota diplomasi
Indonesia dalam meja perundingan sejak perjanjian gencatan senjata dan sekutu.,
perjanjian linggarjati (1946), Renville (1948), Roem-Royen (1949), Hingga
konferensi meja bundar (KMB). Puncak prestasi diplomasi nya adalah ketika
menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perundingan dengan belanda di Jakarta pada
tanggal 14 April - 1 Mei 1949 yang mengabadikan namanya untuk nama
perundingannya adalah Roem-Royan, yang membahas batas Indonesia, dan ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949.
Di masa berikutnya Mohammad Roem tercatat pernah
menduduki jabatan penting di NKRI yaitu pernah menjabat sebagai sebagai Menteri dalam negeri di Kabinet Sjahrir III, menteri luar negeri selama Kabinet
Natsir (1950-1953). ia menjabat, menteri dalam negeri selama Kabinet Wilopo, dan wakil perdana menteri semakin
selama Kabinet Ali Sastroamidjojo II. (1956-1957).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi
konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa
pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam PRRI. Sejak Partai
Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus
1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan
perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia
serta bidang ilmiah lainnya. Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada
tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI
ditahan pemerintah tanpa pengadilan selama 4 tahun (1962-1966). Mereka dituduh oleh Pemerintahan
Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari
tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan
PKI tahun 1965. Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah
politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini
adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi.
Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir,
jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu,
hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi
Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri
dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan
mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
di tahun 1970-an.
Roem menikah dengan Markisah Dahlia ketika
berusia 24 tahun yaitu pada tahun 1932 di Malang. Mereka memiliki dua anak,
laki-laki, Roemoso, lahir pada tahun 1933 dan seorang gadis, Rumeisa, lahir
pada tahun 1939. Roem kemudian meninggal dunia di Jakarta, 24 September 1983 pada umur 75 tahun akibat gangguan
paru-paru, dengan meninggalkan seorang istri dan dua anak.
E. Jabatan
2. Pemimpin delegasi Indonesia dalam
perundingan Roem-Royen (1949)
0 comments:
Post a Comment