Tuesday, August 23, 2016

Mohammad Roem Dalam Perjuangan Masyumi



MAKALAH BIOGRAFI MOHAMAD ROEM
Oleh: Sudirman
(Mahasiswa STID Mohammad Natsir)

Mohammad Roem adalah salah satu tokoh populer sebagai negosiator dalam perundingan Roem-Royen tahun 1949. Ia pahlawan nasional yang terkenal sebagai diplomat ulung dalam perundingan-perundingan yang melibatkan Indonesia dan Belanda sekaligus pemimpin Indonesia pada masa Perang Revolusi.
A.    Masa Muda
Mohamad Roem lahir di desa Klewogan, Kawedanan Parakan, kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada 16 Mei 1908. Ayahnya bernama Djulkarnaen DJojosasmito, seorang Lurah (Kepala Desa) Klewogan dan ibunya bernama Siti Tarbijah. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara, lima orang laki-laki dan dua orang perempuan. Kakaknya yangg tertua seorang perempuan, bernama Muti’ah, dan anak yang bungsu perempuan juga, Siti Chatidjah. Sementara empat saudara laki-lakinya mempunyai urutan nama yang khas, yang tertua Abu Bakar, kemudian, Umar, Usman dan Ali. Ini menggambarkan kehidupan keluarga Mohamad Roem yang menghayati kehidupan muslim dalam rumah tangganya.[1]
B.     Pendidikan
Pendidikan formal pertama yang ditempuh Mohammad Roem adalah Volkschool (sekolah rakyat biasa, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya tahun 1915 selama 2 tahun. Setelah itu Muhammad Roem masuk ke sekolah Belanda, HIS (Holland Inlandsche School) di ibukota Temanggung (1917-1919) sampai kelas III karena daerah Parakan terserang penyakit menular yang menakutkan yaitu kolera, influenza dan pes (penyakit perut dan penyakit dari kuman tikus). pendidikannya diteruskan ke HIS Pekalongan sampai lulus pada tahun 1924. Ia pindah ke Pekalongan bersama dengan adiknya Siti Chatidjah di rumah kakaknya yang tertua, nyonya Muti’ah.
Kemudian Roem mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen – sekolah untuk mendidik Dokter pribumi) di Jakarta setelah menghadiri pemeriksaan pemerintah. Lama pendidikan di sekolah tersebut adalah 10 tahun yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu persiapan 3 tahun, dan bagian kedokteran selama 7 tahun. Pada tahun 1927 tamatlah pendidikannya pada bagian persiapan di STOVIA. Untuk dapat melanjutkan pelajaran, ia masuk ke AMS (Algemene Middelbare School) atau sekolah menengah umum tingkat atas di Jakarta. Muhammad Roem masuk ke AMS pada tahun 1927 dan lulus pada tahun 1930.
Setelah itu Muhammad Roem meneruskan pendidikannya ke GHS (Geneeskundige Hooge School) atau sekolah tinggi kedokteran di jalan Salemba selama 2 tahun, tetapi tidak berhasil lulus. Ujian pertama gagal, demikian pula ujian kedua. Ia kemudian berhenti menjadi mahasiswa di GHS dan beristirahat selama 2 tahun. Tahun 1932 Muhammad Roem masuk ke RHS (Rechtshoogeschool te Batavia), Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta dan lulus pada tahun 1939. Melalui RHS inilah Muhammad Roem mendapat gelar “Meester in de Rechten (Mr)” atau sarjana hukum. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau. Setelah itu ia memulai kariernya sebagai seorang advokat yang membela rakyat kecil. Ia mendirikan kantor pengacara sendiri yaitu "Mr. Mohamad Roem" di Jakarta.[2]
C.     Bergabung dibidang politik
Di tahun 1924 Roem mulai masuk ke pentas politik dengan bergabung menjadi anggota organisasi Jong Java (Pemuda Jawa) di tahun yang sama dengan masuknya ia ke sekolah STOVIA. Kemudian Tahun 1925 bergabung dengan JIB (Jong Islamieten Bond) yaitu organisasi yang dikhususkan bagi pemuda/pelajar Islam yang keanggotaanya bersifat terbuka bagi para pemuda/pelajar di berbagai daerah yang didirikan H. Agus Salim. Dalam perkembangannya, JIB kemudian membentuk organisasi Pandu Indonesia (National Indonesische Padvinderiji/ Natipij), Yaitu organisasi kepanduan biasa, tetapi dengan perbedaan yang penting, yakni para anggotanya diwajibkan mempelajari dan mentaati ajaran-ajaran Islam dimana ia menjadi ketua umumnya. Di dalam JIB inilah Roem mulai mengenal tokoh-tokoh besar seperti Agus Salim dan HOS Cokroaminoto. Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta.
Dalam masa-masa istirahatnya setelah berhenti menjadi mahasiswa GHS tahun 1930, Mohamad Roem mulai tertarik terhadap partai politik, khususnya Partai Sarekat Islam Indinesia (PSII) sewaktu ia masih menjadu anggota Jong Islamieten Bond. Roem juga terhitung sebagai aktivitis dan pengurus Partai "Penyadar" yang didirikan oleh Agus Salim tahun 1937. ia kemudian bergabung dengan sarekat islam (SI) sebelum akhirnya memasuki partai Masyumi (majelis syura muslimin Indonesia). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi. Mohammad Roem kemudian terpilih menjadi ketua Umum masyumi menggantikan Mohammad Natsir (1958-1960).

D.    Kiprah terhadap Indonesia
Roem tercatat tidak pernah bekerja untuk pemerintahan kolonial baik Belanda maupun Jepang. Selama Kebangkitan Nasional Indonesia, ia aktif di beberapa organisasi seperti Obligasi Jong Islamieten pada tahun 1924 dan Sarekat Islam pada tahun 1925. Di awal kemerdekaan, Setelah Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 menandakan dimulainya babak baru bagi Indonesia. Indonesia pun mulai menyusun perangkat kenegaraan. Mohamad Roem pun mendapat jabatan sebagai Ketua KNIP Jakarta Raya., yaitu badan pembantu presiden mirip suatu ketua DPR-darurat di waktu itu.
Mohammad Roem dikenal sebagai diplomat ulung. Kehebatannya diatas meja perundingan membuatnya di tunjuk Oleh Pemerintahan Soekarno menjadi anggota diplomasi Indonesia dalam meja perundingan sejak perjanjian gencatan senjata dan sekutu., perjanjian linggarjati (1946), Renville (1948), Roem-Royen (1949), Hingga konferensi meja bundar (KMB). Puncak prestasi diplomasi nya adalah ketika menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perundingan dengan belanda di Jakarta pada tanggal 14 April - 1 Mei 1949 yang mengabadikan namanya untuk nama perundingannya adalah Roem-Royan, yang membahas batas Indonesia, dan ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949.
Di masa berikutnya Mohammad Roem tercatat pernah menduduki jabatan penting di NKRI yaitu pernah menjabat sebagai sebagai Menteri dalam negeri di Kabinet Sjahrir III, menteri luar negeri selama Kabinet Natsir (1950-1953). ia menjabat, menteri dalam negeri selama Kabinet Wilopo, dan wakil perdana menteri semakin selama Kabinet Ali Sastroamidjojo II. (1956-1957).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam PRRI. Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya. Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan selama 4 tahun (1962-1966). Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965.  Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi. Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an.
Roem menikah dengan Markisah Dahlia ketika berusia 24 tahun yaitu pada tahun 1932 di Malang. Mereka memiliki dua anak, laki-laki, Roemoso, lahir pada tahun 1933 dan seorang gadis, Rumeisa, lahir pada tahun 1939. Roem kemudian meninggal dunia di Jakarta24 September 1983 pada umur 75 tahun akibat gangguan paru-paru, dengan meninggalkan seorang istri dan dua anak.
E.     Jabatan
1.       Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
2.       Pemimpin delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen (1949)
3.       Menteri Luar Negeri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 20 Maret 1951)
4.       Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 30 Juli 1953)
5.       Wakil Perdana Menteri I pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956)




[1] Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
[2] Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hal. 3

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: