"Fasisme berasal dari kata fasces, simbol
kekuasaan Romawi yang berbentuk kail dan kapak. Benito Mussolini mendirikan
fasisme Italia pada tanggal 23 Maret 1919 dengan dukungan milisi paramiliter
yang memakai seragam baju hitam. Program utama fasisme adalah Nasionalisme,
produktivisme, anti-komunisme, penghancuran kekuatan rakyat, dan perlunya satu
Pemimpin Besar.
Pada tahun 1921, anggota Partai Fasis berjumlah 300.000
orang dan mereka mendudukkan 35 orang di Parlemen Italia. Mussolini menjadi
Perdana Menteri di bulan Oktober 1922 setelah tiga tahun penuh kekerasan yang
memuncak dalam "Barisan Memasuki Roma" di tahun itu. Tahun 1926,
Mussolini mengambil-alih kekuasaan selaku seorang diktator”.
Kita sangat bersalah karena menyebut semua bentuk
kediktatoran sebagai fasisme. Penggunaan yang sembarangan dan pukul-rata
seperti itu mengaburkan makna. Kegagalan kita mendefinisikan fasisme
akan mengarahkan kita kepada kegagalan menemukan strategi-taktik yang tepat
untuk menghabisi fasisme itu sendiri.
Apakah semua bentuk kediktatoran dapat disebut fasis ?
Apakah kediktatoran Soeharto dapat disebut fasis ?
Kami percaya bahwa bukan demikian halnya. Gerakan fasis di
Italia adalah gerakan massa yang besar dan spontan, dengan para pimpinan yang
dilahirkan sendiri dari jajaran dan barisannya. Ini adalah gerakan rakyat, yang
didanai dan diarahkan oleh kekuatan kapitalis besar. Ia tumbuh dari kalangan
borjuis kecil, kaum miskin perkotaan, dan bahkan (sampai tahap tertentu) dari
massa-buruh. Mussolini, yang mulanya adalah seorang Sosialis, adalah
seorang yang tumbuh dari gerakan itu sendiri. Soeharto adalah seorang
anggota elit militer. Ia menempati posisi tinggi dalam jenjang militer dan
birokrasi, dan menjabat komandan pada kesatuan pasukan pemukul elit. Ia
menjalankan penggulingan kekuasaannya dengan bantuan kekuatan militer dan
negara. Kediktatoran di Itali dan Indonesia adalah dua bentuk kediktatoran yang
sama sekali berbeda.
Sangatlah penting bagi kita untuk membedakan keduanya.
Mussolini mengalami kesulitan dalam memadukan banyak institusi militer
tradisional dengan milisia kaum fasis. Masalah ini tidak ada dalam kasus
Suharto. Gerakan fasis di Jerman sangatlah mirip dengan dengan gerakan di
Itali. Ia adalah gerakan massa, dengan pimpinan sosial yang memakai banyak
demagogi keadilan sosial untuk membius massa. Basis sejati bagi fasisme adalah
kaum borjuis kecil[1].
Di Itali, basis untuk fasisme amat besar: kaum borjuis kecil perkotaan dan kaum
petani. Di Jerman juga terdapat basis yang besar. Kaum kelas menengah baru,
pegawai negeri rendahan, dst dapat pula menjadi basis bagi fasisme.
Bagaimana Mussolini Naik ke Puncak Kekuasaan
Dalam keadaan kediktatoran "normal", di
mana kekuasaan polisi dan tentara, disertai dengan tirai parlementer, tidak
lagi sanggup menjaga status quo –giliran bagi fasisme tibalah. Melalui lembaga
fasisme, kapitalisme menggerakkan massa borjuis kecil yang resah bersama
gerombolan-gerombolan kaum lumpen proletariat[2]
–semua orang yang sebenarnya kapitalisme sendiri yang telah menghancurkan masa
depan mereka– untuk berhadapan dengan sektor rakyat lainnya dan menggunakan
kekerasan untuk menghancurkan setiap penghalang.
Kaum borjuis menuntut pekerjaan yang sempurna dari fasisme
–setelah mereka melancarkan perang saudara, mereka menuntut masa-masa damai
untuk beberapa lama. Dan lembaga fasisme, dengan menggunakan kaum borjuis kecil
sebagai pendobrak, dengan menyingkirkan tanpa ampun semua halangan, mengerjakan
tugasnya dengan sempurna. Setelah kemenangan gemilang fasisme, kaum kapitalis
finans[3]
segera merengkuh dengan tangan besi semua organ dan institusi kekuasaan,
lembaga eksekutif, lembaga pendidikan, apartus negara –tentara, pemerintahan
daerah, universitas, sekolah-sekolah, pers, serikat buruh, dan
koperasi-koperasi.
Ketika negara menjadi fasis, bukan
saja bentuk dan cara kerja negara yang berubah –perubahan ini malah cuma
perubahan kecil secara keseluruhan. Yang pertama menderita akibat fasisme
adalah kaum buruh: semua serikat buruh dihancurkan dan kaum buruh dibuat
frustasi. Lalu, Negara membuat satu sistem yang merasuk jauh ke tengah massa
untuk menghancurkan setiap usaha kaum buruh untuk menyatukan dirinya dalam
perlawanan. Inilah inti fasisme.
Kaum fasis menghancurkan perlawanan buruh dengan
memanfaatkan kekuatan kaum borjuis kecil. Dalam waktu dua tahun sejak 1926,
kaum fasis mendayagunakan pisau, pentungan, dan pistol untuk menghancurkan
setiap perlawanan. Baru setelah itulah semua organisasi massa independen
dicekik dan dihancurkan.
Setelah memanfaatkan kekuatan dobrak borjuis kecil,
Mussolini harus pula mencekik mereka dengan kediktatoran. Kekuatan dobrak
borjuis kecil ini malah bisa menjadi bahaya kalau ia berbalik menentang
Mussolini. Mussolini memakai bentuk kediktatoran militer, Massa kaum borjuis
kecil yang tadinya dimobilisasi untuk menghancurkan perlawanan sektor rakyat
lainnya pelan-pelan ia tinggalkan. Ia mengandalkan trauma di kalangan rakyat
untuk menjaga agar rakyat tidak bangkit berlawan.
Keruntuhan Demokrasi
Mungkin ada pertanyaan: mungkinkan kaum kapitalis mengangkat
senjata untuk menghancurkan dirinya sendiri, demokrasinya sendiri ?
Seperti yang dikatakan Hatta, fasisme adalah
hasil dari kebangkrutan kapitalisme. Ketika kran demokrasi dibuka lebar, kaum
buruh dan seluruh rakyat tertindas memiliki saluran untuk semakin berdaulat.
Kekuasaan dan sistem kapitalisme semakin terdesak. Parlemen yang dikuasai kaum
kapitalis mulai diambil-alih oleh partai-partai yang berwatak kerakyatan.
Kekerasan oleh angkatan bersenjata saja tidak cukup untuk membuat rakyat mundur
dari kesadaran berlawannya. Bahkan, sudah semakin sulit untuk menggerakkan
pasukan-pasukan tentara untuk berhadapan dengan rakyat. Demoralisasi merajalela
di kalangan militer –bahkan mulailah terjadi pembelotan-pembelotan.
Untuk mengatasi hal ini, para kapitalis finans mulai
mengeluarkan uangnya untuk mempersenjatai gerombolan-gerombolan paramiliter.[4]
Mereka yang dilatih untuk berhadapan
dengan sektor rakyat lain seperti anjing dilatih untuk memburu hewan buruan
bagi tuannya.
Fungsi historis fasisme adalah menghancurkan kekuatan
rakyat beserta semua organisasi perlawanannya melalui pemberangusan demokrasi
ketika kaum kapitalis tak lagi dapat memperalat parlemen dan demagogi demokrasi
untuk menghalangi rakyat berkuasa.
Kaum kapitalis menemukan kekuatan yang dapat disogoknya
dalam kaum borjuis kecil. Kaum ini (yang telah dihancurkan secara ekonomi oleh
kaum kapitalis besar) terjepit di tengah-tengah kekuatan progresif rakyat yang
berlawan dan kaum reaksioner yang sedang mempertahankan kekuasaannya. Karena
posisi ini, mereka teradikalisir dan menjadi potensi gerakan massa yang luar
biasa. Ketika kaum buruh tidak memiliki organisasi yang cukup kuat dan radikal
untuk menampung radikalisme kaum borjuis kecil ini, kaum kapitalislah yang
meraupnya. Dengan bantuan propaganda fasisme (manipulasi agama dan nasionalisme
sempit), kaum kapitalis memakai radikalisme kaum borjuis kecil itu untuk
(justru) menjadi tameng berhadapan dengan kaum buruh.
Apakah Kaum Borjuis Kecil Takut akan Revolusi ?
Kaum parlementaris moderat berpandangan bahwa kita tak
boleh menakuti kelas menengah dengan kemungkinan revolusi; "Itu terlalu
ekstrim…." Ini sama sekali tidak benar. Memang, kaum pengusaha kecil
biasanya lebih memilih jalan aman, selama bisnis mereka masih bisa berlangsung
aman, "Mungkin besok akan lebih baik…." Tapi, kala keadaan sudah tak
berpengharapan lagi, merekalah yang paling siap untuk melakukan
tindakan-tindakan yang paling ekstrim. Kaum borjuis kecil melihat dalam fasisme
kemungkinan berlawan terhadap kaum kapitalis besar yang telah menghancurkan
hidup mereka. Karena tidak ada partai radikal yang berwatak kerakyatan yang
sanggup menampung radikalisme mereka, mereka terilusi dengan propaganda
fasisme. Terlebih lagi, mereka melihat bahwa tidak ada partai lain selain
fasisme yang berbuat sesuatu secara nyata untuk mengubah keadaan.
Bisnis Tentara
a. Asal-Mula Bisnis Tentara
Negeri muda yang bernama Indonesia itu tidak memiliki
banyak uang untuk membiayai perang melawan tentara pendudukan Belanda yang
hendak kembali. Laskar rakyat yang harus bertempur dari hari ke hari, dengan
terus bergerak menghindari sergapan induk pasukan musuh, sangat membutuhkan
logistik untuk menunjang pergerakan mereka. Pemerintahan Republik tidak sanggup
menyediakan itu jadi mereka harus mengusahakan logistik itu sendiri.
Dalam khasanah perjuangan revolusioner, dikenal apa yang
disebut penghasilan revolusioner. Ini berbentuk pajak-pajak revolusioner untuk
menyokong pergerakan dan usaha-usaha
dagang revolusioner yang tidak melalui jalur resmi (baca: melalui jalur yang
disediakan negara). Demikianlah, tentara revolusioner menarik sendiri pajak
mereka dari penduduk di daerah penguasaan mereka, tentu penduduk yang mampu
untuk itu. Demikian juga mereka mengusahakan sendiri jalur produksi dan
distribusi pangan bahan baku untuk memberi mereka penghasilan.
Watak revolusioner dari laskar-laskar rakyat memang
menuntut mereka untuk melibatkan seluruh rakyat dalam seluruh proses
revolusioner. Termasuk di dalamnya penyediaan logistik bagi keperluan tentara
rakyat.
Tradisi revolusioner ini ternyata dibajak oleh segelintir
perwira militer "profesional" yang gemar berdagang. Mereka
menggunakan seragam militernya untuk menggali keuntungan bagi diri mereka
sendiri. Mereka bekerja sama dengan para pedagang, dengan sistem bagi untung
dalam menyediakan barang-barang kebutuhan secara monopolis. Yayasan Pembangunan
Teritorium Empat, yang kini menjadi salah satu tiang bisnis ABRI, didirikan
oleh Suharto sekitar masa-masa ini.
Di tangan tentara "profesional", watak
revolusioner dari usaha-usaha penggalian logistik itu hilang. Apa yang terjadi
adalah murni pencarian keuntungan sebesar-besarnya —eksploitasi dengan dalih
demi kepentingan bersama.
Ketika para tentara "profesional" memenangkan
pertarungan internal dengan laskar-laskar rakyat, kegiatan dagang ini semakin
menjadi-jadi. Apalagi dengan kurangnya kekerapan rotasi, para jendral
mendapatkan kesempatan untuk membangun jaringan bisnis dan klik kekuasaannya
sendiri di daerah kekuasaannya. Bisnis yang paling sering terjadi adalah
penyelundupan: apa yang dilakukan Kol. Warouw (Panglima TT IV/Wirabuana,
Sulawesi) yang menyelundupkan kopra dan Suharto sendiri (selama menjabat
Pangdam Diponegoro) yang menyelundupkan barang-barang untuk bisnis Bob Hasan
dan Liem Sui Liong.
b. SOB dan Pengembangan Bisnis Tentara
Penetapan situasi Darurat Perang (SOB) di tahun 1957
memberi peluang tentara untuk mengembangkan bisnis mereka sampai tahap
monopoli. Terlebih setelah pemerintah mencanangkan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing. Pada saat ini, tentara mengambil peluang untuk
mengambil-alih berbagai perusahaan Belanda untuk mereka gunakan sendiri. Mereka
bahkan menghajar gerakan buruh yang berjuang untuk sebuah pemilikan kolektif
atas pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan lainnya. Di sini pulalah muncul
satu persaingan yang tajam antara tentara, khususnya AD, dengan PKI yang
memberi banyak dukungan atas pengambilalihan pabrik oleh buruh (apa yang
kemudian banyak dirujuk sebagai "aksi-aksi sepihak" dalam propaganda
tentara).
Perusahaan yang diambil-alih oleh tentara kebanyakan
berupa perkebunan, pabrik gula, perhotelan, juga tentara memperoleh monopoli
atas Pertamina. Perusahaan-perusahaan ini diambil-alih begitu saja, dengan para
jendral memperoleh apa yang biasa disebut sebagai "saham duduk"
—saham yang diperoleh cuma-cuma, tanpa harus bekerja apa-apa sudah dapat
penghasilan.
Untuk keperluan penanganan bisnis ini, AD mengirim 100
orang ke Amerika —khusus untuk belajar bisnis dan kapitalisme. Pengiriman para
perwira ini berlangsung antara tahun 1964-65. Yang dikirim antara lain adalah
Ibnu Sutowo, yang kemudian menjadi Dirut Pertamina.
Tentara juga membentuk banyak yayasan sebagai mesin
pengeduk keuntungan. Yayasan-yayasan ini banyak yang berkedok koperasi, namun
sesunggunya tidak ada watak sosial di dalamnya. Tiap angkatan memiliki
"kopersi"-nya sendiri. Ditambah yayasan-yayasan yang dikelola oleh
satuan-satuan tertentu. Misalnya, KOSTRAD yang memiliki Yayasan Dharma Putra,
atau Siliwangi yang memiliki Group Propelat.
Ada dua arti penting dari terbentuknya jaringan bisnis
tentara ini.
Yang pertama adalah terbentuknya jajaran Jendral
Kapitalis-Birokrat. Jendral-jendral ini menjadi kaya dengan memanfaatkan
kekuasaan militernya (yang di bawah SOB merupakan kekuasaan yang sangat tinggi)
untuk memaksa para pengusaha untuk menyerahkan jatah "saham duduk"
itu. Jendral-jendral ini menjadi kaya sementara para prajurit tetap miskin.
Yang kedua, jaringan bisnis tentara ini (terutama AD) menyediakan basis material bagi tentara untuk
beroposisi dengan pemerintahan Sukarno. Jaringan yang terpenting yang
mereka miliki adalah Pertamina. Pertamina yang dikelola oleh Jendral Ibnu
Sutowo dengan dibantu oleh Mayor Harijono dan Mayor Geudong merupakan tambang
emas bagi tentara —basis bagi seluruh ekspansi politiknya. Sebagai penyumbang
ekspor no. 3 selama dekade 60-an, Pertamina menyediakan dana yang berlimpah
bagi militer, khususnya AD. Mereka tidak lagi
tergantung pada pemerintahan sipil sehingga mereka bisa berbuat seenaknya.
Kalau kemudian mereka memutuskan untuk melakukan kudeta, hal itu dapat
dipahami. Mereka mempunyai sumberdaya ekonomi cukup kuat untuk membiayai
kampanye kudeta dan menyediakan modal awal bagi rejim yang baru.
c. Bisnis Tentara di bawah Orde Baru
Kemenangan tentara para pergulatan
perebutan kekuasaan di tahun 1965-1968 membuka pintu selebar-lebarnya bagi
tentara untuk melakukan bisnis. Modal perusahaan-perusahaan yang mereka miliki
kini menjadi landasan awal Kapitalisme Orde Baru. Tentara mengubah seluruh
landasan ideologi negeri ini menjadi Kapitalisme dengan mereka sebagai pemain
utamanya.
Kalau pada awalnya tentara menggunakan
alasan kurangnya dana untuk perlengkapan militer sebagai pembenar bagi bisnis
mereka, sekarang mereka berkuasa untuk menentukan sendiri berapa anggaran yang
mereka inginkan. Tapi, tentara tetap menuliskan angka yang relatif kecil dalam
APBN. Mereka justru menempatkan banyak dana non-budgeter (tidak
tercantum dalam APBN) sebagai
pengeluaran negara.Apa yang tercantum dalam APBN itu hanyalah 1/3 dari total
pengeluaran negara untuk keperluan militer per tahunnya. Sisa dari keperluan
ABRI itu dibiayai dari penghasilan Pertamina. Dana dari Pertamina ini digunakan
untuk meningkatkan fasilitas yang dapat dinikmati para personil militer. Hal
yang sangat penting untuk menjamin kesetiaan mulai dari tingkat terbawah
jenjang kepangkatan.
Naiknya tentara ke puncak kepemimpinan negeri juga membuat
posisi mereka semakin tangguh dan berkuasa untuk menjalankan bisnis lewat
pemaksaan-pemaksaan. Dengan intimidasi, mereka memaksa para pemilik perusahaan
untuk menyerahkan saham secara cuma-cuma pada pimpinan militer setempat dan
juga pada para Jendral. Mereka juga memperoleh peraturan-peraturan yang
membenarkan yayasan-yayasan mereka untuk melakukan monopoli atau memperoleh
fasilitas khusus dari negara. Mereka juga menggunakan pengaruh politik mereka
untuk menjadi pemegang kekuasaan sebenarnya dari jalur pangan yang seharusnya
diatur oleh Bulog.
Kemewahan ini hanya dinikmati oleh para jendral. Para
prajurit biasa haruslah puas dengan menjadi centeng-centeng pada
perusahan-perusahaan. Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak mengerti
tentang bisnis para atasan mereka. Namun demikian, bukan berarti bahwa para
prajurit rendahan ini tidak ikut menikmati sama sekali fungsi politik dari
ABRI. Yang jelas, mereka bisa naik mobil umum tanpa perlu membayar (para
kondektur takut memungut uang sewa dari mereka), mereka bisa makan di warung
tanpa bayar (itu merupakan bagian dari perlindungan keamanan yang mereka
berikan).
Pendeknya, setiap jajaran militer, dari tingkat tertinggi
sampai tingkat terendah, menikmati kemudahan-kemudahan ekonomi yang dihasilkan
oleh kekuasaan absolut yang mereka pegang. Kepentingan ekonomi inilah yang
membuat mereka harus terus mempertahankan Dwi Fungsi ABRI. Tanpa Dwi Fungsi
itu, mereka akan kehilangan semua aset ekonominya.
Daftar lengkap jaringan bisnis tentara dapat dilihat pada
lampiran.
d. Cara Berdagang Tentara Menghasilkan Krisis Ekonomi
Dalam kitab-kitab ilmu ekonomi kapitalis sekalipun, yang
namanya monopoli sudah terang akan menghasilkan ketidakseimbangan sistem
ekonomi. Terlebih lagi, suatu monopoli yang dihasilkan melalui paksaan kekuatan
bersenjata. Monopoli yang diperoleh ABRI didapatnya melalui penyitaan-penyitaan
dan penggunaan lembaga negara untuk mengesahkan monopoli itu. Monopoli itu
tidak dibangun dengan memperkuat landasan perekonomian —dalam arti efisiensi,
pemberantasan korupsi, liberalisasi ekonomi-politik. Dengan demikian,
perekonomian Indonesia terserang dua penyakit yang pasti menghasilkan krisis: kapitalisme
(yang dalam dirinya sudah terdapat kontradiksi yang pasti mengarah kepada
krisis) dan militerisme (yang semakin memperparah inefisiensi dalam
kapitalisme itu sendiri).
Cara berdagang tentara yang memakai paksaan sebagai alat
memperoleh uang itu membuat semua pihak menderita kerugian. Para buruhlah yang
menderita paling banyak kerugian dari sistem ini. Akibat politik ekonomi
tentara itu, para buruh harus berhadapan dengan pasukan-pasukan berseragam
hijau dan berpentungan setiap kali mereka mengadakan pemogokan. Pemogokan
diakui di seluruh dunia sebagai alat bagi buruh untuk menuntut peningkatan
kesejahteraan. Tapi, di negeri ini, setiap upaya buruh mencari peningkatan
kesejahteraan harus dibayar mahal dengan darah, air mata, bahkan nyawa
sekalipun. Dalam tiap perundingan dengan buruh, selalu ada tentara. Bukan di
lapangan saja tentara menghalangi buruh mendapat upah yang layak. Di meja
perundinganpun tentara hadir untuk menyodorkan halangan-halangan bagi buruh.
Tentara berkepentingan langsung untuk menjaga upah buruh tetap murah. Ingatlah
bahwa mereka memiliki banyak pabrik, belum lagi saham yang mereka punya di
berbagai perusahaan lainnya.
Para pengusahapun dirugikan. Mereka harus menyerahkan
saham cuma-cuma pada para petinggi militer. Belum lagi “uang keamanan” yang
harus mereka serahkan agar kelancaran usaha mereka tidak terganggu oleh
datangnya preman-preman paramiliter yang dibina tentara, macam Pemuda
Pancasila, AMPI, PPM, atau yang lainnya lagi. Ini membengkakkan biaya produksi
sehingga harga barang mereka yang akan dijual di pasar tidak dapat ditekan
lebih rendah lagi. Belum lagi kesulitan mereka untuk mengabulkan tuntutan buruh
akan upah.. Di satu pihak, para pengusaha tak dapat mengabulkan tuntutan buruh
karena biaya yang dirampok tentara kelewat besar. Sesungguhnya, dengan
mengambil pola kapitalis internasional, lebih menguntungkan untuk menyogok
buruh dengan upah tinggi karena biaya politik untuk menghadapi gelombang
perlawanan massa buruh. Tapi, pengusaha tak dapat melakukan ini karena biaya
untuk menyogok tentara sudah sangat besar. Seluruh sektor rakyat lain, yang
berlaku sebagai konsumen juga sangat dirugikan oleh militerisme ini. Rakyat
harus terus menanggung biaya hidup yang tinggi. Harga yang hanya bisa naik tapi
tidak bisa turun.
Cara berdagang tentara yang rakus mengeruk keuntungan ini
jugalah yang menyebabkan krisis ekonomi yang sekarang dirasakan Indonesia.
Karena kerakusan korupsi yang dilakukannya, negeri ini tidak lagi memiliki
modal sendiri untuk melakukan proses produksi. Kita bergantung pada pinjaman
luar negeri untuk menghasilkan barang-barang —bahkan, pinjaman luar negri
inipun dikorup juga!!! Ketika mata uang kita dihantam krisis, kita tidak dapat
berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Kita telah terjebak dalam pusaran hutang.
Negeri ini telah bernasib sama seperti rakyatnya: gali lubang - tutup lubang.
Sebelum keterlibatan tentara dalam ekonomi dihapuskan
(yang berarti lebih dulu menghapuskan keterlibatan tentara dalam politik),
negeri ini akan terus-menerus dihantam oleh krisis.
e. Tentara tidak Dirugikan oleh Krisis Ekonomi
Siapa yang tidak dirugikan oleh
krisis ekonomi ?
Yang tidak dirugikan oleh krisis ekonomi adalah tentara
dan kapitalis besar. Sekalipun negeri ini tidak memiliki modal cukup untuk
bangkit dari krisis, kapitalis-kapitalis besar (bersenjata) itu memiliki banyak
cadangan modal dari hasil korupsinya. Berapa banyak yang dicuri Suharto dari
negeri ini? Di mana semua itu disimpan? Kalau kita tahu jawaban semua
pertanyaan itu, kita akan dapat keluar dari krisis ini dalam waktu dua hari
saja.
Oleh karena tentara tidak terkena krisis itulah tentara
masih mampu membagi-bagi beras dan sembako pada rakyat. Kelihatannya, mereka
sedang berbuat baik. Ketahuilah: uang yang digunakan untuk membeli beras itu
adalah uang yang telah mereka curi selama 32 tahun berkuasa di negeri ini.
Dwi Fungsi ABRI/ TNI
a. Awal Mula Organisasi Ketentaraan Indonesia
Pada mulanya, organisasi bersenjata yang dimiliki negeri
ini dibangun oleh rakyat sendiri. Penindasan yang ekstrim dari pemerintahan
pendudukan Jepang memang membuat rakyat Indonesia tak mampu berbuat banyak
ketika itu. Hampir sepanjang pendudukan Jepang tidak muncul satu perlawanan
yang efektif terhadap rejim pendudukan Jepang. Tapi, pemerintahan pendudukan
itu pulalah yang mengajarkan cara memanggul senjata kepada rakyat dengan
pembentukan milisi-milisi bantuan perang semacam PETA. Penindasan yang ekstrim
itu pulalah yang mengajarkan kepada rakyat untuk melakukan perjuangan
bersenjata ketika saatnya tiba.
Demikian terjadi keretakan dalam wibawa rejim fasis Jepang
karena rangkaian kekalahan yang dialami pasukan-pasukan As di berbagai medan
dan front, apalagi ketika kekalahan perang telah membayang di ambang pintu,
rakyat mulai melakukan aksi perebutan senjata Jepang. Aksi-aksi perebutan
senjata ini berlangsung hampir tanpa komando. Ini adalah aksi spontan yang
timbul dari pelajaran yang diserap rakyat bahwa penindasan tentara pendudukan
dilakukan dengan mempergunakan senjata. Maka, senjata itu harus dilucuti untuk
menghancurkan kemampuan represi tentara pendudukan itu.
Aksi-aksi perebutan senjata ini menjadi basis terbentuknya
milisi-milisi (laskar) rakyat yang mempertahankan tahapan awal kemerdekaan
Indonesia. Laskar-laskar ini pulalah yang menggusur struktur pendudukan Jepang.
Menghancurkan seluruh tatanan politik pendudukan yang mengandalkan markas dan
pos militer sebagai titik sentral kekuasaan teritorial mereka. Laskar-laskar
ini pulalah yang berjuang dengan heroik di pertempuran 10 November Surabaya.
Ke mana tentara reguler? Tentara reguler yang terbentuk
awalnya sebagai BKR itu tidaklah populer. Bahkan, mereka tidak ikut serta dalam
pertempuran Surabaya yang dibangga-banggakan itu. Sedikit saja orang yang
mendaftarkan ke sana, kebanyakan dari mantan PETA dan KNIL. Mereka terus
berusaha menyingkirkan peran laskar rakyat yang lebih populer. Tentara KNIL itu
terutama, dididik di bawah syarat-syarat sebuah militer kapitalis. Mereka
memeluk kapitalisme sebagai jalan hidup. Mereka ini jelas anti-rakyat –mereka
toh terbukti berperang di pihak penjajah ketika rakyat menuntut kemerdekaannya.
Tapi, berhubung di dalam KNIL mereka tidak akan mendapatkan kepangkatan yang
tinggi (kepangkatan tinggi hanya untuk perwira kulit putih), mereka membelot ke
struktur tentara Republik yang masih muda itu. Pengalaman kemiliteran reguler
mereka dapat digunakan untuk menguasai seluruh struktur kemiliteran. Dengan
demikian, terlihat bahwa, sejak awal, para tentara reguler “profesional” itu
adalah orang-orang yang berambisi dan bertujuan pada kekuasaan.
Untuk laskar rakyat, suatu susunan ketentaraan yang
formil, yang mengatur secara ketat kepangkatan dan komando militer tidak ada.
Pemilihan komandan masih dilakukan secara demokratis dan setiap orang yang
sanggup memimpin dapat memperoleh pangkat yang tinggi. Tentu saja, mereka yang
memiliki pengalaman mengorganisir senjata, mereka yang dari PETA atau mantan
KNIL, yang biasanya memperoleh pangkat. Tapi, kepangkatan itu bukanlah hasil
penunjukan semata.
Sampai dengan terbentuknya TNI di tahun 1947, laskar
rakyat-lah yang memainkan peran utama dalam mempertahankan kemerdekaan negeri
ini. Rakyat berada di belakang dan bersama mereka dalam perjuangan. Persatuan
militer dengan rakyat benar-benar terjadi karena anggota-anggota laskar berasal
dari rakyat, berjuang bersama rakyat, dan menderita demi rakyat. Tidak
benar-benar ada garis tegas: mana tentara, mana rakyat.
b. Kemenangan Militer Reguler
Sebagai syarat yang disetujui dalam perundingan Renville,
yang terbukti banyak merugikan Republik yang masih muda itu, laskar rakyat
harus dibubarkan dan digantikan dengan tentara reguler. Syarat ini sesungguhnya
diajukan oleh Belanda sebagai persiapan serangan-serangan lebih lanjut untuk
kembali menduduki Indonesia. Pembubaran laskar rakyat dan rasionalisasi susunan
ketentaraan itu sesungguhnya adalah perlucutan senjata. Sekian banyak orang
harus menyerahkan senjatanya yang berarti berkurangnya kemampuan militer negeri
muda itu menghadapi kemungkinan invasi baru dari luar.
Kehancuran laskar rakyat setalah rasionalisasi itu membuka
jalan bagi para “tentara profesional” (terutama dari mantan-mantan KNIL) untuk
mengambil alih kepemimpinan dalam organisasi bersenjata Indonesia. Mulailah
struktur kemiliteran reguler menggeser struktur kepemimpinan laskar rakyat.
Pada saat-saat pendek 1948-1949, belum terasa pergeseran
itu. Rakyat masih beranggapan bahwa militer yang reguler ini adalah bagian dari
mereka. Masih ada pula sisa-sisa laskar rakyat yang bergabung ke dalam sistem
ketentaraan reguler ini.
Namun, pasca penyerahan kedaulatan, mulailah benar-benar
terjadi pembubaran secara menyeluruh (disbandment) dari laskar rakyat.
Hanya mereka yang ingin masuk dalam ketentaraan “profesional” yang dapat
bergabung. Mulailah struktur bersenjata dipisahkan dari susunan kemasyarakatan.
Mulailah yang namanya tentara itu hidup berjarak dengan rakyat.
c. Berebutan Peran Politik dengan Sipil
Sejak awal kemerdekaan, laskar-laskar rakyat memainkan
peran politik yang penting. Mereka adalah agen perubahan yang sesungguhnya.
Mereka yang berkelana ke berbagai tempat untuk menyebarkan berita bahwa
Republik Indonesia sudah berdiri. Mereka juga yang menyampaikan segala
instruksi dari pimpinan tertinggi Republik muda itu. Mereka juga yang memberi
pendidikan politik, melakukan agitasi untuk membangkitkan semangat perlawanan,
menerangkan makna dan tujuan kemerdekaan pada mereka yang masih ragu-ragu.
Laskar rakyat juga memimpin dalam pengambilan keputusan-keputusan politik,
terutama di tingkat lokal. Pendeknya, laskar rakyat memainkan peran kunci dalam
sistem politik Indonesia muda.
Peran politik ini tidak digugat oleh rakyat karena para
laskar bersenjata itu memang hidup dan berjuang bersama rakyat. Kontrol rakyat
terhadap kelakuan laskar rakyat itu dilakukan secara langsung dan nyata karena
para laskar berbagi hidup kesehariannya dengan rakyat. Bahkan, sekalipun
memakai seragam, seringkali rakyat sendirilah yang membuatkan seragam itu bagi
para laskar. Seragam bukan sebagai pembeda, hanya menegaskan pembagian peran
dan memudahkan koordinasi di antara para laskar itu sendiri. Para laskar juga
tidak takut meninggalkan senjata mereka pada rakyat karena tahu 100% bahwa
senjata itu tidak akan dipakai secara sembarangan. Senjata adalah alat
perlawanan, bukan alat kekuasaan –pada saat itu.
Setelah tentara “profesional” menguasai struktur
ketentaraan, suasana itu berubah. Senjata dan seragam adalah alat kekuasaan
Negara untuk mengontrol rakyatnya. Konsep tentara reguler yang berfungsi
sebagai kekuatan pemaksa dilaksanakannya undang-undang negara mengubah watak
angkatan bersenjata menjadi demikian. Rakyat kini bukan kawan berjuang tapi
obyek yang harus diawasi dan diwaspadai.
Apalagi setelah para Jendral “profesional” ini melihat
peluang untuk berpolitik di masa-masa di mana kepemimpinan politik sipil belum
lagi mantap tersusun. Organisasi ketentaraan yang satu komando, satu aksi, dan
bersenjata, merupakan kekuatan politik yang amat besar. Mereka mampu merebut
kekuasaan kalau mau. Mereka menggunakan alasan bahwa merekalah yang berjasa
dalam Perang Kemerdekaan. Padahal, yang berjasa itu laskar rakyat. Klaim
seperti itu perlu untuk mensyahkan tentara menuntut jatah peran politik.
Dan itu benar-benar terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952.
Itu adalah hari di mana sebuah percobaan kudeta dilakukan Nasution dengan
mengarahkan moncong meriam ke istana. Percobaan kudeta (putsch) ini
adalah akibat dari ketidakpuasan tentara terhadap jatah peran mereka. Mereka
yang berambisi melihat bahwa organisasi tentara-lah yang paling mampu memimpin
Republik yang baru menggeliat bangkit itu.
Peristiwa 17 Oktober merupakan pelajaran berharga bagi
rakyat dan kaum gerakan prodemokrasi untuk mewaspadai sepak terjang militer.
Bahwa militer cenderung menyelesaikan segala konflik dengan mempergunakan
kekerasan senjata.
Atas kemurahan hati Sukarno, Nasution cs yang melakukan
percobaan kudeta itu diampuni. Namun demikian, keinginan tentara untuk
berpolitik belumlah sepenuhnya berhasil dikikis. Mereka terus mendesakkan jatah
yang lebih besar dalam politik.
Titik balik di mana tentara mulai berhasil memperoleh
jatah yang penting artinya dalam politik tiba ketika dibentuknya Dewan Nasional
di tahun 1958. Tentara berhasil menggolkan konsep bahwa mereka adalah bagian
dari apa yang dalam UUD ’45 disebut sebagai “golongan fungsional”. Dengan
demikian, mereka berhak untuk duduk dalam Dewan Nasional itu. Sesungguhnya,
pembentukan Dewan Nasional itu sendiri sangat inkonstitusional karena Dewan
Nasional itu berfungsi sebagai badan pengambil keputusan tertinggi —sementara
Parlemen masih ada. Jadi, ada dua badan pengambil keputusan tertinggi dalam
satu negara. Inilah titik balik yang menentukan jalannya sejarah Republik ini
selanjutnya.
Dewan Nasional inilah yang akhirnya menelurkan konsep
Demokrasi Terpimpin yang membutuhkan satu keadaan Darurat Perang (SOB). Dalam
keadaan inilah tentara kemudian mengembangkan pengaruh politiknya. Di antaranya,
mengembangkan konsep “Jalan Tengah”. Kelihatannya, konsep ini moderat. Tapi, di
balik penolakannya terhadap kepemimpinan sipil murni dan junta militer, tentara
menegaskan hak mereka untuk berpolitik.
Dengan “konsep Jalan Tengah” ini, Golkar mendirikan apa
yang dikenal dengan Golkar sekarang ini. Jadi, Golkar memang partainya tentara
–ia dilahirkan oleh tentara, diasuh oleh tentara, dan dibesarkan oleh tentara.
Golkar ini sangat berguna sebagai tameng tentara ketika ia mengemukakan alasan
bahwa tentara itu manunggal dengan rakyat. Organ yang dapat diajukannya sebagai
bukti adalah Golkar itu. Operasi Karya digelar, sementara ahli-ahli ideologi
tentara (utamanya Angkatan Darat) mulai mencari pembenaran-pembenaran atas
perebutan posisi politik itu. Selain membuat organ-organ politik sebagai
tameng, tentara juga membangun jaringan operasi teritorial seperti yang pernah
diterapkan pemerintahan pendudukan Jepang. Diaktifkannya susunan Kodam, Korem,
Koramil, sampai Babinsa di tingkatan terbawah basis massa. Dengan kehadirannya
secara fisik di lapis terbawah susunan kemasyarakatan itu, praktis tentara
telah membuat struktur ala kepartaian. Dengan struktur itu, tentara dapat
melakukan operasi intelijen untuk bermain teror, infiltrasi, provokasi, dan
propaganda.
Konsep “Jalan Tengah” inilah yang kemudian dijadikan dasar
oleh Suharto dalam menyusun Dwi Fungsi ABRI setelah tentara berhasil menyapu
kekuatan rakyat dengan alasan memberantas G30S/PKI di tahun 1965-1968.
d. Mengupas Dwi Fungsi ABRI
Tentara membuat banyak alasan untuk membenarkan penguasaan
mereka terhadap panggung politik negeri ini. Salah satunya yang amat khas
militeristik adalah persoalan “stabilitas dan keamanan Nasional.” Di manapun di
seluruh dunia, yang namanya rejim militeris selalu mempergunakan alasan itu. Tidak benar kalau
dikatakan bahwa kondisi khas Indonesia, sejarah bangsa ini, yang membuat
kebutuhan itu timbul. Padahal, kalau dilihat sejarahnya, tentara juga yang
bertanggung jawab atas kondisi krisis di bawah Demokrasi Terpimpin itu. Setelah
itu, pembantaian-pembantaian yang berlangsung pada tahun-tahun gelap 1965-1968
itu juga tentara yang harus memikul tanggung jawab. Juga semua pembantaian yang
berlangsung di bawah Orde Baru —tentara harus bertanggung jawab atas itu
juga. Tidak ada satupun juga kelompok
yang lebih bertanggung jawab daripada ABRI atas segala kekacauan yang timbul di
negeri ini.
Satu hal yang juga khas dari sebuah rejim militer adalah
penggunaan asas tunggal sebagai topeng untuk membenarkan idologi kekerasan
mereka. Nazi dulu menggunakan ideologi Nasional-Sosialisme, rejim militer
Afrika Selatan menggunakan apartheid, rejim-rejim militer di Amerika Latin
menggunakan nasionalisme. ABRI menggunakan Pancasila dan ultra-nasionalisme
untuk itu. ABRI tidak benar-benar berniat menjalankan Pancasila itu karena
mereka jelas berpikir secara kekerasan dan sentralisme anti-demokrasi. Tapi,
penggunaan Pancasila sebagai topeng amat perlu supaya rakyat dapat dicegah
untuk melawan kekerasan penindasan. Supaya ABRI dapat memperoleh alasan untuk
menggebuk. Tuduhan-tuduhan anti-Pancasila merupakan tuduhan yang paling dapat
membenarkan penindasan ABRI itu.
Tentara selalu menyatakan bahwa musuh ideologi Pancasila
adalah liberalisme dan komunisme. Ini hampir persis sama dengan apa yang
dikatakan Hitler tempo dulu: kita harus mengganyang kapitalisme dan komunisme.
Hitler ternyata mengunakan fasisme (kapitalisme ultra-kanan) dengan kedok
Nasional-Sosialisme. Hal yang sama terjadi di negeri ini: ABRI menyatakan
menganut ideologi Pancasila padahal yang dianutnya secara membabi-buta adalah
kapitalisme. Secara berhati-hati, mereka tidak menyebut Kapitalisme sebagai
musuh Pancasila. Secara berhati-hati pula, ancaman dan telaah-telaah terhadap
kapitalisme dan liberalisme dihapuskan dari agenda perbincangan politik. Selalu
ancaman komunisme yang didengung-dengungkan. Semua ini merupakan hasil
pemikiran yang matang dari para ideolog tentara untuk membodohi rakyatnya.
Semua ini diperlukan untuk menutupi watak sesungguhnya
dari cara berpolitik tentara yang penuh darah. Bahkan di Amerika Latin, di mana
junta militer terang-terangan melakukan pembunuhan dan penculikan di
jalan-jalan, propaganda tentang kerarifan tentara juga terus
didengung-dengungkan. Ini adalah cara tentara untuk memepengaruhi kesadaran
politik massa-rakyat. Bila rakyat mengamini bahwa tentara harus berpolitik,
rakyat akan mengamini pula cara tentara berpolitik. Dengan demikian, rakyat
akan menahan diri untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan-kekerasan
tentara itu. Bila sudah begitu, tentara akan bebas mencapai tujuan-tujuan
politiknya.
e. Apakah tujuan politik tentara?
Di atas sudah dikemukakan bahwa cikal-bakal tentara
“profesional” itu dididik di bawah ideologi kapitalis. Mereka mewarisi semangat
kapitalisme. Tapi, bukannya kapitalisme yang memakai teori-teori dagang
sewajarnya. Tentara belajar menjalankan bisnis dengan todongan senjata.
Kapitalisme yang diterapkan oleh tentara jelas memiliki
watak militeristik. Mengandalkan kekerasan dan paksaan untuk memperoleh saham
gratis dari perusahaan-perusahaan. Mengandalkan kekerasan dan paksaan untuk
membuat buruh bekerja dengan upah murah.Tidak ada sektor rakyat yang tidak
dirugikan oleh prinsip berbisnis tentara ini. Pers dibungkam. Petani dirampas
tanahnya. Ketika rakyat yang kehilangan tanah pergi ke kota untuk mencari
penghidupan, mereka dipajaki sambil terus dikejar-kejar oleh pentungan. Para
profesional dipaksa berkolusi dengan tentara atau konco bisnisnya untuk bisa
mendapatkan pekerjaan. Para ulama tidak bisa berdakwah sesuai ajaran agama
karena harus mempropagandakan bahwa rejim militer ini baik budi.
Jelaslah sudah bahwa seluruh sistem ekonomi-politik yang
dipenuhi darah dan kebohongan itu ditujukan untuk melindungi satu kepentingan
ekonomi tentara. Kepentingan bisnis belaka.
f. Dwi Fungsi ABRI bertentangan dengan Pancasila dan UUD
45
Salah satu alasan yang paling sering dikemukakan tentara
berkenaan dengan posisi politiknya adalah klaim mereka bahwa mereka harus punya
fungsi politik untuk menjaga Pancasila dan UUD 45. Kenyataannya, UUD 45
menyatakan dengan tegas bahwa tentara tidak boleh memiliki fungsi lain selain
pertahanan keamanan (pasal 30). Sesungguhnya, satu-satunya alasan yang dapat
dikemukakan oleh tentara adalah bahwa Dwi Fungsi itu merupakan hasil dari konsensus
yang dibuat dalam era 1966-1968. Konsensus ini dibuat oleh tentara bersama
kelompok-kelompok sipil pro-tentara setelah mereka berhasil menghabisi semua
kekuatan yang mungkin menentang peran politik tentara itu.
Konsensus ini jelas bertentangan dengan UUD 45, mereka
tahu itu. Karenanya, mereka kemudian menyusun satu TAP MPRS di tahun 1968
(cari!) seolah-olah Dwi Fungsi ABRI itu sesuai dengan UUD 45. Ini sangat perlu
untuk membodohi rakyat yang mulai bersikap kritis melihat kekejaman-kekejaman
yang dilakukan militer dalam pembantaian besar-besaran pasca ’65. Ini perlu
juga untuk menegaskan alasan mereka melakukan kudeta: “menegakkan
pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen”. Dwi
Fungsi ABRI juga jelas bertentangan dengan Pancasila. Kekejian yang dilakukan
tentara terjadi sepanjang 32 tahun; berlangsung di seluruh wilayah Republik
Indonesia; dan dilakukan oleh setiap tingkatan kepangkatan. Ini jelas bukan
merupakan penyelewengan suatu konsep —kekerasan itu bersenyawa dengan militerisme,
kekerasan itu tiang pokok militerisme. Kekerasan ini terjadi pada rakyat dari
setiap sektor. Kaum alim-ulamapun tak luput dari sasaran kekerasan militer ini.
Ini membuktikan bahwa tentara tidak mengenal takut terhadap hukum-hukum Ilahi
sekalipun.
Pendeknya, karena persoalan kekerasan itu, Dwi Fungsi
ABRI-pun melanggar semua sila dalam Pancasila. Karenanya, mereka merasa perlu
untuk membuat Penataran P-4 untuk mencekoki rakyat mengenai peran politik
mereka. Penataran P-4 yang dibuat tentara itu merupakan alat propaganda mereka,
satu alat untuk mencapai hegemoni (penguasaan kesadaran massa). Kita tahu bahwa
isi Partai-4 itu bohong semua, tapi mereka tetap ngotot untuk mencekokkan
materi P-4 itu pada rakyat. Ini adalah seturut prinsip yang dikemukakan Hitler 50
tahun yang lalu: “Kebohongan yang dikatakan 1000 kali akan berubah menjadi
kebenaran.”
[1] "Borjuis kecil" (petty
bourgeoisie) adalah sebutan bagi sektor masyarakat yang terjepit di tengah
pertarungan kepentingan kaum kapitalis dan kaum buruh. Mereka ini biasanya adalah
para pedagang kecil, mahasiswa, buruh kontrakan (kuli), juga petani kecil.
[2] Mereka adalah sektor
"tanpa kelas", terdiri dari para preman bayaran, para penjahat kelas
teri, dan kaum pengangguran (bedakan dengan kaum buruh yang sedang menganggur
menunggu pekerjaan). Mereka ini hidup dari memangsa sesama kaum miskin.
[4] Paramiliter adalah istilah
untuk kelompok-kelompok sipil (biasanya dari kalangan penjahat terorganisir)
yang dilatih dan dipersenjatai secara militer oleh instruktur dari kalangan
angkatan bersenjata.
0 comments:
Post a Comment