Oleh: Amriadi Al Masjidy
A. Latar Belakang
Setelah Dinasti Saljuk
runtuh menjadi dinasti kecil yang diakibatkan oleh serangan bangsa Mongo, pada
saat itu, Kesultanan Turki Utsmani menyatakan berdiri atas kekuasaannya. Turki
Utsmani berdiri pada tahun 1300 M, didirikan oleh seorang yang berasal dari
suku pengembara Qayigh Oghuz[1]
yang bernama Erthogrol (Arthogrol) bin Sulaiman.[2]
Sepeninggal Erthogrol pada tahun 1289 M, yang memimpin Kesultanan Turki Utsmani
adalah putranya yang bernama Usman.[3]
Setelah mengalami banyak perjuangan dan perluasan wilayah hingga berhasil
menaklukan kota Konstantinopel pada masa Sultan Muhammad II (al-Fatih)[4]
pada tahun 1453 M, telah menjadikan titik awal permanennya Kesultanan Turki
Utsmani yang sebelumnya selalu berpindah-pindah ibu kota.[5]
Keberhasilan dalam perluasan wilayah (ekspansi) yang dilakukannya tidak dapat
dilepaskan dari peran pasukan Janissary.[6]
Janissary adalah pasukan infantri yang sangat kuat dalam berbagai usaha
ekspansi dan penaklukkan wilayah di darat, sedangkan di lautan, pesisir dan
pulau-pulau penaklukkan dilakukan dengan mengandalkan pasukan angkatan laut.
Puncak ekspansi terjadi
pada masa Muhammad II yang terkenal dengan gelar al-Fatih (Sang
Penakluk), karena telah berhasil menaklukan kota Konstantinopel. Konstantinopel
merupakan ibukota kerajaan Romawi Timur yang kemudian berganti nama menjadi
Istambul[7] setelah
berhasil dikuasai oleh orang Islam. Akibat peristiwa penaklukan tersebut,
menjadikan negara itu menjadi negara makmur dan maju, serta menjadi pusat
pemerintahan Turki Utsmani sampai menjelang keruntuhannya. Perkembangan
pemerintahan Turki Utsmani yang begitu lambat ketika masa Bayazid II (1481 M),
di latar belakangi, karena pada saat itu Sultan Bayazid II yang cenderung lebih
suka kepada cinta damai. Hal itu, disebabkan terpengaruhnya Bayazid II oleh
ajaran tasawuf, sehingga aktivitas Sultan lebih banyak dihabiskan untuk
berdzikir daripada mengangkat pedang untuk memperluas wilayah dan menegakkan
kekuasaannya.[8]
Keadaan yang demikian membuat Sultan Salim I melakukan perlawanan kepada
ayahnya, tujuan perlawanan yang dilakukannya tersebut adalah menginginkan agar
ayahnya turun tahta. Akhirnya, Sultan Bayazid II turun tahta pada 1512 M dan
digantikan oleh Salim I.
Awal pemerintahan
Sultan Salim I membuat Turki Utsmani semakin maju dan berkembang dengan baik.
Di antara usahanya yaitu dengan melakukan penaklukkan-penaklukkan wilayah ke
bagian Timur, yaitu meliputi Persia, Syria, dan Mamluk di Mesir.[9]
Kesultanan Mamluk yang bertindak sebagai pelindung warisan Kekhalifahan
Baghdad, setelah berhasil ditaklukan oleh Salim I gelar kekhalifahan sejak saat
itu dipakai oleh Salim I dan berlanjut secara turun-temurun, yaitu gelar
khalifah tersebut dipakai oleh para Sultan Turki Utsmani setelahnya.[10]
Sebagian besar penaklukan wilayah atau ekspansi Turki Utsmani, khususnya
wilayah Afrika Utara berhasil dicapai pada masa kekuasaan Sulaiman al-Qanuni
(1520-1566 M), ia merupakan putra Sultan Salim I.[11]
Sultan Sulaiman al-Qanuni menduduki tahta Kesultanan Turki Utsmani menggantikan
ayahnya pada tahun 1520 M. Pada masa kepemimpinannya, ia berhasil menaklukkan
sebagian wilayah Hongaria, sedangkan wilayah Wina sudah tunduk, dan Rhodes
dapat dikuasai. Ia juga berhasil membawa kekuatan Turki Utsmani terus
melebarkan sayapnya, yaitu eliputi Budapes yang berada di Danube ke Baghdad di
Tigris, dan juga dari Cremia sampai sungai Nil.
Kesultanan Turki
Utsmani menjelma menjadi kekuatan Muslim terbesar dan terlama sepanjang
sejarah.[12]
Sulaiman al-Qanuni lebih dikenal oleh rakyatnya dengan sebutan yang sangat
mulia “al-Qanuni".[13]
Hal itu karena mereka sangat menghormatinya sehingga namanya diabadikan menjadi
nama himpunan perundang-undangan oleh generasi setelahnya. Sulaiman al-Qanuni
juga menyusun sebuah kitab hukum (Qanun) yang oleh Sultan di beri nama Multaqa
al-Abhur.[14]
Hukum ini diberlakukan bagi Kesultanan Turki Utsmani sebagai pegangan dan
pedoman Kesultanan hingga datangnya masa reformasi pada abad kesembilan belas.
Karena pesatnya
perkembangan Kesultanan Turki Utsmani pada saat itu, membuat wilayah kesultanan
menjadi semakin luas. Luasnya wilayah Islam pada masa pemerintahan Sulaiman
al-Qanuni, telah membuatnya terkenal dengan sebutan “Solomon the
Magnificent” atau “Solomon the Great”. Oleh karena itu, ia sangat
tersohor sebagai seorang negarawan Islam yang terulung dan pandai di zamannya.
Ia juga sangat berwibawa dan mempunyai karisma yang tinggi baik di hadapan
kawan maupun lawanya, sehingga ia begitu sangat dikagumi oleh rakyatnya. Sultan
Sulaiman al-Qanuni telah berjasa besar dalam islamisasi atau penyebaran agama
Islam di Eropa.[15]
Pada masa kekuasaannya, ia telah menerapkan kebebasan dan toleransi bagi
rakyatnya dalam menjalankan kehidupan keberagamaan. Oleh karena itu, tak heran
jika pada masa pemerintahannya, umat Islam dan Kristen dapat menjalankan hidup
dengan aman, damai dan tentram, keduanya dapat hidup berdampingan.[16]
Sebagai Sultan yang
menduduki tahta kesultananan, ia juga terkenal sebagai seorang penyair yang
hebat dalam sejarah peradaban Islam. Di era kekuasaannya, ibukota Turki Utsmani
yaitu Istambul berubah menjadi pusat kesenian visual, di antaranya adalah
kesenian musik. Ia juga terkenal sebagai seorang seniman, khususnya dalam seni
sastra. Kecintaanya pada ilmu pengetahuan[17]
diwujudkannya dengan mendirikan bangunan-bangunan seperti di antaranya
mendirikan universitas, masjid, madrasah, istana, jembatan, terowongan, jalur
kereta, pemandian umum dan juga memperindah ibu kotanya. Semuanya itu dibangun
dengan gaya arsitektur Utsmaniyah1.[18]
Masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni merupakan masa
yang paling gemilang, karena pada masa itu Kesultanan Turki Utsmani mencapai
masa kejayaan dan keemasan. Meski demikian, proses untuk menuju zaman keemasan
dan kemajuan ini sudah dimulai sejak seabad sebelumnya, yaitu sejak
ditaklukaknnya kota Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al-Fatih pada 1453 M.
Kemudian masa Salim I berhasil menaklukkan Mesir pada 1517 M. Berlanjut sampai
pada masa Sulaiman al-Qanuni, ekspansi selanjutnya terus dilanjutkan baik di daratan
Eropa, Asia, dan Afrika Utara.
Wilayah Utsmani pada
saat itu telah mencapai puncak kejayaan dan kemajuannya, menjadi negara
adikuasa yang sangat kuat yang tidak ada tandingannya di dunia pada masanya.
Pada saat itu, Eropa sedang lemah dan negara Amerika belum ada, sedangkan dunia
Islam di timur, yaitu Kerajaan Shafawi di Persia dan Mongol di India yang ada
tidak sebesar dan sekuat Kesultanan Turki Utsmani. Sulaiman al-Qanuni yang
Agung pada masa keemasannya juga terlihat dari kata-kata dalam suratnya yang
ditunjukan kepada Raja Prancis I, yang telah diterjemahkan ke bahasa indonesia:
Aku, Sultan para
sultan, penguasa atas semua penguasa, pemberi mahkota untuk kerajaan di muka
bumi, bayangan Tuhan di muka bumi, sultan dan penguasa Laut Putih dan Laut Hitam,
penguasa Rumelia, Anatolia, Karamania, Romawi, Zulkandria, Diarbekir,
Kurdistan, Azerbaijan, Persia, Damaskus, Aleppo, Kairo, Mekkah, Madinah,
Yerussalem dan seluruh kawasan Arab, penguasa Yaman dan wilayah lain yang telah
ditaklukkan oleh nenek moyang dan leluhur-leluhurku -semoga Tuhan menerangi
kubur mereka- yang mulia dengan kekuasaan senjata mereka, dan yang Kemuliaan
Agustusku yang telah menetapkan sasaran untuk tebasan pedang dan pisau
belatiku. Aku, Sultan Sulaiman Khan, putra Sultan Salim Khan, putra Sultan
Bayazid Khan, ditunjukkan padamu, Francis, Raja Bangsa Prancis.[19]
Sulaiman al-Qanuni ketika menjadi pemimpin Turki
Utsmani melakukan berbagai kebijakan-kebijakan untuk memantapkan kekuasaannya.
Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi bidang politik, bidang Ekonomi, bidang
Militer, bidang Agama dan Hukum, dan bidang Sosial Budaya. Adanya
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Sulaiman al-Qanuni tentunya memberi
pengaruh bagi bangsa Turki Utsmani, dan dunia Islam, juga terhadap dunia barat.
Penelitian ini menarik, karena pada masa
Sulaiman al-Qanuni Kesultanan Turki Utsmani telah berhasil mencapai puncak
kemajuan dan kejayaan. Menguasai wilayah yang terbentang baik di daratan dan
lautan. Keunikan dalam penelitian ini adalah ketika di tangan Sulaiman
al-Qanuni, Kesultanan Turki Utsmani mencapai masa keemasan dan membentuk
imperium yang terlama dan terpanjang. Hal itu tentunya tidak lepas dari peran
Sulaiman al-Qanuni, yaitu meliputi kepemimpinannya, kepandaiannya, serta kebijakan-kebijakan
yang telah ia terapkan sewaktu menjabat sebagai seorang Sultan Turki Utsmani.
Berdasarkan penjelasan
di atas, kebijakan-kebijakan Sulaiman al-Qanuni secara jelas dilakukan demi
keamanan dan keutuhan pemerintahan Turki Utsmani, yang di kemudian hari Turki
Utsmani mencapai kejayaan dan menjelma sebagai imperium yang kuat dan
berlangsung lama. Oleh karenanya fenomena sejarah tersebut sangat menarik dan
layak untuk diteliti dan dikaji.
B. Biografi Sultan Sulaiman Al Qanuni
Sultan Sulaiman popular
dengan gelar Al-Qanuni, adalah Khalifah Turki Usmani yang sukses membawa
dinasti pada puncak kejayaan. Sultan Sulaiman dalam peradaban bangsa barat
disebut sebagai pemimpin Muslim yang bergelar 'Solomon the Magnificient' atau
'Solomon the Great'.[20]
Bahkan Sulaiman tersohor sebagai negarawan Islam yang terulung di zamannya.
Kharisma kepemimpinannya yang begitu harum membuat Sulaiman dikagumi kawan dan
lawan.
Sulaiman lahir di
Trabzon, kawasan pantai Laut Hitam pada tanggal 6 November 1494. Sulaiman
adalah putra Sultan Salim I dan merupakan cucu khalifah Al-Fatih. Sejak kecil,
dia sudah didik sang ayah pelajaran dan ilmu seni berperang serta seni
berdamai. Menginjak usia tujuh tahun, Sulaiman cilik dikirim ke sekolah Istana
Topkapi di Istanbul. Di sekolah itu, dia mempelajari beragam ilmu pengetahuan
seperti, sejarah, sastra, teologi serta taktik militer.
Meski berdarah ningrat
dan putera mahkota sebuah kesultanan yang sangat besar, sejak muda Sulaiman
sudah sangat merakyat. Sahabat dekatnya justru adalah seorang budak bernama,
Ibrahim. Kelak, sahabatnya itu menjadi penasehat yang amat dipercayainya.
Sebelum menduduki tahta kesultanan Usmani, pada usia 17 tahun dia ditunjuk sang
ayah untuk menjadi gubernur pertama Provinsi Kaffa (Theodosia), pada hahun
1511. Lalu setelah itu, dia diuji dengan menduduki jabatan Gubernur Sarukhan (Manisa)
dan kemudian memimpin masyarakat di Edirne (Adrianople). Delapan hari setelah
sang ayah (Sultan Salim I) tutup usia, pada 30 September 1520 M, Sulaiman naik
tahta menjadi sultan ke-10 Kesultanan Usmani, pada usia 25 tahun.
Seorang utusan dari
Venesia, Bartolomeo Contarini dalam catatan perjalanannya ke Istanbul Turki
menggambarkan sosok Sultan Sulaiman. Menurut Contarini, saat itu Sulaiman baru
berusia 22 tahun. ''Postur tumbuhnya tinggi, tapi kurus dan kuat serta corak
kulitnya lembut,'' tutur Contarini. Selain itu, sang sultan digambarkan
memiliki leher yang sedikit lebih panjang dan wajahnya yang tipis serta
hidungnya bengkok seperti paruh rajawali.[21]
''Dia adalah pemimpin yang bijaksana, sangat cinta pada ilmu. Sehingga semua
orang berharap banyak dari kepemimpinannya,'' Contarini memuji akhlak Sultan
Sulaiman I. Sebagian sejarawan mengklaim pada masa remajanya mengagumi
Aleksander Agung.
Menurut sejarawan,
Sulaiman sangat terpengaruh oleh visi Aleksander dalam membangun sebuah
kerajaan yang dapat berkuasa dari Timur hingga Barat. Sehingga, pada masa
pemerintahannya terbilang sangat panjang, jika dibandingkan dengan
Sultan-Sultan Ottoman lainnya. Selama berkuasa selama 46 tahun, Sultan Sulaiman
begitu banyak mencapai kemenangan dalam berbagai peperangan. Sehingga, wilayah
kekuasaan Kesultanan Usmani terbentang dari Timur ke Barat.
Pada tahun 1521,
Sulaiman telah berhasil menguasai Beograd, kini ibukota Yugoslavia. Tahun 1522
berhasil menguasai ibu kota Hongaria, Rhodos dari Ksatria Santo Yohanes. Selanjutnya
ko Budapest, Hongaria dapat direbut di tahun 1524. Kurang lebih tujuh tahun
kemudian, tahun 1531 pasukan Sultan Sulaiman meraih kemenangan dalam perang
melawan Austria.
Dilanjutkan pada tahun
1532 yang mampu memimpin perang melawan Raja Spanyol, yaitu Karel V. Kemudian
tahun 1533, Sulaiman mengumumkan penerimaan tawaran damai dengan Prancis. Di
tahun 1535 mencapai kesepakatan damai dengan Prancis di kota Baghdad, Irak.
Sebelumnya, tahun 1534 Sultan Sulaiman mampu membangun armada laut yang pertama
untuk menghadapi perlawanan pasukan Kaisar Karel V. Tahun 1537, Sulaiman
memerintahkan Admiral Khairuddin Barbarossa untuk menguasai Laut Aijah yang
terletak di antara Turki dan Yunani dalam tempo tiga tahun. Dan dilanjutkan
pada tahun 1547, pasukan Turki Usmani yang dikirim Sultas Sulaiman, berhasil
mengepung pantai Italia dan menguasai pelabuhan Nicea. Puncaknya pada tahun
tahun 1548, Sultan Sulaiman menguasai Gharan.
Sultan Sulaiman telah
menunjukkan kesuksesannya dalam melakukan ekspansi ke daratan eropa melanjutkan
ayah dan kekeknya. Jasa besarnya ketika menjadi pemimpin dinasti Turki Usmani
adalah suksesnya menyebarkan ajaran Islam hingga ke tanah Balkan di Benua Eropa
yang meliputi Hongaria, Beograd, dan Austria, bahkan sampai di benua Afrika dan
kawasan Teluk Persia.[22] Dengan
kekuasaannya tersebut, Sulaiman menerapkan syariat Islam dalam memimpin rakyat
yang tersebar di daratan Eropa, Persia, Afrika, serta Asia Tengah. Selain itu,
Sulaiman juga berhasil menyusun dan mengkaji sistem Undang-undang Kesultanan
Turki Usmani yang secara konsisten dan tegas dijalankannya sendiri, menjadi
pengatur berjalannya Pemerintahan. Sehingga dengan jasanya menciptakan
undang-undang yang diterapkannya, dianugrahkanlah gelar al-Qanuni, yang melekat
pada nama besarnya.
Selain di bidang
pemerintahan dan kebijakan politik dan penerapan hukum-hukum yang berlandaskan
syariat Islam, Sultan Sulaiman juga turut memajukan kebudayaan. Selain sebagai
pemimpin yang tangkas dalam menjalankan stratege politik merebut wilayah
kekuasan, ia juga pemimpin yang mencintai seni dan kebudayaan. Sultan Sulaiman
disamping menduduki tahta Kesultanan, ia juga tampil sebagai salah seorang
penyair yang hebat dalam peradaban Islam. Pada era kekuasaannya, Istanbul -
ibukota Usmani Turki menjadi pusat kesenian visual, musik, penulisan serta
filasafat. Sehingga tidak mengherankan jika pada tahun 1550, Sultan Sulaiman
sukses mendirikan Universitas As-Sulaimaniyyah sebagai bentuk perwujudan dari
kecintaannya terhadap ilmu pengetahun.
Sama seperti halnya
pembangunan masjid Agung Sulaiman, pembangunan perguruan tinggi itu dilakukan
oleh arsitek ulung bernama Mimar Sinan. Sultan Sulaiman wafat pada usia 71
tahun saat berada di Szgetvar, Hongaria pada tanggal 5 Juni 1566 M.[23]
Secara hampir bersamaan, pendirian Masjid Agung Sulaiman selesai dibangun di
tahun 1566. Jasad Sulaiman dimakamkan di Masjid Agung Sulaiman yang berada di
kota Istanbul, Turki. Kehebatan dan kebaikannya selama memimpin kesultanan
Usmani hingga kini tetap dikenang.
C. Kebijakan Politik Sultan Sulaiman Al Qanuni
Sejarah hidup dan
kepemimpinan Sultan Sulaiman menunjukkan kharisma tinggi. Sultan Sulaiman
tampil dengan ketangkasan dan kelembutannya sekaligus. Hal tersebut dipengaruhi
oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman yang dialaminya sejak masih
remaja. Sehingga ketika menjadi Sultan, pola kepemimpinannya digandrungi oleh
rakyatnya yang beragam di berbagai daerah taklukannya. Lawan dan kawannya kagum
terhadap kebijakannya. Sultan Sulaiman adalah penguasa kuat yang merakyat.
Baginya, setiap rakyat di Kesultanan Usmani memiliki hak yang sama. Tak ada
pemberadaan pangkat dan derajat. Kebebasan dan toleransi menjalankan kehidupan
beragama pun dijunjungnya.
Sejarah hidup Sultan
Sulaiman sebagai Pemimpin yang memegang pucuk kejayaan Turki Usmani, dinyatakan
untuk mengetahui sikap dan kebijakan politiknya. Sultan Sulaiman dalam
menjalankan politik kekuasaannya adalah dengan mememilih gubernur yang
benar-benar berkualitas. Tujuannya agar pemerintahannya kuat dan dicintai
rakyat. Popularitas dan status sosial tak menjadi syarat dalam mencari kandidat
gubernur. Ia sendiri yang turun langsung menyelidiki kepribadian setiap calon
gubernur. Setiap gubernur yang dipilih dan dilantiknya adalah sosok pemimpin
yang besih dan benar-benar berkualitas. Itulah mengapa, wilayah kekuasaan
Usmani Turki yang begitu luas bisa bersatu dan tumbuh dengan pesat menjadi
sebuah kekuatan yang sangat diperhitungkan di dunia.
Gubernur yang dipilih
langsung oleh Sultan Sulaiman, bertujuan untuk menyeimbangkan struktur pemerintahan.
Karena struktur pemerintahan itu sangat penting dalam stabilisasi daerah-daerah
kekuasaannya. Maka dapat disebutkan jika suatu ekspansi akan sempurna apabila
dikuatkan oleh terciptanya jaringan pemerintahan yang teratur. Dalam mengelola
wilayah yang luas, sultan-sultan Turki Usmani, termasuk Sultan Sulaiman
senatiasa bertindak tegas. Dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa
tertinggi, dibantu oleh shadr al-A’zham (perdana menteri), diikuti Pasya
(gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I. Di bawahnya terdapat beberapa
orang al-zanaziq atau al-’alawiyah (bupati). Struktur pemerintahan negara, di
masa Sultan Sulaiman diatur oleh sebuah kitab undang-undang (qanun) yang dibuat
oleh Sulaiman sendiri. Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang
menjadi undang-undang bagi kerajaan Turki Usmani sehingga datangnya reformasi
pada abad ke-19.
Ekspansi yang dicapai
oleh Sultan Sulaiman meliputi Irak, Bergrado, Pulau Rodhes, Tunisia, Budapest,
dan Yaman. Maka luas wilayah Turki Usmani mencakup Asia Kecil, Armedia, Irak,
Syiria, Hijaz, Mesir, Libya, Tunis, dan al Jazair, serta di wilayah Eropa
meliputi Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria dan Romania.[24]
Perluasan yang berhasil dilakukan oleh Sultan Sulaiman ini, merupakan lanjutan
dari Sultan Salim I dan Al-Fatih. Pasa sejarawan menulis bahwa, dengan jatuhnya
Konstantinopel oleh Al-Fatih, pengaruhnya sangat besar bagi Turki Usmani.
Kesemuanya itu diwariskan kepada Usmani. Dari segi letak kota itu sangat
srategis karena menghubungkan dua benua secara langsung, Eropa dan Asia.
Penaklukkan kota itu memudahkan mobilisasi pasukan dari Anatolia ke Eropa.[25]
Dengan begitu, maka Sultan Sulaiman sebenarnya tinggal melanjutkannya saja.
Walaupun, Sultan Sulaiman pada akhirnya membuat peta ekspansi tersendiri.
Sultan Sulaiman bukan
hanya sultan yang paling terkenal dikalangan Turki Usmani, akan tetapi pada
awal ke-16 ia adalah kepala negara yang paling terkenal di dunia. Ia seorang
penguasa yang saleh, ia mewajibkan rakyat muslim harus shalat lima kali dan
berpuasa dibulan Romadhan, jika ada yang melanggar tidak hanya dikenai denda
namun juga sangsi badan.[26]
Sulaiman juga berhasil menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa turki dengan tulisan
tangannya sendiri.[27]
Bahkan Ulama dan sejumlah karyanya dihasilkan pada masa Sultan Sulaiman adalah
Mustafa Ali (1541-1599), ahli sejarah. Diantara karyanya adalah Kunh al-Akhbar,
yang berisi sejarah dunia dari Adam As sampai Yesus, sejarah Islam awal hingga
Turki Usmani.
Pantaslah Sultan
Sulaiman mendapat gelar al-Qanuni yang artinya sang “Pemberi Hukum”. Penyematan
gelar itu merupakan bentuk penghomatan rakyat atas kepiwaiannya mengatur
pemerintahan. Pada masanya, Sultan Sulaiman meminta Ibrahim al Halabi untuk
menyusun sebuah kitab undang-undang (Qanun), bernama Multaqa al Abrar yang
menjadi dasar hukum bagi kekasisaran Turki Usmani hingga datangnya reformasi
pada abad ke 19. Keagungan raja besar itu tidak hanya diakui oleh rakyatnya,
bahkan oleh bangsa Eropa pun mengenalnya sebagai “Yang Agung”.[28]
Bahkan Sebagai pewaris kekhalifahan Islam, dalam dinasti Usmani, Agama
menduduki tempat signifikan dalam struktur sosial dan politik masyarakat Turki
Usmani. Fatwa seorang Syaikhul Islam (Mufti) dijadikan sebagai hukum yang
berlaku, tanpa legitimasi mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.
Dengan demikian ulama mempunyai peran besar dalam kerajaan dan masyarakat.
Khazanah Sejarah Islam
menulis bahwa, para pemimpin Kerajaan Usmani pada masa-masa pertama adalah
orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat
dan luas. Meskipun demikian, kemajuan Kerajaan Usmani sehingga mencapai masa
keemasannya itu, bukan semata-mata karena keunggulan politik para pemimpinnya.
Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting
diantaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan kekuatan
militernya yang sanggup bertempur kapan saja. Pengorganisasian yang baik dan
srategi tempur militer Usmani berlangsung dengan baik.[29]
Setelah Sultan Sulaiman I, Kerajaan Turki Usmani diperintah oleh sultan-sultan
yang lemah, baik dalam kepribadian, jiwa atau watak kepemimpinan serta tidak
sesuai dengan tuntutan pada masa itu. Mereka juga kurang terlibat lansung dalam
administrasi negara, dan juga dalam peperangan melawan musuh, mereka banyak larut
dalam kehidupan istana.[30]
Sesudah Sultan Sulaiman
Kerajaan Turki Usmani tidak lagi mempunyai sultan-sultan yang dapat
diunggulkan. Sejak pemerintahannya, kekuasaan Turki Usmani sudah mulai
diungguli oleh kekuatan Eropa secara perlahan-lahan.[31]
Padahal pada masa Sultan Sulaiman menjadi khalifah, gejolak teredam dari
daerah-daerah kekuasaannnya. Hal itu disebabkan oleh sikap toleransi Sultan
Sulaiman kepada rakyat di daerah-daerah tersebut. Sejarah mencatat, bahwa
Sultan Sulaiman pernah memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi
yang diusir dari Spanyol setelah runtuhnya pemerintahan Islam di sana. Hingga
kini dokomentasinya masih terdapat di Istambul, Turki. Raja Perancis pernah
dilindungi oleh Sultan Sulaiman al-Qonuni ketika diancam oleh
musuh-musuhnya.
Sejarawan Will Durant
dalam The Story of Civilization, menggambarkan hal ini dalam tulisannya: “Para
Kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa
besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Kholifah telah
mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan
meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum
pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setalah masa mereka“.[32]
Abdul Karim menulis
bahwa, pada saat Eroap terjadi pertentangan antara Katolik dan Proterstan, yang
diantaranya lari untuk minta suaka politik kepada Khalifah Sulaiman. Mereka
diberi kebebasa dalam memilih agama, dan diberikan tempat di Turki Usmani.[33]
Lord Cerssay menyatakan, bahwa pada zaman di mana dikenal ketidakadilan dan
kelaliman Katholik Roma dan Protestan, maka Sultan Sulaimanlah yang paling adil
dengan rakyatnya meskipun ada yang tidak beragama Islam.[34]
D. Terbentuknya Turki Usmani
Dalam sejarah Islam
tercatat yang berhasil didirikan oleh bangsa Turki, yaitu Turki Saljuk Turki
Usmani. Berdirinya Turki Ysmani setelah hancurnya Turki Saljuq yang telah
berkuasa selama kurang lebih 250 tahun (1055- 1300).[35]
Kerajaan ini didirikan
oleh bangsa Turki dari kabilah Oghuz (ughu) yang mendiami daerah
Mongol dan daerah Utara Cina, yang kemudian panda ke Turki, Persia dan Irak.
Mereka memeluk Islam kira-kira abad IX atau X, yaitu ketika mereka menetap di Asia
tengah. Hal ini karena mereka bertetangga dengan dinasti Samani dan dinasti
Ghaznawi, karena tekanan -tekanan bangsa Mongol, mereka mencari perlindungan
kepada saudara perempuannya, dinasti Saljuq. Saljuq ketika itu dibawah
kekuasaan Sultan Alauddin Kaikobad. Entogrol yang merupakan pimpinan Turki
Usmani pada waktu itu berhasil membantu Sultan Saljuq dalam menghadapi
Bizantium. Atas jasa inilah ia mendapat penghargaan dari Sultan, berupa
sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka
terus membina wilayah barunya dan memiliki Syukud sebagai Ibiu kota.[36] Selain
itu Entogrol juga diberikan wewenang untuk memperluas wilayahnya.[37]
Setelah Entogrol
meninggal, kedudukannya sebagai pimpinan Turki Usmani digantikan oleh anaknya Usman.
Dan setelah itu saljuq mendapat serangan bangsa Mongol, dinasti ini kemudian
terpecah menjadi dinasti-dinasti kecil. Pada saat itulah Usman mengklaim
kemerdekaan secara penuh wilayah yang didudukinya, yang semula merupakan
pemberian Sultan Saljuq sendiri, sekaligus memproklamasikan berdirinya kerajaan
Turki Usmani. Inilah asal mula mengapa kemudian diberikan nama dinasti Usmani.
Hal ini berarti bahwa putra Ertogrol inilah dianggap sebagai pendiri kerajaan
Usmani.[38] Sebagai
penguasa pertama, dalam sejarah ia disebut sebagai Usman I. Usman memerintah
pada Tahun 1290 M Sampai 1326 M.
E. Ekspansi-Ekpansi Turki Usmani
Sebagai sultan I, Usman
lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada usaha-usaha untuk memantapkan
kekuasaannya dan melindunginya dari segala macam serangan, khususnya Bizantium
yang memang ingin menyerang. Exspansinya dimulai dengan menyerang daerah
perbatasan Bizantium sanmenaklukan kota Broessa Tahun 1317 M, dan Broessa
dijadikan sebagai ibu kota kerajaan.[39]
Putra Usman, Orkhan,
memerintah pada tahun 1326-1360 M.[40] Ia
membentuk pasukan yang tangguh kemudian dikenal dengan Inkisyariyah (Jannisary)[41] untuk
membentengi kekuasaanya. Basis kesatuan ini berasal dari pemuda-pemuda tawanan
perang. Kebijakan kemiliteran ini lebih dikembangkan oleh pengganti Orkhan
yaitu Murad I dengan membentuk sejumlah korps atau cabang-cabang yennisary.
Pembaharuan secara besar-besaran dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan dan
Murad I tidak hanya bentuk perombakan personil pemimpinnya, tetapi juga dalam
keanggotaanya. Seluruh pasukan militer dididik dan dilatih dalam asrama militer
dengan pembekalan semangat perjuangan Islam. Kekuatan militer Yennisary
berhasil mengubah Negara Usmany yang baru lahir ini menjadi mesin perang yang
paling kuat dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi penaklukan
negeri-negeri non Muslim.[42] Pada
masa Orkhan inilah dimulai usaha perluasan wilayah yang lebih agresip dibanding
pada masa Usman. Dengan mengandalkan jennisary, Orkhan dapat menaklukan Azmir
(Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanly (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M)
dan Gallipoli (1356 M). Daerah-daerah ini merupakan bagian benua Eropa yang
pertama kali diduduki oleh kerajaan Usmani.[43]
Ekspansi yang lebih
besar lagi terjadi pada masa ini meliputi daerah Balkan, Andrinopel, Mesodonia,
Sofia (Bulgaria), dan seluruh wilayah yunani. Andrinopel kemudian dijadikan
sebagai ibu kota kerajaan yang baru.
Setelah Murad I tewas
dalam pertempura melawan pasukan Kristen, ekspansi berikutnya dilanjutkan oleh
putranya Bayazid I. Pada tahun 1391 M. Pasukan Bayazid I apat merebut benteng
Philladelpia dan Gramania atau Kirman (Iran). Dengan demikian kerajaan Usmani
secara bertahap menjadi suatu kerajaan besar.[44] Suatu
hal yang sangat disayangkan bahwa Bayazid I tewas dalam pertempuran melawan timur
lenk. Tewasnya bayasid I dan sebagian besar pasukannya melawan hamper seluruh
wilaya Usmani jatu ketangan Timur Lenk.
Kerjaan Usmani bangkit
kembali pada masa pemerintahan Murad II. Ia digelari Al-Fatih (Sang Penakluk)
karena pada masanya ekspansi Islam berlangsung secara besar-besaran. Kota
penting yang berhasil ditaklukkan adalah Konstantinopel pada tahun 1453. Dengan
demikian usaha menaklukkan Isalam atas kerajaan Romawi Timur yang dimulai sejak
zaman Umar Bin Khattab telah tercapai. Konstantinopel dijadikan ibu kita
kerajaan dan namanya diubah menjadi Istanbul (Tahta Isalm). Kejatuhan
Konstantinopel memudahkan tentara Usmani menaklukkan wilaya lainnya seperti
Serbia, Albania dan Hongaria.[45]
Sekalipun Konstatinopel
telah jatuh di tangan Usmani dibawa kekuasaan Muhammad Al-Fatih, namun umat
Kristen sebagai pendudduk asli daerah tersebut tetap diberikan kebebasan
beragama. Bahkan merekadibiarkan memilih ketua-ketua dilantik oleh Sultan.[46]
Setelah Muhammad
Al-Fatih meninggal, Ia diganikan Bayazid II.[47] Ia
lebih mementingkan kehidupan tasau daripada berperang. Kelemahannya di bidang
pemerintahan yang cenderung berdamai dengan musuh mengakibatkan Ia tidak
ditaati oleh rakyatnya, termasuk putra-putranya. Karena seringnya terjadi
perselisihan yang panjang antara dia dan putra-putranya, akhirnya Ia
mengundurkan diri dan diganti putranya, Salim I pada tahun 1512 M. Pada masa
Sultan Salim I pada tahu 1517 M. Gelar Khalifah yang disandang oleh
Al-Mutawakki alaa llah, salah seorang keturunan Banii Abbas yang selamat dari
Bangsa mongol tahun 1235 M. dan saat itu berada dalam proteksi makhluk diambil
alih oleh Sultan. Engan demikian pada masa Sultan Salim ini para Sultan Usmani
menyandang dua gelar, yaitu gelar Sultan dan gelar Khalifah. Sehingga nama
Sultan Salim pun mulai disebutkan dalam khutbah-khubah. Selain itu ia pun dalam
masa pemerintahannya selama 8 tahun menjadi penguasa dan pelindung 2 buah kota
suci yaitu Mekkah dan Madinah.[48]
Puncak kerajaan Turki
Usmani dicapai pada masa pemerintahan Sulaiman I. Ia digelari Al-Qanuni,
karena ia berhasil membuat undan-undan yang mengatur masyarakat. Orang, barat
menyebunya sebagai Sulaeman yang agung, the magnificien. Ia menyebut
dirinya sultan dari segala sultan, raja dari segala raja, pemberian anigra
mahkota bagi para raja. Pada masanya wilayahnya meliputi dataran Eropa hingga
Austria, Mesir dan Afrika Utara hingga ke Aljazair dan Asia hingga Persia,
serta meliputi lautan Hindia, Laut Arabia, Laut merah, Laut tengah,dan Laut
Hitam.
Untuk lebih jelasnya
penulis akan menyebutkan priode-priode kesultanan pada masa kerajaan Turki
Usmani. Dalam bukunya DR. Syafiq A. Mugani membagi menjadi 5 (Lima) priode
yakni priode I pada tahun 1299-1402 M. priode ke II pada tahun 1402-1566 M,
priode ke III 1566-1699 M, priode ke IF pada tahun 1699-1839 M dan priode ke F
pada tahun 1839-1922 M.[49]
Kerajaan Turki Usmani
mulai melemah semejak meninggalnya Sulaiman Al Qanuni. Para pemimpin lemah dan
pada umumnya tidak berwibawah. Selain itu para pembesar kerajaan hidup dalam
kemewahan sehingga sering terjadi penyimpangan keuangan Negara. Sekalipun
demikian serangan Eropa masih terus berlangsung terutama penaklukkan terhadap
kota Wina di Australia. Usaha penaklukkan ini ternyata juga tidak berhasil.
F. Kemajuan-Kemajuan Turki Usmani
1. Bidang kemiliteran dan pemerintahan
Salah satu yang
menentukan keberhasilan ekspansi Usmani adalah
kebernian,keterampilan,ketangguhan dan kekuatan militernya yang sanggup
bertempur di mana saja dan kapan saja. Hal ini karena tabiat bangsa Turki
sendiri yang bersifat militer berdisiplin dan patuh terhadap aturan.
Selain itu,
keberhasilan ekspansinya juga didukung oleh terciptanya jaringan pemerintahan
yang teratur. Dalam struktur pemerintahan, Sultan sebagai penguasa tertinggi
dibantu oleh Shadr al-Azham (perdana menteri) yang membawahi pasya (gubernur).
Di bawah gubernur yerdapat al-Awaliyah (bupati).[50]
Untuk mengatur
pemerintahan urusan Negara dibentuk undang-undang (qanun) pada masa
Sulaeman I, yang disebut Multaqa al- Abhur.[51] Undang-undang
ini menjadi pegangan hukum bagi Turki Usmani sanpai datangnya reformasi
pada abad 19. Undang-undang ini memiliki arati historis yang sangat
penting karena merupakan undang-undang pertama di dunia.
2. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya
Walaupun pengembangan
ilmu pengetahuan tidak mendapat perhatian besar Usmani, namun mereka
mengembangkan seni arsitektur berupa bangunan Masjid yang indah, misalnya
masjid Al-Muhammadi atau masjid Jami’ Sultan Muhammad Al-Fatih, masjid agung
Sulaeman dan masjid Ayyub al-Ansari, masjid al- Ansari merupakan sebuah
masjid yang semula adalah gereja Aya Shopia. Kesemua masjid ini dihiasi dengan
kaligrafi yang indah.[52]
Pada masa Sulaeman
banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung-gedung, pemakaman, saluran
air, filla dan permandian umum terutama dikota-kota besar. Sisebutkan bahwa 235
buah dari bangunan itu dibangun dibawah kordinator hojasinan. Seorang arsitek
asal Anatolia.[53]
Kemajuan dibidang
intelektual pada masa pemerintahan Turki Usmani tidak begitu menonjol, adapun
aspek-aspek intelektual yang dicapai yaitu:
a)
Terdapat dua
buah surat kabar yang muncul pada masa itu, yaitu berita harian terkini Feka (
1831 ) dan jurnal Tasfiri efkyar (1862) dan terjukani ahfal (1860).
b)
Terjadi
tranfomasi pendidikan, dengan mendirikan sekolah-sekolah dasar dan menengah
(1881) dan perguruan tinggi (1869), juga mendirikan Fakultas kedokteran dan
fakultas Hukum. Disamping itu para belajar yang berprestasi dikirim keprancis
untuk melanjutkan studinya, yang sebelumnya itu tidak pernah terjadi.[54]
3. Bidang keagamaan
Dalam tradisi, Agama
memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial dan politik. Pihak penguasa
sangat terikat dengan syariat Islam sehingga fatwa Ulama menjadi hukum yang
berlaku. Mufti sebagi pejabat urusan Agama tertinggi berwenag member fatwa
resmi terhadap problem keagamaan. Tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum
kerajaan tidak bias berjalan. Pada masa ini kegiatan terus berkembang
pesat. Al-bektasi dan Al-maulawi merupakan dua aliran
tarekat yang paling besar. Tarekat bektasi sangat berpengaruh terhadap kalangan
tentara sehingga mereka sering disebut tentara bektasi Yennisari. Sementara
tarekat maulawi berpengaru besar dan mendapat dukungan dari penguasa dalam
mengimbangi yennisari bektasi. Ilmu pengetahuan seperti fikhi, tafsir, kalam
dan lain-lain, tidak mengalami perkembangan. Kebanyakan penguasa Usmani
cenderung bersikap taklid dan fanatik terhadap suatu mazhab dan menentang
mazhab-mazhab lainnya.[55]
Menurut Ajid Tahir
dalam bukunya menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan sehingga Turki
Usmani memperoleh keamjuan antara lain :
ü Adanya
sistem pemberian hadiah berupa tanah kepada tentara yang berjasa
ü Tidak
adanya diskriminasi dari pihak penguasa
ü Kepengurusan
organisasi yang cakap
ü Pihak
Turki memberikan perlakuan baik terhadap saudara-saudara baru dan memberikan
kepada mereka hak rakyat secara penuh
ü Turki
telah menggunakan tenaga-tenaga profesional dan terampil
ü Kedudukan
sosial orang-orang Turki telah menarik minat penduduk negeri-negeri Balkan
untuk memeluk agama Islam
ü Rakyat
memeluk agama Kristen hanya dibebani biaya perlindungan (jizyah) yang relatife
murah dibandingkan pada masa Bizantium
ü Semua
penduduk memperoleh kebebasan untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing
ü Karena
Turki tidak fanatik agama, wilayah-wilayah Turki menjadi tempat perlindungan
orang-orang Yahudi dari serangan kerajaan Kristen di Spanyol dan Portugal pada
abad XVI.[56]
G. Runtuhnya Turki Usmani
Turki
Utsmani mulai mengembangkan wilayahnya sejak masa pemerintahan Muhammad II
(1451-1481) pada masa itu Turki Utsmani berhasil menguasai Constantinopel, ibu
kota Romawi Timur (1453), dengan dikuasainya kota itu pengembangan wilayah ke
Eropa memperoleh sukses. Puncak keemasan Turki Utsmani terjadi pada
pemerintahan Sulaiman I (1520-1560) yang terkenal dengan Sulaiman Agung dan
Sulaiman Al Qanuni. Di bawah pemerintahannya berhasil disatukan wilayah yang
meliputi Afrika Utara, Mesir, Hedzjaz, Irak, Armenia, Asia Kecil, Krimea,
Balkan, Yunani, Bulgaria, Bosnia, Hongaria, Rumania, sampai ke batas sungai
Danube, dengan tiga lautan yaitu Laut Merah, Laut Hitam, dan Laut Tengah.[57]
Namun
sedikit demi sedikit wilayah Turki Utsmani mulai direbut negara lain. Perancis
berhasil merebut Aljazair pada tahun 1882 serta menjadikan Pulau Cyprus sebagai
pangkalannya. Italia merebut Lybia pada tahun 1912. Austria merebut
Bosnia-Herzegovina pada tahun 1908. Rakyat Balkan secara perlahan-lahan mulai
memperoleh kemerdekaannya. Yunani adalah wilayah Turki Utsmani pertama yang
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1830. Kemerdekaan Yunani kemudian diikuti
kemerdekaan Rumania, Bulgaria, Serbia dan Montenegro pada tahun 1878.
Rusia
juga merampas Kars, Ardahan dan Batum pada tahun 1878. Rusia juga membantu
kemerdekaan negara-negara Balkan dari kekuasaan Turki Utsmani. Pada tahun 1908,
terjadi gejolak politik di Turki Utsmani akibat kudeta yang dilaksanakan Komite
Persatuan dan Kemajuan terhadap Sultan Abdul Hamid II. Gejolak politik di Turki
Utsmani membuat keseimbangan kekuatan di Eropa menjadi terganggu.
Austria-Hongaria mengambil keuntungan dari krisis politik di Turki Utsmani
dengan menyatakan Bosnia-Herzegovina sebagai provinsinya. Serbia yang ingin
menguasai Bosnia-Herzegovina kemudian meminta bantuan Rusia untuk menghadapi
Austria-Hungaria. Pada bulan oktober 1912, dimulailah koalisi antara Bulgaria,
Serbia, Yunani, dan Montenegro.
Keempat
negara ini menyatakan perang dengan Turki Utsmani sehingga meletuslah Perang
Balkan I pada tahun 1912. Koalisi yang dibentuk negara-negara ini kemudian
berhasil mengalahkan Turki Utsmani dalam Perang Balkan I. Tentara Turki Utsmani
dapat dikalahkan tentara Bulgaria dalam pertempuran di Kirkilisse dan Lule
Burgas. Tentara Turki Utsmani juga dikalahkan tentara Serbia dalam pertemputan
Kumanovo. Kekalahan ini membuat Turki Utsmani harus menandatangani Perjanjian
London pada tanggal 10 Juni 1913. Perjanjian London berisi Turki Utsmani
kehilangan semua wilayahnya di Semenanjung Balkan kecuali hanya menyisakan
garis kecil di sekeliling kota Istanbul.[58]
Negara-negara
Balkan saling berperang kembali setelah Perang Balkan I selesai sehingga
muncullah Perang Balkan II. Pada Perang Balkan II, Turki Utsmani memanfaatkan
kemelut diantara negara-negara Balkan degan merebut Trasia Timur termasuk Kota
Adrianopel dari penduduk Bulgaria. Peang Balkan II kemudian diakhiri dengan
perjanjian Bucharest pada tanggal 10 Agustus 1913.[59]
Kekalahannya hanya memiliki wilayah Trasia Timur dan kawasan Asia Barat.
Pemerintah
Turki Utsmani yang telah dipegang oleh Komite Persatuan dan Kemajuan
menginginkan Turki Utsmani ikut dalam perang Dunia I dengan harapan akan
memperoleh wilayahnya yang telah merdeka atau dikuasai bangsa lain. Anggota
Komite Persatuan dan Kemajuan mempunyai sifat nasionalis yang tinggi serta
menginginkan Turki Utsmani dapat kembali jaya. Hal ini membuat mereka mengambil
resiko untuk ikut serta dalam Perang Dunia I.
Periode keruntuhan
kerajaan Turki Usamani termanifestasi dalam dua priode yang berbeda pula,
yaitu : pertama, priode desentrallisasi yang dimulai pada awal pemeritahan
Sulatan Salim II (1566-1574) hingga tahun 1683 ketika angkatan bersenjata
Turki,Usmani gagak dalam merebut kota Fiena untuk kedua kalinya. Kedua, priode
dekompresi yang terjadi dengan munculnya anarki internal yang dipadukan denagn
lepasnya wilayah taklukan satu per satu.
Pada abad ke 16 kelompok derfisme[60] telah menjadi
kelompok yang solid dan mendominasi kekuatan politik bahkan menggeser posisi
para aristoerat Turki tua.[61] Namun pada
prkembangan selanjutnya terjadi konflik intern yang menyebabkan mereka
berkotak-kotak dan terjebak dalam politik praktis. Mereka menngkondisikan
Sultan agar lebih suka tinggal menghabiskan waktunya di Istana Keputren
ketimbang urusan pemerintahan, agar tidak terlibat langsung dalam intrik-intrik
politik yang mereka rancang.[62]
Dengan mengeploitasi posisinya di mata penguasa terhadap rakyat mereka
memanipulasi pajak dengan kewajiban tambahan kepada petani, akibatnya banyak
penduduk yang berusaha untuk masuk ke dalam korp Jannisari. Hal ini
mengakibatkan membengkakanya jumlah keanggotaan Jannisari yang hingga
pertengahan abad ketujuh belas mencapai jumlah 200.000 orang.[63]
Faktor-Faktor penyebab hancurnya Turki Usmani. Untuk menentukan faktor penyebab
utama kehancuran kerajaan Turki usmani merupakan persoalan yang tidak mudah.
Alam sejarah lima abad akhir abad ke tiga belas smpai abad ke Sembilan belas
Kerajaan Turki Usmani merupakan sebuah proses sejarah panjang yang tidak terjadi
secara tiba-tiba.
Mengamati sejarah keruntuhan Kerajaan Turki Usmani, dalam bukunya Syafiq A.
Mughani melihat tiga hal kehancuran Turki Usmani, yaitu melemahnya sistem
birokrasi dan kekuatan militer Turki Usmani, kehancuran perekonomian kerajaan
dan munculnya kekuatan baru di daratan Eropa serta serangan balik terhadap
Turki Usmani.
H. Penutup
Setelah penulisan selesai, maka dapat
ditarik kesimpulan dari rumusan masalah sebagai berikut.
Pertama, Sulaiman al-Qanuni adalah
seorang pemimpin Turki Utsmani yang berhasil membangun kekuatan politik,
ekonomi, militer, dan kebudayaan. Ketika berkuasa, dia banyak menerapkan
berbagi kebijakan sehingga menghantarkan Turki Utsmani mencapai puncak
kejayaan. Karena kepiawaiannya dalam memimpin Turki Utsmani, dia mendapat
sebutan Solomon the Magnificent atau Solomon the Great. Selama 46
tahun berkuasa di Turki Utsmani, dia dikenal sebagai penguasa yang tegas dan
berwibawa, baik oleh orang Islam maupun Orang Eropa. Salah satu usahanya yang
paling gemilang adalah tersusunnya sebuah kitab undang-undang Multaqa
al-Abhur, yang dijadikan pegangan hukum bagi seluruh masyarakat Islam Turki
Utsmani waktu itu. Atas jasanya tersebut, Sulaiman diberi gelar al-Qanuni.
Kedua, Kebijakan yang diterapkan
Sulaiman al-Qanuni adalah:
ü Dalam bidang politik, memperbaiki sistem dan administrasi
pemerintahan, melakukan perluasan wilayah ke wilayah Eropa, menjalin aliansi
dengan Prancis.
ü Dalam bidang ekonomi, pemerintah sebagai induk pasar, yaitu secara
langsung ikut dalam menjalankan kegiatan ekonomi, menerapakan sistem ekonomi sentralistik,
mengatur sepenuhnya perekonomian di seluruh wilayah kekuasaannya, menyusun
aturan sebagai dasar hukum dalam kegiatan perekonomian.
ü Dalam
bidang militer, menyediakan tempat khusus bagi keperluan pasukannya,
mendatangkan pelatih pasukan yang handal untuk mengajari berbagi keahlian
berperang. terutama pasukan jenissarymenjadi semakin kuat, baik dari
skil maupun persenjataan, karena mendapatkan pelatihan atau kerjasama dengan tentara
prancis.
ü Dalam
bidang agama dan hukum, memberikan toleransi kehidupan keagamaan bagi seluruh
masyarakatnya yang terdiri dari orang muslim dan non-muslim, menciptakan rasa
aman dan damai di antara masyarakatnya, membuat kitab undang-undang dan menjadi
pedoman bagi seluruh masyarakatnya.
ü Dalam
bidang sosial dan budaya, mengembangkan berbagai budaya yang ada saat itu
sehingga perkembangan kebudayaan semakin maju, misalnya, seni arsitektur yang
dapat disaksikan dari usahanya dalam mendirikan bangunan seperti Masjid
Sulaimaniyah. Terciptanya kehidupan sosial yang kompleks di dalam
masyarakatnyaTurki Utsmani saat itu.
Ketiga, Pengaruh
kebijakan Sulaiman al-Qanuni adalah:
ü Dalam
pemerintahan, kebijakannya mempunyai pengaruh besar dalam memperbaiki sistem
pemerintahannya, mempertahankan kekuasaannya, juga menambah luas wilayah
pemerintahan Turki Utsmani.
ü Dalam
wilayah Islam, Islam menjadi besar seiring kebesaran Turki Utsmani pada saat
itu, melahirkan rasa bangga bagi setiap pemeluk Islam, serta Negara muslim dapat berkembang dan Islam tersebar lebih luas.
ü Bagi Eropa, adanya Turki Utsmani yang kuat dan berkembang saat
itu, menimbulkan ancaman yang besar bagi negara-negara Eropa, membuat rasa
khawatir dan takut, yang menjadikan raja-raja Eropa selalu berusaha untuk
mencari jalan agar dapat mengalahkan Turki Utsmani.
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis
memberikan saran untuk motivasi peneliti yang akan datang. Pertama, penelitian
tentang Turki Utsmani ini masih perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih
mendalam lagi. Hal itu dikarenakan masih banyak permasalahan yang menarik
terutama masalah kebijakan yang terkait aliansi antara Turki Utsmani dengan
Prancis.
Selanjutnya, ungkapan terakhir dari
penulis adalah rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah
Swt dan Nabi Muhammad Saw yang telah membimbing manusia ke jalan yang benar,
kedua orang tua dan keluarga, serta pembimbing yang telah memberikan doa dan
dukungan untuk kesuksesan penulis hari ini dan masa yang akan datang. Amin
DAFTAR PUSTAKA
A. Mughni, Syafiq, Sejarah kebudayaan
Islam Di Turki, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Ahmad,
Akbar S. Citra Muslim. Jakarta: Erlangga, 1992
Ali, K. A, Study Of Islamic
History, Diterjemahkan Oleh Ghufron A. Mas adi, Sejarah Islam: Tarikh
Pramodern. Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.
Amin,
Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009
B Merriman, Roger, Suleiman the
Magnificent, Cambridge: Harvard University Press, 1944
Black, Anthony, The History Of
Islamic Political Though rom The Prophet To The Present, Dialihbahasakan
oleh Abdullah Ali. Jakarta: Jakarta: Seranbi Ilmu Semesta, 2006.
C.E Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, diterjemahkan
oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia
Islam 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Hamka, Sejarah Umat Islam (Edisi
Baru), Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002
Haurani, Albert, Sejarah Bangsa-bangsa
Muslim, diterjemahkan: Irfan Abubakar, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004
Ruslan, Heri, “Sulaeman Al-Qanuni,
Pemimpin Agung dari Abad XVI” Khazanah: REPUBLIKA, 09 Juni 2008
Hitti, Philip K., History of The
Arabs, diterjemahkan: R. Cecep Lukman Yasin dkk, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2006 dan terbitan 2010
http://www.globalmuslim.web.id/2009/10/beberapa-tanggapan-terhadap-khilafah.html
Ibrahim, Hassan, Islamic History And Culture. Dialihbahasakan
oleh Djahdan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kot Kembang, 1989.
Karim, M Abdul, Sejarah Pemikiran Dan
Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
Kirchener, An Outline History of
Russia, New York: Barnes & Nobile, Inc. 1950
Lubis,
Amany dkk. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: UIN Syarif. 2005.
Maarif, Ahmad Syafii, Sejarah
pemikiran dan peradapan Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007
Mahmudunassir, Islam; Konsepsi Dan
Sejarah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Maryam, Siti (ed.), Sejarah Peradaban
Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2002
Mughani, Syafik, A, Sejarah Kebudayaan Islam Di
Turki, Cet. I; Jakarta: Logos, 1997.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, edisi kedua, Yogyakarta: Putaka
Progresif, 1997
Nasution,
Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press, 1985
Ratnasari, Dwi, “Sulaiman al-Qanuni:
Sultan Terbesar Kerajaan Turki Utsmani” dalam Thaqafiyyat Jurnal Ilmu
Budaya, Volume 12, No. 1, Januari-Juni, Yogyakarta: Fakultas Adab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2007
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam
Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2003
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di
Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial Politik Dan Budaya
Ummat Islam, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam
Dirassah Islamiyah II Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
……..., Sejarah Dan Peradaban Islam, Jakarta:
PT. Raja Gra indo Persada, 2001.
……...,
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2010
[1] Suku yang memimpin sekelompok
besar orang nomadik di Asia kecil, merupakan bagian terbesar orang Turkmen yang
berasal dari timur kemudian membuat mundur orang Byzantium. C.E Bosworth, Dinasti-dinasti
Islam, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 163.
Lihat juga dalam Syafiq. A. Mughni, Sejarah kebudayaan Islam Di Turki, Jakarta:
Logos Wacana ilmu, 1997, hlm. 51.
[2] Disebutkan semasa kepemimpinan
Erthogrol sampai dengan kepemimpinan Orkhan merupakan masa-masa pembentukan
pasukan militer Turki Utsmani, sehingga menjadikan Turki Utsmani negara yang
berdasarkan sistem dan prinsip kemiliteran. Ali K, Sejarah Islam Dari Awal
Hingga Runtuhnya Dinasti Utsmani (Tarikh Pramodern), diterjemahkan: Ghufron
A. Mas’adi , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 546.
[3] Berasal dari nama Usman inilah,
kemudian muncul nama sebuah Dinasti Utsmani. Pendapat lain mengatakan Usman
yang dianggap sebagai pendiri dinasti Utsmani. Lihat dalam Mundzirin Yusuf
“Peradaban Islam di Turki” dalam Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam
Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2002, hlm. 152.
[4] Penaklukkan tersebut diawali
dengan pengepungan terhadap kota Konstantinopel pada tahun 1453 M. Oleh karena
itu, disebutkan bahwa peristiwa pengepungan itu berlangsung selama 53 hari.
Kemudian, pasukan Utsmani dapat masuk ke area pertahanan dan berhasil menduduki
benteng-benteng pertahanan Konstantinopel. Dengan demikian pertahanan istana
telah hancur dan sang kaisar juga terbunuh bersamaan dengan sejumlah
pasukannya. Setelah itu Muhammad al-Fatih melanjutkan penundukan semenanjung
Maura, Serbia, Albania sampai perbatasan Bundukia. Ali K, Sejarah Islam Dari
Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Utsmani (Tarikh Pramodern), diterjemahkan:
Ghufron A. Mas’adi, hlm. 549.
[5] Disebutkan bahwa bangsa Turki
adalah bangsa yang hidupnya selalu berpindah-pindah (nomaden), setelah
menaklukkan sebuah wilayah di situlah ia menetap dan membangun ibu kotanya. Hal
itu, dikarenakan secara geografis yang menuntut pola hidup yang
berpindah-pindah, dalam perkembangannya membentuk masyarakat yang bersuku-suku.
Syafiq, Sejarah kebudayaan Islam Di turki, hlm. 7
[6] Janissary/ Yeni-Cheri/
Inkisyariyah, secara bahasa berarti: “Pasukan baru”, yang dibentuk melalui
Devshirme atau semacam pendidikan wajib militer ketika masa Orkhan. Inkisyariyah
adalah tentara utama Turki Utsmani yang berasal dari bangsa Georgia dan
Armenia yang baru masuk Islam. Pasukan ini merupakan mesin perang yang sangat
kuat Dinasti Utsmani. Pendapat lain mengatakan, Janissary berasal dari
anak-anak penduduk Kristen muallaf di sekitar Georgia, Balkan, dan Armenia,
yang direkrut untuk dijadikan prajurit infantri, untuk diperkerjakan sebagai
tentara yang elit dan sangat kuat (mesin perang). Albert Haurani, Sejarah
Bangsa-bangsa Muslim, diterjemahkan: Irfan Abubakar, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2004, hlm 415. Lihat juga Mundzirin, “Peradaban Islam di Turki” dalam
Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam Dari masa Klasik Hingga Modern, hlm.
154.
[7] Setelah Konstantinopel berhasil
dikuasai oleh orang Islam, namanya diganti oleh Muhammad al-Fatih menjadi
Istambul yang berarti “Tahta Islam” dengan dikuasainya Konstantinopel telah
memudahkan tentara Turki Utsmani untuk melakukan ekspansi ke wilayah lainya
seperti Serbia, Albania dan Hongaria. Penaklukan Kota Konstantinopel adalah
merupakan cita-cita umat Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW. Ibid., hlm.
156.
[8] Disebutkan bahwa Sultan Bayazid
II mempunyai tabiat atau karakter yang sangat berbeda dengan ayahnya, dia lebih
suka mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran tasawuf, dan lebih banyak umurnya
dihabiskan untuk memegang tasbih berdzikir kapada Allah SWT, dari pada
mengangkat pedang untuk berperang menegakkan dan memperluas kekuasaan. Masa
Bayazid dalam pemerintahan Turki Utsmani, bisa dibilang masa stagnasi tidak ada
ekspansi dan peperangan. Hamka, Sejarah Umat Islam (Edisi Baru), Singapura:
Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002, hlm. 590.
[9] Setelah Konstantinopel berhasil
di kuasai oleh Turki Utsmani. Sebenarnya, telah terbukanya benteng dari
pertahanan yang kuat kerajaan Byzantium, yang akan memudahkan arus ekspansi
Turki Utsmani menuju benua Eropa, akan tetapi ketika masa Salim I (1512-1520 M)
naik tahta dan berkuasa, justru mengalihkan perhatiannya untuk melakukan
penaklukan ke bagian timur. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirassah
Islamiyah II Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 132.
[10] Mengenai pemakaian gelar
khalifah, memang kurang begitu jelas, yaitu gelar khalifah tidak dipakai secara
jelas ketika pada masa pemerintahan Salim I dan setelahnya. Pendapat lain,
gelar kekhalifahan ini baru dipakai atau digunakan secara resmi dan jelas dalam
surat-surat kesultanan setelah 1770 M. Salim I mengambil secara paksa gelar
sakral ketika berhasil mengalahkan Kesultanan Mamluk yaitu gelar khalifah dan
kemudian dipakainya oleh Sultan Turki Utsmani yaitu Salim I. Lihat dalam M
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007, hlm. 313.
[11] Salim I, dalam sejarah Eropa,
lebih dikenal dengan sebutan Salim The Grim (yang kejam), diceritakan
sebelum Salim I menjadi sultan, ia melawan ayahnya dan juga telah banyak
melakukan pembunuhan terhadap saudaranya yang bersaing dalam merebut tahta
kekuasaan, ia seorang yang sangat berani dan tangguh. Keberaniannya itu
sudah nampak sejak masa kecilnya, terus berlanjut sampai ia menjadi sultan. Ibid.,hlm.
313.
[12] Kerajaan Turki Utsmani berkuasa
dari 1300 M sampai 1922 M, dengan kurang lebih dari tiga puluh enam sultan
keturunannya yang berkuasa pada masa KesultananTurki Utsmani, kesemuanya
laki-laki dari garis keturunannya. Lihat dalam Philip K. Hitti, History of
The Arabs, diterjemahkan: R. Cecep Lukman Yasin dkk, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2010, hlm. 910.
[13] Asal kata "al-Qaanuun"
yang berarti pokok, pangkal, asal, kemudian menjadi isim fail
"al-Qanuni" berarti peletak Undang-undang/ penetap Undang-undang/
orang yang menjalankan Undang-undang. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, edisi kedua, Yogyakarta: Putaka
Progresif, 1997, hlm. 1165. Gelar “al-Qanuni” yang diberikan kepada Sulaiman I
adalah karena jasanya dalam menyusun dan mengkaji sebuah sistem undang-undang
dari kerajaan Turki Utsmani. Tak hanya itu, Sulaiman I (al-Qanuni) juga
sangat disiplin, tegas, dan konsisten dalam setiap menjalankan undang-undang
tersebut. Selain itu, dia juga mempunyai sebuah kharisma yang tinggi sehingga
dia sangat dihormati dan disegani oleh kawan maupun lawannya. Disebutkan bahwa,
Sulaiman I telah menerapkan Hukum Syariah Islamiyah ketika memimpin rakyatnya
yang tersebar luas di antara Eropa, Persia, Afrika, serta Asia Tengah. Tidak
hanya menerapkan, tetapi dia juga dengan tegas memerintahkan kepada rakyatnya
untuk menjalankan dengan disiplin. Pendapat yang lain, untuk sebutan gelar
"al-Qanuni” berarti sang penetap undang-undang. Dwi Ratnasari “Sulaiman
al-Qanuni: Sultan Terbesar Kerajaan Turki Utsmani” dalam Thaqafiyyat Jurnal
Ilmu Budaya, Volume 12, No. 1, Januari-Juni, Yogyakarta: Fakultas Adab UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, hlm. 50. Lihat juga dalam Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 314. Dalam urusan pemerintahan dan demi
ketertiban urusan pemerintahan, Sulaiman al-Qanuni menetapkan beberapa
undang-undang dan juga peraturan. Oleh karena itu, ia digelari dengan sebutan
Sulaiman al-Qanuni. Lihat dalam Ali K, Sejarah Islam dari Awal hingga
Runtuhnya Dinasti Utsmani (Tarikh Pramodern), diterjemahkan: Ghufron A.
Mas’adi , hlm. 551.
[14] Kitab hukum Multaqa al-Abhur secara
bahasa berarti pertemuan laut-laut. Hal itu merupakan perlambangan dari
kekuasaan dan luasanya wilayah Kesultanan Turki Utsmani. Kekuasaannya meliputi
berbagai daratan dan lautan. Ratnasari, “Sulaiman al-Qanuni: Sultan Terbesar
Kerajaan Turki Utsmani” dalam Thaqafiyyat Jurnal Ilmu Budaya, hlm. 57.
Lihat juga dalam Ali K, Sejarah Islam Dari Awal Hingga Runtuhnya Dinasti
Utsmani (Tarikh Pramodern),hlm. 551. Juga Philip K hitti, History of
Arabs, hlm. 911.
[15] Selama berkuasa di kesultanan
Turki Utsmani, Sultan Sulaiman al-Qanuni telah banyak melakukan berbagai
kebijakan yang di antaranya yaitu dalam menyebarkan agama Islam ke seluruh
wilayah kekuasaannya. Oleh karenanya, dapat dilihat hasilnya, bahwa dia telah berhasil
menanamkan ajaran agama Islam sampai ke wilayah Balkan, yang meliputi Hongaria,
Beograd, dan Austria. Dia juga berhasil menyebarkan ajaran Islam di benua
Afrika dan kawasan teluk Persia. Hal tersebut dapat kita lihat, bahwa agama
Islam mulai ada kemudian mulai tumbuh dan berkembang di negara-negara tersebut,
meskipun waktu itu masih minoritas baik secara jumlahnya. Lihat dalam
Ratnasari, “Sulaiman al-Qanuni: Sultan Terbesar Kerajaan Turki Utsmani” dalam Thaqafiyyat
Jurnal Ilmu Budaya, hlm. 50.
[16] Ibid., hlm. 51.
[17] Dalam perkembangan di bidang
ilmu pengetahuan pada masa Sulaiman al-Qanuni di Kesultanan Turki Utsmani
secara orisinil terlihat memang tidak begitu banyak dalam melahirkan atau
memunculkan para ilmuwan besar yang pandai dalam segala bidang keilmuan. Hal
tersebut, disebabkan mereka yaitu orang-orang Turki Utsmani masih sedikit yang
mengenal kebudayaan saat itu. Namun demikian dalam perkembangannya mulai
terlihat kemajuan kebudayaan, yang paling utama bagi mereka hanyalah kemajuan
militer, dalam seni peperangan mereka diakui sebagai bangsa yang kuat dan tak
tertandingi. Turki Utsmani telah menanamkan dan membangaun sebuah imperium yang
sangat lama umurnya, menjadikan ancaman yang menakutkan bagi Eropa. Dengan
demikian masa Turki Utsmani merupakan masa yang suram dalam hal kebudayaan, hal
itu disebabkan karena perhatian hanya terfokus pada bidang politik yang sering
mendatangkan musuh yang diperangi, yang mengakibatkan keadaan menjadi kacau.
Lihat dalam Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, hlm. 242.
[18] Gaya Arsitektur Utsmani adalah
pertemuan atau percampuran antara kedua buah arsitektur yaitu arsitektur
Byzantium dengan Turki Utsmani yang telah melahirkan corak baru yang disebut
corak Utsmaniah. Hal tersebut dimulai sejak Turki Utsmani berhasil menaklukkan
kerajaan Byzantium. Pada waktu itu dalam urusan arsitek, Turki Utsmani
mempunyai seorang arsitek kepercayaan Kesultanan, yang bernama Sinan Pasha,
yaitu seorang ahli bangunan Turki Utsmani yang sangat terkenal. Ia merupakan
seorang muallaf yang berasal dari Anatolia yang menjelma menjadi seorang
arsitek terkenal Kesultanan Turki Utsmani, karya yang monumentalnya adalah
bangunan Masjid Agung “Sulaimaniyah” yang dinamainya untuk mengenang tuannya.
Lihat dalam Ratnasari, “Sulaiman al-Qanuni: Sultan Terbesar Kerajaan Turki
Utsmani” dalam Thaqafiyyat Jurnal Ilmu Budaya, hlm. 58.
[19] Roger B Merriman, Suleiman
the Magnificent, Cambridge: Harvard University Press, 1944, hlm. 130. Lihat
juga dalam. Philip K Hitti, History of Arabs, hlm. 911. Juga Ratnasari,
“Sulaiman al-Qanuni: Sultan Terbesar Kerajaan Turki Utsmani” dalam Thaqafiyyat
Jurnal Ilmu Budaya, hlm. 55.
[20] Heri Ruslan, Sulaeman Al-Qanuni,
Pemimpin Agung dari Abad XVI, (Khazanah: REPUBLIKA, 09 Juni 2008), hlm. 5,
kolom mozaik
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Heri Ruslan menulis hari
wafatnya pada tanggal 5 September Tahun 1566
[24] Amany Lubis, dkk. Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005, hlm. 192
[25] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009 hlm. 199-200 lihat juga, Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 132
[26] M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009 cet.II,
hlm. 314
[27] Ahmad Syafii Maarif, Sejarah
pemikiran dan peradapan Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007,
hlm. 314.
[28] Philip K. Hitti. History of
Arabs. Jakarta: Serambi, 2010. Cet. I, hlm. 911
[29] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 200-201
[30] Akbar S. Ahmad, Citra Muslim,
Jakarta: Erlangga, 1992, hlm. 73
[31] Harun Nasution, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1985, hlm. 87
[32]
http://www.globalmuslim.web.id/2009/10/beberapa-tanggapan-terhadap-khilafah.html
[33] M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, hlm. 314
[34] Ashrafuddin Ahmed, Maddhyajuger
Muslim Itihash, (1258-1800 M). Dhaka: Cayonika, 2003, hlm. 269
[35] Syafik A.
Mughani, Sejarah kebudayaan Islam Di Turki, Cet. I; Jakarta:
Logos, 1997, hlm. 52.
[37] K. Ali, A Study of
Islamic History, Diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi, Sejarah
Islam, Tarikh Pramodern, Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000, hlm.361.
[40] Hassan Ibrahim Hassan, Islamic
History And Culture, Diterjemahkan oleh Djahdan Human, Sejarah
Dan Kebudayaan Islam, Cet. I; Yogyakarta: 1989, hlm. 327
[41] Jannisary artinya organisasi
militer baru, yaitu pengawal elite dari pasukan turki yang kemudian dihapuskan
pada tahun 1826.
[51] Phillip K. Hitti, History
ofThe Arabs; from the Earliest Times To The Present, dialih
bahasakan oleh Cecep Lukman, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, hlm. 911.
[52] Ajid Thahir, Perkembangan
Peradaban Di Kawasan dunia Isalam, Melacak Akar-Akar Sejarah Sosial,
Politikan Budaya Islam, Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.185.
[54] Ajid Thahir, Perkembangan
Peradaban Di Kawasan dunia Isalam, Melacak Akar-Akar Sejarah Sosial,
Politikan Budaya Islam, hlm. 187-188
[56] Ajid Thahir, Perkembangan
Peradaban Di Kawasan dunia Isalam, Melacak Akar-Akar Sejarah Sosial,
Politikan Budaya Islam, hlm. 189-190.
[57] Dewan Redaksi Ensiklopedia
Islam, Ensiklopedia Islam 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm
115.
[58] Kirchener, An Outline History
of Russia, New York: Barnes & Nobile, Inc. 1950, hlm.326.
[59] Syfiq A. Mughni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Turki. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.118.
[60] Derfisme merupakan sistem rekrutmen dan pelatihan dari pada
keluarga penguasa ( ruling class) sebelum mereke menjadi pejabat dikerajaan
Turki Usamni
0 comments:
Post a Comment