Thursday, August 18, 2016

Apa Itu Fasisme

 
"Fasisme berasal dari kata fasces, simbol kekuasaan Romawi yang berbentuk kail dan kapak. Benito Mussolini mendirikan fasisme Italia pada tanggal 23 Maret 1919 dengan dukungan milisi paramiliter yang memakai seragam baju hitam. Program utama fasisme adalah Nasionalisme, produktivisme, anti-komunisme, penghancuran kekuatan rakyat, dan perlunya satu Pemimpin Besar.
Pada tahun 1921, anggota Partai Fasis berjumlah 300.000 orang dan mereka mendudukkan 35 orang di Parlemen Italia. Mussolini menjadi Perdana Menteri di bulan Oktober 1922 setelah tiga tahun penuh kekerasan yang memuncak dalam "Barisan Memasuki Roma" di tahun itu. Tahun 1926, Mussolini mengambil-alih kekuasaan selaku seorang diktator”.

Kita sangat bersalah karena menyebut semua bentuk kediktatoran sebagai fasisme. Penggunaan yang sembarangan dan pukul-rata seperti itu mengaburkan makna. Kegagalan kita mendefinisikan fasisme akan mengarahkan kita kepada kegagalan menemukan strategi-taktik yang tepat untuk menghabisi fasisme itu sendiri.

Apakah semua bentuk kediktatoran dapat disebut fasis ? Apakah kediktatoran Soeharto dapat disebut fasis ?

Kami percaya bahwa bukan demikian halnya. Gerakan fasis di Italia adalah gerakan massa yang besar dan spontan, dengan para pimpinan yang dilahirkan sendiri dari jajaran dan barisannya. Ini adalah gerakan rakyat, yang didanai dan diarahkan oleh kekuatan kapitalis besar. Ia tumbuh dari kalangan borjuis kecil, kaum miskin perkotaan, dan bahkan (sampai tahap tertentu) dari massa-buruh. Mussolini, yang mulanya adalah seorang Sosialis, adalah seorang yang tumbuh dari gerakan itu sendiri. Soeharto adalah seorang anggota elit militer. Ia menempati posisi tinggi dalam jenjang militer dan birokrasi, dan menjabat komandan pada kesatuan pasukan pemukul elit. Ia menjalankan penggulingan kekuasaannya dengan bantuan kekuatan militer dan negara. Kediktatoran di Itali dan Indonesia adalah dua bentuk kediktatoran yang sama sekali berbeda.
Sangatlah penting bagi kita untuk membedakan keduanya. Mussolini mengalami kesulitan dalam memadukan banyak institusi militer tradisional dengan milisia kaum fasis. Masalah ini tidak ada dalam kasus Suharto. Gerakan fasis di Jerman sangatlah mirip dengan dengan gerakan di Itali. Ia adalah gerakan massa, dengan pimpinan sosial yang memakai banyak demagogi keadilan sosial untuk membius massa. Basis sejati bagi fasisme adalah kaum borjuis kecil[1]. Di Itali, basis untuk fasisme amat besar: kaum borjuis kecil perkotaan dan kaum petani. Di Jerman juga terdapat basis yang besar. Kaum kelas menengah baru, pegawai negeri rendahan, dst dapat pula menjadi basis bagi fasisme.

Bagaimana Mussolini Naik ke Puncak Kekuasaan
Dalam keadaan kediktatoran "normal", di mana kekuasaan polisi dan tentara, disertai dengan tirai parlementer, tidak lagi sanggup menjaga status quo –giliran bagi fasisme tibalah. Melalui lembaga fasisme, kapitalisme menggerakkan massa borjuis kecil yang resah bersama gerombolan-gerombolan kaum lumpen proletariat[2] –semua orang yang sebenarnya kapitalisme sendiri yang telah menghancurkan masa depan mereka– untuk berhadapan dengan sektor rakyat lainnya dan menggunakan kekerasan untuk menghancurkan setiap penghalang.
Kaum borjuis menuntut pekerjaan yang sempurna dari fasisme –setelah mereka melancarkan perang saudara, mereka menuntut masa-masa damai untuk beberapa lama. Dan lembaga fasisme, dengan menggunakan kaum borjuis kecil sebagai pendobrak, dengan menyingkirkan tanpa ampun semua halangan, mengerjakan tugasnya dengan sempurna. Setelah kemenangan gemilang fasisme, kaum kapitalis finans[3] segera merengkuh dengan tangan besi semua organ dan institusi kekuasaan, lembaga eksekutif, lembaga pendidikan, apartus negara –tentara, pemerintahan daerah, universitas, sekolah-sekolah, pers, serikat buruh, dan koperasi-koperasi.
Ketika negara menjadi fasis, bukan saja bentuk dan cara kerja negara yang berubah –perubahan ini malah cuma perubahan kecil secara keseluruhan. Yang pertama menderita akibat fasisme adalah kaum buruh: semua serikat buruh dihancurkan dan kaum buruh dibuat frustasi. Lalu, Negara membuat satu sistem yang merasuk jauh ke tengah massa untuk menghancurkan setiap usaha kaum buruh untuk menyatukan dirinya dalam perlawanan. Inilah inti fasisme.
Kaum fasis menghancurkan perlawanan buruh dengan memanfaatkan kekuatan kaum borjuis kecil. Dalam waktu dua tahun sejak 1926, kaum fasis mendayagunakan pisau, pentungan, dan pistol untuk menghancurkan setiap perlawanan. Baru setelah itulah semua organisasi massa independen dicekik dan dihancurkan.
Setelah memanfaatkan kekuatan dobrak borjuis kecil, Mussolini harus pula mencekik mereka dengan kediktatoran. Kekuatan dobrak borjuis kecil ini malah bisa menjadi bahaya kalau ia berbalik menentang Mussolini. Mussolini memakai bentuk kediktatoran militer, Massa kaum borjuis kecil yang tadinya dimobilisasi untuk menghancurkan perlawanan sektor rakyat lainnya pelan-pelan ia tinggalkan. Ia mengandalkan trauma di kalangan rakyat untuk menjaga agar rakyat tidak bangkit berlawan.

Keruntuhan Demokrasi
Mungkin ada pertanyaan: mungkinkan kaum kapitalis mengangkat senjata untuk menghancurkan dirinya sendiri, demokrasinya sendiri ?
Seperti yang dikatakan Hatta, fasisme adalah hasil dari kebangkrutan kapitalisme. Ketika kran demokrasi dibuka lebar, kaum buruh dan seluruh rakyat tertindas memiliki saluran untuk semakin berdaulat. Kekuasaan dan sistem kapitalisme semakin terdesak. Parlemen yang dikuasai kaum kapitalis mulai diambil-alih oleh partai-partai yang berwatak kerakyatan. Kekerasan oleh angkatan bersenjata saja tidak cukup untuk membuat rakyat mundur dari kesadaran berlawannya. Bahkan, sudah semakin sulit untuk menggerakkan pasukan-pasukan tentara untuk berhadapan dengan rakyat. Demoralisasi merajalela di kalangan militer –bahkan mulailah terjadi pembelotan-pembelotan.
Untuk mengatasi hal ini, para kapitalis finans mulai mengeluarkan uangnya untuk mempersenjatai gerombolan-gerombolan paramiliter.[4] Mereka  yang dilatih untuk berhadapan dengan sektor rakyat lain seperti anjing dilatih untuk memburu hewan buruan bagi tuannya.
Fungsi historis fasisme adalah menghancurkan kekuatan rakyat beserta semua organisasi perlawanannya melalui pemberangusan demokrasi ketika kaum kapitalis tak lagi dapat memperalat parlemen dan demagogi demokrasi untuk menghalangi rakyat berkuasa.
Kaum kapitalis menemukan kekuatan yang dapat disogoknya dalam kaum borjuis kecil. Kaum ini (yang telah dihancurkan secara ekonomi oleh kaum kapitalis besar) terjepit di tengah-tengah kekuatan progresif rakyat yang berlawan dan kaum reaksioner yang sedang mempertahankan kekuasaannya. Karena posisi ini, mereka teradikalisir dan menjadi potensi gerakan massa yang luar biasa. Ketika kaum buruh tidak memiliki organisasi yang cukup kuat dan radikal untuk menampung radikalisme kaum borjuis kecil ini, kaum kapitalislah yang meraupnya. Dengan bantuan propaganda fasisme (manipulasi agama dan nasionalisme sempit), kaum kapitalis memakai radikalisme kaum borjuis kecil itu untuk (justru) menjadi tameng berhadapan dengan kaum buruh.

Apakah Kaum Borjuis Kecil Takut akan Revolusi ?
Kaum parlementaris moderat berpandangan bahwa kita tak boleh menakuti kelas menengah dengan kemungkinan revolusi; "Itu terlalu ekstrim…." Ini sama sekali tidak benar. Memang, kaum pengusaha kecil biasanya lebih memilih jalan aman, selama bisnis mereka masih bisa berlangsung aman, "Mungkin besok akan lebih baik…." Tapi, kala keadaan sudah tak berpengharapan lagi, merekalah yang paling siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang paling ekstrim. Kaum borjuis kecil melihat dalam fasisme kemungkinan berlawan terhadap kaum kapitalis besar yang telah menghancurkan hidup mereka. Karena tidak ada partai radikal yang berwatak kerakyatan yang sanggup menampung radikalisme mereka, mereka terilusi dengan propaganda fasisme. Terlebih lagi, mereka melihat bahwa tidak ada partai lain selain fasisme yang berbuat sesuatu secara nyata untuk mengubah keadaan.

Bisnis Tentara
a. Asal-Mula Bisnis Tentara
Negeri muda yang bernama Indonesia itu tidak memiliki banyak uang untuk membiayai perang melawan tentara pendudukan Belanda yang hendak kembali. Laskar rakyat yang harus bertempur dari hari ke hari, dengan terus bergerak menghindari sergapan induk pasukan musuh, sangat membutuhkan logistik untuk menunjang pergerakan mereka. Pemerintahan Republik tidak sanggup menyediakan itu jadi mereka harus mengusahakan logistik itu sendiri.
Dalam khasanah perjuangan revolusioner, dikenal apa yang disebut penghasilan revolusioner. Ini berbentuk pajak-pajak revolusioner untuk menyokong pergerakan dan  usaha-usaha dagang revolusioner yang tidak melalui jalur resmi (baca: melalui jalur yang disediakan negara). Demikianlah, tentara revolusioner menarik sendiri pajak mereka dari penduduk di daerah penguasaan mereka, tentu penduduk yang mampu untuk itu. Demikian juga mereka mengusahakan sendiri jalur produksi dan distribusi pangan bahan baku untuk memberi mereka penghasilan.
Watak revolusioner dari laskar-laskar rakyat memang menuntut mereka untuk melibatkan seluruh rakyat dalam seluruh proses revolusioner. Termasuk di dalamnya penyediaan logistik bagi keperluan tentara rakyat.
Tradisi revolusioner ini ternyata dibajak oleh segelintir perwira militer "profesional" yang gemar berdagang. Mereka menggunakan seragam militernya untuk menggali keuntungan bagi diri mereka sendiri. Mereka bekerja sama dengan para pedagang, dengan sistem bagi untung dalam menyediakan barang-barang kebutuhan secara monopolis. Yayasan Pembangunan Teritorium Empat, yang kini menjadi salah satu tiang bisnis ABRI, didirikan oleh Suharto sekitar masa-masa ini.
Di tangan tentara "profesional", watak revolusioner dari usaha-usaha penggalian logistik itu hilang. Apa yang terjadi adalah murni pencarian keuntungan sebesar-besarnya —eksploitasi dengan dalih demi kepentingan bersama.
Ketika para tentara "profesional" memenangkan pertarungan internal dengan laskar-laskar rakyat, kegiatan dagang ini semakin menjadi-jadi. Apalagi dengan kurangnya kekerapan rotasi, para jendral mendapatkan kesempatan untuk membangun jaringan bisnis dan klik kekuasaannya sendiri di daerah kekuasaannya. Bisnis yang paling sering terjadi adalah penyelundupan: apa yang dilakukan Kol. Warouw (Panglima TT IV/Wirabuana, Sulawesi) yang menyelundupkan kopra dan Suharto sendiri (selama menjabat Pangdam Diponegoro) yang menyelundupkan barang-barang untuk bisnis Bob Hasan dan Liem Sui Liong.

b. SOB dan Pengembangan Bisnis Tentara
Penetapan situasi Darurat Perang (SOB) di tahun 1957 memberi peluang tentara untuk mengembangkan bisnis mereka sampai tahap monopoli. Terlebih setelah pemerintah mencanangkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Pada saat ini, tentara mengambil peluang untuk mengambil-alih berbagai perusahaan Belanda untuk mereka gunakan sendiri. Mereka bahkan menghajar gerakan buruh yang berjuang untuk sebuah pemilikan kolektif atas pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan lainnya. Di sini pulalah muncul satu persaingan yang tajam antara tentara, khususnya AD, dengan PKI yang memberi ba­n­yak dukungan atas pengambilalihan pabrik oleh buruh (apa yang kemudian banyak dirujuk sebagai "aksi-aksi sepihak" dalam propaganda tentara).
Perusahaan yang diambil-alih oleh tentara kebanyakan berupa perkebunan, pabrik gula, perhotelan, juga tentara memperoleh monopoli atas Pertamina. Perusahaan-perusahaan ini diambil-alih begitu saja, dengan para jendral memperoleh apa yang biasa disebut sebagai "saham duduk" —saham yang diperoleh cuma-cuma, tanpa harus bekerja apa-apa sudah dapat penghasilan.
Untuk keperluan penanganan bisnis ini, AD mengirim 100 orang ke Amerika —khusus untuk belajar bisnis dan kapitalisme. Pengiriman para perwira ini berlangsung antara tahun 1964-65. Yang dikirim antara lain adalah Ibnu Sutowo, yang kemudian menjadi Dirut Pertamina.
Tentara juga membentuk banyak yayasan sebagai mesin pengeduk keuntungan. Yayasan-yayasan ini banyak yang berkedok koperasi, namun sesunggunya tidak ada watak sosial di dalamnya. Tiap angkatan memiliki "kopersi"-nya sendiri. Ditambah yayasan-yayasan yang dikelola oleh satuan-satuan tertentu. Misalnya, KOSTRAD yang memiliki Yayasan Dharma Putra, atau Siliwangi yang memiliki Group Propelat.
Ada dua arti penting dari terbentuknya jaringan bisnis tentara ini.
Yang pertama adalah terbentuknya jajaran Jendral Kapitalis-Birokrat. Jendral-jendral ini menjadi kaya dengan memanfaatkan kekuasaan militernya (yang di bawah SOB merupakan kekuasaan yang sangat tinggi) untuk memaksa para pengusaha untuk menyerahkan jatah "saham duduk" itu. Jendral-jendral ini menjadi kaya sementara para prajurit tetap miskin.
Yang kedua, jaringan bisnis tentara ini (terutama AD) menyediakan basis material bagi tentara untuk beroposisi dengan pemerintahan Sukarno. Jaringan yang terpenting yang mereka miliki adalah Pertamina. Pertamina yang dikelola oleh Jendral Ibnu Sutowo dengan dibantu oleh Mayor Harijono dan Mayor Geudong merupakan tambang emas bagi tentara —basis bagi seluruh ekspansi politiknya. Sebagai penyumbang ekspor no. 3 selama dekade 60-an, Pertamina menyediakan dana yang berlimpah bagi militer, khususnya AD. Mereka tidak lagi tergantung pada pemerintahan sipil sehingga mereka bisa berbuat seenaknya. Kalau kemudian mereka memutuskan untuk melakukan kudeta, hal itu dapat dipahami. Mereka mempunyai sumberdaya ekonomi cukup kuat untuk membiayai kampanye kudeta dan menyediakan modal awal bagi rejim yang baru.

c. Bisnis Tentara di bawah Orde Baru
Kemenangan tentara para pergulatan perebutan kekuasaan di tahun 1965-1968 membuka pintu selebar-lebarnya bagi tentara untuk melakukan bisnis. Modal perusahaan-perusahaan yang mereka miliki kini menjadi landasan awal Kapitalisme Orde Baru. Tentara mengubah seluruh landasan ideologi negeri ini menjadi Kapitalisme dengan mereka sebagai pemain utamanya.
Kalau pada awalnya tentara menggunakan alasan kurangnya dana untuk perlengkapan militer sebagai pembenar bagi bisnis mereka, sekarang mereka berkuasa untuk menentukan sendiri berapa anggaran yang mereka inginkan. Tapi, tentara tetap menuliskan angka yang relatif kecil dalam APBN. Mereka justru menempatkan banyak dana non-budgeter (tidak tercantum dalam APBN)  sebagai pengeluaran negara.Apa yang tercantum dalam APBN itu hanyalah 1/3 dari total pengeluaran negara untuk keperluan militer per tahunnya. Sisa dari keperluan ABRI itu dibiayai dari penghasilan Pertamina. Dana dari Pertamina ini digunakan untuk meningkatkan fasilitas yang dapat dinikmati para personil militer. Hal yang sangat penting untuk menjamin kesetiaan mulai dari tingkat terbawah jenjang kepangkatan.
Naiknya tentara ke puncak kepemimpinan negeri juga membuat posisi mereka semakin tangguh dan berkuasa untuk menjalankan bisnis lewat pemaksaan-pemaksaan. Dengan intimidasi, mereka memaksa para pemilik perusahaan untuk menyerahkan saham secara cuma-cuma pada pimpinan militer setempat dan juga pada para Jendral. Mereka juga memperoleh peraturan-peraturan yang membenarkan yayasan-yayasan mereka untuk melakukan monopoli atau memperoleh fasilitas khusus dari negara. Mereka juga menggunakan pengaruh politik mereka untuk menjadi pemegang kekuasaan sebenarnya dari jalur pangan yang seharusnya diatur oleh Bulog.
Kemewahan ini hanya dinikmati oleh para jendral. Para prajurit biasa haruslah puas dengan menjadi centeng-centeng pada perusahan-perusahaan. Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak mengerti tentang bisnis para atasan mereka. Namun demikian, bukan berarti bahwa para prajurit rendahan ini tidak ikut menikmati sama sekali fungsi politik dari ABRI. Yang jelas, mereka bisa naik mobil umum tanpa perlu membayar (para kondektur takut memungut uang sewa dari mereka), mereka bisa makan di warung tanpa bayar (itu merupakan bagian dari perlindungan keamanan yang mereka berikan).
Pendeknya, setiap jajaran militer, dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah, menikmati kemudahan-kemudahan ekonomi yang dihasilkan oleh kekuasaan absolut yang mereka pegang. Kepentingan ekonomi inilah yang membuat mereka harus terus mempertahankan Dwi Fungsi ABRI. Tanpa Dwi Fungsi itu, mereka akan kehilangan semua aset ekonominya.
Daftar lengkap jaringan bisnis tentara dapat dilihat pada lampiran.

d. Cara Berdagang Tentara Menghasilkan Krisis Ekonomi
Dalam kitab-kitab ilmu ekonomi kapitalis sekalipun, yang namanya monopoli sudah terang akan menghasilkan ketidakseimbangan sistem ekonomi. Terlebih lagi, suatu monopoli yang dihasilkan melalui paksaan kekuatan bersenjata. Monopoli yang diperoleh ABRI didapatnya melalui penyitaan-penyitaan dan penggunaan lembaga negara untuk mengesahkan monopoli itu. Monopoli itu tidak dibangun dengan memperkuat landasan perekonomian —dalam arti efisiensi, pemberantasan korupsi, liberalisasi ekonomi-politik. Dengan demikian, perekonomian Indonesia terserang dua penyakit yang pasti menghasilkan krisis: kapitalisme (yang dalam dirinya sudah terdapat kontradiksi yang pasti mengarah kepada krisis) dan militerisme (yang semakin memperparah inefisiensi dalam kapitalisme itu sendiri).
Cara berdagang tentara yang memakai paksaan sebagai alat memperoleh uang itu membuat semua pihak menderita kerugian. Para buruhlah yang menderita paling banyak kerugian dari sistem ini. Akibat politik ekonomi tentara itu, para buruh harus berhadapan dengan pasukan-pasukan berseragam hijau dan berpentungan setiap kali mereka mengadakan pemogokan. Pemogokan diakui di seluruh dunia sebagai alat bagi buruh untuk menuntut peningkatan kesejahteraan. Tapi, di negeri ini, setiap upaya buruh mencari peningkatan kesejahteraan harus dibayar mahal dengan darah, air mata, bahkan nyawa sekalipun. Dalam tiap perundingan dengan buruh, selalu ada tentara. Bukan di lapangan saja tentara menghalangi buruh mendapat upah yang layak. Di meja perundinganpun tentara hadir untuk menyodorkan halangan-halangan bagi buruh. Tentara berkepentingan langsung untuk menjaga upah buruh tetap murah. Ingatlah bahwa mereka memiliki banyak pabrik, belum lagi saham yang mereka punya di berbagai perusahaan lainnya.
Para pengusahapun dirugikan. Mereka harus menyerahkan saham cuma-cuma pada para petinggi militer. Belum lagi “uang keamanan” yang harus mereka serahkan agar kelancaran usaha mereka tidak terganggu oleh datangnya preman-preman paramiliter yang dibina tentara, macam Pemuda Pancasila, AMPI, PPM, atau yang lainnya lagi. Ini membengkakkan biaya produksi sehingga harga barang mereka yang akan dijual di pasar tidak dapat ditekan lebih rendah lagi. Belum lagi kesulitan mereka untuk mengabulkan tuntutan buruh akan upah.. Di satu pihak, para pengusaha tak dapat mengabulkan tuntutan buruh karena biaya yang dirampok tentara kelewat besar. Sesungguhnya, dengan mengambil pola kapitalis internasional, lebih menguntungkan untuk menyogok buruh dengan upah tinggi karena biaya politik untuk menghadapi gelombang perlawanan massa buruh. Tapi, pengusaha tak dapat melakukan ini karena biaya untuk menyogok tentara sudah sangat besar. Seluruh sektor rakyat lain, yang berlaku sebagai konsumen juga sangat dirugikan oleh militerisme ini. Rakyat harus terus menanggung biaya hidup yang tinggi. Harga yang hanya bisa naik tapi tidak bisa turun.
Cara berdagang tentara yang rakus mengeruk keuntungan ini jugalah yang menyebabkan krisis ekonomi yang sekarang dirasakan Indonesia. Karena kerakusan korupsi yang dilakukannya, negeri ini tidak lagi memiliki modal sendiri untuk melakukan proses produksi. Kita bergantung pada pinjaman luar negeri untuk menghasilkan barang-barang —bahkan, pinjaman luar negri inipun dikorup juga!!! Ketika mata uang kita dihantam krisis, kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Kita telah terjebak dalam pusaran hutang. Negeri ini telah bernasib sama seperti rakyatnya: gali lubang - tutup lubang.
Sebelum keterlibatan tentara dalam ekonomi dihapuskan (yang berarti lebih dulu menghapuskan keterlibatan tentara dalam politik), negeri ini akan terus-menerus dihantam oleh krisis.

e. Tentara tidak Dirugikan oleh Krisis Ekonomi
Siapa yang tidak dirugikan oleh krisis ekonomi ?
Yang tidak dirugikan oleh krisis ekonomi adalah tentara dan kapitalis besar. Sekalipun negeri ini tidak memiliki modal cukup untuk bangkit dari krisis, kapitalis-kapitalis besar (bersenjata) itu memiliki banyak cadangan modal dari hasil korupsinya. Berapa banyak yang dicuri Suharto dari negeri ini? Di mana semua itu disimpan? Kalau kita tahu jawaban semua pertanyaan itu, kita akan dapat keluar dari krisis ini dalam waktu dua hari saja.
Oleh karena tentara tidak terkena krisis itulah tentara masih mampu membagi-bagi beras dan sembako pada rakyat. Kelihatannya, mereka sedang berbuat baik. Ketahuilah: uang yang digunakan untuk membeli beras itu adalah uang yang telah mereka curi selama 32 tahun berkuasa di negeri ini.

Dwi Fungsi ABRI/ TNI
a. Awal Mula Organisasi Ketentaraan Indonesia
Pada mulanya, organisasi bersenjata yang dimiliki negeri ini dibangun oleh rakyat sendiri. Penindasan yang ekstrim dari pemerintahan pendudukan Jepang memang membuat rakyat Indonesia tak mampu berbuat banyak ketika itu. Hampir sepanjang pendudukan Jepang tidak muncul satu perlawanan yang efektif terhadap rejim pendudukan Jepang. Tapi, pemerintahan pendudukan itu pulalah yang mengajarkan cara memanggul senjata kepada rakyat dengan pembentukan milisi-milisi bantuan perang semacam PETA. Penindasan yang ekstrim itu pulalah yang mengajarkan kepada rakyat untuk melakukan perjuangan bersenjata ketika saatnya tiba.
Demikian terjadi keretakan dalam wibawa rejim fasis Jepang karena rangkaian kekalahan yang dialami pasukan-pasukan As di berbagai medan dan front, apalagi ketika kekalahan perang telah memba­yang di ambang pintu, rakyat mulai melakukan aksi perebutan senjata Jepang. Aksi-aksi perebutan senjata ini berlangsung hampir tanpa komando. Ini adalah aksi spontan yang timbul dari pelajaran yang diserap rakyat bahwa penindasan tentara pendudukan dilakukan dengan mempergunakan senjata. Maka, senjata itu harus dilucuti untuk menghancurkan kemampuan represi tentara pendudukan itu.
Aksi-aksi perebutan senjata ini menjadi basis terbentuknya milisi-milisi (laskar) rakyat yang mempertahankan tahapan awal kemerdekaan Indonesia. Laskar-laskar ini pulalah yang menggusur struktur pendudukan Jepang. Menghancurkan seluruh tatanan politik pendudukan yang mengandalkan markas dan pos militer sebagai titik sentral kekuasaan teritorial mereka. Laskar-laskar ini pulalah yang berjuang dengan heroik di pertempuran 10 November Surabaya.
Ke mana tentara reguler? Tentara reguler yang terbentuk awalnya sebagai BKR itu tidaklah populer. Bahkan, mereka tidak ikut serta dalam pertempuran Surabaya yang dibangga-banggakan itu. Sedikit saja orang yang mendaftarkan ke sana, kebanyakan dari mantan PETA dan KNIL. Mereka terus berusaha menyingkirkan peran laskar rakyat yang lebih populer. Tentara KNIL itu terutama, dididik di bawah syarat-syarat sebuah militer kapitalis. Mereka memeluk kapitalisme sebagai jalan hidup. Mereka ini jelas anti-rakyat –mereka toh terbukti berperang di pihak penjajah ketika rakyat menuntut kemerdekaannya. Tapi, berhubung di dalam KNIL mereka tidak akan mendapatkan kepangkatan yang tinggi (kepangkatan tinggi hanya untuk perwira kulit putih), mereka membelot ke struktur tentara Republik yang masih muda itu. Pengalaman kemiliteran reguler mereka dapat digunakan untuk menguasai seluruh struktur kemiliteran. Dengan demikian, terlihat bahwa, sejak awal, para tentara reguler “profesional” itu adalah orang-orang yang berambisi dan bertujuan pada kekuasaan.
Untuk laskar rakyat, suatu susunan ketentaraan yang formil, yang mengatur secara ketat kepangkatan dan komando militer tidak ada. Pemilihan komandan masih dilakukan secara demokratis dan setiap orang yang sanggup memimpin dapat memperoleh pangkat yang tinggi. Tentu saja, mereka yang memiliki pengalaman mengorganisir senjata, mereka yang dari PETA atau mantan KNIL, yang biasanya memperoleh pangkat. Tapi, kepangkatan itu bukanlah hasil penunjukan semata.
Sampai dengan terbentuknya TNI di tahun 1947, laskar rakyat-lah yang memainkan peran utama dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Rakyat berada di belakang dan bersama mereka dalam perjuangan. Persatuan militer dengan rakyat benar-benar terjadi karena anggota-anggota laskar berasal dari rakyat, berjuang bersama rakyat, dan menderita demi rakyat. Tidak benar-benar ada garis tegas: mana tentara, mana rakyat.

b. Kemenangan Militer Reguler
Sebagai syarat yang disetujui dalam perundingan Renville, yang terbukti banyak merugikan Republik yang masih muda itu, laskar rakyat harus dibubarkan dan digantikan dengan tentara reguler. Syarat ini sesungguhnya diajukan oleh Belanda sebagai persiapan serangan-serangan lebih lanjut untuk kembali menduduki Indonesia. Pembubaran laskar rakyat dan rasionalisasi susunan ketentaraan itu sesungguhnya adalah perlucutan senjata. Sekian banyak orang harus menyerahkan senjatanya yang berarti berkurangnya kemampuan militer negeri muda itu menghadapi kemungkinan invasi baru dari luar.
Kehancuran laskar rakyat setalah rasionalisasi itu membuka jalan bagi para “tentara profesional” (terutama dari mantan-mantan KNIL) untuk mengambil alih kepemimpinan dalam organisasi bersenjata Indonesia. Mulailah struktur kemiliteran reguler menggeser struktur kepemimpinan laskar rakyat.
Pada saat-saat pendek 1948-1949, belum terasa pergeseran itu. Rakyat masih beranggapan bahwa militer yang reguler ini adalah bagian dari mereka. Masih ada pula sisa-sisa laskar rakyat yang bergabung ke dalam sistem ketentaraan reguler ini.
Namun, pasca penyerahan kedaulatan, mulailah benar-benar terjadi pembubaran secara menyeluruh (disbandment) dari laskar rakyat. Hanya mereka yang ingin masuk dalam ketentaraan “profesional” yang dapat bergabung. Mulailah struktur bersenjata dipisahkan dari susunan kemasyarakatan. Mulailah yang namanya tentara itu hidup berjarak dengan rakyat.

c. Berebutan Peran Politik dengan Sipil
Sejak awal kemerdekaan, laskar-laskar rakyat memainkan peran politik yang penting. Mereka adalah agen perubahan yang sesungguhnya. Mereka yang berkelana ke berbagai tempat untuk menyebarkan berita bahwa Republik Indonesia sudah berdiri. Mereka juga yang menyampaikan segala instruksi dari pimpinan tertinggi Republik muda itu. Mereka juga yang memberi pendidikan politik, melakukan agitasi untuk membangkitkan semangat perlawanan, menerangkan makna dan tujuan kemerdekaan pada mereka yang masih ragu-ragu. Laskar rakyat juga memimpin dalam pengambilan keputusan-keputusan politik, terutama di tingkat lokal. Pendeknya, laskar rakyat memainkan peran kunci dalam sistem politik Indonesia muda.
Peran politik ini tidak digugat oleh rakyat karena para laskar bersenjata itu memang hidup dan berjuang bersama rakyat. Kontrol rakyat terhadap kelakuan laskar rakyat itu dilakukan secara langsung dan nyata karena para laskar berbagi hidup kesehariannya dengan rakyat. Bahkan, sekalipun memakai seragam, seringkali rakyat sendirilah yang membuatkan seragam itu bagi para laskar. Seragam bukan sebagai pembeda, hanya menegaskan pembagian peran dan memudahkan koordinasi di antara para laskar itu sendiri. Para laskar juga tidak takut meninggalkan senjata mereka pada rakyat karena tahu 100% bahwa senjata itu tidak akan dipakai secara sembarangan. Senjata adalah alat perlawanan, bukan alat kekuasaan –pada saat itu.
Setelah tentara “profesional” menguasai struktur ketentaraan, suasana itu berubah. Senjata dan seragam adalah alat kekuasaan Negara untuk mengontrol rakyatnya. Konsep tentara reguler yang berfungsi sebagai kekuatan pemaksa dilaksanakannya undang-undang negara mengubah watak angkatan bersenjata menjadi demikian. Rakyat kini bukan kawan berjuang tapi obyek yang harus diawasi dan diwaspadai.
Apalagi setelah para Jendral “profesional” ini melihat peluang untuk berpolitik di masa-masa di mana kepemimpinan politik sipil belum lagi mantap tersusun. Organisasi ketentaraan yang satu komando, satu aksi, dan bersenjata, merupakan kekuatan politik yang amat besar. Mereka mampu merebut kekuasaan kalau mau. Mereka menggunakan alasan bahwa merekalah yang berjasa dalam Perang Kemerdekaan. Padahal, yang berjasa itu laskar rakyat. Klaim seperti itu perlu untuk mensyahkan tentara menuntut jatah peran politik.
Dan itu benar-benar terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952. Itu adalah hari di mana sebuah percobaan kudeta dilakukan Nasution dengan mengarahkan moncong meriam ke istana. Percobaan kudeta (putsch) ini adalah akibat dari ketidakpuasan tentara terhadap jatah peran mereka. Mereka yang berambisi melihat bahwa organisasi tentara-lah yang paling mampu memimpin Republik yang baru menggeliat bangkit itu.
Peristiwa 17 Oktober merupakan pelajaran berharga bagi rakyat dan kaum gerakan prodemokrasi untuk mewaspadai sepak terjang militer. Bahwa militer cenderung menyelesaikan segala konflik dengan mempergunakan kekerasan senjata.
Atas kemurahan hati Sukarno, Nasution cs yang melakukan percobaan kudeta itu diampuni. Namun demikian, keinginan tentara untuk berpolitik belumlah sepenuhnya berhasil dikikis. Mereka terus mendesakkan jatah yang lebih besar dalam politik.
Titik balik di mana tentara mulai berhasil memperoleh jatah yang penting artinya dalam politik tiba ketika dibentuknya Dewan Nasional di tahun 1958. Tentara berhasil menggolkan konsep bahwa mereka adalah bagian dari apa yang dalam UUD ’45 disebut sebagai “golongan fungsional”. Dengan demikian, mereka berhak untuk duduk dalam Dewan Nasional itu. Sesungguhnya, pembentukan Dewan Nasional itu sendiri sangat inkonstitusional karena Dewan Nasional itu berfungsi sebagai badan pengambil keputusan tertinggi —sementara Parlemen masih ada. Jadi, ada dua badan pengambil keputusan tertinggi dalam satu negara. Inilah titik balik yang menentukan jalannya sejarah Republik ini selanjutnya.
Dewan Nasional inilah yang akhirnya menelurkan konsep Demokrasi Terpimpin yang membutuhkan satu keadaan Darurat Perang (SOB). Dalam keadaan inilah tentara kemudian mengembangkan pengaruh politiknya. Di antaranya, mengembangkan konsep “Jalan Tengah”. Kelihatannya, konsep ini moderat. Tapi, di balik penolakannya terhadap kepemimpinan sipil murni dan junta militer, tentara menegaskan hak mereka untuk berpolitik.
Dengan “konsep Jalan Tengah” ini, Golkar mendirikan apa yang dikenal dengan Golkar sekarang ini. Jadi, Golkar memang partainya tentara –ia dilahirkan oleh tentara, diasuh oleh tentara, dan dibesarkan oleh tentara. Golkar ini sangat berguna sebagai tameng tentara ketika ia mengemukakan alasan bahwa tentara itu manunggal dengan rakyat. Organ yang dapat diajukannya sebagai bukti adalah Golkar itu. Operasi Karya digelar, sementara ahli-ahli ideologi tentara (utamanya Angkatan Darat) mulai mencari pembenaran-pembenaran atas perebutan posisi politik itu. Selain membuat organ-organ politik sebagai tameng, tentara juga membangun jaringan operasi teritorial seperti yang pernah diterapkan pemerintahan pendudukan Jepang. Diaktifkannya susunan Kodam, Korem, Koramil, sampai Babinsa di tingkatan terbawah basis massa. Dengan kehadirannya secara fisik di lapis terbawah susunan kemasyarakatan itu, praktis tentara telah membuat struktur ala kepartaian. Dengan struktur itu, tentara dapat melakukan operasi intelijen untuk bermain teror, infiltrasi, provokasi, dan propaganda.
Konsep “Jalan Tengah” inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Suharto dalam menyusun Dwi Fungsi ABRI setelah tentara berhasil menyapu kekuatan rakyat dengan alasan memberantas G30S/PKI di tahun 1965-1968.

d. Mengupas Dwi Fungsi ABRI
Tentara membuat banyak alasan untuk membenarkan penguasaan mereka terhadap panggung politik negeri ini. Salah satunya yang amat khas militeristik adalah persoalan “stabilitas dan keamanan Nasional.” Di manapun di seluruh dunia, yang namanya rejim militeris selalu  mempergunakan alasan itu. Tidak benar kalau dikatakan bahwa kondisi khas Indonesia, sejarah bangsa ini, yang membuat kebutuhan itu timbul. Padahal, kalau dilihat sejarahnya, tentara juga yang bertanggung jawab atas kondisi krisis di bawah Demokrasi Terpimpin itu. Setelah itu, pembantaian-pembantaian yang berlangsung pada tahun-tahun gelap 1965-1968 itu juga tentara yang harus memikul tanggung jawab. Juga semua pembantaian yang berlangsung di bawah Orde Baru —tentara harus bertanggung jawab atas itu juga.  Tidak ada satupun juga kelompok yang lebih bertanggung jawab daripada ABRI atas segala kekacauan yang timbul di negeri ini.
Satu hal yang juga khas dari sebuah rejim militer adalah penggunaan asas tunggal sebagai topeng untuk membenarkan idologi kekerasan mereka. Nazi dulu menggunakan ideologi Nasional-Sosialisme, rejim militer Afrika Selatan menggunakan apartheid, rejim-rejim militer di Amerika Latin menggunakan nasionalisme. ABRI menggunakan Pancasila dan ultra-nasionalisme untuk itu. ABRI tidak benar-benar berniat menjalankan Pancasila itu karena mereka jelas berpikir secara kekerasan dan sentralisme anti-demokrasi. Tapi, penggunaan Pancasila sebagai topeng amat perlu supaya rakyat dapat dicegah untuk melawan kekerasan penindasan. Supaya ABRI dapat memperoleh alasan untuk menggebuk. Tuduhan-tuduhan anti-Pancasila merupakan tuduhan yang paling dapat membenarkan penindasan ABRI itu.
Tentara selalu menyatakan bahwa musuh ideologi Pancasila adalah liberalisme dan komunisme. Ini hampir persis sama dengan apa yang dikatakan Hitler tempo dulu: kita harus mengganyang kapitalisme dan komunisme. Hitler ternyata mengunakan fasisme (kapitalisme ultra-kanan) dengan kedok Nasional-Sosialisme. Hal yang sama terjadi di negeri ini: ABRI menyatakan menganut ideologi Pancasila padahal yang dianutnya secara membabi-buta adalah kapitalisme. Secara berhati-hati, mereka tidak menyebut Kapitalisme sebagai musuh Pancasila. Secara berhati-hati pula, ancaman dan telaah-telaah terhadap kapitalisme dan liberalisme dihapuskan dari agenda perbincangan politik. Selalu ancaman komunisme yang didengung-dengungkan. Semua ini merupakan hasil pemikiran yang matang dari para ideolog tentara untuk membodohi rakyatnya.
Semua ini diperlukan untuk menutupi watak sesungguhnya dari cara berpolitik tentara yang penuh darah. Bahkan di Amerika Latin, di mana junta militer terang-terangan melakukan pembunuhan dan penculikan di jalan-jalan, propaganda tentang kerarifan tentara juga terus didengung-dengungkan. Ini adalah cara tentara untuk memepengaruhi kesadaran politik massa-rakyat. Bila rakyat mengamini bahwa tentara harus berpolitik, rakyat akan mengamini pula cara tentara berpolitik. Dengan demikian, rakyat akan menahan diri untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan-kekerasan tentara itu. Bila sudah begitu, tentara akan bebas mencapai tujuan-tujuan politiknya.

e. Apakah tujuan politik tentara?
Di atas sudah dikemukakan bahwa cikal-bakal tentara “profesional” itu dididik di bawah ideologi kapitalis. Mereka mewarisi semangat kapitalisme. Tapi, bukannya kapitalisme yang memakai teori-teori dagang sewajarnya. Tentara belajar menjalankan bisnis dengan todongan senjata.
Kapitalisme yang diterapkan oleh tentara jelas memiliki watak militeristik. Mengandalkan kekerasan dan paksaan untuk memperoleh saham gratis dari perusahaan-perusahaan. Mengandalkan kekerasan dan paksaan untuk membuat buruh bekerja dengan upah murah.Tidak ada sektor rakyat yang tidak dirugikan oleh prinsip berbisnis tentara ini. Pers dibungkam. Petani dirampas tanahnya. Ketika rakyat yang kehilangan tanah pergi ke kota untuk mencari penghidupan, mereka dipajaki sambil terus dikejar-kejar oleh pentungan. Para profesional dipaksa berkolusi dengan tentara atau konco bisnisnya untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Para ulama tidak bisa berdakwah sesuai ajaran agama karena harus mempropagandakan bahwa rejim militer ini baik budi.
Jelaslah sudah bahwa seluruh sistem ekonomi-politik yang dipenuhi darah dan kebohongan itu ditujukan untuk melindungi satu kepentingan ekonomi tentara. Kepentingan bisnis belaka.

f. Dwi Fungsi ABRI bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45
Salah satu alasan yang paling sering dikemukakan tentara berkenaan dengan posisi politiknya adalah klaim mereka bahwa mereka harus punya fungsi politik untuk menjaga Pancasila dan UUD 45. Kenyataannya, UUD 45 menyatakan dengan tegas bahwa tentara tidak boleh memiliki fungsi lain selain pertahanan keamanan (pasal 30). Sesungguhnya, satu-satunya alasan yang dapat dikemukakan oleh tentara adalah bahwa Dwi Fungsi itu merupakan hasil dari konsensus yang dibuat dalam era 1966-1968. Konsensus ini dibuat oleh tentara bersama kelompok-kelompok sipil pro-tentara setelah mereka berhasil menghabisi semua kekuatan yang mungkin menentang peran politik tentara itu.
Konsensus ini jelas bertentangan dengan UUD 45, mereka tahu itu. Karenanya, mereka kemudian menyusun satu TAP MPRS di tahun 1968 (cari!) seolah-olah Dwi Fungsi ABRI itu sesuai dengan UUD 45. Ini sangat perlu untuk membodohi rakyat yang mulai bersikap kritis melihat kekejaman-kekejaman yang dilakukan militer dalam pembantaian besar-besaran pasca ’65. Ini perlu juga untuk menegaskan alasan mereka melakukan kudeta: “menegakkan pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen”. Dwi Fungsi ABRI juga jelas bertentangan dengan Pancasila. Kekejian yang dilakukan tentara terjadi sepanjang 32 tahun; berlangsung di seluruh wilayah Republik Indonesia; dan dilakukan oleh setiap tingkatan kepangkatan. Ini jelas bukan merupakan penyelewengan suatu konsep —kekerasan itu bersenyawa dengan militerisme, kekerasan itu tiang pokok militerisme. Kekerasan ini terjadi pada rakyat dari setiap sektor. Kaum alim-ulamapun tak luput dari sasaran kekerasan militer ini. Ini membuktikan bahwa tentara tidak mengenal takut terhadap hukum-hukum Ilahi sekalipun.
Pendeknya, karena persoalan kekerasan itu, Dwi Fungsi ABRI-pun melanggar semua sila dalam Pancasila. Karenanya, mereka merasa perlu untuk membuat Penataran P-4 untuk mencekoki rakyat mengenai peran politik mereka. Penataran P-4 yang dibuat tentara itu merupakan alat propaganda mereka, satu alat untuk mencapai hegemoni (penguasaan kesadaran massa). Kita tahu bahwa isi Partai-4 itu bohong semua, tapi mereka tetap ngotot untuk mencekokkan materi P-4 itu pada rakyat. Ini adalah seturut prinsip yang dikemukakan Hitler 50 tahun yang lalu: “Kebohongan yang dikatakan 1000 kali akan berubah menjadi kebenaran.”



[1]     "Borjuis kecil" (petty bourgeoisie) adalah sebutan bagi sektor masyarakat yang terjepit di tengah pertarungan kepentingan kaum kapitalis dan kaum buruh. Mereka ini biasanya adalah para pedagang kecil, mahasiswa, buruh kontrakan (kuli), juga petani kecil.
[2]    Mereka adalah sektor "tanpa kelas", terdiri dari para preman bayaran, para penjahat kelas teri, dan kaum pengangguran (bedakan dengan kaum buruh yang sedang menganggur menunggu pekerjaan). Mereka ini hidup dari memangsa sesama kaum miskin.
[3]    Kaum kapitalis yang menguasai perbankan
[4]    Paramiliter adalah istilah untuk kelompok-kelompok sipil (biasanya dari kalangan penjahat terorganisir) yang dilatih dan dipersenjatai secara militer oleh instruktur dari kala­ngan angkatan bersenjata.

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: