Oleh: Amriadi Al Masjidiy
(Founder www.tebarsuara.com)
Kita telah memasuki era
yang namanya arus informasi, dimana setiap publik bebas menyampaikan aspirasi
dan menyebarkannya dengan cepat.[1] Kebabasan
ini diatur dalam undang-undang No.40/1999, Pers Indonesia bebas menyiarkan
informasi apa saja yang menurutnya layak disiarkan. Kebebasan ini tidak berarti
kebebasan untuk menghina, memfitnah, dan hal lain sebagainya.
Pers Indonesia sebelum
reformasi tidak sebebas sekarang, dimana dimasa Orde Baru (Orba) pers Indonesia
menganut teori pers pembangunan. Semua pers didorong untuk menyiarkan
berita-berita positif tentang pembangunan. Ketika pers menyiarkan berita
negatif tentang pembangunan maka siap-siap untuk dikuburkan.[2]
Hal ini hampir sama dengan teori pers otoriter, “pers harus menjadi pelayan
negara”. Isi semua pers harus bisa dipertanggungjawabkan kepada penguasa.[3]
Maka tidak heran waktu itu banyak pers yang dibredel akibat berita negatif
kepada penguasa. Majalah Editor, Tabloid Detik, Tempo dan lain-lain pada tahun
1982 harus tutup karena dianggap menyinggung pemerintah.[4]
Seiring waktu berjalan,
pers Indonesia terus berkembang dan terus melahirkan jurnalis yang baru.[5] Asep
Saeful Muhtadi[6]
mengambarkan keadaan pers sekarang sebagai berikut:
“Pada era informasi sekarang ini, baik di
negara-negara maju maupun berkembang, media massa tumbuh pesat. Penemuan dan
perkembangan teknologi komunikasi massa telah mampu memberikan peluang besar
bagi perkembangannya media massa. Karena itu, dunia media kini telah memasuki
hampir setiap sektor kehidupan manusia. Media massa menjadi alat penting dalam
usaha memenuhi hajat hidup manusia. Untuk kepentingan politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan agama, termasuk untuk kepentingan perang dan damai sekalipun. Apa
yang kita kenal dengan istilah Psy-War (Perang urat syaraf)[7],
kini tidak lagi dilakukan melalui media konvensional, tetapi berlangsung lewat
media massa.”[8]
Hal ini tentu tidak
mengejutkan jika hasil penelitian memperlihatkan lebih dari 70% kehidupan masyarakat
kita digunakan untuk berinteraksi dengan media seperti; Internet, Televisi,
Surat Kabar, Radio, Majalah, buku, jurnal, iklan, dan lain sebagainya. Lapangan
untuk penelitian tentang efek media semakin mengembang luas.[9]
Disinilah yang membuat
banyak kalangan untuk memiliki medianya sendiri. Dalam sebuah opini di Tebar
Suara (20/10/16), untuk mendirikan media (di era kebebasan pers) tidaklah
menyulitkan. Bahkan orang yang tidak mengerti ilmu jurnalistik pun bisa
mendirikan media (dengan cara “Copy-Paste”),[10] karena
untuk mendirikan media tidak harus memiliki banyak kru yang bertugas, tetapi
seseorang yang ahli di bidang teknologi multimedia dan digital bisa
menjalankannya.[11]
Sekali
lagi untuk membuat suatu media massa tidaklah susah. Akan tetapi, untuk mempertahankan
eksistensinya bukanlah perkara yang mudah. Perhitungan modal sampai manajemen
redaksional yang baik untuk tetap eksis di dunianya sangat dibutuhkan. Karena
setiap media harus selalu menemukan inovasi dalam menyajikan tampilan dan
konten secara aktual dan akurat.
Manajemen adalah suatu proses khas yang
terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, pergerakan dan
pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang
telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya
lainnya.[12]
Sementara redaksional merupakan sisi ideal penerbitan pers, yang menjalankan
visi dan misi, atau idealisme yang mengurus tentang pemberitaan mulai dari
peliputan, penulisan, hingga penyuntingan berita.[13]
Redaksional juga berarti menyusun kata-kata dalam suatu kalimat sedemikian rupa
sehingga menarik untuk dibaca.[14]
Mengambil sampel
“Majalah Man Tazakka” dalam penelitian ini karena sudah sekala Nasional dan
bahkan teman saya Saiful Bahri[15]
di Malaysia juga pernah melihat majalah tersbut. Majalah Man Tazakka merupakan
media Informasi dan edukasi Zakat, Infaq, Sedekah, Wakaf (Ziswaf) Dewan Da’wah
Islamiyah Indonesia. Majalah Man Tazakka dikeluarkan oleh Lazis Dewan Da’wah
yang terdaftar penerbitannya di LIPI. Dengan demikian Majalah ini legal secara
formal dan tentu dilindungi hukum serta undang-undang hak cipta.
Menurut Syahrul Abidin[16]
Majalah ini sangat menarik, karena selain mencaritakan kisah para pendakwah dan
juga mencaritakan secara lengkap letak geografis, situasi dan kondisi
masyarakat perdalaman kepada khalayak.[17]
Sebagai media Ziswaf tentunya Man Tazakka diedarkan secara gratis kepada siapa
saja. Hal ini bisa dimaklumi karena Lazis[18] manapun
juga pasti memiliki media komunikasi tersendiri.
Ada beberapa sisi yang
menarik dari Majalah Man Tazakka, yang pertama, penyebarannya luas
karena Dewan Da’wah saat ini sudah ada dihampir setiap Kabupaten dan Kota. Kedua,
Majalah Man Tazakka dibagikan secara gratis oleh para da’i Dewan Da’wah dan
simpatisannya. Ketiga, Majalah Man Tazakka yang diasuh langsung oleh Ade
Salamun[19]
selaku Direktur Lazis Dewan Da’wah yang memiliki dana yang kuat, namun
penerbitannya terhambat. Kita tidak bisa mengatakan ini majalah bulanan karena
sering terbit berdasarkan event tertentu. Namun dalam perizinan di LIPI Man
Tazakka tercatat sebagai majalah bulanan.
Ketidak konsistenan
dalam penerbitan ini tentunya dipengaruhi oleh Manajemen Redaksional didalam
majalah Man Tazakka. Hal inilah yang sangat menarik untuk diteliti ada apa
dibelakang dana yang kaut terhambat dalam penerbitan. Padahal informasi yang
ada di Majalah Man Tazakka sangat penting bagi Donatur Dewan Da’wah, para
jamaah dan simpatisannya di seluruh pelosok negeri ini. Man Tazakka selain mengulas
hal-hal yang menarik, kegiatan Dewan Da’wah dan lain-lain, tetapi ada hal yang
sangat penting selain itu. Yaitu informasi Muhsinin (laporan Ziswaf yang
diterima, disalurkan dan dikelola oleh Lazis Dewan Da’wah.
Berikut Susunan Redaksi Majalah Man
Tazakka[20]
Dari
bagan redaksi diatas dapat dilihat sekilas manajemen keredaksional dalam
majalah Man Tazakka. Pimpinan umum Ade Salamun dan pemimpin redaksi (Pemred)
Dwi Budiman,[21]
bagian ahli ada Nurbowo.[22]
Mereka semu adalah orang-orang yang berpengalaman dalam mengurus media. Dengan
demikian sangat pantas untuk digali lebih lanjut tentang manajmen keredaksional
didalam Majalah Man Tazakka.
Manajemen
sendiri terbagi menjadi dua, yaitu bagian redaksi[23]
dan bagian perusahaan.[24]
Bagian redaksi membawahi semua kegiatan yang berhubungan dengan produk, yaitu
konten. Mulai dari perencanaan peliputan, pencarian berita, pengolahan data,
perancangan tampilan (layout). Di dalam sebuah organisasi media, tentu ada yang disebut dengan
dewan redaksi. Dimana dewan redaksi tersebut diikat dengan suatu manajemen guna
menghasilkan output yang bagus, baik dalam konten media maupun sumber daya
manusia itu sendiri. Fungsi utama dari manajemen adalah agar informasi yang
disajikan dapat diterima dengan baik oleh khalayak.
Manajemen
redaksi yang teratur dan terarah sangatlah penting. Manajemen redaksi sendiri
terkait erat dengan proses pembuatan berita hingga berita itu terbit. Tentunya
hal ini menyangkut berita mana yang layak dimuat dan mana yang tidak. Suatu
peristiwa yang terjadi di lapangan akan dinilai penting atau tidaknya untuk
dipublikasikan tergantung bagaimana institusi atau pekerja media melihat
peristiwa itu sebagaimana adanya kepentingan atau kekuatan di redaksi.[25]
[1] Saya pernah menulis tentang “Kita,
Media dan Wartawan” yang dimuat oleh
Tebar Suara (20/10/16), tulisan ini agar masyarakat terinspirasi untuk menjadi
bagian dari pers. Karena jurnalisme
warga bebas menyampaikan aspirasinya asal tidak merugikan pihak lain dan atau
tidak melanggar hukum. Semua yang ditulis oleh warga di media (termasuk media
sosial) sudah menjadi hak publik dengan sendirinya, dan publik berhak
menyiarkan atau menyebarkan tulisan itu secara bebas, meminja izin dari
pemiliknya hanyalah persoalan etika dan tidak mengurangi haknya sebagai publik.
[2] Ana Nadhya Abrar, “ Analisis
Pers (Teori dan Praktik)” Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2011, hlm. 50
[3] Ibid, hlm. 45
[4] Ignatius Haryanto, “Jurnalisme
Era Digital”, Jakarta: Kompas, 2014, hlm. 57
[5] Jurnalis baru biasanya
dialamatkan kepada cyber media (media online)
[6] Asep Saeful Muhtadi merupakan Guru Besar dan juga menjabat Ketua Program Studi Magister
(S2) Komunikasi dan Penyiaran Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung.
[7] Dalam hal ini
penulis pernah mengulas tentang “Pers Yang Terbelenggu Kepentingan” yang dimuat
oleh Acehtrend.co (10/2/16), dimana disini muncul wartawan yang ambal-ambalan
seperti yang dikatakan oleh Muhajir Juli di acehtrend.co 3/2/2016. Wartawan
yang berkerja untuk memeras pemerintah jika tidak mau barter kerja sama dengan
mereka. Didaerah tertentu bahkan pemerintah yang bayar wartawan atau media,
sehingga beritanya yang baik-baik saja. Ada juga yang professional dalam ilmu
jurnalisnya, namun mereka ditikam dengan money politik. Ini juga akan
menulis dengan kata-kata “diduga”, karena kata ini ampuh digunakan untuk
membungkam lawan politiknya. (Lihat selengkapnya: Amriadi Al Masjidiy, Pers
Yang Terbelenggu Kepentingan”, www.acehtrend.co, 10/2/16)
[8] Asep Saeful Muhtadi, “Komunikasi Politik Indonesia”,hlm. 149
[9] Ibid, hlm 147
[10] Ketika
peristiwa bom London, Inggris 7 Juli 2005 yang lalu. Media ternama yang
profesional mengharuskannya mengambil video dari Jeff Jarvis dan Stave
Yelvington, dua warga yang paling dekat dengan tempat kejadian dan memuatnya
dihalaman blog pribadinya. Video yang banyak berbicara tersebut langsung
tersiar dalam televisi BBC. Mana juga wartawan dan kru media yang profesional?
Waktu Tsunami di Aceh, seorang warga biasa mengambil sebuah video amatir (namun
video itu mengambarkan bagaimana dahsyat Tsunami Aceh 2004 yang lalu) dimana
video itu kemudian disiarkan oleh Metro TV dan media nasional lainnya waktu
itu. Ini artinya semua kita memiliki kesempatan untuk berjurnalistik.
[11] Masih ingatkah
anda sosok jurnalis asal London, Rachel McTavish namanya. Meskipun perempuan
dia jurnalis yang disegani, bekerja sebagai presenter di televisi ITV dan radio
ITN. Hebatnya Rachel McTavish dia bisa berkerja meliput tanpa kru, dia
melakukan semuanya sendiri. Mulai dari liputan, editing sampai publikasi
dilakukan sendiri dari rumahnya di Brimingham City. (Amriadi Al Masjidiy,
“Kita, Wartawan dan Media”, www.tebarsuara.com,
20/102016)
[12] Malayu S.P. Nasibun, Organisasi
Dan Motivasi Dasar Peningkatan Produksifitas, Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 1996, hlm.3
[13] Septiawan Santana K, Jurnalisme
Kontemporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 188
[14] Kurniawan Junaedhi, Ensiklopedi
Pers Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1991, hlm.228
[16] Pembaca Majalah Man Tazakka yang
tinggal di Sambas Kalimantan Barat
[17] Testimoni ini diajukan secara
acak berdasarkan pendapat responden melalui telepon genggam. Dalam penelitian
ini kita akan mengambil beberapa testimoni bedasarkan daerah tertentu.
[18] Media Lazis pasti beda dengan
media Lazismu, Lazisnu dan lain-lain
[19] Ade Salamun merupakan direktur
Lazis Dewan Da’wah sekaligus menjabat sebagai Pimpinan Umum Majalah Man
Tazakka.
[20] Diolah dari data keredaksian
Majalah Man Tazakka disetiap Edisinya.
Dalam ilustrasi susunan redaksi terlihat bahwa Majalah sudah Profesional
dalam manajemennya.
[21] Mantan Wartawan Hidayatullah dan
Rektor STID Mohammad Natsir
[22]
Wartawan Suara Islam, pernah memimpin beberapa media cetak dan editor
[23] Bagian redaksi dipimpin oleh Dwi
Budiman
[24] Bagian Perusahaan dipimpin oleh
Ade Salamun, dengan demikian lengkap sudah dalam manajemen keredaksional di
dalam majalah Man Tazakka
[25] Rulli Nasrullah, Teori dan
Riset Media Siber (Cyber Media), Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014,
hlm. 48.
0 comments:
Post a Comment