Penulis: Amriadi
Setelah sidang terbentuk Piagam Jakarta dengan kekuasaan
pemerintahan presiden berada di tangan soekarno dan wakilnya M. Hatta, pada
tanggal 3 November 1945 dikeluarkannya maklumat wakil presiden No. X yang
menganjurkan membuat partai Politik. Perkembangan demokrasi dalam masa revolusi
dan demokrasi Parlementer dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden
Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan ceremonial,
sementara kekuasaan pemerintah yang riil dimiliki oleh Perdana Menteri,
Kabinet dan, Parlemen. Partai politik memainkan peranan sentral dalam kehidupan
politik dan proses pemerintahan. Kompetisi antar kekuatan dan kepentingan
politik mengalami masa keleluasaan yang terbesar sepanjang sejarah Kemerdekaan
Indonesia.[1]
Pada saat yang Partai MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia) yang didirikan pada tanggal 7 November 1945 tidak luput dari
mempertahankan Negara yang baru saja diproklamirkannya. Masyumi merupakan
partai Politik yang menghimpun segenap golongan sosial Islam yang telah lama
eksis sebelumnya seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Alwasliyah dan perti yang
merupakan elemen utama yang mengisi wadah perjuangan Porpol Legendaris ini.[2]
Perubahan politik penguasa dan pernyataan Bung karno yang menolak Usul atau ajakan menjadikan Islam
sebagai dasar negara,[3]
memicu kemarahan para tokoh Islam di berbagai daerah sehingga politik umat
Islam terpecah menjadi dua bagian: Masyumi memperjuangkan agar terevolusi,
Negara berdasarkan Islam dalam anggaran dasar Masyumi yang disahkan KUII (Kongres Umat Islam
Indonesia).[4]
Selanjutnya Darul Islam atau yang Lebih dikenal dengan NII
(Negara Islam Indonesia) memperjuangkan gerilya Jihad, menurut Al Chaidar
penyebab atau faktor orientasi Islamlah yang lebih dominan menyebabkan
terjadinya perlawanan terhadap pemerintah tahun 1949-1964, sangat sulit untuk
disimpulkan bahwa perlawanan NII bukan dipicu Sosial-Ekonomi tetapi faktor
Ideologis.[5]
NII yang hendak mendirikan Negara berdasarkan konstitusi Islam dengan sumber
hukum tertinggi yaitu Al-Qur’an dan Hadits Shahih dimulai dari sejak
diproklamirkan NII pada tanggal 7 Agustus 1949 didesa Malangbong, Kab.
Tasikmalaya, Jawa Barat,[6]
kemudian diikuti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimatan selatan, sampai ke
Aceh pada tahun 1953.[7]
Darul Islam/NII terus melakukan perlawanannya untuk
menggantikan Negara Nasional Menjadi Negara Islam, para tokoh Islam diluar NII
juga terus berjuang dengan agenda yang sama yaitu mewujudkan negara berdasarkan
Syariat Islam lewat konstitusional parlemen. Tokoh Islam yang optimis akan
memenangkan Islam lewat konstitusi yang besar di seluruh pulau jawa,
kalimantan, sulawesi dan Sumatra ternyata keliru besar karena hasil suara umat
Islam pada pemilu pertama Cuma 20.9% dimenangkan Masyumi 18,4% dimenangkan NU
dari 39 juta pemilih dan keluar sebagai pemenang pertama adalah PNI dengan
perolehan suara 22,3% dan keempat diduduki PKI dengan Perolehan suara 16,4%
perolehan suara yang signifikan membuyarkan keyakinan politisi Islam yang
selama ini optimis Islam Menang Mutlak.[8]
Jika keseluruhan perolehan suara partai Islam gabungan
(Masyumi, NU, PSII, dan Perti) hanya memperoleh 43,5% tetapi jumlah kursi di
konstitusi 227 kursi.[9]
Mereka berjuang dalam parlemen dengan mengusulkan Islam sebagai ideologi
berdasarkan argumentasi bahwa:
1. Waktak holistik Islam
2. Keunggulan Ideologi Islam dibanding
dengan Ideologi lain didunia
3. Kenyataan Islam dipeluk mayoritas
Islam
Tapi hal ini tidak berhasil, yang
diterima pancasila sebagai ideologi dengan menghapuskan tujuh kata piagam
Jakarta yang dapat ditafsirkan sebagai kekalahan besar terhadap politik Islam,
perjuangan umat Islam dilanjutkan lebih gencar lewat DI/NII begitu juga lewat
sidang konstituante untuk menggolkan
kembali gagasan Islam yang merupakan Indikasi perjuangan konsisten mereka.[10]
Konstituante
belum selesai merampung tugas-tugas Legislatif, tanpa ada kesabaran presiden
sukarno dengan dukungan angkatan darat mengeluarkan dekritnya untuk kembali ke
UUD45 dengan dijiwai Piagam Jakarta dan Konstuante pun dibubarkan, pada tahun
1957 sukarno menyampaikan konsepsi presiden tentang demokrasi terpinpin yaitu
kabinet gotong royong yang akan melibatkan semua partai yang diwakili DPR.[11]
Konsepsi ini menjadi polimik pro kontra,
dari konsep ini lahirlah konsep Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Konsep
hasil ijtihad sukarno hanya bertahan dari 1959-1966, pada tanggal 30 September
1965 PKI mengambil alih kekuasaan, tetapi gagal sehingga terjadi perubahan
politik besar-besaran semua elemen Islam keluar sebagai penentang utama anti
Komunis dengan diikuti militer dan akhirnya PKI berhasil disingkirkan dan orde
baru pun dimulai[12]
Aksi
kudeta PKI masih sangat gencar dilakukan, pada 11 Maret 1966 suharto melalui
tiga jendral utusannya , Amir Machmud, Basuki Rahmat dan M. Yusuf menemui
sokarno dengan dalih meminta secara Legal tertulis agar sukarno memberi
wewenang kepada suharto untuk menjaga stabilitas negara berupa surat intruksi,
karena sukarno masih di cari-cari oleh PKI. Perintah sebelas Maret (Supersemar)
yang kontroversional dimanfaatkan suharto untuk menumpas PKI. [13]
Suharto tidak membuang kesempatan emas ini, terbukti pada tanggal 12 maret 1967
menjabat menjadi presiden setahun kemudian diangkat secara resmi menjadi
presiden untuk jabatan 5 tahun.[14]
Rakyat sipil yang paling gencar menghancurkan orde lama dan PKI, dan ini
merupakan saat umat Islam untuk menentukan ideologi Negara berdasarkan Islam
tetapi digagalkan Militer, pada tanggal 21 Desember 1966 secara Resmi militer
menyampaikan sikap “akan mengambil
tindakan siapapun, dari manpun, dan golongan apapun yang akan
menyimpang dari Pancasila dan UUD 194 seperti PKI, DI, Masyumi dan
lain-lain.[15] Partai Masyumi yang sekarang sudah diganti
dengan partai baru yaitu Partai Muslim Indonesia (PMI) Suharto dari permulaan
tidak suka Masyumi, orang masyumi pun tidak diizinkan menduduki di struktur PMI. Pada kongres umat dimalang, Mohammad
Roem sudah terpilih dengan terpaksa dianulirkan dan ganti dengan struktur yang
baru. Perjungan tuntutan umat Islam ditolak oleh orde baru:
1.
Tuntutan klasik-lanten agar piagam Jakarta sebagai pintu masuk syariat
Islam kepada kaum muslimin ditolak dalam sidang MPR Sementara tahun 1968.
2.
Tidak diizinkan penyelenggaraan Konggres Umat Oislam Indonesia pada tahun
yang sama.[16]
Setelah tumbang orde baru
dengan asas tunggal pancasila pada tahun 1998 tuntutan umat Islam piagam
Jakarta tidak pernah pudar dikalangan umat Islam. Ditahun 2000 piagam Jakarta
kembali Mencuat pada sidang MPR dibulan
Agustus. Berbagai ormas Islam berusaha untuk kembali Piagam Jakarta ditambah
lagi dua partai Islam memperdebatkan hal yang sama yaitu P3 dan PBB untuk
mengamandir pasal 29 ayat 1 UUD 1945 dari Teks : Ketuhanan yang maha Esa dengan
penambahan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya. Tuntutan ini juga dilakukan diluar parlemen
oleh ormas Islam seperti FPI, KAMMI, GPI, PII, HAMMAS, KISDI, HMI, FPIS dan
Dewan Da’wah pun tidak ketingalan mengambil bagian tekanan politik ektra
parlemen dengan demostrasi di jalan utama Jakarta tepatnya dilapangan gedung
DPR/MPR dalam rangka mendukung amandemen pasal 29 ayat 1 tersebut.[17]
Perjuangan ini tidak berhasil karena dalam
kalangan politik Islam ada beberapa tokoh berpengaruh besar seperti A. Syafi’i
Maarif (PP Muhammadiyah) KH. Hasyim Muzadi (PBNU) Nurcholish Majidjid (Rektor
UPM-Universitas Paramadina Muliya) mereka berpendapat bahwa syariat Islam dalam
konstitusi akan membawa memudharatkan agama maupun Negara sebagai wilayah
publik , akan ada prasangka lama yaitu NII, jika prasangka ini dibiarkan akan
melahirkan ancaman disintegrasi bangsa dan piagam Jakarta itu akan
mendeskriminasikan kelompok lain.[18]
Hal ini sangat disayangkan
karena pendapat ini keluar dari tokoh Islam seperti NU, Muhammadiyah kalau kita
melihat kembali perjuangan kedua Ormas ini dalam memperjaungkan Islam sebagai
dasar Negara sangat berperan penting dalam parlemen.[19]
Tapi perlu di ingat dan bila perlu dicatat agar tidak lupa akan sejarah bahwa
Perjuangan umat Islam untuk menjadikan Negara berdasarkan Islam belum berakhir.
Pada tahun 2013 FUI (Forum Umat Islam) kembali menyeru dengan Simboyan NKRI
Bersyariah harga Mati, hal ini terus diperjuangkan dengan mendiris FCS (Forum
Caleg Syariah) yang dikumandui oleh Ir. KH. M. Al Khathat dengan mengunakan
media promosi utama Suara Islam baik cetak maupun Online.[20]
Berita mengenai NKRI
bersyariah terus disiarkan dengan mengusung 15 calon presiden Syariah tapi yang
paling dominan adalah tokoh yang gerakan garis keras dan tegas seperti Ust. Abu
Bakar Ba’syir (JAT), Habib Rezieq Syihab (FPI) dan Ust. Abu Jibril (MMI).
Akankah terwujud NKRI Bersyariah terwujud lewat FUI? Akan kita saksi nati pada
pemilu 9 April 2014, akankah fraksi Islam menang. Ingat perjuangan baru saja dimulai.
[1]
http://tifiacerdikia.wordpress.com/lecture/lecture-1/ilmu-kewarganegaraan/perkembangan-demokrasi-di-indonesia/28/Desember/2013/
[2] Syahrul Efendi, .....
Habib-FPI Gempur Playboy, hal. 95
[3]
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, hal. 342
[4] Syahrul Efendi, .....
Habib-FPI Gempur Playboy, hal.136
[5] Al-Chaidar, ....... NII S.M.
Kartosoewirjo, hal. 92
[6] Ibid, hal. 96
[7] Ibib, hal. 124
[8] Syahrul Efendi, .....
Habib-FPI Gempur Playboy, hal.137
[9] Ahmad Mansur, Api Sejarah2,
hal. 360
[10] Al-Chaidar, ....... NII S.M.
Kartosoewirjo, hal. 95
[11] Ahmah Mansur, Api Sejarah2,
hal. 387
[12] Ibid, hal. 433
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Syahrul Efendi, ... Habib FPI
Gempur Playboy, hal. 107-108
[16] Ibid, hal. 108
[17] Ibid, hal. 122-123
[18] Ibid, 124
[19] Ibib, 125
[20] Himpunan Brita Utama NKRI
Bersyariah Suara Islam
0 comments:
Post a Comment