Jakarta kota
termacet dan dipenuhi oleh pengamen. Hampir setiap Angkutan Umum (Angkot) ada
pengamen dikota ini. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan bermacam-macam, mulai dari
lagu aspirasi sampai kepada lagu revolusi. Secara tidak langsung pengamen di
Jakarta ada yang menginginkan agar kehidupannya lebih dari pengamen. Apapun
alasannya mereka telah menjadikan Angkot sebagai ruang publik untuk
menyampaikan aspirasi akan kehidupan masyarakat bawah.
Pada
suatu ketika kami naik sebuah Angkot dengan tujuan Pasar Senen ke Bekasi,
ketika sampai di pertengahan jalan seorang pengamen menaiki angkot yang kami
tumpangi. Dia tidak seperti pengamen sebelumnya yang memiliki gitar dan bahkan
ada yang bermodal karokean. Namun pengamen yang ini sangat beda, dia tidak
memiliki gitar dan hanya bermodal tangan dan mulut. Sebenarnya lagu yang dia
nyanyikan kami tidak mendengarnya. Karena ribut dengan suara penumpang lainnya,
walau hanya 7 orang penumpang waktu itu.
Setelah
selesai dia menyanyikan lagunya, dia sedikit berceramah tentang dirinya dan
sekali lagi kami tidak peduli dengannya. Setelah itu dia berjalan untuk meminta
uang kepada penumpang. Ketika sampai pada seorang anak muda, dia pun meminta
padanya seperti pada penumpang sebelumnya yang sedikit memaksa. Namun pemuda
ini hanya tersenyum saja ketika dia meminta uang padanya. “Mas hargai sedikit
kami! Kami ini juga manusia bukan monyet. Kita hanya minta untuk makan bukan
untuk kaya Mas”. Tegas sang pengamen kepada pemuda itu.
Namun
sekali lagi pemuda itu Cuma tersenyum sambil menjawab, “Abang duduk dulu
disini” sambil menunjukkan kursi yang kosong disampingnya. Sang pengamenpun
duduk ditempat yang dia persilahkan, karena pengamen tersebut melihat pemuda
itu mengeluarkan dompetnya. “Abang tadi berkata, meminta duit untuk makan saja
bukan untuk kaya. Tapi abang salah, saya sudah dua hari tidak makan, namun saya
bisa kuliah dan ini kita mau balik ke Tambun untuk memcari teman agar bisa
untuk utang terlebih dahulu sebelum mendapatkan kerja”. Jawab sang pemuda
dengan suara agak sedih.
Pengamen
hanya diam saja dan tidak berkata apapun. Pemuda itu melanjutkan pembicaraannya
dengan pengamen tersebut. “Abang memang berani, saya ucapkan selamat untuk
abang. Saya seorang pendakwah disini dan telah magang di beberapa daerah
perdalaman di Indonesia. Maka dari itu saya tau bahwa tangan diatas itu lebih
baik daripada dibawah. Karena itulah saya tidak mengadu pada siapapun untuk
keadaan saya hari ini. Tapi sebagai pendakwah saya sadar, mungkin tuhan kali
ini lagi mnguji saya. Ini ada uang di dompet 10.000 rupiah. Abang ambil 2.000
dan 8.000 lagi untuk saya bayar Angkot ini.”
Sang
pengamen mengabil selembar dua ribuan itu, dan bergegas pergi. Jakarta
merupakan Ibu kota Negara Indonesia. Tapi sayang banyak orang kelaparan disana.
Tapi itu belum seberapa dibanding anak-anak yang ada di Palestina, Suriah dan
tempat komplik lainnya. Sang pengamen masih memiliki ruang publik untuk
menyampaikan aspirasinya dan keadaan hidupnya. Tapi bangaimana dengan anak-anak
yang berpendidikan seperti pemuda mahasiswa dakwah tadi.
Dia
tidak memiliki ruang publik untuk menyampaikan aspirasi dan inspirasi kepada
masyarakat banyak. Walaupun ada ruang publik namanya juga Ustadz pasti dompet
berisi, dan sangat tidak pantas pula jika ustadz kerja mengemis layaknya
pengemen, hanya dengan modal ceramah misalnya. Pengamen walaupun banyak, tapi
memiliki ruang publik yang memadai untuk diterima keadaannya oleh masyarakat
yang dermawan. Walaupun ada beberapa Angkot juga melarang pengamen, layaknya
Transjakarta, Kopaja dan Kareta Api.
Ruang publik yang masih
tersedia buat pengamen maka seharusnya mereka tidak memaksa orang untuk meminta
uang, karena disaat yang sama ada diantara penumpang yang lebih menderita
daripada pengamn itu sendiri. Mereka tidak mau kasih bukan karna pelit tetapi
lagi darurat, mungkin anaknya lagi sakit, mungkin dia lagi banyak untang dan
lain sebagainya. Ini yang seharusnya menjadi pertimbangan kepada para pengamen.
Jakarta
yang banyak akan gedung bangunan tapi tidak sedikit anak-anak yang melahan
lapar dan dahaga. Untuk menyampaikan Aspirasi masyarakat bawah maka pemerintah
seharus membuat ruang publik untuk mereka. Bukan undang-undang anti kritik yang
dikeluarkan. Tapi ruang publik untuk umum semua masyarakat. Agar semua
keinginan rakyat bisa terpenuhi dan terawasi oleh rung publik tesebut. Semoga
kota Jakarat akan semakin baik kedepannya dan tidak ada lagi Istilahan,
“Sejahat-jahat ibu tiri lebih jahat lagi ibukota”.
0 comments:
Post a Comment