Oleh:
Amriadi, A.Md
A.
Pembubaran
Masyumi Bedirinya Dewan Da’wah
Masa permulaan
demokrasi terpimpin tahun 1957 mencatat Masyumi bukan saja tambah renggang dan
asing bagi Soekarno melainkan juga tambah bertentangan secara konfrontatif
dengan Presiden. Dengan Natsir sebagai Ketua Umum Partai, garis kebijaksanaan
politik Masyumi terhadap Soekarno tambah keras, ia tidak dapat berkompromi
dengan Soekarno dalam soal demokrasi.
Dalam mekanisme
pelaksanaan demokrasi terpimpin anggota-anggota yang duduk dalam Dewan DPRGR
(Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) adalah mereka yang disukai Soekarno,
dan bertugas mengiyakan Move politiknya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa
orang-orang Masyumi dan PSI yang menentang politik Soekarno harus tersingkir.
Di mata Masyumi sistem demokrasi terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa dan
negara. Semangat inilah sebagai idealisme martir Masyumi, yang mempunyai resiko
politik yang besar bagi golongan modernis Muslim di Indonesia. Masyumi sebagai
cagar demokrasi tampaknya tidak punya pilihan lain kecuali menghadapi Soekarno
dan sistemnya.
Harapan Masyumi bahwa
rakyat akan berpihak kepada demokrasi, tidak kepada sistem otoriter, ternyata
sia-sia. Sementara itu, PKI yang sangat lihai dalam manipulasi politik,
berpihak sepenuhnya kepada sistem Soekarno. Pada masa Demokrasi Terpimpin,
jargon politik PKI tentang golongan “kepala batu” sudah menyatu dengan jargon
politik Soekarno yang juga menilai Masyumi sebagai kekuatan “kepala batu” yang merintangi
penyelesaian revolusi Indonesia. Karena itu, Masyumi tidak patut lagi hidup
pada era demokrasi terpimpin. Dengan demikian, di antara prinsip demokrasi
terpimpin sebagaimana dikemukakan oleh Soekarno “tanpa otokrasi diktator” tidak
berlaku bagi Masyumi. Masyumi harus dikorbankan “demi revolusi”. Semua ini
adalah kepandaian manuver PKI dengan bantuan penuh dari Presiden Soekarno.
Akhirnya pukulan
terakhir dialami partai Masyumi yang gigih mempertahankan prinsipnya ini. Pukul
05.20 pagi tanggal 17 Agustus 1960 hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, Pimpinan Pusat Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden
yang mengemukakan bahwa Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari setelah
keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960. Pimpinan partai Masyumi harus menyatakan
partainya bubar, pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya.
Kalau tidak, partai Masyumi akan diumumkan sebagai partai terlarang. Kurang
dari sebulan demikian yaitu tanggal 13 September, pimpinan pusat Masyumi
menyatakan partainya bubar. Ini tidak berarti bahwa Masyumi menyetujui
instruksi Presiden.
Pembubaran Partai
Masyumi oleh Presiden Soekarno ternyata meninggalkan luka politik cukup
mendalam bagi masyarakat Indonesia, terutama kelompok yang mengembangkan
aspirasi Islam modernis, kata Remy Madinier, pengamat sejarah tentang RI dari
Perancis. “Dalam periode 1950-an, Partai Masyumi menunjukkan kegiatan
bercirikan Islam modern yang cukup terstruktur di tingkat parlemen maupun
kelompok massa. Dari sisi kedekatan pribadi Muhammad Natsir selaku pimpinan
Masyumi dengan Presiden Soekarno juga sangat baik, walaupun unik,” ujarnya
dalam percakapan dengan ANTARA di Pusat Kajian Asia di Paris, Jumat.
Hanya saja, katanya,
Partai Masyumi memainkan peran politik yang terlalu keras menghadapi kekuatan
kelompok komunis dan nasionalis di saat parlemen RI membahas pembentukan
Undang-Undang Dasar (UUD) di akhir tahun 1950-an. Madinier, yang meneliti
sejarah Partai Masyumi selama enam tahun terakhir ini menilai, kedekatan pribadi
Natsir dengan Soekarno malah menciptakan “benturan kepentingan berpolitik”.
Konon setelah
berakhirnya periode Masyumi, Warga Bulan Bintang mengalami kevakuman politik
namun beberapa saksi mengutip dan menggarisbawahi pesan Mr. Mohammad Natsir
bahwa; Keluarga Besar Bulan Bintang harus bisa hidup, berkarya dan berjuang
dimana saja untuk kepentingan ummat, bangsa dan negara laksana cendawan yang
tumbuh di musim penghujan. Diskriminasi atas Masyumi pada masa rezim orde lama
berlanjut dengan kebijakan politik rezim orde baru yang menolak merehabilitasi
Partai Masyumi.
Menyikap hal ini
Keluarga Besar Bulan Bintang terbagi dalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok yang beralih ke gerakan dakwah dan mendirikan Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII) dengan M. Natsir, Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara,
Anwar Haryono dan Yunan Nasution sebagai tokoh sentralnya. Setelah dilarang
untuk beraktifitas dalam dunia politik, mereka melihat celah lain untuk
berkiprah di masyarakat, yakni dengan berdakwah.
Kedua,
kelompok yang tetap berada di wilayah politik dengan membentuk Par-musi (Partai
Muslimin Indonesia), sebuah partai yang sengaja didirikan sebagai pengganti
Masyumi dan direstui pemerintah Orde Baru.
Ketiga,
kelompok teknokrat yang lebih pragmatis. Mereka adalah bekas anggota dan
simpatisan Masyumi dan mendapatkan karirnya melalui Golkar atau organisasi
underbow-nya. Di luar ke-tiga kelompok ini, terdapat juga sekelompok kecil
anggota dan simpatisan Masyumi yang terlibat dalam gerakan DI/TII dan NII.
B. Lahirnya Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Mohammad Natsir memilih dakwah sebagai wadah
perjuangannya bukan merupakan suatu kebetulan belaka, melainkan sebagai
alternatif lain setelah perjuangannya melalui politik dibubarkan oleh Soekarno.
Masa Orde Lama (1959-1965) tercatat sebagai masa paling gelap dalam sejarah
kehidupan kebangsaan Indonesia. Persiden Soekarno mencanangkan Konsepsi
Presiden yang secara operasional terwujud dalam bentuk Demokrasi Terpimpin.[1]
Para pemimpin nasional seperti Mohammad Natsir,
Mochtar Lubis, Isa Anshari, Assaat, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanoeddin
Harahap, M. Yunan Nasution, Buya Hamka, Kasman Singodimedjo dan Muttaqin yang
bersikap kritis terhadap politik Demokrasi Terpimpin, ditangkap dan
dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Puncak dari masa penuh kegelapan itu
ialah pecahnya peberontakan berdarah G.30.S/PKI. Setelah Mohammad Natsir keluar
dari tahanan pada tahun 1967 dan berharap dapat menghidupkan kembali lembaga
politik (Masyumi), namun ternyata tidak terwujud.
Sebagai solusi terhadap persoalan tersebut, maka
pada 26 Februari 1967 atas undangan pengurus masjid Al-Munawwarah Kampung Bali
Tanah Abang Jakarta Pusat, Mohammad Natsir bersama para alim ulama dan
tokoh-tokoh lainnya[2]
berkumpul untuk bermusyawarah, membahas, meneliti dan menilai beberapa masalah,
terutama yang berhubungan dengan usaha pembangunan umat. Pertemuan itu juga
membahas tentang usaha mempertahankan akidah di dalam kesimpangsiuran
kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat serta menyimpulkan dua hal sebagai
berikut:
a. Menyatakan
rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam
usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan
umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi serta atas
usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
b. Memandang
perlu untuk lebih meningkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi
sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang
dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah
tersebut.[3]
Untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di
atas, musyawarah para ulama tersebut merumuskan beberapa persoalan, antara
lain:
a. Mutu
dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan system perlengkapan,
peralatan, peningkatan teknik komunikasi yang dirasa perlu dalam usaha
menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat
dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan lain
terhadap masyarakat Islam.
b. Planning dan integrasi yang di
dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research)
dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah
ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.[4]
Dalam menampung persoalan-persoalan yang mengandung
cakupan yang luas dan sifat yang kompleks, maka musyawarah ulama tersebut
memandang perlu dibentuknya sebuah wadah yang kemudian dikukuhkan keberadaannya
melalui Akte Notaris Syahrim Abdul Manan No. 4, tertanggal 9 Mei 1967.
Organisasi tersebut kemudian didirikan dalam bentuk yayasan yang diberi nama
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, di singkat dengan sebutan DDII atau Dewan
Da‘wah saja. Pengurus Pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota negara dan
bila dimungkinkan memiliki perwakilan di tiap-tiap ibukota daerah tingkat I
serta pembantu perwakilan di tiap-tiap ibukota daerah tingkat II seluruh
Indonesia.[5]
Didirikannya Dewan Dawah Islamiyah Indonesia oleh
Muhammad Natsir, dianggap sebagai pilihan cerdik guna menghindari dari konteks
keormasan dan partai politik. Dalam sebuah wawancara, Mohammad Natsir
mengibaratkan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia sebagai mesin pembangkit tenaga
listrik yang ditempatkan di belakang rumah, dalam suatu tempat yang dirancang
khusus di bawah tanah agar tidak menimbulkan
kebisingan. Dengan fungsi dan tempat seperti itu, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
diharapkan dapat menerangi umat tanpa menimbulkan suara berisik dan ‘polusi yang
bersifat politis.’[6]
Musyawarah alim ulama kemudian merumuskan program
kerja sebagai penjabaran dari landasan kebijakan di atas. Program kerja yang
ditetapkan oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia pada saat itu adalah sebagai
berikut:
Ø Mengadakan
pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan pelatihan bagi da‘i dan
calon-calon da‘i.
Ø Mengadakan
research (penelitian) atau membantu mengadakan penelitian yang hasilnya
dapat segera dimanfaatkan bagi perlengkapan usaha para da‘i pada umumnya.
Ø Menyebarkan
aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur atau siaran lain yang
ditujukan untuk melengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan,
baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan mutu
dan hasil dakwah. Usaha ini diharapkan dapat mengisi kekosongan-kekosongan di
bidang spiritual yang diperlukan dalam masyarakat.[7]
Selain program kerja di atas, Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia juga menetapkan enam program bidang garapan, yaitu:
ü Memperluas
pengertian dakwah dari pengertian hanya sebagai tabligh kepada pengertian
yang lebih luas, yaitu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagai
kelanjutan risalah Nabi Muhammad.
ü Mengembalikan
fungsi masjid sebagai pusat pembinaan masyarakat seperti pada zaman Nabi
Muhammad.
ü Memberi
pengertian kepada umat bahwa tugas dakwah adalah fardu ‘ain bagi setiap
muslim.
ü Menggiatkan
dan meningkatkan mutu dakwah.
ü Meningkatkan
usaha pembentengan dan pembelaan akidah umat.
ü Membangkitkan
ukhuwah islamiyah.[8]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pertumbuhan
dan perkembangan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia tidaklah dapat dipisahkan
dari peran Mohammad Natsir di dalamnya. Fokus Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
ketika pertama kali didirikan adalah dalam rangka mengusahakan pembangunan
umat, juga tentang usaha mempertahankan akidah di dalam kesimpangsiuran
kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Di awal berdirinya, program utama
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia lebih terfokus dalam meningkatkan mutu dakwah
yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan system perlengkapan,
peralatan, peningkatan teknik komunikasi yang dirasa belum memadai serta mengaktifkan
jamaah masjid sebagai inti dakwah umat Islam.
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga mempersiapkan
upaya-upaya dalam menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha
yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut kepercayaan, aliran serta agama lain
terhadap masyarakat Islam. Dengan demikian, pada masa tersebut Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia berusaha untuk melaksanakan pemantapan akidah umat Islam
agar terhindar dari berbagai masalah yang dapat mengganggu kemurniannya
(murtad, syirik, tahayul dan khurafat) dengan merumuskan berbagai program dalam
rangka meningkatkan kualitas dakwah Islam, khususnya di Indonesia.
C. Aktifitas Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
Setelah dibentuknya program, Mohammad Natsir mulai
memastikan langkahlangkah dakwah Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, baik yang
konseptual maupun yang praktis. Di antaranya adalah melakukan penelitian ilmiah
dan kemasyarakatan serta menyebarluaskan perwakilan Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia ke seluruh penjuru tanah air. Di masa awal tersebut, Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia bekerjasama dengan Gerakan Muballigh Islam Lampung dengan
menyelenggarakan pelatihan juru dakwah seprovinsi Lampung di Tanjung Karang.
Sementara untuk mendinamiskan jamaah masjid sebagai inti umat Islam, Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia menyelenggarakan proyek percontohan dengan membina
Balai Kesehatan Rakyat Jati Baru yang bekerja sama dengan Lembaga Kesehatan
Mahasiswa Islam (LKMI).[9]
Secara umum, aktifitas Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir terdiri dari dua macam yaitu
melakukan pembinaan dan pembelaan terhadap Islam.[10]
Dua aktifitas utama tersebut diaplikasikannya dengan pelaksanaan berbagai
kegiatan yang dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan.
1. Aktifitas pembinaan
Aktifitas pembinaan diaplikasikan oleh Mohammad
Natsir dengan pelaksanaan berbagai kegiatan yang meliputi pembinaan kader,
membina masjid, pengiriman da‘i dan pembinaan daerah terpencil serta
penerbitan yang akan dijelaskan sebagai berikut.
a) Pembinaan
kader
Pembinaan kader
merupakan aktifitas inti Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia yang dilaksanakan
baik di perkotaan maupun ke pelosok-pelosok desa. Pembinaan kader tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas ilmu dan wawasan keislaman para pembina
dan penggerak umat di tengah-tengah masyarakat. Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia di masa kepemimpinan Mohammad Natsir telah melaksanakan berbagai
macam kegiatan pengkaderan dan pelatihan dakwah yaitu: penataran para imam dan
khatib, penataran para pengurus masjid dan musalla, penataran pengurus remaja
masjid, penataran ketua-ketua Osis, penataran pengurus majelis ta‘lim,
penataran dakwah di kampus-kampus (mahasiswa) dan lain sebagainya.[11]
Tujuan
pengkaderan ini adalah untuk membentuk kader-kader da‘i yang kreatif,
inovatif dan produktif yang dapat mengambil berbagai inisiatif (kegiatan
dakwah) untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi, sesuai dengan ungkapannya,
“kita mengkader untuk mencetak jenderal-jenderal lapangan, bukan prajurit-prajurit.”
Hal ini berarti bahwa satu jenderal lapangan yang ahli strategi lebih berharga
dari seribu prajurit yang hanya menunggu perintah.[12]
b) Membangun
dan membina masjid
Mohammad Natsir
mengatakan bahwa masjid merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat. Dengan
demikian, masjid dipandang sebagai lembaga pembinaan pribadi dan jiwa
masyarakat. Oleh karena itu ia menganggap penting memberi perhatian khusus
terhadap pembangunan masjid dan pembinaan masjid, baik di kota maupun di
pedesaan. Perhatiannya terhadap pembangunan intern umat Islam melalui masjid,
terutama masjid-masjid di pedesaan merupakan sesuatu yang utama. Ini karena
dengan masjid tersebut, umat Islam dapat mengkonsolidasikan dirinya terhadap
nilai-nilai Islam yang dianutnya. Wujud dari konsolidasi tersebut akan
melahirkan umat Islam yang memiliki kepribadian sebagaimana yang dikehendaki
Islam. Program ini juga meliputi pembangunan, pengelolaan, penyediaan tenaga
khatib dan muballigh bagi sejumlah masjid, khususnya di Jakarta.
Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia menghimpun khatib serta muballigh dan memberikan
pengarahan kepada mereka setiap hari Jumat sebelum bertugas pada masjid yang
memerlukan. Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia mengatur penunjukan khatib dan
penempatannya di suatu masjid melalui koordinator pengiriman khatib. Untuk
meningkatkan ta‘mir (kemakmuran) masjid, Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia mengirimkan da‘inya sesuai dengan kebutuhan ilmu dan momentum
yang diharapkan.[13]
Semasa
kepemimpinan Mohammad Natsir, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga membantu
pembangunan masjid dari segi fisik. Selama periode 1986-1990 misalnya, Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia telah membangun 168 mesjid/musalla di kompleks
pesantren, kompleks perumahan, lokasi transmigrasi, kampus perguruan tinggi,
kompleks rumah sakit, daerah suku terasing, kompleks Scapa Polri, dan kompleks
Lembaga Pemasyarakatan. Di bidang ini, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga
telah membantu pembangunan berbagai masjid kampus, melengkapi
perpustakaan-perpustakaan di masjidmasjid. Di antara masjid yang telah
dibinanya adalah masjid Salman ITB dan masjid Arif Rahman Hakim di kampus
Universitas Indonesia, Jakarta.[14]
Ikut sertanya
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia secara nyata dalam masyarakat membuktikan
bahwa lembaga yang dimotori oleh Mohammad Natsir itu bukan sekedar organisasi
teoritis, tetapi juga praktis.
c) Pengiriman
da‘i dan pembinaan daerah terpencil
Thohir Luth
menjelaskan bahwa dalam rangka pembinaan umat Islam terutama di pedesaan,
pedalaman dan daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari berbagai
pengaruh terhadap pendangkalan akidah dan pemurtadan, Mohammad Natsir melalui
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia mengirimkan da‘i ke tempat-tempat
tersebut. Para da‘i umumnya direkrut dari masyarakat desa itu sendiri.
Mereka dididik, dilatih dan dibekali dengan berbagai ilmu serta keterampilan
yang diperlukan dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman da‘i
ke berbagai daerah diharapkan umat Islam yang berada di daerah-daerah
tersebut dapat terbina keislamannya.[15]
Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia telah mengirimkan da‘i ke berbagai pelosok tanah air
hingga ke daerah terpencil seperti Mentawai dan Irian Jaya. Sejak pemerintah
menggalakkan program transmigrasi, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah
mengirim da‘i ke lokasi-lokasi
transmigrasi dan daerah-daerah terpencil lainnya. Dalam hal ini, Mohammad
Natsir mempergunakan pendekatan ‘bawah-atas.’ Artinya, jika ada suatu lokasi
yang memerlukan da‘i, maka da‘i yang dikirim adalah da‘i yang
sudah disepakati oleh masyarakat setempat. Sebab, bagaimanapun da‘i tersebut
pada akhirnya akan hidup berdampingan dengan masyarakat setempat.[16]
Langkah Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia ternyata telah membangkitkan semangat
tolong-menolong dalam kebaikan dari lembaga-lembaga dakwah lainnya.
Muhammadiyah dan Yayasan Kiblat Centre kini terhitung sebagai lembaga yang giat
mengirim da‘i ke lokasi transmigrasi dan suku-suku terasing.[17]
d) Penerbitan
Mohammad Natsir
tidak hanya berdakwah dengan cara bi al-hal dan bi al-lisan saja.
Ia juga merancang dakwah bi al-kitabah, yaitu melalui tulisan-tulisan
yang diorganisasi oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Mulai dari brosur
berupa lembaran sampai pada majalah maupun buku-buku yang ditulisnya sendiri
maupun oleh orang lain. Dakwah bi al-kitabah yang dilaksanakan Mohammad Natsir
dapat menjangkau semua pihak, mulai dari golongan awam, menengah, maupun
terpelajar. Tujuannya adalah memberikan informasi keagamaan dan sosial
kemasyarakatan pada masyarakat secara luas, agar mereka dapat memahami agama
dan persoalan- persoalan sosial secara tepat. Ada lima terbitan dakwah yang
dikelola oleh Mohammad Natsir dan semuanya dikerjakan di kompleks sekretariat
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Adapun kelima terbitan tersebut adalah
sebagai berikut.
Pertama, Majalah
Serial Media Da‘wah yang dititikberatkan sebagai konsumsi golongan
terpelajar dan menengah. Kedua, Majalah Suara Masjid yang isinya lebih
difokuskan untuk konsumsi masyarakat awam yang berisi uraian-uraian tentang
tafsir, hadith dan lain-lain. Ketiga, Serial Khutbah Jum‘at, khusus
memuat bahanbahan khutbah Jumat untuk para da‘i dan masyarakat luas.
Isinya kemudian ditambah dengan manajemen dan pembinaan masjid. Keempat, Majalah
Sahabat yang merupakan bacaan agama dan bimbingan untuk anak-anak dalam
membentuk generasi yang saleh. Kelima, Buletin Da‘wah yang terbit setiap
hari Jumat yang isinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh
semua belah pihak. Di samping itu, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia pada tahun
1988 mulai menerbitkan Tabloid Al-Salam. Isinya menyangkut masalah
keagamaan dan laporan masalah-masalah kegiatan sosial keagamaan. Dengan
terbitan-terbitan tersebut, terjalinlah hubungan yang erat dengan
wilayah-wilayah sedikit banyaknya juga dikembangkan bahan-bahan dakwah yang
dapat dikatakan “satu nafas” dan “satu bahasa.”[18]
2. Aktifitas pembelaan
Aktifitas pembinaan Islam diaplikasikan oleh
Mohammad Natsir dengan melaksanakan berbagai kegiatan meliputi pengamat kebijakan
pemerintahan, membendung kristenisasi dan menggalang persatuan umat Islam yang
akan dijelaskan sebagai berikut.
a)
Pengamat
kebijakan pemerintahan
Di masa Orde Baru, Mohammad Natsir memfokuskan
sasaran dakwahnya pada penguasa/pemerintah. Adapun tujuan yang ingin dicapainya
adalah perbaikan dan terciptanya iklim hidup yang baik dalam bermasyarakat dan
bernegara. Thohir Luth menyebutkan bahwa upaya lain yang dilakukan Mohammad
Natsir dalam meluruskan kebijakan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru
adalah sebagai berikut.
Ø Mengoreksi
dan meluruskan kebijakan Presiden Soeharto yang disampaikannya dalam berbagai
kesempatan baik melalui pidato, ceramah dan tulisannya.
Ø Bergabung
dalam kelompok Petisi 50[19]
untuk menyusun pernyataan keprihatinan terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah
kekuasaan Soeharto.
Ø Memberikan
imbauan kepada pemerintah, anggota DPR, Ketua beserta Anggota Mahkamah Agung
RI, para cendekiawan dan para alim ulama agar senantiasa mengingat dan
menghayati kembali apa yang telah diikrarkannnya di depan DPR-GR tanggal 16
agustus 1967 yang menetapkan bahwa “Orde baru lahir sebagai reaksi dan untuk
mengadakan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan Orde
Lama.”[20]
b) Membendung
kristenisasi
Ø Mohammad
Natsir menaruh perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia. Perhatian
khusus ini dituangkan dalam bentuk konkret dengan melakukan tiga upaya, yaitu:
mengirimkan da‘i Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ke pelosok daerah.
Ø menulis
dua karya ilmiah berjudul Islam Dan Kristen Di Indonesia dan Mencari
Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia.
Ø mengirim
surat terbuka kepada Paus Yohanes Paulus II di Vatikan melalui Duta Besar Tahta
Suci dengan pengharapan agar mereka mau membuka mata, memperhatikan
kristenisasi yang tengah digencarkan di Negara Republik Indonesia dengan penduduk
yang mayoritas muslim.[21]
Mohammad Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia
ini pada tiga hal utama, yaitu kristenisasi itu sendiri, diakonia[22]
dan perlunya warga yang beragama melakukan modus vivendi. Adapun
tujuan dari modus vivendi (jalan keluar) adalah menciptakan kehidupan
berdampingan secara damai. Mohammad Natsir menegaskan perlunya modus vivendi
karena umat Islam menginginkan hal-hal berikut;
Ø antara
pemeluk agama di Indonesia ini supaya hidup berdampingan secara baik, saling
menghargai dan toleransi.
Ø agar
semua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama dengan
pemerintah.
Ø terwujudnya
perdamaian antara masyarakat yang berbeda agama di Negara ini dengan
kepentingan pembangunan nasional.
Ø menghindari
terjadinya perang agama sebagaimana yang sedang terjadi di berbagai belahan
dunia ini.
Ø mengajak
semua manusia dengan perbedaan agama masing-masing untuk mengamalkan salah satu
perintah agama yang paling esensial, yaitu keadilan dalam keragaman beragama.[23]
Upaya Mohammad Natsir melalui modus vivendi tersebut
patut dihargai oleh pemerintah dan semua umat beragama di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Yusuf Al- Qaradhawi dalam program Asy-Syariah wal Hayat di
Aljazeera Channel menyebutkan bahwa prestasi besar Mohammad Natsir dalam
menyelamatkan akidah umat adalah dengan melakukan gerakan membendung
kristenisasi di Indonesia melalui Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia.[24]
c)
Penggalang
persatuan dan solidaritas umat Islam
Usaha menyatukan umat telah dilakukan Mohammad
Natsir sejak berada di parlemen. Mosi ‘integral’ Mohammad Natsir merupakan
salah satu contohnya. Begitu pula dengan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia,
perjalanan selama tiga dasa warsa telah berusaha untuk menjadi lembaga
pemersatu umat, tidak berpihak pada golongan ulama tertentu, dan berusaha untuk
merangkul para ulama dari berbagai lapisan untuk masuk dalam kepengurusan.
Kehadiran Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia adalah untuk merangkul,
mempersatukan dan mendukung organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia.[25]
Salah satu bukti perjuangan Mohammad Natsir dalam
mewujudkan persatuan umat diwujudkan dengan menggalang solidaritas antara
sesama umat Islam yang tidak hanya terbatas pada umat muslim di Indonesia saja,
tetapi juga dalam taraf internasional, salah satunya adalah dalam mendukung
perjuangan muslim di dunia. Di mata Mohammad Natsir, salah satu masalah akut
yang dihadapi oleh umat Islam adalah masalah Palestina.
Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelesaikan
Palestina dilakukan melalui beberapa jalur, pertama melakukan public
opinion (opini publik) yang dilakukan dengan menulis buku dan artikel di
berbagai media; kedua perjuangan issu legal melalui organisasi-organisasi
Islam internasional resmi; ketiga mendirikan Lembaga Bantuan untuk
Rakyat Palestina. Lembaga ini berada di bawah naungan Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia dan dibentuk pada tahun 1967 tidak lama setelah didirikannya Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia. Lembaga ini menggalang bantuan dana dan donor darah
bagi rakyat Palestina yang terluka di medan pertempuran.[26]
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia di bawah
kepemimpinan Muhammad Natsir juga membentuk beberapa badan lain untuk
solidaritas sesama umat dan penanggulangan bencana alam, seperti:
Ø Badan
Bantuan untuk Penanggulangan Bencana Alam untuk tingkat nasional. Badan ini
diaktifkan dengan kepanitiaan tersendiri setiap kali terjadi bencana alam di
tanah air.
Ø KISDI
(Komite Islam untuk Solidaritas Dunia Islam). Komite ini tidak hanya mengusahakan
bantuan dana bagi umat Islam yang sedang tertimpa musibah atau tertindas di
dunia internasional, tetapi juga mengeluarkan statemenstatemen yang mendukung
perjuangan umat Islam baik dalam bentuk orasi dan aksi sebagai wujud kepedulian
serta pembelaaan tehadap umat Islam yang tertindas, baik yang berada di dalam
maupun di luar negeri.[27]
Sejak kelahirannya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
telah membina hubungan baik dengan berbagai lembaga Islam di dalam dan luar
negeri. Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia terus berkiprah membangkitkan semangat
juang kaum Muslimin. Di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir yang berjalan selama
26 tahun, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah menyalurkan berbagai bantuan
baik dari zakat, infaq dan sadaqah kepada berbagai kegiatan dakwah yang
dilaksanakan secara rutin. Selama 26 tahun kepemimpinannya, Selama periode
1986-1990 misalnya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah menyelesaikan 188
proyek meliputi: 168 mesjid/musalla, 7 Islamic Center, 3 sekolah dan lokal
belajar, 5 pesantren, 1 asrama pelajar, 2 asrama anak yatim, 1 Balai Latihan
Kerja (BLK) dan poliklinik. Seluruh proyek tersebut tersebar dari Sumatera
Utara sampai Irian Jaya dan Timor Timur.[28]
D. Struktur Kepemimpinan Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia
Keberadaan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia memberi
nuansa politis terhadap kondisi perpolitikan di tanah air meskipun yayasan ini
termasuk lembaga dakwah. Mohammad Natsir mengembangkan gerakan dakwah yang
mempunyai nilai agama sekaligus pemikiran yang demokratis melalui Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia yang diprakarsainya. Untuk menentukan arah dan kebijakan
gerakan dakwah yang dilaksanakan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia dalam
masyarakat, Mohammad Natsir memakai prinsip musyawarah. Tiga kunci kepemimpinan
dakwah Mohammad Natsir yakni melalui akal, akhlak dan cinta. Semua itu
diaplikasikannya dalam Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Aktifitas Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia tidak terlepas dari sosok pemikiran dan perjuangan Mohammad
Natsir yang mewarnai dinamika perjalanan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
selama 26 tahun. Dari perjuangan dan kepemimpinan Mohammad Natsir yang
diaplikasikannya dalam Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia dapat ditelusuri konsep
pemikirannya terutama dalam sikapnya yang independen terhadap penguasa. Hal
tersebut terlihat dari statemen maupun tulisannya yang melakukan social kontrol
serta mengkritik pemerintah secara tajam bila dianggap menyimpang dengan ajaran
Islam.[29]
Sikap independen Mohammad Natsir yang ‘jauh dari
kekuasaan istana’ juga terlihat ketika ia tidak tergantung pada sumbangan dana
dari pemerintah. Selama kepemimpinannya di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia,
dana yang terkumpul berasal sumbangan simpatisan muslim yang berasal dari dalam
dan luar negeri. Dengan dana tersebut Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia berhasil
melaksanakan berbagai kegiatan dakwah, membangun rumah sakit, lembaga
pendidikan, masjid serta melengkapi perpustakaan masjid-masjid,
universitas-universitas dan lembaga dakwah. Di masa kepemimpinan Mohammad
Natsir pula Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah membina hubungan baik dengan
berbagai lembaga Islam di dalam dan luar negeri. Posisi Mohammad Natsir yang
menjabat sebagai Wakil Presiden Mu‘tamar ‘Alam Islami dan Anggota Majalis
Tarjih Rabitah ‘Alam Islami menyebabkan hubungan Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia dengan luar negeri menjadi intensif dan dikenal, terutama di kawasan
Timur Tengah.[30]
Mohammad Natsir terus dipercaya memimpin Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia sejak awal berdirinya sampai ia meninggal dunia,
meskipun dalam rentang waktu 26 tahun itu telah mengalami beberapa kali
perubahan dan pergantian kepengurusan. Susunan kepengurusan Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia ketika pertama kali didirikan adalah sebagai berikut.
Ø Ketua
: Mohammad Natsir
Ø Wakil
Ketua : H. M. Rasjidi
Ø Sekretaris
: Buchari Tamam
Ø Sekretaris
II : Nawawi Duski
Ø Bendahara
: H. Hasan Basri
Ø Anggota
: H. Abdul Malik Ahmad…, dan
seterusnya.[31]
Pada tahun 1983, karena banyak anggota pengurus
yayasan yang meninggal dunia maka dilakukan penyegaran kepengurusan. Di periode
ini, Mohammad Natsir kembali dipercaya untuk memimpin Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia.[32]
Pada tahun 1989, kembali dilakukan penyegaran kepengurusan. Pada periode ini,
Mohammad Natsir juga dipercaya untuk melanjutkan kepemimpinannya di Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia.[33]
Namun, seiring dengan menurunnya kesehatan Mohammad
Natsir, ia menyerahkan sebahagian wewenangnya di Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia kepada Anwar Harjono. Sejak saat itulah Anwar Harjono terlibat aktif
dalam menggerakkan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Walaupun pada kenyataannya
Mohammad Natsir tetap berfungsi sebagai pemimpin di Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia, namun dalam kebanyakan aktifitas DEWAN Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia sering dipimpin oleh Anwar Harjono.[34]
Setelah Mohammad Natsir meninggal dunia pada 6
Februari 1993, berdasarkan hasil Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar Dewan
Da‘wah Islamiyah Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada 23-24 April
1993 (1-2 Zulqaidah 1413) menetapkan susunan pengurus Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia yang baru. Pada saat itu kepemimpinan Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia dipegang oleh sebuah team ketua yakni M. Rasjidi, M. Yunan Nasution,
Anwar Harjono dan M. Rusjad Nurdin. Sebagai Ketua Pelaksana Harian, di awal
kepemimpinannya Anwar Harjono melakukan penertiban Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
secara administratif.[35]
E. Kesimpulan
Dari berbagai aktifitas Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia di atas dapat dipahami bahwa Mohammad Natsir lebih menitik beratkan
aktifitas dakwah untuk membina masyarakat, meningkatkan mutu dakwah islamiyah
di Indonesia, mengarahkan para pemuda dan mengkader da‘i dalam segala
sektor baik politik, pendidikan, sosial, ekonomi maupun budaya. Hal tersebut
untuk menunjukkan apapun bentuknya, dakwah merupakan fardu ‘in bagi
setiap muslim. Selama 26 tahun kepemimpinan Mohammad Natsir di Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia, ia telah berusaha memberikan gambaran tentang peran dan
fungsi organisasi dakwah di tengah-tengah pergulatan mempertahankan jati diri
umat Islam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fungsi Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia semasa kepemimpinan Mohammad Natsir adalah sebagai:
Ø pusat
kegiatan dakwah
Ø pembentengan/pembelaan
akidah umat
Ø penggiat
dan meningkatkan mutu dakwah
Ø organisasi
kader
Ø pengawal
NKRI
Ø pembina
masjid
Ø pembina
daerah terpencil
Ø pendukung
solidaritas umat Islam
Ø penerbit
media massa Islam.
Dari hasil kajian terhadap pemikiran Mohammad Natsir
di atas, khususnya perihal
dakwah
Islam, dapat dijumpai tentang konsep kepemimpinan dakwahnya yang dapat ditinjau
dari dua sisi, yaitu dalam rangka menyebarkan agama serta membela agama.
Menyebarkan agama dapat dilaksanakan melalui berbagai bentuk, yaitu melalui
bidang pendidikan, ekonomi dan politik. Sedangkan mempertahankan agama dapat
diwujudkan dengan membina umat serta membentengi umat dari kebatilan. Semua
aspek tersebut dapat dilihat dalam kiprahnya di Dewan Da‘wah Islamiyah
Indonesia yang dipimpinnya selama 26 tahun (1967-1993).
[1] Demokrasi
Terpimpin adalah kebijakan Presiden Soekarno untuk menyatukan semua komponen
masyarakat yang saling bertolak belakang di bawah kepemimpinannya dengan
menggabungkan nasionalisme, agama dan komunisme serta memusatkan seluruh
kekuasaan di tangan Presiden. (Mohammad Iskandar dkk., Muatan Lokal
Ensiklopedia Sejarah Dan Budaya Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta:
Lentera Abadi, 2009, hal. 240).
[2] Mereka adalah
mantan Menteri Agama ( H.M. Rasjidi); Mantan Menteri Luar Negeri (Mohammad
Roem); mantan Presiden Pemerintahan Darurat RI-Gubernur Bank Sentral
(Sjafroeddin Prawiranegara); mantan Perdana Menteri (Burhanuddin Harahap,
Kasman Singodimejo, Osman Raliby dan Yunan Nasution); mantan Duta Besar untuk
Irak (Datuk Palimo Kayo); serta para intelektual muslim (Anwar Harjono, Taufiqurrahman,
Hasan Basri, Prawoto Mangkusasmito, Nawawi Duski, Abdul Hamid, Abdul Malik
Ahmad dan Buchari Tamam). (Tim Penyunting, “Generator Lapangan Dakwah,” dalam Seri
Buku Tempo Natsir: Politik Santun Diantara Dua Rezim, Jakarta: Gramedia,
2011, hal. 116).
[3] Wildan Hasan, Berdirinya
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, http//www.dewanda‘wah.com, diakses
tanggal 16 Maret 2010.
[5] Pasal 3 dan pasal 4 Anggaran
Dasar DDII.
[6] Lukman Hakiem, Perjalanan
Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, S. H, (Jakarta:
Media Da‘wah, 1993), hal. 238.
[7] Wildan Hasan, Berdirinya
Dewan…, diakses tanggal 16 Maret 2010.
[8] Ahmad Syafi‘i
Ma‘arif, dalam M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik
Indonesia, (Bandung: Mizan, 2010), hal. 183.
[9] Lukman Hakiem, Perjalanan
Mencari…, hal. 236.
[10] Misbach Malim, Shibghah
Da‘wah Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, (Jakarta: Media Da‘wah,
2008), hal. 5.
[11] Mohammad Natsir dalam Misbach
Malim, Shibghah Da‘wah…, hal. 32.
[12] Misbach Malim, Shibghah
Da‘wah…, hal. 32.
[13] Nina M.
Armando. dkk (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
2005), hal. 105-106.
[14] Lukman Hakiem, Perjalanan
Mencari…, hal. 237 dan 239.
[15] Thohir Luth, M. Natsir…,
hal. 60.
[16] Lukman Hakiem, Perjalanan
Mencari…, hal. 238.
[17] Ibid
[18] M. Yunan Nasution, dalam Thohir
Luth, M. Natsir…, hal. 61.
[19] Petisi 50
adalah kelompok yang terdiri atas 50 orang, mulai dari politisi, birokrat,
pensiunan jenderal, para pengusaha, intelektual maupun para da‘i.
Kelompok ini melakukan koreksi dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru
khususnya mengenai pelaksanaan konstitusi dan UUD 1945 agar dilaksanakan secara
murni, konsekuen, jujur dan adil. Pernyataan tersebut disampaikan kepada
pemerintah, lembagalembaga formal, nonformal dan masyarakat pada umumnya.
(Thohir Luth, M. Natsir Da‘wah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani,
1999, hal. 107).
[20] Thohir Luth, M. Natsir…,
hal. 107.
[21] Ibid, hal. 124
[22] Yang dimaksud
dengan diakonia adalah penyalahgunaan pelayanan masyarakat dan sikap
tidak toleran orang-orang Kristen terhadap terhadap umat Islam. (Thohir Luth, M.
Natsir…, hal. 122).
[23] Thohir Luth, M. Natsir…,
hal. 124.
[24] Ahmad Tirmidzi,
“Asing di Negeri Sendiri Terkenal di Luar Negeri,” Majalah Al-Mujtama‘ Edisi
Seabad Mohammad Natsir, (Jakarta: 2008), hal. 49.
[25] Andy
Sulistiyanto, “Mujahid Dakwah Yang Tak Kenal Lelah,” Majalah Sabili Edisi
Khusus 100 Tahun M. Natsir, (Jakarta: 2008), hal. 61.
[26] Ahmad Tirmidzi, “Membela
Palestina,” Majalah Al-Mujtama…,hal. 53.
[27] Misbach Malim, Shibghah
Da‘wah…,hal.33.
[28] Lukman Hakiem, Perjalanan
Mencari…, hal. 239.
[29] Anhar Gonggong,
“M. Natsir dalam Sejarah NKRI: Pergulatan Mencari Demokrasi di Tengah Krisis (Sebuah Pengantar), dalam Waluyo, Dari
‘Pemberontak’ Menjadi Pahlawan Nasional: Mohamma Natsir dan Perjuangan Politik
di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hal. xxxi.
[30] Dwi Purwoko, Perubahan
Orientasi Politik Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia Pasca Kepemimpinan Mohammad
Natsir, 2000, http//elib.pdii.lipi.go.id.pdf, diakses tanggal 14 Nopember
2010.
[31] M. Dzulfikriddin, Mohammad
Natsir…, hal. 153.
[32] Lukman Hakiem, Perjalanan
Mencari…, hal. 240.
[33] Ibid, hal. 241
[34] Buchari Tamam,
“Anwar Harjono Dalam Lintasan Pengenalanku,” dalam Lukman Hakiem, Perjalanan
Mencari…, hal. 487.
[35] Dwi Purwoko, Perubahan
Orientasi…, diakses tanggal 14 Nopember 2010.
0 comments:
Post a Comment