Thursday, January 7, 2016

SEJARAH DEWAN DA‘WAH ISLAMIAH INDONESIA


 
Oleh: Amriadi, A.Md


A.    Pembubaran Masyumi Bedirinya Dewan Da’wah
Masa permulaan demokrasi terpimpin tahun 1957 mencatat Masyumi bukan saja tambah renggang dan asing bagi Soekarno melainkan juga tambah bertentangan secara konfrontatif dengan Presiden. Dengan Natsir sebagai Ketua Umum Partai, garis kebijaksanaan politik Masyumi terhadap Soekarno tambah keras, ia tidak dapat berkompromi dengan Soekarno dalam soal demokrasi.
Dalam mekanisme pelaksanaan demokrasi terpimpin anggota-anggota yang duduk dalam Dewan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) adalah mereka yang disukai Soekarno, dan bertugas mengiyakan Move politiknya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa orang-orang Masyumi dan PSI yang menentang politik Soekarno harus tersingkir. Di mata Masyumi sistem demokrasi terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa dan negara. Semangat inilah sebagai idealisme martir Masyumi, yang mempunyai resiko politik yang besar bagi golongan modernis Muslim di Indonesia. Masyumi sebagai cagar demokrasi tampaknya tidak punya pilihan lain kecuali menghadapi Soekarno dan sistemnya.
Harapan Masyumi bahwa rakyat akan berpihak kepada demokrasi, tidak kepada sistem otoriter, ternyata sia-sia. Sementara itu, PKI yang sangat lihai dalam manipulasi politik, berpihak sepenuhnya kepada sistem Soekarno. Pada masa Demokrasi Terpimpin, jargon politik PKI tentang golongan “kepala batu” sudah menyatu dengan jargon politik Soekarno yang juga menilai Masyumi sebagai kekuatan “kepala batu” yang merintangi penyelesaian revolusi Indonesia. Karena itu, Masyumi tidak patut lagi hidup pada era demokrasi terpimpin. Dengan demikian, di antara prinsip demokrasi terpimpin sebagaimana dikemukakan oleh Soekarno “tanpa otokrasi diktator” tidak berlaku bagi Masyumi. Masyumi harus dikorbankan “demi revolusi”. Semua ini adalah kepandaian manuver PKI dengan bantuan penuh dari Presiden Soekarno.
Akhirnya pukulan terakhir dialami partai Masyumi yang gigih mempertahankan prinsipnya ini. Pukul 05.20 pagi tanggal 17 Agustus 1960 hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pimpinan Pusat Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari setelah keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960. Pimpinan partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar, pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, partai Masyumi akan diumumkan sebagai partai terlarang. Kurang dari sebulan demikian yaitu tanggal 13 September, pimpinan pusat Masyumi menyatakan partainya bubar. Ini tidak berarti bahwa Masyumi menyetujui instruksi Presiden.
Pembubaran Partai Masyumi oleh Presiden Soekarno ternyata meninggalkan luka politik cukup mendalam bagi masyarakat Indonesia, terutama kelompok yang mengembangkan aspirasi Islam modernis, kata Remy Madinier, pengamat sejarah tentang RI dari Perancis. “Dalam periode 1950-an, Partai Masyumi menunjukkan kegiatan bercirikan Islam modern yang cukup terstruktur di tingkat parlemen maupun kelompok massa. Dari sisi kedekatan pribadi Muhammad Natsir selaku pimpinan Masyumi dengan Presiden Soekarno juga sangat baik, walaupun unik,” ujarnya dalam percakapan dengan ANTARA di Pusat Kajian Asia di Paris, Jumat.
Hanya saja, katanya, Partai Masyumi memainkan peran politik yang terlalu keras menghadapi kekuatan kelompok komunis dan nasionalis di saat parlemen RI membahas pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD) di akhir tahun 1950-an. Madinier, yang meneliti sejarah Partai Masyumi selama enam tahun terakhir ini menilai, kedekatan pribadi Natsir dengan Soekarno malah menciptakan “benturan kepentingan berpolitik”.
Konon setelah berakhirnya periode Masyumi, Warga Bulan Bintang mengalami kevakuman politik namun beberapa saksi mengutip dan menggarisbawahi pesan Mr. Mohammad Natsir bahwa; Keluarga Besar Bulan Bintang harus bisa hidup, berkarya dan berjuang dimana saja untuk kepentingan ummat, bangsa dan negara laksana cendawan yang tumbuh di musim penghujan. Diskriminasi atas Masyumi pada masa rezim orde lama berlanjut dengan kebijakan politik rezim orde baru yang menolak merehabilitasi Partai Masyumi.
Menyikap hal ini Keluarga Besar Bulan Bintang terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang beralih ke gerakan dakwah dan mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dengan M. Natsir, Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Anwar Haryono dan Yunan Nasution sebagai tokoh sentralnya. Setelah dilarang untuk beraktifitas dalam dunia politik, mereka melihat celah lain untuk berkiprah di masyarakat, yakni dengan berdakwah.
Kedua, kelompok yang tetap berada di wilayah politik dengan membentuk Par-musi (Partai Muslimin Indonesia), sebuah partai yang sengaja didirikan sebagai pengganti Masyumi dan direstui pemerintah Orde Baru.
Ketiga, kelompok teknokrat yang lebih pragmatis. Mereka adalah bekas anggota dan simpatisan Masyumi dan mendapatkan karirnya melalui Golkar atau organisasi underbow-nya. Di luar ke-tiga kelompok ini, terdapat juga sekelompok kecil anggota dan simpatisan Masyumi yang terlibat dalam gerakan DI/TII dan NII.

B.     Lahirnya Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Mohammad Natsir memilih dakwah sebagai wadah perjuangannya bukan merupakan suatu kebetulan belaka, melainkan sebagai alternatif lain setelah perjuangannya melalui politik dibubarkan oleh Soekarno. Masa Orde Lama (1959-1965) tercatat sebagai masa paling gelap dalam sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia. Persiden Soekarno mencanangkan Konsepsi Presiden yang secara operasional terwujud dalam bentuk Demokrasi Terpimpin.[1]
Para pemimpin nasional seperti Mohammad Natsir, Mochtar Lubis, Isa Anshari, Assaat, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanoeddin Harahap, M. Yunan Nasution, Buya Hamka, Kasman Singodimedjo dan Muttaqin yang bersikap kritis terhadap politik Demokrasi Terpimpin, ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Puncak dari masa penuh kegelapan itu ialah pecahnya peberontakan berdarah G.30.S/PKI. Setelah Mohammad Natsir keluar dari tahanan pada tahun 1967 dan berharap dapat menghidupkan kembali lembaga politik (Masyumi), namun ternyata tidak terwujud.
Sebagai solusi terhadap persoalan tersebut, maka pada 26 Februari 1967 atas undangan pengurus masjid Al-Munawwarah Kampung Bali Tanah Abang Jakarta Pusat, Mohammad Natsir bersama para alim ulama dan tokoh-tokoh lainnya[2] berkumpul untuk bermusyawarah, membahas, meneliti dan menilai beberapa masalah, terutama yang berhubungan dengan usaha pembangunan umat. Pertemuan itu juga membahas tentang usaha mempertahankan akidah di dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat serta menyimpulkan dua hal sebagai berikut:

a.       Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.
b.      Memandang perlu untuk lebih meningkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.[3]
Untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama tersebut merumuskan beberapa persoalan, antara lain:
a.       Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan system perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi yang dirasa perlu dalam usaha menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan lain terhadap masyarakat Islam.
b.      Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.[4]
Dalam menampung persoalan-persoalan yang mengandung cakupan yang luas dan sifat yang kompleks, maka musyawarah ulama tersebut memandang perlu dibentuknya sebuah wadah yang kemudian dikukuhkan keberadaannya melalui Akte Notaris Syahrim Abdul Manan No. 4, tertanggal 9 Mei 1967. Organisasi tersebut kemudian didirikan dalam bentuk yayasan yang diberi nama Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, di singkat dengan sebutan DDII atau Dewan Da‘wah saja. Pengurus Pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota negara dan bila dimungkinkan memiliki perwakilan di tiap-tiap ibukota daerah tingkat I serta pembantu perwakilan di tiap-tiap ibukota daerah tingkat II seluruh Indonesia.[5]
Didirikannya Dewan Dawah Islamiyah Indonesia oleh Muhammad Natsir, dianggap sebagai pilihan cerdik guna menghindari dari konteks keormasan dan partai politik. Dalam sebuah wawancara, Mohammad Natsir mengibaratkan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia sebagai mesin pembangkit tenaga listrik yang ditempatkan di belakang rumah, dalam suatu tempat yang dirancang khusus di bawah tanah agar tidak  menimbulkan kebisingan. Dengan fungsi dan tempat seperti itu, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia diharapkan dapat menerangi umat tanpa menimbulkan suara berisik dan ‘polusi yang bersifat politis.’[6]
Musyawarah alim ulama kemudian merumuskan program kerja sebagai penjabaran dari landasan kebijakan di atas. Program kerja yang ditetapkan oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia pada saat itu adalah sebagai berikut:
Ø  Mengadakan pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan pelatihan bagi da‘i dan calon-calon da‘i.
Ø  Mengadakan research (penelitian) atau membantu mengadakan penelitian yang hasilnya dapat segera dimanfaatkan bagi perlengkapan usaha para da‘i pada umumnya.
Ø  Menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur atau siaran lain yang ditujukan untuk melengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan mutu dan hasil dakwah. Usaha ini diharapkan dapat mengisi kekosongan-kekosongan di bidang spiritual yang diperlukan dalam masyarakat.[7]
Selain program kerja di atas, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga menetapkan enam program bidang garapan, yaitu:
ü  Memperluas pengertian dakwah dari pengertian hanya sebagai tabligh kepada pengertian yang lebih luas, yaitu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagai kelanjutan risalah Nabi Muhammad.
ü  Mengembalikan fungsi masjid sebagai pusat pembinaan masyarakat seperti pada zaman Nabi Muhammad.
ü  Memberi pengertian kepada umat bahwa tugas dakwah adalah fardu ‘ain bagi setiap muslim.
ü  Menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah.
ü  Meningkatkan usaha pembentengan dan pembelaan akidah umat.
ü  Membangkitkan ukhuwah islamiyah.[8]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pertumbuhan dan perkembangan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia tidaklah dapat dipisahkan dari peran Mohammad Natsir di dalamnya. Fokus Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ketika pertama kali didirikan adalah dalam rangka mengusahakan pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan akidah di dalam kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Di awal berdirinya, program utama Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia lebih terfokus dalam meningkatkan mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan system perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi yang dirasa belum memadai serta mengaktifkan jamaah masjid sebagai inti dakwah umat Islam.
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga mempersiapkan upaya-upaya dalam menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut kepercayaan, aliran serta agama lain terhadap masyarakat Islam. Dengan demikian, pada masa tersebut Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia berusaha untuk melaksanakan pemantapan akidah umat Islam agar terhindar dari berbagai masalah yang dapat mengganggu kemurniannya (murtad, syirik, tahayul dan khurafat) dengan merumuskan berbagai program dalam rangka meningkatkan kualitas dakwah Islam, khususnya di Indonesia.

C.    Aktifitas Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
Setelah dibentuknya program, Mohammad Natsir mulai memastikan langkahlangkah dakwah Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, baik yang konseptual maupun yang praktis. Di antaranya adalah melakukan penelitian ilmiah dan kemasyarakatan serta menyebarluaskan perwakilan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ke seluruh penjuru tanah air. Di masa awal tersebut, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia bekerjasama dengan Gerakan Muballigh Islam Lampung dengan menyelenggarakan pelatihan juru dakwah seprovinsi Lampung di Tanjung Karang. Sementara untuk mendinamiskan jamaah masjid sebagai inti umat Islam, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia menyelenggarakan proyek percontohan dengan membina Balai Kesehatan Rakyat Jati Baru yang bekerja sama dengan Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI).[9]
Secara umum, aktifitas Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir terdiri dari dua macam yaitu melakukan pembinaan dan pembelaan terhadap Islam.[10] Dua aktifitas utama tersebut diaplikasikannya dengan pelaksanaan berbagai kegiatan yang dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan.

1.      Aktifitas pembinaan
Aktifitas pembinaan diaplikasikan oleh Mohammad Natsir dengan pelaksanaan berbagai kegiatan yang meliputi pembinaan kader, membina masjid, pengiriman da‘i dan pembinaan daerah terpencil serta penerbitan yang akan dijelaskan sebagai berikut.
a)      Pembinaan kader
Pembinaan kader merupakan aktifitas inti Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia yang dilaksanakan baik di perkotaan maupun ke pelosok-pelosok desa. Pembinaan kader tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas ilmu dan wawasan keislaman para pembina dan penggerak umat di tengah-tengah masyarakat. Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia di masa kepemimpinan Mohammad Natsir telah melaksanakan berbagai macam kegiatan pengkaderan dan pelatihan dakwah yaitu: penataran para imam dan khatib, penataran para pengurus masjid dan musalla, penataran pengurus remaja masjid, penataran ketua-ketua Osis, penataran pengurus majelis ta‘lim, penataran dakwah di kampus-kampus (mahasiswa) dan lain sebagainya.[11]
Tujuan pengkaderan ini adalah untuk membentuk kader-kader da‘i yang kreatif, inovatif dan produktif yang dapat mengambil berbagai inisiatif (kegiatan dakwah) untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi, sesuai dengan ungkapannya, “kita mengkader untuk mencetak jenderal-jenderal lapangan, bukan prajurit-prajurit.” Hal ini berarti bahwa satu jenderal lapangan yang ahli strategi lebih berharga dari seribu prajurit yang hanya menunggu perintah.[12]
b)      Membangun dan membina masjid
Mohammad Natsir mengatakan bahwa masjid merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat. Dengan demikian, masjid dipandang sebagai lembaga pembinaan pribadi dan jiwa masyarakat. Oleh karena itu ia menganggap penting memberi perhatian khusus terhadap pembangunan masjid dan pembinaan masjid, baik di kota maupun di pedesaan. Perhatiannya terhadap pembangunan intern umat Islam melalui masjid, terutama masjid-masjid di pedesaan merupakan sesuatu yang utama. Ini karena dengan masjid tersebut, umat Islam dapat mengkonsolidasikan dirinya terhadap nilai-nilai Islam yang dianutnya. Wujud dari konsolidasi tersebut akan melahirkan umat Islam yang memiliki kepribadian sebagaimana yang dikehendaki Islam. Program ini juga meliputi pembangunan, pengelolaan, penyediaan tenaga khatib dan muballigh bagi sejumlah masjid, khususnya di Jakarta.
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia menghimpun khatib serta muballigh dan memberikan pengarahan kepada mereka setiap hari Jumat sebelum bertugas pada masjid yang memerlukan. Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia mengatur penunjukan khatib dan penempatannya di suatu masjid melalui koordinator pengiriman khatib. Untuk meningkatkan tamir (kemakmuran) masjid, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia mengirimkan da‘inya sesuai dengan kebutuhan ilmu dan momentum yang diharapkan.[13]
Semasa kepemimpinan Mohammad Natsir, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga membantu pembangunan masjid dari segi fisik. Selama periode 1986-1990 misalnya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah membangun 168 mesjid/musalla di kompleks pesantren, kompleks perumahan, lokasi transmigrasi, kampus perguruan tinggi, kompleks rumah sakit, daerah suku terasing, kompleks Scapa Polri, dan kompleks Lembaga Pemasyarakatan. Di bidang ini, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia juga telah membantu pembangunan berbagai masjid kampus, melengkapi perpustakaan-perpustakaan di masjidmasjid. Di antara masjid yang telah dibinanya adalah masjid Salman ITB dan masjid Arif Rahman Hakim di kampus Universitas Indonesia, Jakarta.[14]
Ikut sertanya Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia secara nyata dalam masyarakat membuktikan bahwa lembaga yang dimotori oleh Mohammad Natsir itu bukan sekedar organisasi teoritis, tetapi juga praktis.
c)      Pengiriman da‘i dan pembinaan daerah terpencil
Thohir Luth menjelaskan bahwa dalam rangka pembinaan umat Islam terutama di pedesaan, pedalaman dan daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari berbagai pengaruh terhadap pendangkalan akidah dan pemurtadan, Mohammad Natsir melalui Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia mengirimkan da‘i ke tempat-tempat tersebut. Para da‘i umumnya direkrut dari masyarakat desa itu sendiri. Mereka dididik, dilatih dan dibekali dengan berbagai ilmu serta keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman da‘i ke berbagai daerah diharapkan umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat terbina keislamannya.[15]
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah mengirimkan da‘i ke berbagai pelosok tanah air hingga ke daerah terpencil seperti Mentawai dan Irian Jaya. Sejak pemerintah menggalakkan program transmigrasi, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah mengirim  da‘i ke lokasi-lokasi transmigrasi dan daerah-daerah terpencil lainnya. Dalam hal ini, Mohammad Natsir mempergunakan pendekatan ‘bawah-atas.’ Artinya, jika ada suatu lokasi yang memerlukan da‘i, maka da‘i yang dikirim adalah da‘i yang sudah disepakati oleh masyarakat setempat. Sebab, bagaimanapun da‘i tersebut pada akhirnya akan hidup berdampingan dengan masyarakat setempat.[16]
Langkah Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ternyata telah membangkitkan semangat tolong-menolong dalam kebaikan dari lembaga-lembaga dakwah lainnya. Muhammadiyah dan Yayasan Kiblat Centre kini terhitung sebagai lembaga yang giat mengirim da‘i ke lokasi transmigrasi dan suku-suku terasing.[17]
d)     Penerbitan
Mohammad Natsir tidak hanya berdakwah dengan cara bi al-hal dan bi al-lisan saja. Ia juga merancang dakwah bi al-kitabah, yaitu melalui tulisan-tulisan yang diorganisasi oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Mulai dari brosur berupa lembaran sampai pada majalah maupun buku-buku yang ditulisnya sendiri maupun oleh orang lain. Dakwah bi al-kitabah yang dilaksanakan Mohammad Natsir dapat menjangkau semua pihak, mulai dari golongan awam, menengah, maupun terpelajar. Tujuannya adalah memberikan informasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan pada masyarakat secara luas, agar mereka dapat memahami agama dan persoalan- persoalan sosial secara tepat. Ada lima terbitan dakwah yang dikelola oleh Mohammad Natsir dan semuanya dikerjakan di kompleks sekretariat Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Adapun kelima terbitan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Majalah Serial Media Da‘wah yang dititikberatkan sebagai konsumsi golongan terpelajar dan menengah. Kedua, Majalah Suara Masjid yang isinya lebih difokuskan untuk konsumsi masyarakat awam yang berisi uraian-uraian tentang tafsir, hadith dan lain-lain. Ketiga, Serial Khutbah Jum‘at, khusus memuat bahanbahan khutbah Jumat untuk para da‘i dan masyarakat luas. Isinya kemudian ditambah dengan manajemen dan pembinaan masjid. Keempat, Majalah Sahabat yang merupakan bacaan agama dan bimbingan untuk anak-anak dalam membentuk generasi yang saleh. Kelima, Buletin Da‘wah yang terbit setiap hari Jumat yang isinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh semua belah pihak. Di samping itu, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia pada tahun 1988 mulai menerbitkan Tabloid Al-Salam. Isinya menyangkut masalah keagamaan dan laporan masalah-masalah kegiatan sosial keagamaan. Dengan terbitan-terbitan tersebut, terjalinlah hubungan yang erat dengan wilayah-wilayah sedikit banyaknya juga dikembangkan bahan-bahan dakwah yang dapat dikatakan “satu nafas” dan “satu bahasa.”[18]

2.      Aktifitas pembelaan
Aktifitas pembinaan Islam diaplikasikan oleh Mohammad Natsir dengan melaksanakan berbagai kegiatan meliputi pengamat kebijakan pemerintahan, membendung kristenisasi dan menggalang persatuan umat Islam yang akan dijelaskan sebagai berikut.
a)      Pengamat kebijakan pemerintahan
Di masa Orde Baru, Mohammad Natsir memfokuskan sasaran dakwahnya pada penguasa/pemerintah. Adapun tujuan yang ingin dicapainya adalah perbaikan dan terciptanya iklim hidup yang baik dalam bermasyarakat dan bernegara. Thohir Luth menyebutkan bahwa upaya lain yang dilakukan Mohammad Natsir dalam meluruskan kebijakan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru adalah sebagai berikut.
Ø  Mengoreksi dan meluruskan kebijakan Presiden Soeharto yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan baik melalui pidato, ceramah dan tulisannya.
Ø  Bergabung dalam kelompok Petisi 50[19] untuk menyusun pernyataan keprihatinan terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto.
Ø  Memberikan imbauan kepada pemerintah, anggota DPR, Ketua beserta Anggota Mahkamah Agung RI, para cendekiawan dan para alim ulama agar senantiasa mengingat dan menghayati kembali apa yang telah diikrarkannnya di depan DPR-GR tanggal 16 agustus 1967 yang menetapkan bahwa “Orde baru lahir sebagai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan Orde Lama.”[20]
b)      Membendung kristenisasi
Ø  Mohammad Natsir menaruh perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia. Perhatian khusus ini dituangkan dalam bentuk konkret dengan melakukan tiga upaya, yaitu: mengirimkan da‘i Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ke pelosok daerah.
Ø  menulis dua karya ilmiah berjudul Islam Dan Kristen Di Indonesia dan Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia.
Ø  mengirim surat terbuka kepada Paus Yohanes Paulus II di Vatikan melalui Duta Besar Tahta Suci dengan pengharapan agar mereka mau membuka mata, memperhatikan kristenisasi yang tengah digencarkan di Negara Republik Indonesia dengan penduduk yang mayoritas muslim.[21]
Mohammad Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia ini pada tiga hal utama, yaitu kristenisasi itu sendiri, diakonia[22] dan perlunya warga yang beragama melakukan modus vivendi. Adapun tujuan dari modus vivendi (jalan keluar) adalah menciptakan kehidupan berdampingan secara damai. Mohammad Natsir menegaskan perlunya modus vivendi karena umat Islam menginginkan hal-hal berikut;
Ø  antara pemeluk agama di Indonesia ini supaya hidup berdampingan secara baik, saling menghargai dan toleransi.
Ø  agar semua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama dengan pemerintah.
Ø  terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbeda agama di Negara ini dengan kepentingan pembangunan nasional.
Ø  menghindari terjadinya perang agama sebagaimana yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia ini.
Ø  mengajak semua manusia dengan perbedaan agama masing-masing untuk mengamalkan salah satu perintah agama yang paling esensial, yaitu keadilan dalam keragaman beragama.[23]
Upaya Mohammad Natsir melalui modus vivendi tersebut patut dihargai oleh pemerintah dan semua umat beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yusuf Al- Qaradhawi dalam program Asy-Syariah wal Hayat di Aljazeera Channel menyebutkan bahwa prestasi besar Mohammad Natsir dalam menyelamatkan akidah umat adalah dengan melakukan gerakan membendung kristenisasi di Indonesia melalui Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia.[24]
c)      Penggalang persatuan dan solidaritas umat Islam
Usaha menyatukan umat telah dilakukan Mohammad Natsir sejak berada di parlemen. Mosi ‘integral’ Mohammad Natsir merupakan salah satu contohnya. Begitu pula dengan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, perjalanan selama tiga dasa warsa telah berusaha untuk menjadi lembaga pemersatu umat, tidak berpihak pada golongan ulama tertentu, dan berusaha untuk merangkul para ulama dari berbagai lapisan untuk masuk dalam kepengurusan. Kehadiran Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia adalah untuk merangkul, mempersatukan dan mendukung organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia.[25]
Salah satu bukti perjuangan Mohammad Natsir dalam mewujudkan persatuan umat diwujudkan dengan menggalang solidaritas antara sesama umat Islam yang tidak hanya terbatas pada umat muslim di Indonesia saja, tetapi juga dalam taraf internasional, salah satunya adalah dalam mendukung perjuangan muslim di dunia. Di mata Mohammad Natsir, salah satu masalah akut yang dihadapi oleh umat Islam adalah masalah Palestina.
Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelesaikan Palestina dilakukan melalui beberapa jalur, pertama melakukan public opinion (opini publik) yang dilakukan dengan menulis buku dan artikel di berbagai media; kedua perjuangan issu legal melalui organisasi-organisasi Islam internasional resmi; ketiga mendirikan Lembaga Bantuan untuk Rakyat Palestina. Lembaga ini berada di bawah naungan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia dan dibentuk pada tahun 1967 tidak lama setelah didirikannya Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Lembaga ini menggalang bantuan dana dan donor darah bagi rakyat Palestina yang terluka di medan pertempuran.[26]
Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia di bawah kepemimpinan Muhammad Natsir juga membentuk beberapa badan lain untuk solidaritas sesama umat dan penanggulangan bencana alam, seperti:
Ø  Badan Bantuan untuk Penanggulangan Bencana Alam untuk tingkat nasional. Badan ini diaktifkan dengan kepanitiaan tersendiri setiap kali terjadi bencana alam di tanah air.
Ø  KISDI (Komite Islam untuk Solidaritas Dunia Islam). Komite ini tidak hanya mengusahakan bantuan dana bagi umat Islam yang sedang tertimpa musibah atau tertindas di dunia internasional, tetapi juga mengeluarkan statemenstatemen yang mendukung perjuangan umat Islam baik dalam bentuk orasi dan aksi sebagai wujud kepedulian serta pembelaaan tehadap umat Islam yang tertindas, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.[27]
Sejak kelahirannya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah membina hubungan baik dengan berbagai lembaga Islam di dalam dan luar negeri. Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia terus berkiprah membangkitkan semangat juang kaum Muslimin. Di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir yang berjalan selama 26 tahun, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah menyalurkan berbagai bantuan baik dari zakat, infaq dan sadaqah kepada berbagai kegiatan dakwah yang dilaksanakan secara rutin. Selama 26 tahun kepemimpinannya, Selama periode 1986-1990 misalnya, Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah menyelesaikan 188 proyek meliputi: 168 mesjid/musalla, 7 Islamic Center, 3 sekolah dan lokal belajar, 5 pesantren, 1 asrama pelajar, 2 asrama anak yatim, 1 Balai Latihan Kerja (BLK) dan poliklinik. Seluruh proyek tersebut tersebar dari Sumatera Utara sampai Irian Jaya dan Timor Timur.[28]

D.    Struktur Kepemimpinan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia
Keberadaan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia memberi nuansa politis terhadap kondisi perpolitikan di tanah air meskipun yayasan ini termasuk lembaga dakwah. Mohammad Natsir mengembangkan gerakan dakwah yang mempunyai nilai agama sekaligus pemikiran yang demokratis melalui Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia yang diprakarsainya. Untuk menentukan arah dan kebijakan gerakan dakwah yang dilaksanakan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia dalam masyarakat, Mohammad Natsir memakai prinsip musyawarah. Tiga kunci kepemimpinan dakwah Mohammad Natsir yakni melalui akal, akhlak dan cinta. Semua itu diaplikasikannya dalam Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Aktifitas Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia tidak terlepas dari sosok pemikiran dan perjuangan Mohammad Natsir yang mewarnai dinamika perjalanan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia selama 26 tahun. Dari perjuangan dan kepemimpinan Mohammad Natsir yang diaplikasikannya dalam Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia dapat ditelusuri konsep pemikirannya terutama dalam sikapnya yang independen terhadap penguasa. Hal tersebut terlihat dari statemen maupun tulisannya yang melakukan social kontrol serta mengkritik pemerintah secara tajam bila dianggap menyimpang dengan ajaran Islam.[29]
Sikap independen Mohammad Natsir yang ‘jauh dari kekuasaan istana’ juga terlihat ketika ia tidak tergantung pada sumbangan dana dari pemerintah. Selama kepemimpinannya di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, dana yang terkumpul berasal sumbangan simpatisan muslim yang berasal dari dalam dan luar negeri. Dengan dana tersebut Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia berhasil melaksanakan berbagai kegiatan dakwah, membangun rumah sakit, lembaga pendidikan, masjid serta melengkapi perpustakaan masjid-masjid, universitas-universitas dan lembaga dakwah. Di masa kepemimpinan Mohammad Natsir pula Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia telah membina hubungan baik dengan berbagai lembaga Islam di dalam dan luar negeri. Posisi Mohammad Natsir yang menjabat sebagai Wakil Presiden Mu‘tamar ‘Alam Islami dan Anggota Majalis Tarjih Rabitah ‘Alam Islami menyebabkan hubungan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia dengan luar negeri menjadi intensif dan dikenal, terutama di kawasan Timur Tengah.[30]
Mohammad Natsir terus dipercaya memimpin Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia sejak awal berdirinya sampai ia meninggal dunia, meskipun dalam rentang waktu 26 tahun itu telah mengalami beberapa kali perubahan dan pergantian kepengurusan. Susunan kepengurusan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia ketika pertama kali didirikan adalah sebagai berikut.
Ø  Ketua              : Mohammad Natsir
Ø  Wakil Ketua    : H. M. Rasjidi
Ø  Sekretaris        : Buchari Tamam
Ø  Sekretaris II    : Nawawi Duski
Ø  Bendahara       : H. Hasan Basri
Ø  Anggota          : H. Abdul Malik Ahmad…, dan seterusnya.[31]
Pada tahun 1983, karena banyak anggota pengurus yayasan yang meninggal dunia maka dilakukan penyegaran kepengurusan. Di periode ini, Mohammad Natsir kembali dipercaya untuk memimpin Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia.[32] Pada tahun 1989, kembali dilakukan penyegaran kepengurusan. Pada periode ini, Mohammad Natsir juga dipercaya untuk melanjutkan kepemimpinannya di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia.[33]
Namun, seiring dengan menurunnya kesehatan Mohammad Natsir, ia menyerahkan sebahagian wewenangnya di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia kepada Anwar Harjono. Sejak saat itulah Anwar Harjono terlibat aktif dalam menggerakkan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia. Walaupun pada kenyataannya Mohammad Natsir tetap berfungsi sebagai pemimpin di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, namun dalam kebanyakan aktifitas DEWAN Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia sering dipimpin oleh Anwar Harjono.[34]
Setelah Mohammad Natsir meninggal dunia pada 6 Februari 1993, berdasarkan hasil Pertemuan Silaturrahmi Keluarga Besar Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada 23-24 April 1993 (1-2 Zulqaidah 1413) menetapkan susunan pengurus Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia yang baru. Pada saat itu kepemimpinan Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia dipegang oleh sebuah team ketua yakni M. Rasjidi, M. Yunan Nasution, Anwar Harjono dan M. Rusjad Nurdin. Sebagai Ketua Pelaksana Harian, di awal kepemimpinannya Anwar Harjono melakukan penertiban Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia secara administratif.[35]

E.     Kesimpulan
Dari berbagai aktifitas Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia di atas dapat dipahami bahwa Mohammad Natsir lebih menitik beratkan aktifitas dakwah untuk membina masyarakat, meningkatkan mutu dakwah islamiyah di Indonesia, mengarahkan para pemuda dan mengkader da‘i dalam segala sektor baik politik, pendidikan, sosial, ekonomi maupun budaya. Hal tersebut untuk menunjukkan apapun bentuknya, dakwah merupakan fardu ‘in bagi setiap muslim. Selama 26 tahun kepemimpinan Mohammad Natsir di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, ia telah berusaha memberikan gambaran tentang peran dan fungsi organisasi dakwah di tengah-tengah pergulatan mempertahankan jati diri umat Islam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fungsi Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia semasa kepemimpinan Mohammad Natsir adalah sebagai:

Ø  pusat kegiatan dakwah
Ø  pembentengan/pembelaan akidah umat
Ø  penggiat dan meningkatkan mutu dakwah
Ø  organisasi kader
Ø  pengawal NKRI
Ø  pembina masjid
Ø  pembina daerah terpencil
Ø  pendukung solidaritas umat Islam
Ø  penerbit media massa Islam.
Dari hasil kajian terhadap pemikiran Mohammad Natsir di atas, khususnya perihal
dakwah Islam, dapat dijumpai tentang konsep kepemimpinan dakwahnya yang dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu dalam rangka menyebarkan agama serta membela agama. Menyebarkan agama dapat dilaksanakan melalui berbagai bentuk, yaitu melalui bidang pendidikan, ekonomi dan politik. Sedangkan mempertahankan agama dapat diwujudkan dengan membina umat serta membentengi umat dari kebatilan. Semua aspek tersebut dapat dilihat dalam kiprahnya di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia yang dipimpinnya selama 26 tahun (1967-1993).



[1] Demokrasi Terpimpin adalah kebijakan Presiden Soekarno untuk menyatukan semua komponen masyarakat yang saling bertolak belakang di bawah kepemimpinannya dengan menggabungkan nasionalisme, agama dan komunisme serta memusatkan seluruh kekuasaan di tangan Presiden. (Mohammad Iskandar dkk., Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah Dan Budaya Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Lentera Abadi, 2009, hal. 240).
[2] Mereka adalah mantan Menteri Agama ( H.M. Rasjidi); Mantan Menteri Luar Negeri (Mohammad Roem); mantan Presiden Pemerintahan Darurat RI-Gubernur Bank Sentral (Sjafroeddin Prawiranegara); mantan Perdana Menteri (Burhanuddin Harahap, Kasman Singodimejo, Osman Raliby dan Yunan Nasution); mantan Duta Besar untuk Irak (Datuk Palimo Kayo); serta para intelektual muslim (Anwar Harjono, Taufiqurrahman, Hasan Basri, Prawoto Mangkusasmito, Nawawi Duski, Abdul Hamid, Abdul Malik Ahmad dan Buchari Tamam). (Tim Penyunting, “Generator Lapangan Dakwah,” dalam Seri Buku Tempo Natsir: Politik Santun Diantara Dua Rezim, Jakarta: Gramedia, 2011, hal. 116).
[3] Wildan Hasan, Berdirinya Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, http//www.dewanda‘wah.com, diakses tanggal 16 Maret 2010.
[4] Ibid
[5] Pasal 3 dan pasal 4 Anggaran Dasar DDII.
[6] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, S. H, (Jakarta: Media Da‘wah, 1993), hal. 238.
[7] Wildan Hasan, Berdirinya Dewan…, diakses tanggal 16 Maret 2010.
[8] Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, dalam M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, (Bandung: Mizan, 2010), hal. 183.
[9] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 236.
[10] Misbach Malim, Shibghah Da‘wah Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia, (Jakarta: Media Da‘wah, 2008), hal. 5.
[11] Mohammad Natsir dalam Misbach Malim, Shibghah Da‘wah…, hal. 32.
[12] Misbach Malim, Shibghah Da‘wah…, hal. 32.
[13] Nina M. Armando. dkk (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 105-106.
[14] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 237 dan 239.
[15] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 60.
[16] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 238.
[17] Ibid
[18] M. Yunan Nasution, dalam Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 61.
[19] Petisi 50 adalah kelompok yang terdiri atas 50 orang, mulai dari politisi, birokrat, pensiunan jenderal, para pengusaha, intelektual maupun para da‘i. Kelompok ini melakukan koreksi dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru khususnya mengenai pelaksanaan konstitusi dan UUD 1945 agar dilaksanakan secara murni, konsekuen, jujur dan adil. Pernyataan tersebut disampaikan kepada pemerintah, lembagalembaga formal, nonformal dan masyarakat pada umumnya. (Thohir Luth, M. Natsir Da‘wah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani, 1999, hal. 107).
[20] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 107.
[21] Ibid, hal. 124
[22] Yang dimaksud dengan diakonia adalah penyalahgunaan pelayanan masyarakat dan sikap tidak toleran orang-orang Kristen terhadap terhadap umat Islam. (Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 122).
[23] Thohir Luth, M. Natsir…, hal. 124.
[24] Ahmad Tirmidzi, “Asing di Negeri Sendiri Terkenal di Luar Negeri,” Majalah Al-Mujtama‘ Edisi Seabad Mohammad Natsir, (Jakarta: 2008), hal. 49.
[25] Andy Sulistiyanto, “Mujahid Dakwah Yang Tak Kenal Lelah,” Majalah Sabili Edisi Khusus 100 Tahun M. Natsir, (Jakarta: 2008), hal. 61.
[26] Ahmad Tirmidzi, “Membela Palestina,” Majalah Al-Mujtama…,hal. 53.
[27] Misbach Malim, Shibghah Da‘wah…,hal.33.
[28] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 239.
[29] Anhar Gonggong, “M. Natsir dalam Sejarah NKRI: Pergulatan Mencari Demokrasi di Tengah  Krisis (Sebuah Pengantar), dalam Waluyo, Dari ‘Pemberontak’ Menjadi Pahlawan Nasional: Mohamma Natsir dan Perjuangan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2009), hal. xxxi.
[30] Dwi Purwoko, Perubahan Orientasi Politik Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia Pasca Kepemimpinan Mohammad Natsir, 2000, http//elib.pdii.lipi.go.id.pdf, diakses tanggal 14 Nopember 2010.
[31] M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir…, hal. 153.
[32] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 240.
[33] Ibid, hal. 241
[34] Buchari Tamam, “Anwar Harjono Dalam Lintasan Pengenalanku,” dalam Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari…, hal. 487.
[35] Dwi Purwoko, Perubahan Orientasi…, diakses tanggal 14 Nopember 2010.

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: