Penulis: Amriadi
1.
Dalil
Anjuran Bermusyawarah
Al-Qur’an
merupakan pedoman petunjuk bagi orang yang beriman seperti yang Allah jelaskan
dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 2:
Artinya:
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa” jadi dalam Islam segala
peraturan mulai dari hal yang sampai politik pun sudah ada aturannya dan ada
buku petunjuk yang jelas yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalil-dalil tentang
musyawarah sangatlah banyak ditegaskan dalam Al-Qur’an diantaranya:
1. Dalam
Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 157:
$yJÎ6sù
7pyJômu
z`ÏiB
«!$#
|MZÏ9
öNßgs9
( öqs9ur
|MYä.
$àsù
xáÎ=xî
É=ù=s)ø9$#
(#qÒxÿR]w
ô`ÏB
y7Ï9öqym
( ß#ôã$$sù
öNåk÷]tã
öÏÿøótGó$#ur
öNçlm;
öNèdöÍr$x©ur
Îû
ÍöDF{$#
( #sÎ*sù
|MøBztã
ö@©.uqtGsù
n?tã
«!$#
4 ¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$#
ÇÊÎÒÈ
(آل عمران: ١۹٧)[2]
Artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu.kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.”
Ia tidak membutuhkan
penafsiran, dan ia juga tidak membuka peluang untuk penakwilan. Yaitu ia merupakan perintah kepada
NabiNya ulil amri (para pemimpin) setelahnya, kemudian kepada agar meminta
pendapat para sahabatnya yang ia pandang mempunyai pandangan yang baik, yang
mana mereka itu adalah orang-orang yang cerdas dan berakal dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk bertukar pendapat dan berijtihad dalam
pelaksanaannya.[3]
Kemudian agar ia memilih
pendapat yang benar atau yang lebih maslahat dari pendapat-pendapat mereka,
lalu ia bertekad untuk melaksanakannya, dengan tanpa terikat dengan pendapat
suatu kelompok tertentu atau terikat dengan jumlah orang tertentu, tidak dengan
pendapat mayoritas atau pendapat minoritas. Maka apabila ia telah bertekad
untuk melaksanakannya ia bertawakalkepada Alloh dan melaksanakan tekadnya untuk
bertindak sesuai dengan pendapat yang ia pilih.[4]
2.
Firman Allah
dalam Al-Qur’an Surat As-Syuura ayat 38:
tûïÏ%©!$#ur
(#qç/$yftGó$#
öNÍkÍh5tÏ9
(#qãB$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
öNèdãøBr&ur
3uqä©
öNæhuZ÷t/
$£JÏBur
öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã
ÇÌÑÈ
(الشورى: ٣٨)[5]
Artinya: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”
Ayat
di atas turun dalam konteks Perang Uhud, di mana pasukan Islam nyaris mengalami
kehancuran gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi di atas bukit tidak
disiplin menjaga posnya. Akibatnya posisi strategis itu dikuasai musuh dan dari
sana mereka balik menyerang pasukan Islam. Namun demikian Nabi tetap bersikap
lemah-lembut dan tidak bersikap kasar kepada mereka.[6] Sebenarnya sebelum
perang Uhud Nabi sudah bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat
tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan datang menyerang dari Mekkah,
apakah ditunggu di dalam kota atau disongsong ke luar kota.[7]
Musyawarah
akhirnya memilih pendapat yang kedua. Dengan demikian, perintah bermusyawarah
kepada Nabi ini dapat kita baca sebagai perintah untuk tetap melakukan
musyawarah dengan para sahabat dalam masalah-masalah yang memang perlu
diputuskan bersama.[8]
Mengomentari
perintah musyawarah kepada Nabi dalam ayat di atas: “Jika Rasulullah SAW yang
ma’shum dan mendapatkan penguat wahyu, sampai tidak pernah berbicara dengan
nafsu telah diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah SWT agar bermusyawarah
dengan para sahabatnya, sudah tentu, bagi para hakim dan umara, musyawarah
sangatlah ditekankan.”
Bahkan
Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan yang sangat mulia itu banyak melakukan
musyawarah dengan para sahabat beliau seperti tatkala mencari posisi yang
strategis dalam perang Badar, sebelum perang Uhud untuk menentukan apakah akan
bertahan di dalam kota atau di luar kota, tatkala Nabi berencana untuk berdamai
dengan panglima perang Ghathafan dalam perang Khandaq, dan kesempatan lainnya.
Memang, musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang
paling baik di samping untuk memperkokoh persatuan dan rasa tanggung jawab
bersama.[9] Dalam musyawarah setidak-tidaknya
terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan yang benar, mencari
pendapat, menjaga kekeliruan, menghindarkan celaan, menciptakan stabilitas
emosi, keterpaduan hati.[10]
2.
Tata
Cara dan Sebab-Sebab Musyawarah
Musyawarah
dalam Islam hanya dibolehkan dalam masalah-masalah yang belum diatur dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ para Ulama dengan tetap mengikuti
kaidah-kaidah baku dalam pembentukan hukum syar’i. Adapun masalah-maslah yang
sudah jelas dengan aturan hukum syariat Islam maka tidak boleh dijadikan
musyawarah sebagai objek untuk menolaknya karna dalam Islam Syariat itu wajib
diterima. [11]
Tata
cara Musyawarah sebagai berikut:
1. Musyawarah
Harus bersumber dari wahyu Allah Swt. Serta tunduk kepada aturan illahi dan
syariatnya, tidak tunduk kepada akal Insani.
2. Musyawarah
hanyaboleh membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah sesuai syariat
Islam. Jadi dalam musyawarah tidak dikenal yang namanya halalisasi yang haram
dan haramisasi yang halal.
3. Standar
Musyawarah adalah akal sehat berlandas syariat, sehingga musyawarah berdiri
atas kekuatan hujjah dan tidak mengenal suara terbanyak karena itu musyawarah
selalu menjadi keputusan yang pasti dan kuat.
4. Musyawarah
akan membedakan yang mana sibaik dengan
siburuk, si pandai dengan si bodoh, dan lain-lain. Karenanya dalam musyawarah
hanya orang-orang yang baik, cerdas dan berintegritas moral tinggi yang boleh
berpendapat.
5. Musyawarah
memberi peluang yang sama antara si kaya dan si miskin. karenanya, Musyawarah
melahirkan pemimpin yang baik dan berkualitas. [12]
[1] Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, hal. 2
[2] Ibid, hal 65
[3] Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisiy,
Demokrasi Sejalan Dengan Islam?, hal. 69
[4] Ibid
[5] Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, hal. 487
[6] Syaikh Shafiyyur-Rahman
Al-Mubarakfury, Perj.Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka
At-Kautsar, Cet. VIII, 2000, hal. 331
[7] Ibid, hal. 328
[8] Ibib, hal. 329
[9] Ibib, hal. 328
[10] Ibid, hal. 328-329
[11] Habib Rezieq Shihab, Wawasan
Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, hal.
44
[12] Ibid, hal. 44-45
0 comments:
Post a Comment