Penulis: Amriadi
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata
“syawara” yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah.[1] Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti
mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.[2]
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar
dari kata kerja syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah
(perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat
dialogis, bukan monologis. Musyawarah
atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan di
dalam masyarakat mana pun. Istilah-istilah lain dalam tata Negara
Indonesia dan kehidupan modern tentang musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug
desa”, “kerapatan negara” bahkan “demokrasi”.[3]
Walaupun pun perbedaannya antara lagit dan bumi
seperti yang ungkapkan oleh syaikh Al Maqdisiy dalam Buku Demokrasi
sesuai dengan Islam?[4].
Musyawarah sangat banyak terdapat dalam kehidupan
sehari-hari seperti Komunikasi, daring termasuk masalah politikpun dikaitkan
dengan musyarah atau yang lebih dikenal dengan Syura. Abdul
Karīm Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah hak ummat dan kewajiban imam
atau pemimpin. Syaikh Almaqdisiy menyimpulkan pengertian syuro sebagai berikut:
Syuro adalah sebuah sistem dan
manhaj rabbaaniy, syariat,
diin (agama) dan hukum Allah Swt. Selanjutnya
Beliau menegaskan bahwa Syura dilakukan pada masalah-masalah yang tidak ada
nash didalamnya, adapun ketika ada nash maka tidak ada syura.[5]
0 comments:
Post a Comment