Oleh: Amriadi Al Masjidiy
Judul Buku :
Mereka Menanti Kita
Penulis :
Fariq Gasim Anuz
Jumlah halaman : xi halman + 84 halaman isi
Penerbit :
Daun Publishing
Cetakan :
Desember 2014
ISBN :
978-602-7545-11-3
Telp. Penerbit : 021-71027573
Banyak orang mengira berda’wah adalah
kewajiban para da’I, Ustad atau orang-orang yang mengerti agama. Sehingga jika
suatu kemungkaran terjadi, seorang muslim merasa bukan tanggung jawabnya.
Konotasi da’wah hanya dipahami sebatas Majelis Ta’lim dan Tablig Akbar.
Semestinya da’wah menjadi komitmen setiap muslim untuk menyebarkan Islam kepada
ruang lingkup kehidupannya. Da’I adalah seorang dokter sepesialis bukan hakim
yang menjatuhkan hukum. Seorang dokter mengobati pasiennya harus dengan rasa
dan kasih. Walaupun pasien tidak sopan padanya, tapi seorang dokter harus sabar
dalam menghadapi pasiennya baik dalam membujuhnya untuk minum obat maupun
menasehatinya agar meningkatkan diri kepada Allah .
Seorang da’I untuk menjadi seorang doctor yang spesialis haruslah
dekat dengan Allah . Dan selalu
memunajatkan kepadanya agar diberikan jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
Ammar Bugis yang cacat tapi hafal Al-Qur’an dan dia seorang wartawan di
berbagai media. Jika dilihat dari pisiknya yang lumpuh total tidak mungkin
menjadi pothografer yang baik. Seorang Ammar Bugis yang cacat telah menjadi
inspirasi banyak orang yang sehat, dia tidak pernah mengeluh dengan kondisinya
yang lumpuh dari sejak kecil. Namun perjalanan sampai sarjana Komunikasi di King
Abdul Aziz University. Ammar pernah menjadi pembawa acara di sejumlah
televisi, acara yang dibawanya mencapai 16 episode. Seorang da’I seperti Ammar
yang lumpuh tapi tetap semangat memperjuangkan da’wah, lalu bagaimana dengan
kita?
Pernah ada isu di jajaring social media, seorang da’I
kondang Timur Tengah telah menyakiti hati Ammar dengan kata-kata yang tidak
pantas. Banyak orang yang mencomooh Syaihk Al-Arifi. Padahal mereka tidak tau
apa yang terjadi antara Ammar dan Arifi, mereka menelan mentah-mentah berita tersebut.
(hlm: 54-55) Menanggapi hal berita ini Ammar berkomentar, “Apa yang terjadi
dengan saya dan guru saya Arifi yang kami hormati itu semata-mata salah paham
dan sepele” Ammar tidak memberikan orang-orang bermuka dua bermain di air yang
keruh. Oleh karena itu saya ingin orang-orang yang suka mengambil kesempatan
dalam kesempitan untuk diam selama-lamanya. Pena telah diangkat dan tinta telah
kering, inilah tanggapan Ammar Bugis.
Sungguh banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah
diatas, Seorang Ammar yang cacat tidak terpancing dengan berita yang
didengarnya. Seorang da’I seperti Arifi yang terkenal sangat menentukan akan
kebanyakkan fitnah yang harus di jalani. Jalan da’wah bagi da’I adalah jalan
yang berat tanggung jawab yang harus dipikul, menahan emosi adalah hal yang pling
penting bagi seorang da’i. Da’I harus siap dan berani merenung kesalahannya
serta mengevaluasi diri. Jangan terlalu berambisi terhadap kehidupan dunia,
karena semua muslim dalam mengapai cita-citanya adalah mendapatkan ridha dan
cinta Allah . Ketika ia lebih
mengutamakan mencari popularitas, pengaruh, jabatan dan kedudukan dari pada
ridhanya, maka dia berjalan menyimpang dari jalan Allah. (hlm. 67)
Rasulullah . Bersabda: “kalian
akan berambisi atas kekuasaan dan (hal itu) akan menjadi penyesalan pada hari
kiamat”. (HR. Bukhari). Orang yang bahagia adalah orang yang lebih
mengutamakan akhirat yang kekal dibandingkan dunia. (hlm. 74). Dr. Abdurrahman
Sumaith seorang da’I Kuwait pernah meneteskan air mata ketika beliau pergi
berda’wah di perdalaman Afrika. Alhamdulillah disana banyak penduduk yang masuk
Islam ditangan beliau. setelah masuk Islam para mualaf ini lantas menangisi
orang tua mereka yang telah wafat dalam keadaan kafir. Mereka berkata, “mengapa
kalian datang terlambat? kemana kalian selama ini?” kata-kata ini membuat
beliau menangis lantaran menyesali keterlambatan beliau berda’wah di desa
tersebut. Beliau merasa bertanggung jawab atas mereka yang wafat dalam keadaan
kufur sebelum datangnya da’wah beliau. Akhirnya
Abdurrahman Sumaith memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan sebagai
dokter internist (Ahli Penyakit Dalam) dan beliau mewakafkan dirinya
sebagai da’I di Negara miskin Afrika. (hlm. 76-77).
Kejadian seperti cerita di atas juga banyak dialami oleh
para da’I di Indonnesia, seperti mereka yang berda’wah di Mentawai, Papua dan
tempat-tempat perdalaman lainnya yang tedak mengenal mandi apalagi mendengarkan
ngaji. Mereka yang tiggal di perdalaman membutuhkan para da’I ilallah bukan
para da’I yang berkeuangan yang maha esa. Abdurrahman Sumaith dengan izin Allah
. Beliau berhasil
mengislamkan sebelas juta orang di benua Afrika dan berhasil mendirikan Lembaga
Aun Al-Mubasyir bersama rekan seperjuangannya. Lembaga ini telah membangun
dan mengelola 860 sekolah, 3 Universitas, 5500 Masjid, mengebor 11.000 sumur,
mengkader 40.000 da’I dan guru serta memberikan beasiswa, menyantuni anak yatim
dan kegiatan social lainnya. Kemajuan da’wah beliau di Afrika ini mendapatkan
sambutan yang baik dari umat Islam, mendapatkan hadiah King faisal Award dari
kerajaan Suadi sebagai ucapan terima kasih atas pelayanannya kepada umat di
Afrika, tetapi semua hadiah dan sumbangan masyarakat Islam disumbangkan semua
untuk berjalan da’wah di Afrika. (hlm. 77-78)
Buku
kecil karangan Fariq Gasim Anus yang sering tulisan dimuat di Kolom Hikmah
Harian Republika sangat banyak gizi yang di sajikan dan sangat menarik untuk di
kaji. Apalagi ditambah dengan kisah para pejuang dijalan da’wah. Sangat cocok
bagi aktivis da’wah untuk membaca dan mengikuti jejak mereka yang berda’wah di
desa perdalaman.
***
0 comments:
Post a Comment