Friday, March 13, 2015

Perusakkan Aqidah Via Pendidikan.




Oleh: Amriadi 
(Ketua Umum IRF)

Pendidikan Indonesia tergolong rendah dan juga mematikan. Problematikan pendidikan di Indonesia mulai saat ini sangat hancur dengan arus penyerangan perusakkan aqidah maupun moral bangsa serta penyesatan akan sejarah di Indonesia. Maka dari itu Indonesia membutuhkan para Da’I atau tenaga pengajar yang memang konsisten akan pentingnya mencerdaskan ummat dan bangsa dari pembodohan. Laju perusakkan aqidah Islam dan moral bangsa sangat jelas kelihatannya dari berbagai fenomena-fenomena yang terjadi didalam masyarakat.
Perusakan terkadang di design dengan sangat sempurna sehingga banyak realita yang tidak kita ketahui dan sulit untuk di cerna oleh akal dan penglihatan kita. Bangaimana akal bisa menerima tempat pendidikan Agama yang menciptakan kader ummat yang menjadi penghalang perusakkan aqidah, tapi justru tempat itu adalah tempat perusakkan aqidah ummat. Walaupun hal ini hanya sedikit tapi yang sedikit ini bagaikan tinta yang jatuh ke air bening. Cara memahami Islam di pesantren-pesantren dan masyarakat umum dipotong di tengah jalan, agar tidak sampai pada merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Caranya, agar cukup dilihat para tokoh agama melakukan atau tidak. Ketika mereka melakukan, berarti itulah agama. Padahal, aneka bid’ah, bahkan kesesatan, yang kemungkinan sampai tingkat syirik akbar dilakukan oleh para tokoh agama. Akibatnya, laju kesesatan lebih cepat dan berkembang dibanding da’wah shahihah, apalagi da’wah yang membendung kesesatan.
Cara ini paling ampuh digunakan dalam mengahancurkan Islam. Sadar atau tidak, telah terjadi perusakan aqidah lewat pondok pesantren. Apa buktinya, tentu kalau tidak ada bukti kita tidak akan membicarakannya. Masih ingatkah kita akan peringatan haul gusdur di Klenteng Gudo di Jombang, Jawa Timur, Sabtu 7 Desember 203 yang lalu. Apa yang terjadi di Klenteng, doa bersama dengan agama Konghucu yang diikuti oleh para kiyai dan para santri. Sebelum melakukan doa bersama dengan orang-orang kafir, Salahuddin Wahid ketika jadi pembicara di klenteng ini  dia membanggakan hal-hal yang dapat dinilai kebablasan menyangkut tidak dijaganya akidah Islam dan kaitannya dengan wala’ (kecintaan kepada Islam dan Muslimin) dan bara’ (lepas diri) dari kekafiran dan orang kafir. Batas-batas wala’ dan bara’ tampak diterjangnya. Hingga bukan hanya “membawa” para santri ke klenteng dalam acara ini, namun bicara yang melewati batas-batas wala’ dan bara’ pula, dengan seolah nada bangga.
Menurut seorang penulis di kompasiana, dalam acara di klenteng itu Gus Solah bercerita bahwa di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang kerap kali dijadikan tempat para pendeta atau calon pastur untuk menginap dan belajar, khususnya di bulan puasa. Dengan demikian, para pastur tadi bisa melihat sendiri bahwa agama Islam tidak pernah mengajarkan terorisme, melainkan kasih sayang. Hal serupa juga demikian, beberapa santri diharapkan dapat tinggal di seminari untuk melihat bagaimana agama lain. Itulah sebagian dari yang diceritakan Salahuddin Wahid.
Maka dengan demikian para pastur dengan leluasa mencuci otak para santri untuk pindak agama atau paling tidak mengakui agama Kristen atau yang lainnya adalah benar. Sehingga hasilnya pondok pesantren bukan tempat penjaga aqidah tapi justru perusakkan aqidah yang sangat parah dan jangan heran mereka dengan mudah mengatakan semua agama adalah sama, hanya saja cara menuju tuhan yang maha esa berbeda. Ini sungguh penyesatan ummat yang nyata, Allah . Berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19 yang artinya, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…” selanjutnya dalam ayat yang ke 85 surat Ali Imran, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.”
Dari ayat diatas jelaslah sudah bagi kita umat Islam adalah agama yang benar dan sempurna. Hal ini juga sangat bertentangan dengan surat Al-Kafirun ayat ke 6 yang artinya: “untukmu Agamamu dan untukkulah, agamaku.” Jadi Al-Qur’an sangat jelas mengatakan Islam tidak sama dengan agama lainnya. Perusakan aqidah zaman jahiliyah masih ada tawar-menawar secara harus sehingga ayat 1-6 surat Al-Kafirun diatas menjadi as-babun nuzul. Karena pembesaran kafir mengatakan kami beriman kepada tuhan mu (Muhammad) selama setahun kemudian engkau beriman kepada Latta wa Udza selama satu tahun. Namun Allah langsung menjawabnya dengan ayat di atas. Perusakkan Aqidah  di zaman sekarang tanpa tawar menawar lagi, tanpa harus barter penukaran beriman kepada Islam. Tapi mereka berusaha untuk merusak aqidah umat tanpa disadari yaitu dengan memberikan beberapa beasiswa kepada mahasiswa untuk belajar Islam kepada Nasrani dan Yahudi. Sehingga sepulangnya dari Universitas luar negeri dan mempunyai pengaruh untuk merusak aqidah Islam oleh mereka yang belajar Islam pada pendeta di Barat.
Cara memahami Islam di tingkat perguruan tinggi yang berlabel Islam dialihkan dari merujuk kepada dalil menjadi merujuk kepada fenomena sosial. Pemahaman ini mengikuti Kristen dengan memahami agama pakai metode sosiologi agama. Padahal sosiologi agama itu sendiri pelopornya yang terkemuka Émile Durkheim (Paris, France April 15, 1858 – November 15, 1917) menganggap agama itu hanya gejala sosial, dan yang namanya Tuhan itu hanya ada bagi yang menganggapnya ada. Sehingga, dari metode itu, apapun yang menggejala di masyarakat itulah agama, dan semuanya sah-sah saja. Sehingga antara yang kafir dengan yang mu’min tidak ada bedanya. Hingga arah Pendidikan tinggi Islam di Indonesia untuk menghasilkan manusia-manusia yang pemahaman Islamnya terbalik. Seharusnya makin dididik itu makin mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil, namun sebaliknya justru menyamakan antara yang mukmin dengan yang kafir.
Lebih dari itu justru menjadi pembelaIa orang kafir yang merusak Islam. Contohnya Azyumardi Azra dari UIN Jakarta sangat membela Ahmadiyah ciptaan nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad. Dia tidak sayang terhadap Umat Islam yang dimurtadkan oleh Ahmadiyah, tapi justru lebih sayang kepada Ahmadiyah yang merusak itu. Itulah perusakan Islam yang sebenar-benarnya, bahkan lebih dahsyat dibanding pembunuhan fisik, karena yang dibunuh adalah imannya diganti dengan kemusyrikan baru yang disebut pluralisme agama dan ditingkatkan jadi multikulturalisme. Itulah yang sejatinya pemurtadan, bahkan secara sistematis lewat pendididkan tinggi Islam. Makanya sampai ditulis buku “Ada Pemurtadan di IAIN” (Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta), maksudnya adalah perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Pemurtadan itu menurut Al-Qur’an adalah lebih dahsyat bahayanya dibanding pembunuhan fisik. Karena kalau seseorang itu yang dibunuh badannya, sedang hatinya masih beriman (bertauhid), maka insya Allah masuk surga. Tetapi kalau yang dibunuh itu imannya, dari Tauhid diganti dengan kemusyrikan atau kekafiran, maka masuk kubur sudah kosong iman tauhidnya berganti dengan kemusyrikan/ kekafiran; maka masuk neraka selama lamanya.
Hingga ditegaskan dalam Al-Qur’an; “dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.” (QS Al-Baqarah: 191) dan dalam ayat 217 “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” Arti fitnah dalam ayat ini adalah pemusyrikan, yaitu mengembalikan orang mu’min kepada kemusyrikan.
            Imam At-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan; “Mengembalikan (memurtadkan) orang mu’min kepada berhala itu lebih besar bahayanya atasnya daripada pembunuhan.” Itulah betapa dahsyatnya pemusyrikan yang kini justru digalakkan secara intensip dan sistematis, masih pula ditemani secara mesra oleh mereka yang tidak menyayangi iman Umat Islam. Relakah generasi Muslim yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia bahkan merupakan penduduk yang jumlah Muslimnya terbesar di dunia ini dibunuhi imannya secara sistematis? Di samping itu masih pula ditambah dengan pengaruh gencarnya propaganda syiah dari Iran ke Indonesia, juga aneka faham liberal yang tidak sesuai dengan Islam. Sehingga, aqidah Umat Islam Indonesia benar-benar perlu diselamatkan. Dari sinilah kita menyadari betapa pentingnya untuk mempersiapkan kader-kader mahasiswa yang lurus ilmunya dan teguh agamanya untuk menjadi barisan terdepan dalam menghadapi bahaya perusakan aqidah yang dilancarkan secara massif di Indonesia. (Has/Am)


SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: