Oleh: Amriadi
(Ketua Umum IRF)
Pendidikan Indonesia tergolong rendah
dan juga mematikan. Problematikan pendidikan di Indonesia mulai saat ini sangat
hancur dengan arus penyerangan perusakkan aqidah maupun moral bangsa serta
penyesatan akan sejarah di Indonesia. Maka dari itu Indonesia membutuhkan para
Da’I atau tenaga pengajar yang memang konsisten akan pentingnya mencerdaskan
ummat dan bangsa dari pembodohan. Laju perusakkan aqidah Islam dan moral bangsa
sangat jelas kelihatannya dari berbagai fenomena-fenomena yang terjadi didalam
masyarakat.
Perusakan terkadang di design dengan
sangat sempurna sehingga banyak realita yang tidak kita ketahui dan sulit untuk
di cerna oleh akal dan penglihatan kita. Bangaimana akal bisa menerima tempat
pendidikan Agama yang menciptakan kader ummat yang menjadi penghalang
perusakkan aqidah, tapi justru tempat itu adalah tempat perusakkan aqidah
ummat. Walaupun hal ini hanya sedikit tapi yang sedikit ini bagaikan tinta yang
jatuh ke air bening. Cara
memahami Islam di pesantren-pesantren dan masyarakat umum dipotong di tengah
jalan, agar tidak sampai pada merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Caranya,
agar cukup dilihat para tokoh agama melakukan atau tidak. Ketika mereka
melakukan, berarti itulah agama. Padahal, aneka bid’ah, bahkan kesesatan, yang
kemungkinan sampai tingkat syirik akbar dilakukan oleh para tokoh agama.
Akibatnya, laju kesesatan lebih cepat dan berkembang dibanding da’wah shahihah,
apalagi da’wah yang membendung kesesatan.
Cara
ini paling ampuh digunakan dalam mengahancurkan Islam. Sadar atau tidak, telah
terjadi perusakan aqidah lewat pondok pesantren. Apa buktinya, tentu kalau
tidak ada bukti kita tidak akan membicarakannya. Masih ingatkah kita akan
peringatan haul gusdur di Klenteng Gudo di Jombang, Jawa Timur, Sabtu 7
Desember 203 yang lalu. Apa yang terjadi di Klenteng, doa bersama dengan agama
Konghucu yang diikuti oleh para kiyai dan para santri. Sebelum melakukan doa
bersama dengan orang-orang kafir, Salahuddin Wahid ketika jadi pembicara di
klenteng ini dia membanggakan hal-hal yang dapat dinilai kebablasan
menyangkut tidak dijaganya akidah Islam dan kaitannya dengan wala’ (kecintaan
kepada Islam dan Muslimin) dan bara’ (lepas diri) dari kekafiran dan orang
kafir. Batas-batas wala’ dan bara’ tampak diterjangnya. Hingga bukan hanya
“membawa” para santri ke klenteng dalam acara ini, namun bicara yang melewati
batas-batas wala’ dan bara’ pula, dengan seolah nada bangga.
Menurut
seorang penulis di kompasiana, dalam acara di klenteng itu Gus Solah bercerita
bahwa di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang kerap kali dijadikan tempat para
pendeta atau calon pastur untuk menginap dan belajar, khususnya di bulan puasa.
Dengan demikian, para pastur tadi bisa melihat sendiri bahwa agama Islam tidak
pernah mengajarkan terorisme, melainkan kasih sayang. Hal serupa juga demikian,
beberapa santri diharapkan dapat tinggal di seminari untuk melihat bagaimana
agama lain. Itulah sebagian dari yang diceritakan Salahuddin Wahid.
Maka
dengan demikian para pastur dengan leluasa mencuci otak para santri untuk
pindak agama atau paling tidak mengakui agama Kristen atau yang lainnya adalah
benar. Sehingga hasilnya pondok pesantren bukan tempat penjaga aqidah tapi
justru perusakkan aqidah yang sangat parah dan jangan heran mereka dengan mudah
mengatakan semua agama adalah sama, hanya saja cara menuju tuhan yang maha esa
berbeda. Ini sungguh penyesatan ummat yang nyata, Allah
. Berfirman
dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19 yang artinya, “Sesungguhnya agama
(yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…” selanjutnya dalam ayat yang
ke 85 surat Ali Imran, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi.”
Dari
ayat diatas jelaslah sudah bagi kita umat Islam adalah agama yang benar dan
sempurna. Hal ini juga sangat bertentangan dengan surat Al-Kafirun ayat ke 6
yang artinya: “untukmu Agamamu dan untukkulah, agamaku.” Jadi Al-Qur’an
sangat jelas mengatakan Islam tidak sama dengan agama lainnya. Perusakan aqidah
zaman jahiliyah masih ada tawar-menawar secara harus sehingga ayat 1-6 surat
Al-Kafirun diatas menjadi as-babun nuzul. Karena pembesaran kafir mengatakan
kami beriman kepada tuhan mu (Muhammad) selama setahun kemudian engkau beriman
kepada Latta wa Udza selama satu tahun. Namun Allah langsung menjawabnya dengan
ayat di atas. Perusakkan Aqidah di zaman
sekarang tanpa tawar menawar lagi, tanpa harus barter penukaran beriman kepada
Islam. Tapi mereka berusaha untuk merusak aqidah umat tanpa disadari yaitu
dengan memberikan beberapa beasiswa kepada mahasiswa untuk belajar Islam kepada
Nasrani dan Yahudi. Sehingga sepulangnya dari Universitas luar negeri dan
mempunyai pengaruh untuk merusak aqidah Islam oleh mereka yang belajar Islam
pada pendeta di Barat.
Cara
memahami Islam di tingkat perguruan tinggi yang berlabel Islam dialihkan dari
merujuk kepada dalil menjadi merujuk kepada fenomena sosial. Pemahaman ini
mengikuti Kristen dengan memahami agama pakai metode sosiologi agama. Padahal
sosiologi agama itu sendiri pelopornya yang terkemuka Émile Durkheim (Paris,
France April 15, 1858 – November 15, 1917) menganggap agama itu hanya gejala
sosial, dan yang namanya Tuhan itu hanya ada bagi yang menganggapnya ada.
Sehingga, dari metode itu, apapun yang menggejala di masyarakat itulah agama,
dan semuanya sah-sah saja. Sehingga antara yang kafir dengan yang mu’min tidak
ada bedanya. Hingga arah Pendidikan tinggi Islam di Indonesia untuk
menghasilkan manusia-manusia yang pemahaman Islamnya terbalik. Seharusnya makin
dididik itu makin mampu membedakan mana yang haq dan mana yang batil, namun
sebaliknya justru menyamakan antara yang mukmin dengan yang kafir.
Lebih
dari itu justru menjadi pembelaIa orang kafir yang merusak Islam. Contohnya
Azyumardi Azra dari UIN Jakarta sangat membela Ahmadiyah ciptaan nabi palsu
Mirza Ghulam Ahmad. Dia tidak sayang terhadap Umat Islam yang dimurtadkan oleh
Ahmadiyah, tapi justru lebih sayang kepada Ahmadiyah yang merusak itu. Itulah
perusakan Islam yang sebenar-benarnya, bahkan lebih dahsyat dibanding
pembunuhan fisik, karena yang dibunuh adalah imannya diganti dengan kemusyrikan
baru yang disebut pluralisme agama dan ditingkatkan jadi multikulturalisme.
Itulah yang sejatinya pemurtadan, bahkan secara sistematis lewat pendididkan
tinggi Islam. Makanya sampai ditulis buku “Ada Pemurtadan di IAIN”
(Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta), maksudnya adalah perguruan
tinggi Islam di Indonesia.
Pemurtadan
itu menurut Al-Qur’an adalah lebih dahsyat bahayanya dibanding pembunuhan
fisik. Karena kalau seseorang itu yang dibunuh badannya, sedang hatinya masih
beriman (bertauhid), maka insya Allah masuk surga. Tetapi kalau yang dibunuh
itu imannya, dari Tauhid diganti dengan kemusyrikan atau kekafiran, maka masuk
kubur sudah kosong iman tauhidnya berganti dengan kemusyrikan/ kekafiran; maka
masuk neraka selama lamanya.
Hingga ditegaskan dalam Al-Qur’an; “dan fitnah itu lebih
besar bahayanya dari pembunuhan.” (QS Al-Baqarah: 191) dan dalam ayat
217 “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” Arti
fitnah dalam ayat ini adalah pemusyrikan, yaitu mengembalikan orang mu’min
kepada kemusyrikan.
Imam
At-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan; “Mengembalikan (memurtadkan) orang
mu’min kepada berhala itu lebih besar bahayanya atasnya daripada pembunuhan.”
Itulah betapa dahsyatnya pemusyrikan yang kini justru digalakkan secara
intensip dan sistematis, masih pula ditemani secara mesra oleh mereka yang
tidak menyayangi iman Umat Islam. Relakah generasi Muslim yang menjadi
mayoritas penduduk Indonesia bahkan merupakan penduduk yang jumlah Muslimnya
terbesar di dunia ini dibunuhi imannya secara sistematis? Di samping itu masih
pula ditambah dengan pengaruh gencarnya propaganda syiah dari Iran ke
Indonesia, juga aneka faham liberal yang tidak sesuai dengan Islam. Sehingga,
aqidah Umat Islam Indonesia benar-benar perlu diselamatkan. Dari sinilah kita
menyadari betapa pentingnya untuk mempersiapkan kader-kader mahasiswa yang
lurus ilmunya dan teguh agamanya untuk menjadi barisan terdepan dalam
menghadapi bahaya perusakan aqidah yang dilancarkan secara massif di Indonesia.
(Has/Am)
0 comments:
Post a Comment