Oleh: Amriadi (Pimpinan Islamic Research Forum)
A.
Pengertian
Menetapkan
suatu definisi nampaknya sangat sulit untuk dilakukan. Persoalannya bukan
terletak pada definisi yang dibuat, tetapi bagaimana cara memahamkan istilah atau
definisi tersebut agar dapat dipahami, dimengerti, dan diterima oleh
masyarakat. Demikian juga dengan istilah filsafat, sulit sekali untuk
memberikan suatu batasan yang benar (pasti) tentang kata tersebut. Buktinya
para filsuf selalu berbeda dalam mendefinisikan filsafat. Ini adalah persoalan
yang sudah lama namun dianggap sepele.[1]
Dalam
penjabaran “Pengantar Filsafat Islam,” yang harus kita pahami kata demi kata
agar tidak terjadi kesalahan maksud dan tujuan yang akan kita bahas. Kata yang
harus kita terjmahkan atau kita definisikan dalam pembahasan ini adalah kata
Filsafat. Namun karena tulisan ini ada kemungkinan dibaca oleh semua kalangan
maka ada baiknya kita mengetahui seluruh kata kunci dalam judul itu sendiri.
“Pengantar
Filsafat Islam” terdiri dari 3 kata
yaitu kata Pengantar, Filsafat dan Islam. Pengantar dalam bahasa sehari
merupakan mengantarkan, contohnya saya mengantarkan kamu sampai tempat tujuan. Saya
dalam contoh diatas adalah pengantar (objek) dan kamu dalam contoh diatas
adalah yang diantarkan (subjek). Pengantar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah orang yang mengantarkan, alat untuk mengantarkan, pembimbing,
pandangan umum secara ringkas sebagai pendahuluan (mengenai isi buku, ceramah
dan sebagainya).[2]
Jadi pengantar disini dapat kita simpulkan sebagai pandangan umum mengenai
filsafat Islam yang digambarkan secara ringkas, padat dan tentunya dapat
dimengerti.
Kata
kunci selanjutnya dalam dalam pembahasan berikutnya adalah Filsafat, dalam
bahasa Inggris, yaitu: philosohy,
adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani: Philosohia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan sophos
(hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi).
Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (
love of freedom). Orangnya disebut filosof dalam bahasa Arab disebut failasuf.[3]
Plato
(427 SM-347 SM) mengungkapkan pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang
berminat untuk mencapai kebenaran yang asli. Aristoteles (381 SM-322 SM)
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung
di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika. Seorang politikus Romawi Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM)
merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan
usaha-usaha untuk mencapainya.[4]
Dalam
istilah filsafat dalam bahasa Arab dikenal arti falsafah dan faisuf;
hukama’ al-Islam atau falasifat al-Islam. Dari kata tersebut
Mustafa Abdurraziq menyimpulkan falsafah dalam dua kata yaitu hikmat dan
hakim. Kata hikmat disini diartikan sebagai pengetahuan atau
kebijaksanaan untuk menghalangi orang berbuat perbuatan rendah (hina). Dalam
hal ini hikmat dan hakim bisa dicapai oleh manusia melalui nalar
dan metode berpikir[5]
sebagaimana Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an yang artinya: “Allah menganugerahkan Al Hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269). Yang
perlu digaris bawahi dalam pengunaan kata Hikmat dan Hakim tidak selalu berarti
falsafah dan failosuf, tapi kata hakim juga dinisbahkan kepada Allah
. Dialah
yang mempunyai hikmat, hakim juga diterjemahkan dengan “Maha Bijaksana”. Maka
dari itu pengunaan kata ini harus sesuai dengan konteknya.[6]
Filosof
muslim, Al-Farabi (870-950), mengemukakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekat yang
sebenarnya (al-‘ilm bi al maujudat bima hiya maujudat). Menurut Syekh Nadin
al-Jisr, salah seorang komentator pemikiran filsafat Ibn Tufail (1100-1185),
Filsafat adalah usaha-usaha pikiran untuk mengetahui semua prinsip pertama.[7]
Dalam
KBBI Filsafat diartikan sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya.[8]
Dalam Teori Immanuel Kant pada tahun 1724 M-1804 M seorang pemikir barat,
filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat
persoalan, yaitu; pengetahuan dijawab oleh metafisika, pekerjaan dijawab oleh
etika, pengharapan dijawab oleh Agama dan manusia itu dapat dijawab oleh
Antropologi.[9]
Apa
yang dapat kita simpul setelah melihat begitu banyak pendapat dan pemikiran
mengenai apa itu filsafat. Kemungkinan sangat membingungkan, dan bahkan anda
akan berhenti membaca pembahasan ini karena tidak dapat mengambil kesimpulan
apa itu filsafat. Harun Nasution menyimpulkan definisi ini antara lain sebagai
berikut; pengetahuan tentang hikmat, pengetahuan tentang prinsip atau
dasar-dasar, mencari kebenaran dan lain-lain. Intisari dari filsafat menurutnya
ialah berpikir menurut logika dengan bebas tidak terikat dengan tradisi,dogma
dan agama. Ia melanjutkan teorinya filsafat agama adalah dasar-dasar agama.[10]
Kesimpulan Harun Nasution masih sangat umum untuk mengetahui apa itu filsafat.
Gambaran
yang mendekati kejelasan mengenai apa itu filsafat adalah pendapat Titus, ia
menyimpulkan arti filsafat sebagai berikut; Pertama, filsafat adalah
sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam, biasanya diterima
secara kritis. Kedua, Filsafat ialah suatu proses kritik atau pemikiran
terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ketiga,
Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Keempat,
Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti
kata dan konsep. Kelima, Filsafat adalah
sekumpulan problema-problema yang langsung mendapatkan perhatian dari
manusiadan dicari jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.[11]
Dari
penjelasan Titus sedikit tidaknya kita dapat mengerti apa itu filsafat, apakah
filsafat bertentangan dengan Islam dan apa itu Islam sendiri. Islam adalah
agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah yang maha kuasa kepada manusia
melalui utusanNya Muhammad
.
Ajaran-ajarannya terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits (pekerkataan, Perbuatan,
persetujuaan, dan Sifat Muhammad
.) dalam
bentuk perintah, larangan, dan petunjuk untuk kebaikan manusia baik didunia
maupun di akhirat.[12]
Kata
Islam berasal dari kata Aslama-yaslimu-islam yang artinya berserah diri
dan kedamaian. Lebih lanjut Islam berarti agama yang damai dengan berserah diri
kepada Allah yang maha Kuasa, dan orang yang menganut agama Islam disebut
muslim. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi
Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran: 19)[13]
Dari pengertian di atas dapat diambil kemsimpulan Pengantar Filsafat Islam
adalah pandangan umum secara ringkas sebagai pendahuluan pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan
hukumnya dengan berserah diri kepada Allah
sang pencipta dan Rasulullah
.
B.
Ciri-Ciri Pemikir Filsafat
Semua manusia hidup yang
normal senantiasa ditandai dengan kegiatan yang khas yaitu berfikir.kegiatan
berfikir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain,namun tiidak semua
kegiatan berfikir disebut dengan kegiatan berfilsafat.demikian juga kegiatan
secara kefilsafatan bukan hanya merenung atau kontenplasi belakang yang tdak
ada sangkut mautnya dengan realitas,namun berfikir secara kefilsafatan
senantiasa berkaitan dengan masalah manusia dan bersifat aktual dan hakiki.[14]
Maka suatu kegiatan berfikir secara kefilsafatan pada hakikatnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut; Pertama, Suatu kegiatan
berfikir secara kefilsafatan senantiasa bersifat kritis yaitu senantiasa
mempertannyakaan segala sesuatu,problem-problem, atau hal-hal yang lain.sifat
kritis ini juga mengawali perkembanggan ilmu pengetahuan modern. Kedua, Berfikir secara konseptual yaitu mengenai hasil
generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang
hal-hal serta proses-proses individual. Berfikir secara kefilsafatan tidak
bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatanbebas yang dilakukan
oleh orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang
psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran.[15]
Ketiga, Berfikir secara koheren
dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir dan tidak
mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir secara runtut. Keempat, Berfikir secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat
berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan. Kelima, Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir
tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh
seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus
yang ada dalam kenyataan. [16]
Keenam, Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir
tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh
seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus
yang ada dalam kenyataan. Ketujuh, Sistematik artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus
saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan
tertentu. Kedelapan, Bertanggung jawab artinya seseorang
yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap
hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.[17]
C.
Sejarah
Masuknya Filsafat dalam Islam
Sebagian ahlul ahwa wal bida'
(orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan pelaku bid'ah, golongan
menyimpang dalam Islam) mengklaim bahwa ilmu-ilmu ilahi (akidah) itu masih
ghâmidhah (kabur dan tak terpahami). Menurut mereka, tidak mungkin dimengerti
kecuali melalui jalan ilmu manthiq dan filsafat. Bertolak dari sinilah kemudian
mereka (kaum Mu'tazilah dan yang sepaham dengan mereka sampai era sekarang)
mengadopsi ilmu filsafat untuk dijadikan sebagai perangkat pendukung untuk
mendalami akidah Islam. Maka dari itu bagaimana sesungguhya filsafat Islam.
Dalam karya-karya peneliti Barat, mayoritas mereka
menggambarkan bahwa asal usul filsafat Islam berasal dari Yunani. Mungkin
pendapat mereka ada benarnya jika dikaitkan dengan istilah falsafah yang
dipakai untuk menyebut filsafat Islam. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
istilah falsafah merupakan derivasi dari kata philosophia yang
berasal dari bahasa Yunani. Namun, memahami istilah falsafah hanya
sampai di situ tidak akan memberikan manfaat apa-apa, karena meskipun terkesan
hanya Arabicized bahasa Yunani, ternyata keduanya mengandung konsep yang
sangat berbeda. Hal inilah yang ternyata banyak luput dari pemahaman sebagian
pengkaji filsafat Islam.
Istilah falsafah sebenarnya sudah tidak bisa
lagi dikaitkan dengan asalnya philosophia, karena adanya perbedaan
makna yang mendalam antara keduanya. Istilah philosophia sendiri dari
sejak zaman kuno, pertengahan, dan modern juga telah mengalami perubahan makna
dari konsepsi rasional, kritis dan akhirnya konsepsi positivis.[18] Padahal
itu terjadi di alam peradaban Barat sendiri yang mengaku sebagai pewaris dan
kelanjutan Yunani Kuno. Apalagi dengan peradaban umat Islam yang mempunyai worldview
berbeda dengan Yunani. Oleh karena itu, tidak heran jika istilah falsafah
itu sudah disesuaikan dengan konsep-konsep dalam worldview Islam yang
dipancarkan oleh al-Qur’an. Hal ini akan kita buktikan lebih jelas dalam
pembahasan interaksi para filosof muslim dengan warisan Yunani Kuno.
Di kalangan Muslim sendiri, pada mulanya nama falsafah
dipakai sebagai julukan yang diberikan kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad
ke-8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Tidak sedikit para ulama yang
menolak falsafah pada masa itu, khususnya dari para fuqaha’, muhaddithun
dan para ulama salaf.[19] Hal itu
tidak lain karena adanya pertentangan konsep falsafah dengan
pandangan Islam sendiri. Namun setelah proses -sebut saja- islamisasi, nama falsafah
dipahami sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang
pengetahuan dalam Islam. Asal usul nama falsafah pun akhirnya tidak lagi
dipermasalahkan, yang jelas falsafah dikenal sebagai ilmu tentang Wujud.[20] Bahkan,
Ibn Taimiyah
yang sebelumnya menolak keras,
pada akhirnya menerima falsafah, tapi dengan syarat harus berdasarkan
pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi. Falsafah
yang demikian, ia sebut sebagai al-Falsafah al-Shahihah atau
al-Falsafah al-Haqiqiyyah.[21] Namun
beliau tetap saja menolak pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rushd yang
dianggap masih bercampur dengan pemikiran Yunani.
Adannya penolakan terhadap filsafat Yunani dan
kemudian diterima oleh para ulama, menunjukkan bahwa Islam telah mempunyai
konsep filsafat yang bukan berasal dari Yunani. Hal ini bisa dibuktikan dengan
adanya istilah hikmah dalam tradisi intelektual Islam. Menurut Alparslan
Acikegence, konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an tentang alam semesta,
manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dan lain-lainnya adalah
konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan
kebenaran. Semua itu dalam tradisi intelektual Islam tergolong dalam apa yang
disebut hikmah. Dari sini sangat jelas bahwa dalam Islam tradisi
berpikir filosofis sudah ada sebelum berinteraksi dengan tradisi Yunnani.[22]
Oleh karena itu, Menurut C.A. Qadir, mengaitkan
filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah jauh dari benar. Sumber pemikiran
para pemikir Muslim yang asli adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Yunani hanya
memberi dorongan dan membuka jalan untuknya. Fakta bahwa Muslim berhutang pada
Yunani adalah sama benarnya dengan fakta bahwa Muslim juga bertentangan dengan
beberapa pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam
semesta misalnya, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang
justru tidak terdapat dalam filsafat Yunani.[23]
Al-Hâfizh Ibnu Hajar
menceritakan,
"Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan
dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi'in dan
generasi Tabi'it Tabi'in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang
sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara
agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum
filosof sebagai sumber pijakan untuk me'luruskan' atsar yang berseberangan
dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak
berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah
ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti".[24]
Karena itulah, kaum Mu'tazilah dan
golongan yang sepemikiran dengan mereka tidak bertumpu pada kitab tafsir
ma'tsur, hadits dan perkataan Salaf. Perkataan al-Hâfizh
merupakan
seruan yang tegas untuk berpegang teguh dengan petunjuk Salaf dan menjauhi
perkara baru yang diluncurkan oleh generasi Khalaf yang bertentangan dengan
petunjuk generasi Salaf. Syaikhul Islam rahimahullah mendudukkan, bahwa
penggunaan ilmu filsafat sebagai salah satu dasar pengambilan hukum adalah
karakter orang-orang mulhid dan ahli bid'ah. Karena itu, terdapat pernyataan
Ulama Salaf yang menghimbau umat agar iltizam dengan al-Qur`ân dan Sunnah dan
memperingatkan umat dari bid'ah dan ilmu filsafat (ilmu kalam).[25]
Pada
masa pemerintahan harun Ar-Rasyid tahun 786 M, buku pengetahuan Yunani
diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Orang-orang dikirim ke Romawi di Eropa untuk
membeli manuskrip. Pada mulanya manuskrip yang diterjemahkan adalah masalah
kedoktoran, tetapi kemudian ilmu pengetahuan lain juga menjadi perhatian
termasuk filsafat. Salah satu penerjemah masa itu adalah Hunayn bin Ishaq
seorang Kristen yang pandai bahasa Arab dan Yunani sampai tahun 873 M. Sebagian
besar penerjemah inilah karya-karya Aristoteles, Plato dan lainnya dibaca oleh
para ulama. Dari sinilah menarik perhatian Mu’tazilah yang dipengaruhi oleh
akal filsafat Yunani, maka tidak heran jika teologi Mu’tazilah bercorak rasional
dan liberal.[26]
Munculnya
para filsuf Islam dan ahli ilmu pengetahuan, terutama dibidang kedokteran
seperti Abu Al Abbas Al-Sarkasyi pada abad ke 9 M, Ar-Razi pada abad ke 10 M
dan lain-lain. Filsuf pertama dalam Islam muncul pada abad ke 9 M, yaitu
Al-Kindi seorang penganut Mu’tazilah. Belakangan muncul filsuf berikutnya
seperti Al-Ghazali seorang filsuf pertama yang berhasil merekonsilisasikan
antara rasionalisme, ritualisme, dogmatism, dan mistisisme. Ada Ibnu Rasyid
(Averoes) seorang filsuf yang besar pengaruhnya, bukan saja didunia Islam
bahkan sampai ke Barat beberapa abad yang lalu sehingga melahirkan apa yang
disebut Averoisme (Rusyddiyyah). Filsuf Islam terus bermunculan dan bahkan
terkenal sampai ke Barat seperti Ibnu Rasyid, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina
(Avecinea) dan sebagainya.[27]
Islam
di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam
bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang
dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap
filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M, selama
pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd Al-Rahman
(832-886 M). Atas inisiatif Al-Hakam (961 – 976 M), karya-karya ilmiah dan
filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga, Cordova dengan
perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu manyaingi Baghdad sebagai
pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para
pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan
filosof-filosof besarpada masa sesudahnya.[28]
Pada
tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam
mulai berkembang lagi. Pada tahun 1214, frederick mendirikan Universitas
Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitan-kitab
berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus
Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat
berbahasa latin karangan kaum muslim. Berkembangnya ajaran ilmu filsafat Ibnu
Rushd di Eropa Barat tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak
orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar
Ibnu Rushd dengan judul De Coele et De Mundo dan bagian pertama dari kitab
Anima.[29]
Pekerjaan
yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterjemahkan karya-karya
filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu
pengetahuan di Eropa Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh
Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid dari dinasti Abbasiyah, untuk mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan di jazirah Arab. Setelah Kaisar Frederick II
wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk
tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke
Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq
karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan
abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Latin, termasuk kitab Tahafut-Et-Tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus
pada tahun 1328.[30]
Kemajuan
Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada
khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang
banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia
dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam. Spanyol
merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik
dalam bentuk hubungan politik, sosial maupun perekonomian, dan peradaban antar
negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah
kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tentangganya Eropa, terutama
dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik.
Bagian
terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198). Ia melepaskan
belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan bepikir. Ia mengulas pemikiran
Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas.
Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap
pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa,
hingga di Eropa timbul gerakan Averroisme (Ibn Rusyd-isme) yang menuntut
kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan
Averroisme ini.[31]
Berawal
dari gerakan Averroisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad
ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M. buku-buku Ibn Rusyd dicetak di
Vinesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489 dan 1500 M. Bahkan, edisi lengkapnya
terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. karya-karyanya juga diterbitkan pada abad
ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 M di
Jenewa. Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke
Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di
universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville,
Malaga, Granada dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif
menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan itu
adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan
universitas yang sama.[32]
Universitas
pertama di Eropa adalah universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M,
tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Diakhir zaman pertengahan Eropa,
baru berdiri 18 buah universitas. Didalam universitas-universitas itu, ilmu
yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu
kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak
dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Pengaruh ilmu
pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu
menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di
Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini
adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.[33]
Walaupun
Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi
ia telah membidangi gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu
adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada
abad ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung)
pada abad ke-18 M.[34]
D.
Tinjauan
Para Ulama’ Terhadap Filsafat
Melalui ilmu filsafatlah, intervensi
pemikiran asing masuk dalam Islam. Tidaklah muncul ideologi filsafat dan
pemikiran yang serupa dengannya kecuali setelah umat Islam mengadopsi dan
menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani melalui kebijakan pemerintahan
di bawah kendali al-Makmûn masa itu. Ibnul Jauzi
mengatakan,
“Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari
filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan
apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh
, yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah.
Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan
selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang
buruk yang pada gilirannya merusak akidah.”[35]
Ketika orang sudah memasuki dimensi
filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih. Ibnu Rajab
mengatakan,
“Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu kalam dan filsafat) kecuali akan
terkena bahaya dari mereka (kaum filosof).” Karena itu, tidak heran bila Ibnu
Shalâh rahimahullah memvonis ilmu filsafat sebagai biang ketololan, rusaknya
akidah, kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan
dan zandaqah (kekufuran). Begitu banyak ungkapan Ulama Salaf yang berisi celaan
terhadap ilmu warisan bangsa Yunani ini dan selanjutnya mereka mengajak untuk
berpegang teguh dengan wahyu.[36]
Ibnu Abil 'Izzi
berkata,
“Sebab munculnya kesesatan ialah berpaling dari merenungi kalâmullâh
dan Rasul-Nya
dan menyibukkan diri dengan teori-teori Yunani dan pemikiran-pemikiran yang
macam-macam" Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah
telah
menyampaikan pintu menuju hidayah dengan berkata, “Jika seorang hamba merasa
butuh kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh
dan sabda
Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam kaum Muslimin, maka akan
terbuka jalan petunjuk baginya.”[37]
Allah
berfirman:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ wÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøÎ*Î/ «!$# 4 öqs9ur öNßg¯Rr& Î) (#þqßJn=¤ß öNßg|¡àÿRr& x8râä!$y_ (#rãxÿøótGó$$sù ©!$# txÿøótGó$#ur ÞOßgs9 ãAqߧ9$# (#rßy`uqs9 ©!$# $\/#§qs? $VJÏm§ ÇÏÍÈ
Artinya: “dan Kami tidak mengutus
seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya
Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya[38]
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”
Syaikh as-Sa’di
dalam
menerangkan ayat di atas, “Dalam masalah akidah, sesungguhnya akidah yang
bersumberkan al-Qur`ân merupakan keyakinan-keyakinan yang bermanfaat yang
memuat kebaikan, nutrisi dan kesempurnaan bagi kalbu. Dengan keyakinan
tersebut, hati akan sarat dengan kecintaan, pengagungan dan penyembahan serta keterkaitan
dengan Allâh
. Sementara Syaikh asy-Syinqîthi
menyimpulkan
kandungan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pada ayat yang mulia ini, Allah
k menyampaikan secara global mengenai kandungan al-Qur`ân yang memuat petunjuk
menuju jalan yang terbaik, paling lurus dan paling tepat kepada kebaikan dunia
dan akherat.[39]
Tampak dengan jelas betapa bahaya ilmu
filsafat di mata Ulama sehingga mereka memperingatkan umat agar menjauh
darinya. Anehnya, ilmu yang telah mengintervensi akidah Islam ini menjadi bagian
yang tak terpisahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan
kajian-kajian Islam kontemporer, bahkan menjadi mata kuliah yang wajib
dipelajari. Seolah-olah seorang Muslim belum dapat memahami al-Qur`ân dan
Sunnah (terutama masalah akidah) kecuali dengan ilmu filsafat. Jelas hal ini
bertentangan dengan firman Allâh
.
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r& çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷èt ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZÎ6x. ÇÒÈ
Artinya: “Sesungguhnya
Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’:9).
Daftar Pustaka
Abu Minbal, “Ilmu Filsafat, Perusak
Aqidah Islam,” Majalah As-Sunnah, I, vol. XIV, 2010.
Amsal
bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993
H
Kafrawi Ridwan (Ed.). “Filsafat” Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta: PT. IBH, 2000
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Re-orientasi Framework
Kajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia” dalam Jurnal
Islamia, vol.vV 2009
Hamid Fahy
Zarkasyi, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, Jurnal Islamia,
vol.II, 2005
Ilhamuddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (SPPI), Medan: La- Tansa
Press, 2004
Juhaya
S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Jakarta: Prenata Media,
2003
K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986
Kaelan, Filsafat Pancasila,Yogyakarta: Paradikma,1996
Tim
Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999
Zainal
Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
[1] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat & Etika, Jakarta: Prenata Media, 2003, hlm. 1
[2] Tim Redaksi, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, hlm. 47
[3] Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali
Pers, 2011, hlm. 4.
[4] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat & Etika, hlm. 2
[5] H Kafrawi Ridwan (Ed.).
“Filsafat” Ensiklopedi Islam, 2,
Jakarta: PT. IBH, 2000, hlm. 15
[6] Ibid
[7] Ilhamuddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (SPPI), Medan: La- Tansa
Press, 2004, hlm. 53-55.
[8] Tim Redaksi, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, hlm. 277
[9] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat & Etika, hlm. 2
[10] H Kafrawi Ridwan (Ed.).
“Filsafat” Ensiklopedi Islam, 2, hlm. 15-16
[11] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat & Etika, hlm. 2-6
[12] H Kafrawi Ridwan (Ed.).
“Filsafat” Ensiklopedi Islam, 2, hlm. 246
[13] Ibid
[14] Kaelan, Filsafat Pancasila,Yogyakarta:
Paradikma,1996, hlm. 7
[15] Ibid, hlm. 8-9
[16] Ibid, hlm. 10-11
[17] Ibid, hlm. 11-12
[18] Hamid
Fahmy Zarkasyi, “Re-orientasi Framework Kajian Filsafat Islam di Perguruan
Tinggi Islam Indonesia” dalam Jurnal Islamia, Vol. 5, 2009, hlm. 57
[20] Hamid Fahy Zarkasyi, “Framework Kajian Orientalis dalam
Filsafat Islam”, dalam Jurnal Islamia, Vol. 2, 2005, hlm. 57
[22] Namun,
menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, setelah datangnya gelombang Hellenisme, istilah hikmah
terdesak oleh istilah falsafah, yang ditandai dengan adanya
penerjemahan karya-karya filosof Yunani.
[24]
Abu Minbal, “Ilmu Filsafat, Perusak Aqidah Islam,” Majalah As-Sunnah,
I, vol. XIV, 2010M, hlm. 59
[25] Ibid
[26] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat & Etika, hlm. 194-195
[27] Ibid, hlm. 195
[28] K. Bertens, Ringkasan Sejarah
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hlm. 32
[29] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 100
[30] Ibid, hlm. 101
[31] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat
Hidup Ibn Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 148-150
[32] Ibid, hlm. 151
[33] Ibid, hlm. 152
[34] Ibid
[35] Abu Minbal, “Ilmu Filsafat,
Perusak Aqidah Islam,” Majalah As-Sunnah, I, vol. XIV, 2010M, hlm. 59
[36] Ibid
[37] Ibid, hlm. 60
[38] Ialah: berhakim kepada selain
Nabi Muhammad
.
[39] Ibid, hlm. 61
0 comments:
Post a Comment