Thursday, April 30, 2015

PENGANTAR FILSAFAT ISLAM



Oleh: Amriadi (Pimpinan Islamic Research Forum)

A.                Pengertian
Menetapkan suatu definisi nampaknya sangat sulit untuk dilakukan. Persoalannya bukan terletak pada definisi yang dibuat, tetapi bagaimana cara memahamkan istilah atau definisi tersebut agar dapat dipahami, dimengerti, dan diterima oleh masyarakat. Demikian juga dengan istilah filsafat, sulit sekali untuk memberikan suatu batasan yang benar (pasti) tentang kata tersebut. Buktinya para filsuf selalu berbeda dalam mendefinisikan filsafat. Ini adalah persoalan yang sudah lama namun dianggap sepele.[1]
Dalam penjabaran “Pengantar Filsafat Islam,” yang harus kita pahami kata demi kata agar tidak terjadi kesalahan maksud dan tujuan yang akan kita bahas. Kata yang harus kita terjmahkan atau kita definisikan dalam pembahasan ini adalah kata Filsafat. Namun karena tulisan ini ada kemungkinan dibaca oleh semua kalangan maka ada baiknya kita mengetahui seluruh kata kunci dalam judul itu sendiri.
“Pengantar Filsafat Islam”  terdiri dari 3 kata yaitu kata Pengantar, Filsafat dan Islam. Pengantar dalam bahasa sehari merupakan mengantarkan, contohnya saya mengantarkan kamu sampai tempat tujuan. Saya dalam contoh diatas adalah pengantar (objek) dan kamu dalam contoh diatas adalah yang diantarkan (subjek). Pengantar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang mengantarkan, alat untuk mengantarkan, pembimbing, pandangan umum secara ringkas sebagai pendahuluan (mengenai isi buku, ceramah dan sebagainya).[2] Jadi pengantar disini dapat kita simpulkan sebagai pandangan umum mengenai filsafat Islam yang digambarkan secara ringkas, padat dan tentunya dapat dimengerti.
Kata kunci selanjutnya dalam dalam pembahasan berikutnya adalah Filsafat, dalam bahasa Inggris, yaitu: philosohy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani: Philosohia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran ( love of freedom). Orangnya disebut filosof dalam bahasa Arab disebut failasuf.[3]
Plato (427 SM-347 SM) mengungkapkan pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli. Aristoteles (381 SM-322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Seorang politikus Romawi Marcus Tullius Cicero (106 SM-43 SM) merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.[4]
Dalam istilah filsafat dalam bahasa Arab dikenal arti falsafah dan faisuf; hukama’ al-Islam atau falasifat al-Islam. Dari kata tersebut Mustafa Abdurraziq menyimpulkan falsafah dalam dua kata yaitu hikmat dan hakim. Kata hikmat disini diartikan sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan untuk menghalangi orang berbuat perbuatan rendah (hina). Dalam hal ini hikmat dan hakim bisa dicapai oleh manusia melalui nalar dan metode berpikir[5] sebagaimana Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an yang  artinya: “Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269). Yang perlu digaris bawahi dalam pengunaan kata Hikmat dan Hakim tidak selalu berarti falsafah dan failosuf, tapi kata hakim juga dinisbahkan kepada Allah . Dialah yang mempunyai hikmat, hakim juga diterjemahkan dengan “Maha Bijaksana”. Maka dari itu pengunaan kata ini harus sesuai dengan konteknya.[6]
Filosof muslim, Al-Farabi (870-950), mengemukakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekat yang sebenarnya (al-‘ilm bi al maujudat bima hiya maujudat). Menurut Syekh Nadin al-Jisr, salah seorang komentator pemikiran filsafat Ibn Tufail (1100-1185), Filsafat adalah usaha-usaha pikiran untuk mengetahui semua prinsip pertama.[7]
Dalam KBBI Filsafat diartikan sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya.[8] Dalam Teori Immanuel Kant pada tahun 1724 M-1804 M seorang pemikir barat, filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu; pengetahuan dijawab oleh metafisika, pekerjaan dijawab oleh etika, pengharapan dijawab oleh Agama dan manusia itu dapat dijawab oleh Antropologi.[9]
Apa yang dapat kita simpul setelah melihat begitu banyak pendapat dan pemikiran mengenai apa itu filsafat. Kemungkinan sangat membingungkan, dan bahkan anda akan berhenti membaca pembahasan ini karena tidak dapat mengambil kesimpulan apa itu filsafat. Harun Nasution menyimpulkan definisi ini antara lain sebagai berikut; pengetahuan tentang hikmat, pengetahuan tentang prinsip atau dasar-dasar, mencari kebenaran dan lain-lain. Intisari dari filsafat menurutnya ialah berpikir menurut logika dengan bebas tidak terikat dengan tradisi,dogma dan agama. Ia melanjutkan teorinya filsafat agama adalah dasar-dasar agama.[10] Kesimpulan Harun Nasution masih sangat umum untuk mengetahui apa itu filsafat.
Gambaran yang mendekati kejelasan mengenai apa itu filsafat adalah pendapat Titus, ia menyimpulkan arti filsafat sebagai berikut; Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam, biasanya diterima secara kritis. Kedua, Filsafat ialah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ketiga, Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Keempat, Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Kelima, Filsafat adalah  sekumpulan problema-problema yang langsung mendapatkan perhatian dari manusiadan dicari jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.[11] 
Dari penjelasan Titus sedikit tidaknya kita dapat mengerti apa itu filsafat, apakah filsafat bertentangan dengan Islam dan apa itu Islam sendiri. Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah yang maha kuasa kepada manusia melalui utusanNya Muhammad . Ajaran-ajarannya terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits (pekerkataan, Perbuatan, persetujuaan, dan Sifat Muhammad .) dalam bentuk perintah, larangan, dan petunjuk untuk kebaikan manusia baik didunia maupun di akhirat.[12]
Kata Islam berasal dari kata Aslama-yaslimu-islam yang artinya berserah diri dan kedamaian. Lebih lanjut Islam berarti agama yang damai dengan berserah diri kepada Allah yang maha Kuasa, dan orang yang menganut agama Islam disebut muslim. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran: 19)[13] Dari pengertian di atas dapat diambil kemsimpulan Pengantar Filsafat Islam adalah pandangan umum secara ringkas sebagai pendahuluan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya dengan berserah diri kepada Allah  sang pencipta dan Rasulullah .

B.                 Ciri-Ciri Pemikir Filsafat
Semua manusia hidup yang normal senantiasa ditandai dengan kegiatan yang khas yaitu berfikir.kegiatan berfikir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain,namun tiidak semua kegiatan berfikir disebut dengan kegiatan berfilsafat.demikian juga kegiatan secara kefilsafatan bukan hanya merenung atau kontenplasi belakang yang tdak ada sangkut mautnya dengan realitas,namun berfikir secara kefilsafatan senantiasa berkaitan dengan masalah manusia dan bersifat aktual dan hakiki.[14]
Maka suatu kegiatan berfikir secara kefilsafatan pada hakikatnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut; Pertama, Suatu kegiatan berfikir secara kefilsafatan senantiasa bersifat kritis yaitu senantiasa mempertannyakaan segala sesuatu,problem-problem, atau hal-hal yang lain.sifat kritis ini juga mengawali perkembanggan ilmu pengetahuan modern. Kedua, Berfikir secara konseptual yaitu mengenai hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatanbebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran.[15]
Ketiga, Berfikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir secara runtut. Keempat, Berfikir secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan. Kelima, Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan. [16]
Keenam, Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan. Ketujuh, Sistematik artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu. Kedelapan, Bertanggung jawab artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.[17]

C.                Sejarah Masuknya Filsafat dalam Islam
Sebagian ahlul ahwa wal bida' (orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan pelaku bid'ah, golongan menyimpang dalam Islam) mengklaim bahwa ilmu-ilmu ilahi (akidah) itu masih ghâmidhah (kabur dan tak terpahami). Menurut mereka, tidak mungkin dimengerti kecuali melalui jalan ilmu manthiq dan filsafat. Bertolak dari sinilah kemudian mereka (kaum Mu'tazilah dan yang sepaham dengan mereka sampai era sekarang) mengadopsi ilmu filsafat untuk dijadikan sebagai perangkat pendukung untuk mendalami akidah Islam. Maka dari itu bagaimana sesungguhya filsafat Islam.
Dalam karya-karya peneliti Barat, mayoritas mereka menggambarkan bahwa asal usul filsafat Islam berasal dari Yunani. Mungkin pendapat mereka ada benarnya jika dikaitkan dengan istilah falsafah yang dipakai untuk menyebut filsafat Islam. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa istilah falsafah merupakan derivasi dari kata philosophia yang berasal dari bahasa Yunani. Namun, memahami istilah falsafah hanya sampai di situ tidak akan memberikan manfaat apa-apa, karena meskipun terkesan hanya Arabicized bahasa Yunani, ternyata keduanya mengandung konsep yang sangat berbeda. Hal inilah yang ternyata banyak luput dari pemahaman sebagian pengkaji filsafat Islam.
Istilah falsafah sebenarnya sudah tidak bisa lagi dikaitkan dengan asalnya philosophia,  karena adanya perbedaan makna yang mendalam antara keduanya. Istilah philosophia sendiri dari sejak zaman kuno, pertengahan, dan modern juga telah mengalami perubahan makna dari konsepsi rasional, kritis dan akhirnya konsepsi positivis.[18] Padahal itu terjadi di alam peradaban Barat sendiri yang mengaku sebagai pewaris dan kelanjutan Yunani Kuno. Apalagi dengan peradaban umat Islam yang mempunyai worldview berbeda dengan Yunani. Oleh karena itu, tidak heran jika istilah falsafah itu sudah disesuaikan dengan konsep-konsep dalam worldview Islam yang dipancarkan oleh al-Qur’an. Hal ini akan kita buktikan lebih jelas dalam pembahasan interaksi para filosof muslim dengan warisan Yunani Kuno.
Di kalangan Muslim sendiri, pada mulanya nama falsafah dipakai sebagai julukan yang diberikan kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad ke-8 M. yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Tidak sedikit para ulama yang menolak falsafah pada masa itu, khususnya dari para fuqaha’, muhaddithun dan para ulama salaf.[19] Hal itu tidak lain karena  adanya pertentangan konsep falsafah dengan pandangan Islam sendiri. Namun setelah proses -sebut saja- islamisasi, nama falsafah dipahami sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal usul nama falsafah pun akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang jelas falsafah dikenal sebagai ilmu tentang Wujud.[20] Bahkan, Ibn Taimiyah  yang sebelumnya menolak keras, pada akhirnya menerima falsafah, tapi dengan syarat harus berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi. Falsafah yang demikian, ia sebut sebagai al-Falsafah al-Shahihah atau al-Falsafah al-Haqiqiyyah.[21] Namun beliau tetap saja menolak pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rushd yang dianggap masih bercampur dengan pemikiran Yunani.
Adannya penolakan terhadap filsafat Yunani dan kemudian diterima oleh para ulama, menunjukkan bahwa Islam telah mempunyai konsep filsafat yang bukan berasal dari Yunani. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya istilah hikmah dalam tradisi intelektual Islam. Menurut Alparslan Acikegence, konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an tentang alam semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika, kebahagiaan dan lain-lainnya adalah konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis dalam memahami realitas dan kebenaran. Semua itu dalam tradisi intelektual Islam tergolong dalam apa yang disebut hikmah. Dari sini sangat jelas bahwa dalam Islam tradisi berpikir filosofis sudah ada sebelum berinteraksi dengan tradisi Yunnani.[22]
Oleh karena itu, Menurut C.A. Qadir, mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Yunani adalah jauh dari benar. Sumber pemikiran para pemikir Muslim yang asli adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Yunani hanya memberi dorongan dan membuka jalan untuknya. Fakta bahwa Muslim berhutang pada Yunani adalah sama benarnya dengan fakta bahwa Muslim juga bertentangan dengan beberapa pemikiran filsafat Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta misalnya, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam filsafat Yunani.[23]
Al-Hâfizh Ibnu Hajar  menceritakan, "Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi'in dan generasi Tabi'it Tabi'in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum filosof sebagai sumber pijakan untuk me'luruskan' atsar yang berseberangan dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti".[24]
Karena itulah, kaum Mu'tazilah dan golongan yang sepemikiran dengan mereka tidak bertumpu pada kitab tafsir ma'tsur, hadits dan perkataan Salaf. Perkataan al-Hâfizh  merupakan seruan yang tegas untuk berpegang teguh dengan petunjuk Salaf dan menjauhi perkara baru yang diluncurkan oleh generasi Khalaf yang bertentangan dengan petunjuk generasi Salaf. Syaikhul Islam rahimahullah mendudukkan, bahwa penggunaan ilmu filsafat sebagai salah satu dasar pengambilan hukum adalah karakter orang-orang mulhid dan ahli bid'ah. Karena itu, terdapat pernyataan Ulama Salaf yang menghimbau umat agar iltizam dengan al-Qur`ân dan Sunnah dan memperingatkan umat dari bid'ah dan ilmu filsafat (ilmu kalam).[25]
Pada masa pemerintahan harun Ar-Rasyid tahun 786 M, buku pengetahuan Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Orang-orang dikirim ke Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Pada mulanya manuskrip yang diterjemahkan adalah masalah kedoktoran, tetapi kemudian ilmu pengetahuan lain juga menjadi perhatian termasuk filsafat. Salah satu penerjemah masa itu adalah Hunayn bin Ishaq seorang Kristen yang pandai bahasa Arab dan Yunani sampai tahun 873 M. Sebagian besar penerjemah inilah karya-karya Aristoteles, Plato dan lainnya dibaca oleh para ulama. Dari sinilah menarik perhatian Mu’tazilah yang dipengaruhi oleh akal filsafat Yunani, maka tidak heran jika teologi Mu’tazilah bercorak rasional dan liberal.[26]
Munculnya para filsuf Islam dan ahli ilmu pengetahuan, terutama dibidang kedokteran seperti Abu Al Abbas Al-Sarkasyi pada abad ke 9 M, Ar-Razi pada abad ke 10 M dan lain-lain. Filsuf pertama dalam Islam muncul pada abad ke 9 M, yaitu Al-Kindi seorang penganut Mu’tazilah. Belakangan muncul filsuf berikutnya seperti Al-Ghazali seorang filsuf pertama yang berhasil merekonsilisasikan antara rasionalisme, ritualisme, dogmatism, dan mistisisme. Ada Ibnu Rasyid (Averoes) seorang filsuf yang besar pengaruhnya, bukan saja didunia Islam bahkan sampai ke Barat beberapa abad yang lalu sehingga melahirkan apa yang disebut Averoisme (Rusyddiyyah). Filsuf Islam terus bermunculan dan bahkan terkenal sampai ke Barat seperti Ibnu Rasyid, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avecinea) dan sebagainya.[27]
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M, selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd Al-Rahman (832-886 M). Atas inisiatif Al-Hakam (961 – 976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga, Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu manyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besarpada masa sesudahnya.[28]
Pada tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada tahun 1214, frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitan-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslim. Berkembangnya ajaran ilmu filsafat Ibnu Rushd di Eropa Barat tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul De Coele et De Mundo dan bagian pertama dari kitab Anima.[29]
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterjemahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropa Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid dari dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di jazirah Arab. Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab Tahafut-Et-Tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada tahun 1328.[30]
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam. Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial maupun perekonomian, dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tentangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik.
Bagian terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198). Ia melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan bepikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroisme (Ibn Rusyd-isme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroisme ini.[31]
Berawal dari gerakan Averroisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M. buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Vinesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489 dan 1500 M. Bahkan, edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 M di Jenewa. Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama.[32]
Universitas pertama di Eropa adalah universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Diakhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Didalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin.[33]
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidangi gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M.[34]

D.                Tinjauan Para Ulama’ Terhadap Filsafat
Melalui ilmu filsafatlah, intervensi pemikiran asing masuk dalam Islam. Tidaklah muncul ideologi filsafat dan pemikiran yang serupa dengannya kecuali setelah umat Islam mengadopsi dan menerjemahkan ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani melalui kebijakan pemerintahan di bawah kendali al-Makmûn masa itu. Ibnul Jauzi  mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh , yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah.”[35]
Ketika orang sudah memasuki dimensi filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih. Ibnu Rajab  mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu kalam dan filsafat) kecuali akan terkena bahaya dari mereka (kaum filosof).” Karena itu, tidak heran bila Ibnu Shalâh rahimahullah memvonis ilmu filsafat sebagai biang ketololan, rusaknya akidah, kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan dan zandaqah (kekufuran). Begitu banyak ungkapan Ulama Salaf yang berisi celaan terhadap ilmu warisan bangsa Yunani ini dan selanjutnya mereka mengajak untuk berpegang teguh dengan wahyu.[36]
Ibnu Abil 'Izzi  berkata, “Sebab munculnya kesesatan ialah berpaling dari merenungi kalâmullâh  dan Rasul-Nya dan menyibukkan diri dengan teori-teori Yunani dan pemikiran-pemikiran yang macam-macam" Syaikhul Islam  Ibnu Taimiyyah  telah menyampaikan pintu menuju hidayah dengan berkata, “Jika seorang hamba merasa butuh kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh  dan sabda Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam kaum Muslimin, maka akan terbuka jalan petunjuk baginya.”[37] Allah  berfirman:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ žwÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøŒÎ*Î/ «!$# 4 öqs9ur öNßg¯Rr& ŒÎ) (#þqßJn=¤ß öNßg|¡àÿRr& x8râä!$y_ (#rãxÿøótGó$$sù ©!$# txÿøótGó$#ur ÞOßgs9 ãAqߧ9$# (#rßy`uqs9 ©!$# $\/#§qs? $VJŠÏm§ ÇÏÍÈ  
Artinya: “dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya[38] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Syaikh as-Sa’di  dalam menerangkan ayat di atas, “Dalam masalah akidah, sesungguhnya akidah yang bersumberkan al-Qur`ân merupakan keyakinan-keyakinan yang bermanfaat yang memuat kebaikan, nutrisi dan kesempurnaan bagi kalbu. Dengan keyakinan tersebut, hati akan sarat dengan kecintaan, pengagungan dan penyembahan serta keterkaitan dengan Allâh . Sementara Syaikh asy-Syinqîthi  menyimpulkan kandungan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pada ayat yang mulia ini, Allah k menyampaikan secara global mengenai kandungan al-Qur`ân yang memuat petunjuk menuju jalan yang terbaik, paling lurus dan paling tepat kepada kebaikan dunia dan akherat.[39]
Tampak dengan jelas betapa bahaya ilmu filsafat di mata Ulama sehingga mereka memperingatkan umat agar menjauh darinya. Anehnya, ilmu yang telah mengintervensi akidah Islam ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan kajian-kajian Islam kontemporer, bahkan menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari. Seolah-olah seorang Muslim belum dapat memahami al-Qur`ân dan Sunnah (terutama masalah akidah) kecuali dengan ilmu filsafat. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Allâh .
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. ÇÒÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’:9).
Daftar Pustaka

Abu Minbal, “Ilmu Filsafat, Perusak Aqidah Islam,” Majalah As-Sunnah, I, vol. XIV, 2010.
Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Pers,  2011
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993
H Kafrawi Ridwan (Ed.). “Filsafat” Ensiklopedi Islam, 2,  Jakarta: PT. IBH,  2000
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Re-orientasi Framework Kajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia” dalam Jurnal Islamia, vol.vV 2009
Hamid Fahy Zarkasyi, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, Jurnal Islamia, vol.II, 2005
Ilhamuddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (SPPI), Medan: La- Tansa Press, 2004
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Jakarta: Prenata Media, 2003
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986
Kaelan, Filsafat Pancasila,Yogyakarta: Paradikma,1996
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang, 1975



[1] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Jakarta: Prenata Media, 2003, hlm. 1
[2] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, hlm. 47
[3] Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Pers,  2011, hlm. 4.
[4] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 2
[5] H Kafrawi Ridwan (Ed.). “Filsafat” Ensiklopedi Islam, 2,  Jakarta: PT. IBH,  2000, hlm. 15
[6] Ibid
[7] Ilhamuddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam (SPPI), Medan: La- Tansa Press, 2004, hlm. 53-55.
[8] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 277
[9] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 2
[10] H Kafrawi Ridwan (Ed.). “Filsafat” Ensiklopedi Islam, 2, hlm. 15-16
[11] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 2-6

[12] H Kafrawi Ridwan (Ed.). “Filsafat” Ensiklopedi Islam, 2, hlm. 246
[13] Ibid
[14] Kaelan, Filsafat Pancasila,Yogyakarta: Paradikma,1996, hlm. 7
[15] Ibid, hlm. 8-9
[16] Ibid, hlm. 10-11
[17] Ibid, hlm. 11-12
[18] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Re-orientasi Framework Kajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia” dalam Jurnal Islamia, Vol. 5, 2009, hlm. 57
[19] Ibid., hlm. 58
[20] Hamid Fahy Zarkasyi, “Framework Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, dalam Jurnal Islamia, Vol. 2, 2005, hlm. 57

[21] Ibid., hlm 47.
[22] Namun, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, setelah datangnya gelombang Hellenisme, istilah hikmah terdesak oleh istilah falsafah, yang ditandai dengan adanya penerjemahan karya-karya filosof Yunani.
[23] Hamid Fahy Zarkasyi, Islamia, hlm. 60
[24]  Abu Minbal, “Ilmu Filsafat, Perusak Aqidah Islam,” Majalah As-Sunnah, I, vol. XIV, 2010M, hlm. 59
[25] Ibid
[26] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, hlm. 194-195
[27] Ibid, hlm. 195
[28] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hlm. 32
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 100
[30] Ibid, hlm. 101
[31] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 148-150
[32] Ibid, hlm. 151
[33] Ibid, hlm. 152
[34] Ibid
[35] Abu Minbal, “Ilmu Filsafat, Perusak Aqidah Islam,” Majalah As-Sunnah, I, vol. XIV, 2010M, hlm. 59
[36] Ibid
[37] Ibid, hlm. 60
[38] Ialah: berhakim kepada selain Nabi Muhammad .
[39] Ibid, hlm. 61

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: