Mereka
semua itu ada dan nyata. Tapi nama dibuat samaran. Itu bermula dari perjalanan
panjang seorang anak lugu dari pelosok negeri ini. Indonesia namanya. Den (Den,
panggilan akrab orang jawa untuk anak dibawahnya) apa password HP-mu. Namaku sediri jawabnya.
Yaumil mulai mencoba memasuki password namanya. Tapi nihil tiada hasil.
Akhirnya dia menyerahkan HP tersebut kepadanya. Ini lo, 7415369. Jika
digabungkan angka tersebut akan membentuk sebuah huruf di HP yaitu “M”, itulah
namanya.
M seorang pemuda asal
Aceh timur yang sokolah di sebuah penguruan tinggi di Jakarta. Dia tidak pernah
bermimpi untuk kuliah di Jakarta. Karena tidak mungkin bisa, dia adalah seorang
anak yang sudah tidak memiliki bapaknya lagi. Siapa yang akan menanggung
biayanya. Sedangkan ibunya untuk adek-adeknya sekolah saja tidak ada. Tuhan
yang maha kuasa telah menakdirkan dia untuk bisa kuliah walau itu pahit dalam
perjalanannya.
Sebelum duduk dibangku
kuliah M dulunya adalah seorang anak yang idiot. Waktu sekolah di SD Negeri Kp.
Masjid dia menjadi barang tertawaan teman-temannya disekolah. Bahkan dijadikan
sebagai tempat latihan karate padanya. Ditendang, dipukuli, itu semua sudah
biasa dirasakannya setiap hari pulang sekolah. Sisi keidiotannya. Tuhan
memberikannya kecerdasan untuk berpikir maju kedepan. Sehingga tidak heran
kalau dia bisa meraih rangking dikelas.
Setelah lulus SD dia dikirim dan merantau ke
Kota Lhoksuemawe dan disana dia diterima di sebuah yayasan panti asuhan. Disana
M juga mendapatkan perlakuan yang sama, yaitu penghinaan, pelecehan dan
sebagainya. Terutama masalah bahasa. Dia seorang anak kampong yang tentunya
belum bisa bahasa Indonesia. Hal ini pun menjadi barang tertawa anak-anak di
sekolahanya di Lhokseumawe.
Walaupun kurang dalam
bahasa tapi dengan kecerdasan dan keidiotannya dia berhasil menyaingi yang
laian. Terutama yang latar belakang kota, dia juga bisa meraih rangking yang
memuaskan di kelas. Hari berganti malam, minggu berganti bulan. Tanpa terasa
dia sudah lulus dari MTs.Swasta yang ada di Lhokseumawe dengan nilai yang
memuaskan.
Kelulusan yang
memuaskan ini, tentunya bisa masuk ke sekolah favorit di Lhokseumawe yaitu SMA
Negeri 1 Lhokseumawe. Namun terhalang dia telat pulang dari pelosok Aceh Timur
Kampung Masjid namanya. M akhirnya di tawarkan tiga sekolah swasta yang masih
menerima siswa baru. SMA Swasta sudah terkenal dengan kenakalan siswanya.
Sehingga anak idiot seperti dia pasti akan mati jika masuk kesana. Karena
kuda-kuda karatenya tidak ada. MA Swasta yang baru mendaftar satu siswa sangat
mengharapkan dia untuk masuk kesana.
Dengan berbagai rayuan
dibujuk oleh guru-gurunya agar dia mau bergabung dengan MA swasta. Tapi
menerutnya tidak mungkin karena M sudah tamat dari MTs Swasta ditempat yang
sama. Dan pasti kakak-kakak kelas MA Swasta itu pasti akan lebih leluasa untuk
mengerjainnya, kerena mereka sudah kenal diwaktu MTs dulunya. Dalam
kebingungannya antara Pondok Pensantren Modern atau MA Swasta. Dia sendiri yang
harus bisa memutuskan.
Pondok Pesantren Modern
yang dikenal dengan berbagai hafalan tentu akan menyurutkan niatnya. Karena dia
adalah anak idiot yang tidak kuat akan hafalan dan bahasa. Namun apa boleh buat
pilihan satu-satunya yang aman untuk bisa sekolah Cuma pondok pesantren Modern
yang ada Kampung Jawa Baru. Ihyaaussunnah namanya. Keputusan dan tekatnya sudah
bulat untuk bisa masuk kesana.
Hari-hari
di Pondok Pesantren dia habiskan sebagian waktu untuk belajar. Namun dia lupa
akan satu hal, dia tidak tau dirinya adalah seorang santri. Sehingga seluruh
pelajaran pondok tidak ada yang memuaskan. Baik bahasa Arab, Bahasa Inggris,
maupun Al-Qur’an kacau semuanya. Dia salah alamat singgah di Pondok Pesantren.
Suatu
hari dibulan suci Ramadhan. Anak-anak Pondok Pesantren di tuntut untuk
mengikuti program hafalan Al-Qur’an. Termasuk dia juga harus mengikutinya.
Usaha dalam hafalannya tidak membawa hasil karena dia belum sadar bahwa dia
adalah seorang santri bukan siswa. Usahanya dalam menghafal al-Qur’an gagal.
Walaupun pada awalnya sudah ada niat. Berhubung tidak sesuai target. Sehingga
para gurunya menuduhnya sering keteledoran dalam menghafal.
Kata-kata
yang menyakitkan pun keluar. “Jak keunoe kon jak toh pajoh mantoeng” (Jalan
kesini bukan untuk makan dan berak saja.)
begitulah kata yang dikeluarkan yang seharusnya tidak mungkin dikelurkan
untuknya. Pasti hatinya hancur, karena dia adalah anak yatim dan termiskin
kampunya. Ini mengambarkan kalau dia tidak bisa makan kalau bukan disana. Walaupun
itu adalah cara untuk mendidik dia, agar focus pada hafalan Qur’an, namun kebencian
telah terciptakan dengan kata-kata demikian. Sehingga tidak mungkin membuat
hasilnya.
Karena
jika kita membenci guru kita maka ilmunya tidak akan masuk kekita. Itulah
alasannya dia gagal dalam hafalan Al-Qur’an. Tiga hari sebelum selesai dia
terpaksa di skors di Pondok Pensantren karena hafalannya tidak sesuai target
dan dia juga sudah malas-malasan. “Putus asa” kata yang cocok untuk kita
gambarkan keadaanya waktu itu. Setelah di skors dia pulang ke Panti asuhan.
Menunggu sampai lebaran agar dia bisa pulang ke kampong halamanya. Dengan THR
yang diberikan di Panti asuhan.
Keadaan
yang parah ini bisa dilalui sampai selesai di Pondok Pesantren walaupun
mendapat catatan yang buruk dimata para guru dan ustadz disana. Bahwa dia
adalah siswa terbodoh dan tidak baik akhlaknya. Karena beberapa pelanggaran
yang dia lakukan seperti cabut dimalam hari ke warnet. Dan juga tidak ada izin
pergi ke Toko buku dan pelanggaran lainya. Apakah dia terpengaruh dengan
teman-temannya.
Kita
tidak mengetahuinya. Dia adalah seorang sulit untuk ditebak apa kemauannya.
Tetapi sekilas dia sangat suka yang namanya mengotak-atikkan computer. Itulah
alasannya dia bisa computer secara otodidak alias tanpa guru yang handal.
Kebiasaan yang melanggar ini, dia dan temannya juga mendapatkan hal sama. Semua
angkatannya terkenal dengan pemberontak. Ada banyak hal yang menyeret mereka di
stempel buruk, ada yang gila bola, merokok, atraksi sulap dan sebagainya.
Setelah
lulus dari bangku MA Pondok Pesantren tersebut, M ikut tes beberapa beasiswa
untuk kuliah. Namun tidak ada satupun yang lewat dan lulus. Hal inilah yang
membuatnya harus kerja deres karet selama dua bulan. Hasil dari deres karet
jangankan untuk kuliah tahun depan untuk makan saja tidak cukup. Akhirnya dia
balik ke kota Lhokseumawe karena mendapatkan tekanan dari preman kampong yang
mencomoohnya, M akhirnya mencari kerja di Lhoksumawe dengan uang saku yang
pas-pasan. M menanyakan ke teman-temannya apa ada lowongan kerja untuknya.
Sudah
tiga hari dia bolak balik Cunda dan Banda Sakti hanya untuk mencari kerja apa
saja yang penting dia dapat kerja. Ketemu tukang bagunan dia juga menawarkan
diri untuk kerja. Dengan badan yang kurus kering tukang bagunan tidak percaya
dia bisa kerja apalagi bulan puasa. Dia juga mendengar ada teman yang kerja
bagunan. Dia akhirnya memutuskan untuk menemuinya dirumahnya di Buloh Blang
Ara. Jarak antara Lhokseumawe dengan Buloh Blang Ara yang pasti tidak bisa
ditempuh dengan jalan kaki. Kecuali orang dia.
Dia
pun jadi gila. Jarak dua jam pakai motor di tempuh 3 hari jalan kaki kesana dan
tidur serta berbuka puasa dimana masjid yang dia temui. Sebuah masjid besar di
Cunda yang tidak memberikan peluang dia istirahat disana, membuatnya harus
jalan kaki lagi untuk mencari masjid lain. Namun tidak ditemuinya. Akhirnya M
memutuskan untuk Istirahat dibawah jembatan kecil yang kering dibawahnya.
Dengan alas kartus bekas yang ditemui dekat jembatan sebagai tikar tidurnya
dibawah jembatan tersebut.
M
sekarang sudah seperti orang gila buka lagi idiot. Anak jalanan juga tidak
pantas karena mereka ada tempat istirahat. M tidak memiliki apa-apa dia hanya
berniat untuk kerja agar bisa hidup di Lhokseumawe. Persediaan uangnya tinggal
20 ribu lagi. Dia harus secepatnya mendapatkan kerja. Bagun pagi subuh langsung
ke Masjid untuk shalat subuh. Padahal dia belum sahur. Perjalanannya juga
panjang.
Akhirnya
dia jalan terus sampai tempat rumah temannya yang pada waktu itu dia pernah
kesana,; yaitu Simpang Ampera. Sesampai di Simpang Ampera, M istirahat di
semak-semak agar keringat dan kecapeannya hilang. Sehingga ketika bertemu
temannya nanti tidak curiga kalau dia jalan kaki dari subuh kesana. Sesampai
ditempat temannya M hanya menemui ibunya dan neneknya serta seorang teman
neneknya yang sudah tua sekali.
Teman
yang mau ditemui tersebut tidak ada karena masih kerja. Ipul nama samaran yang
sering dipanggil teman-teman di Pondok dulu. Ibunya Ipul juga pernah menjadi
juru masak selama dia di Pondok. Namun sekarang dia memilih keluar dengan
banyak alasan yang kami tidak mengetahuinya. Terutama masalah keluarga.
Keluarga Ipul juga meminta si M untuk tetap istirahat. Disana siapa tau abang
si Ipul bisa memberikan kerja padanya.
Tawaran untuk tidak pulang
pun diterimanya. Akhirnya nenek si Ipul mengutarakan maksud kedatangan si M
kesana. Si Ipul dari awal menolak. Karena si M tidak mungkin bisa kerja keras
yang demikian. Ditambah lagi dia malu temannya yang ahli computer dan nilainya
lumayan di sekolah. Masak harus kerja seperti dia. Namun bujuk rayunya nenek si
Ipul dan ibunya membuat si M bisa kerja. Dia tinggal dirumah Ipul selama hampir
satu bulan untuk kerja pembaguna Sekolah SMK di Kandang Lhokseumawe. Dia Cuma
memberikan alasan “aku oba saja dulu”
Dalam kerja kerasnya
dia sampai jatuh dari lantai dua sekolah karena tidak sanggup mengankat barang
berat. M terluka walaupun ringan dan terkilir kakinya. Setelah istirahat 20
menit dia kembali untuk kerja walau kaki sakit dan mata hari panas. Keesoknya
dia tidak bisa kerja. Akhirnya dia pulang ke Panti asuhan Lhokseumawe dengan
alasan menjeguk adiknya sekaligus untuk mencari tukang urut di kota
Lhokseumawe.
Selama tiga hari di
Lhokseumawe walaupun kakinya belum sembuh dia juga memaksa diri untuk tetap
kerja. Alasannya hari raya didepan dia juga harus pulang kekampung nantinya. Kepulangan
dia ke Panti diketahui oleh guru-guru dan ustadz-ustadz disana. Dengan tubuh
dan rambutnya yang acak-acakkan sehingga layak untuk dikata gembel jalanan.
Tanggal 25 sampai 27 Ramadhan M di pesan pulang ke Panti untuk mengikuti Darul
Arqam Dasar Pemuda Muhammadiyah di Pondok Pesantrennya dulu.
Dari pertemuan itu
mengahasilkan, agar dia mengikuti program kuliah da’i dari Dewan Da’wah di
Lampung. Hal ini menjadi angin baru untuknya yang ingin kuliah. Usaha dia
dengan sungsungguh itu tuhan membalas langsung untuk dapat kuliah, tidak harus
menunggu tahun depan. M menerima tawaran tersebut. Walaupun jurusan Da’wah yang
pasti dia akan berhadapan kembali dengan system Pondok Pesantren, seperti hafal
Al-Qur’an dan Bahasa Arab.
Ketika di Tanya
kesanggupannya dia hanya menjawab “Ya Sudahlah!” artinya M menyanggupinya.
Ternyata dia juga bertemu kembali dengan temannya semasa di Pondok, yang juga
ikut program tersebut. Padahal orang tua si L temannya tersebut tergolong orang
kaya. Sedangkan yang satu lagi si Aan ibunya PNS. Dia juga merasakan kenapa
mereka mau. Padahal L sendiri sudah kuliah di Unimal. Sebuah Universitas di
Lhokseumawe.
Teman MTs yang tidak
memadai tidak ada yang berminat, termasuk si Bahri dan si Ipul juga tidak mau
mengambil keputusan untuk kuliah di Metro Lampung. Akhirnya semua peserta yang
mendaftar Cuma 6 orang padahal yang diprlukan 10. Sebelum keberangkatan 10 hari
setelah hari raya idul fitri. M juga sempat mencari uang dari neneknya dan
sanak familinya. Namun sepertinya mereka menutup mata akan keberangkatannya 3
hari lagi. Mereka bukan memberikan bantuan malah menghinanya. Mematahkan
semangatnya.
Seorang bekas guru
ngajinya dulu mengatakan “bukan orang model kita yang bisa kuliah”, demikian
terang wanah. Tidak ada satupun yang memberikan peluang untuknya. Dengan air
mata dia menangis kenapa semua sanak family tidak peduli padanya. Padahal dia
tidak meminta begitu saja. M Cuma meminta pinjam uang dan jika sudah ada
nantinya di kembalikan. Tapi mereka memandang sebelah mata. Tidak ada arti
saudara pada waktu itu. Sehingga M juga sempat berujar “jika keluarga sendiri
saja sudah tidak peduli kepada saya, maka tidak pantas lagi saya tingal disini.
Jika ini berhasil saya berangkat maka saya tidak akan pulang lagi” namun
bundanya membantahnya.
“Ek hana tawoe keudeh,
mama teuh hinoe.” (Kenapa tidak pulang kan mama masih disini). Demikian
ungkapan ibunya sambil menangis memikirkan nasipnya yang tidak ada yang peduli
dengan kemelaratannya. Kambing peliharaannya juga sudah habis dijual untuk
mengurus akte kelahiran dan KTP si M. jadi tidak ada lagi uang untuknya,
kecuali hanya ongkos dia pulang sampai di Lhokseumawe. Bagaimana dengan ke
Lampung?. Dengan modal itu. “Ya Sudah”, katanya. Dia pun balik ke Panti Asuhan
dalam duka cita. Sampai di panti asuhan rupanya berangkatnya masih jauh dan
ustadz Saifuddin meminta izin kepada atasan Panti agar si M bisa tinggal
disana.
Namun jawaban pak Lizan
waktu itu sangat menyakitkan. Kata yang dikeluarkan memang sangat tidak cocok
untuknya. Asai bek meu anuk cuco mantoeng di panti (Asal tidak beranak cucu saja
di panti), demikian jawaban pak Lizan. Waktu itu dia menjabat sebagai
seketaris. Dari sini saya ingat dengan bang dai yang bercita-cita membangun
rumah untuk alumni Panti Asuhan. Saya rasa mungkin dia juga lebih dari itu
mendapatkan siraman kata-kata yang panas bagaikan api kebakaran. Panti asuhan hanya
menampung sampai tingkat SMA saja yang mereka biayai, untuk kuliah tidak ada.
Usatadz Saifuddin yang
menjawab karena si M tertunduk membisu. Beliau tau bagaimana perasaannya
sekarang. Dia tidak mungkin demikian karena sudah pasti berangkat. Ini program
dari anaknya Pak TA. Demikian jawab Ustadz, meyakinkan. Tapi Pak Lizan pergi
begitu saja sambil mengulangi kata-katanya yang tadi. Iyaa, asal tidak beranak
cucu saja disini, tidak seperti si Jak, dai dan lainnya itu.
Tuhan itu Maha Pengasih
dan Penyayang, Sehingga dengan tidak diduga dia mendapatkan beasiswa anak yatim
dari pemerintah 18 ratus ribu rupiah. Itulah uang untuk pergi ke Metro Lampung
dan Kuliah di Akademi Da’wah Indonesoia (ADI) Lampung. Malam minggu itu menjadi
malam yang panjang baginya karena bisa berangkat ke Medan. Besoknya harus
segera naik pesawat terbang ke Jakarta bandara Soekarno Hatta.
M tidak banyak bicara
dengan kehidupannya dia Cuma mengatakan “Ya Sudahlah!” saya yakin dia tidak
bisa menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Dari kisah M ini kita dapat
banyak pelajaran dia bersungguh berusaha untuk kuliah walau harus kerja paksa dan
berat. Karena itu usaha adalah awal dari keberhasilan. Kita sebagai temannya
Cuma bisa mengatakan selamat jalan M.
Kamu telah memberikan
jawaban untuk kita bahwa “jika ingin kuliah buang semua alasan, jika beralasan
maka jangan pikirkan kuliah”. Semoga dari kisah ini kita tidak lagi menghina
orang lain. Karena orang yang kita hina itu belum tentu baik dari pada kita.
Teman seangkatan di SD-Nya dulu tidak ada yang kuliah kecuali dia. Padahal
mereka mengatakan kepadanya “jangankan kuliah, SD aja kamu tidak akan bisa lulus”. Dan mereka bangga demgan
dirinya. Merasa orang tuanya mampu, sehingga membuat banyak alasan untuk
sekolah harus pakai motor atau sepeda. Tapi tidak bagi M dia harus bekerja
keras untuk dirinya. Orang lain jajan di sekolah dia paling ada uang jajan
dalam satu bulan tidak lebih dari sekali. Itupun uang temuan di jalan, kalau
bukan! ya uang naik pinang. Karena orang taunya tidak mampu untuk memberikan
jajan kepadanya. Itulah M, anak Idiot dan dodol tapi berhasil kuliah walau
rumahnya basah ketika hujan turun.
0 comments:
Post a Comment