Tuesday, September 1, 2015

Konsep Wahyu Dalam Islam


Wahyu adalah Isyarat yang cepat. Al Wahyu atau wahyu adalah kata masdar (infinitif); dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar yaitu : tersembunyi dan cepat. Oleh karena itu, maka dikatakan bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh Malaikat kepada Rasul: Cara pertama, Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara amat kuat yang mempengaruhifaktor-faktor kesadaran, sehinga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini paling berat buat Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah n. dengan cara ini, maka ia mengumpulkan segala kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya.
Dan suara itu mungkin sekali suara kepakan sayap-sayap para Malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits, "Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin." HR. Bukhari. Dan mungkin pula suar Malaikat itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya untuk pertama kali.
Cara kedua, Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar. Rasul merasa senang sekali mendengarkan dari utusan pembawa wahyu itu, karena merasa seperti seorang manusia yang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Tentang hal ini terdapat riwayat dari 'Aisyah Ummul Mukminin RA bahwa Harits bin Hisyam RA bertanya kepad Rasulullah n. tentang turunnya wahyu, dan jawab Nabi, "Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang Malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku dan aku pun memahami apa yang dia katakan."
'Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami Rasulullah berupa kepayahan, "Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Lalu Malaikat itu pergi, sedang keringat pun mengucur dari dahi Rasulullah." HR. Bukhari.
Ketika sedang tenggelam dalam khalwatnya di gua Hira', Rasulullah n. dikejutkan oleh Jibril yang muncul dan terlihat di hadapannya seraya berkata kepadanya, "Bacalah" Hal ini menjelaskan bahwa fenomena wahyu bukanlah urusan pribadi yang bersumber dari inspirasi atau intuisi. Tetapi merupakan penerimaan terhadap haqiqah khairiyah (kebenaran yang bersumber dari 'luar') yang tidak ada kaitannya dengan inspirasi, pancaran hati atau intuisi.
Timbulnya rasa takut dan cemas pada diri Nabi n. ketika mendengar dan melihat Jibri, sampai beliau memutuskan khalwatnya dan segera pulang dengan hati gundah, merupakan suatu bukti nyata bagi orang yang berakal sehat bahwa Nabi n. tidak pernah sama sekali merindukan risalah yang dibebankanNya untuk disebarkannya ke segenap penjuru dunia ini.
Selain itu, masalah inspirasi, intuisi, bisikan batin atau perenungan ke alam atas, tidak mengundang timbulnya rasa takut dan cemas. Tidak ada korelasi antara perenungan dan perasaan takut dan terkejut. Jika demikian, tentu semua pemikir dan orang yang melakukan kontemplasi akan selalu dirundung rasa takut dan cemas.
Anda tentu mengetahui bahwa perasaan takut, terkejut dan menggigil sekujur badan tidak mungkin dapat dibuat-buat. Sehingga jelas tidak dapat diterima jiak ada orang mengandalkan Rasulullah n. melakukan tersebut.
Kemudian, ilham Allah kepada Khadijah untuk membawa Nabi n. menemui Waraqah bin Naufal menanyakan permasalahannya, merupakan penegasan lain bahwa yang mengejutkannya itu hanyalah wahyu yang pernah disampaikan kepada para Nabi sebelumnya. Di samping untuk menghapuskan kecemasan yang menyelubungi jiwa Rasulullah n. karena menafsirkan apa yang dilihat dan didengarnya.
Terhentinya wahyu setelah itu selama enam bulan atau lebih, mengandung mu'jizat Ilahi yang mengagumkan. Karena hal ini merupakan sanggahan yang paling tepat terhadap para orientalis yang menganggap wahyu sebagai produk perenungan panjang yang bersumber dari dalam diri Muhammad n.
Sesungguhnya keadaan dan peristiwa yang dialami oleh Nabi n. ini membuat pemikiran yang mengatakan bahwa wahyu merupakan intuisi, sebagai suatu pemikiran gila. Sebab, untuk menumbuhkan inspirasi dan intuisi tidak perlu menjalani keadaan seperti itu.
Dengan demikian, hadits permulaan wahyu yang tersebut dalam riwayat shahih merupakan senjata yang menghancurkan segala serangan musuh-musuh Islam menyangkut masalah wahyu dan kenabian Muhammad n. Dari sini kita dapat memahami mengapa permulaan penurunan wahyu dilakukan Allah sedemikian rupa.
Orang-orang Jahiliyah baik lama ataupun yang modern selalu berusaha utnuk untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Keraguan demikian itu lemah sekali dan tidak dapat diterima.
Mereka mengira bahwa Al Qur'an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan maknanya dan dia sendiri pula yang menyusun "bentuk gaya bahasanya"; Al Qur'an bukanlah wahyu. Ini adalah sangkaan batil. Apabila Rasulullah n. menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaan dirinya, tidak perlu ia menisbatkan semua itu kepada pihak lain. Dapat saja menisbatkan Al Qur'an kepada dirinya sendiri, karena hal itu cukup untuk mengangkat kedudukannya dan menjadi manusia tunduk kepada kekuasaannya. Sebab kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan dan retorikanya tidak juga mampu menjawab tantangan itu. Sangkaan ini menggambarkan bahwa Rasulullah n. termasuk pemimpin yang menempuh cara-cara berdusta dan palsu untuk mencapai tujuan. Sangkaan itu tertolak oleh kenyataan sejarah tentang perilaku Rasulullah n. kejujuran dan keterpercayaannya yang terkenal, yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawan sendiri.
Orang-orang Jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah n. mempunyai ketajaman firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk, benar dan salah melalui Ilham (inspirasi), serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehingga Al Qur'an itu tidak lain daripada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retorikanya.
Pembahasan Selanjutnya: Al-Qur’an Petunjuk untuk Manusia


SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: