Monday, August 22, 2016

[Perbandingan Agama] Zoroaster

 
 Agama Zoroaster
Oleh: Muhammad Arrayyan
(Tugas Makalah Sejarah Agama-Agama di STID Mohammad Natsir Jakarta)

A.    Sejarah Munculnya Agama Zoroaster
            Agama Zoroaster, di kenal di dunia Barat dengan nama Zoroastrianism karena nabinya dari agama ini adalah Zarathutra. Zarathustra lahir di Sebelah Utara tanah Iran, tepatnya di kota Azarbaijan. Tinggal seorang lelaki bernama Porushop Spitama, dari suku spitama, bersama istrinya Dughdova yang cantik jelita yang ketika itu masih berusia 15 tahun. Isterinya yang belum dijamah suaminya itu melahirkan seorang putera yang diberi nama Zarathustra. Pada saat kelahiran bayi itu kepala kaum majus di tanah Iran bernama Durashan mendadak gemetar ketakutan amat sangat dan beroleh firasat bahwa seorang bayi baru telah lahir kedunia yang kelak akan menghancurkan agama majusi beserta pemujaaan berhala dan akan memusnahkan kaum majus dari permukaan bumi.[1]
           Banyak sekali teori yang mengemukakan tentang tahun-tahun kehidupannya, diantaranya kemungkinan ia hidup pada tahun 660-583 SM[2], tetapi tidak ada yg menjamin bahwa kisaran tahun ini adalah tahun yang tepat. Di lihat dari perkiraan tahun tersebut, tampaknya Agama Zoroaster merupakan salah satu agama wahyu yang tertua yang masih hidup sampai sekarang. Agama ini pernah menjadi agama negara bagi tiga kerajaan besar di Iran yang hidup dan berkembang hampir berkesinambungan sejak abad ke-6 SM sampai abad ke-7 M, serta banyak menguasai daerah Timur Dekat dan Tengah.[3]
           Di wilayah Indo-Iran, anak yang berumur sekitar tujuh tahun sudah mulai memperoleh pelajaran keagamaan kependetaan secara lisan karena belum ada pengetahuan menulis. Tentunya pelajaran tersebut menyangkut tentang cara beribadah, ajaran-ajaran pokok agama, hapalan-hapalan doa dan pujian pujian kepada Tuhan. Sewaktu masih kecil diceritakan, ia sangat cerdas dan tangkas bicara sehingga teman-temannya sangat segan kepadanya. Orang Iran berpendapat bahwa kematangan atau kedewasaan seseorang itu tercapai pada usia 15 tahun, dan pada sekitar usia itu pula lah Zarathustra mulai menjadi pendeta. Menjelang umur 20 tahun ia gemar mengembara kesana kemari serta memberikan bantuan kepada orang yang melarat dan kesusahan. Dan pada usia 20 tahun ia pun dikawainkan oleh ibunya dengan seorang gadis bernama Havivi.
           Pada usia 30 tahun, Zarathustra menerima wahyu yang peratama. Diceritakan bahwa suatu ketika ia sedang berada di suatu perkumpulan untuk merayakan musim semi. Ia pergi saat fajar ke sungai utnuk mengambil air bagi keperluan upacara haoma. Ia menyebrang ke tengah sungai untuk mengambil air dari aliran yang ada di tengah.ketika hendak kembali ke pinggir, dia menemukan dirinya  dalam keadaan kesucian ibadat (ritual),muncul dari unsur yang murni, air, dalam kesegaran fajar musim semi. Ia melihat bayang-bayang. Di tepian sungai dia melihat suatu zat yang berkilauan yang menyebut diri sebagai Vohu Manah (itikad baik), yang kemudian membawanya kehadapan Tuhan Ahura Mazda serta lima bentuk badan yang bersinar. Dihadapan mereka, Zarathustra tidak melihat bayangannnya karena mereka memancarkan cahaya yang terang benderang. Dan saat itulah ia menerima wahyu.[4] Agama yang diajarkan oleh Zarathusthra telah dikenal sebagai agama Zoraster, tetapi sesungguhnya nama yang diberikannya sendiri adalah agama Mazdayasna, kebaktian kepada Mazda, yakni Tuhan Maha Segala Yang Esa, Sejati, dan Maha Mengetahui.[5] Setelah ia menerima wahyu pertamanya,10 tahun pertama ia melakukan penyebaran agamanya itu di kota kelahirannya yaitu Iran Utara, Tetapi dalam masa tersebut hanya seorang saja yang beriman di kota kelahirannya tersebut, orang itu tidak lain adalah saudara sepupunya sendiri, Maidhyoimanha. Ia mengajarkan tentang kodrat Maha Tunggal yang bijaksana yang tak dapat disaksikan dan dilihat dan diraba, dan hal tersebut direspon dengan ejekan dan penghinaan, ia banyak bersabar dan terus memprcayai janji dari Ahura Mazda, hingga pada akhirnya ia memanjatkan permohonan dan kemudian keluar perintah agar ia hijrah dari sana, Akhirnya pada tahun keduabelas kenabiannya, beliau meninggalkan tanah kelahirnya dan mengembara ke Timur, mula-mula ke Seista, dan selanjutnya ke Bactria yang diperintah oleh seorang raja bijaksana, Vishtaspa. Zarathushtra senantiasa menginginkan untuk memperoleh pengikut yang bijak dan berkuasa untuk menunjang missinya.[6]
           Raja Vishtaspa itu, yang dalam literature di Barat dikenal dengan Kings Hystaspes, berasal dari keluarga Hakkham. Seorang cucunya yaitu Cyrus the Great (559-529 SM) berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil diseluruh wilayah Iran dan membangun sebuah Imperium Parsi yang dikenal dengan dinasti Hakkham (600-331 SM), dan dunia Barat mengenalnya dengan dinasti Achaemenids. Ibukotanya yang semula terletak di kota Balkh di pindahkan ke kota Sussa di sebelah timur sungai Tigris, kemudian ke Persepolis (Istakhri).[7]
Raja Vishtaspa menerima Zarathushtra dengan ramah-tamah, dan menunjukkan bahwa dirinya condong kepada risalahnya karena berdasarkan pada berdasarkan filsafat Zoroaster dengan pemikirannya tentang Tuhan bahwa inti dari gagasan ketuhanan tidak akan dicapai lantaran adanya perubahan bangsa dan bahasa. Yang berubah-rubah hanya nama Tuhan yang tunggal untuk seluruh alam. Setiap bangsa menyebutnya dengan nama yang diinginkan. Diriwayatkan bahwa Zarathushtra telah melakukan beberapa mukjizat di hadapan Sang Raja dan para Menterinya, serta melakukan diskusi yang lama dengan para cendekiawan di sana. Salah satu mukjizat yang ia tunjukkan yakni, dia mampu membuat sebuah lingkaran dengan tepat tanpa alat, padahal menurut ahli ilmu ukur hali itu tidak mungkin bisa dilakukan. Kemudian, mukjizatlainnya, ia pernah bertemu seorang buta, kemudian dia meminta jenis rumput tertentu untuk diperaskan di kedua mata si buta, dan si buta itu pun bisa melihat.[8] Perlahan tetapi pasti, kebenaran yang dinyatakannya telah mendapat pijakan yang kuat di kalangan raja dan para bangsawannya. Massa rakyat mengikuti kebangkitan para pemimpinnya, dan agama Zoroaster segera tegak sebagai agama Iran. Sukses yang mendadak dari agama yang baru ini memacu jalan ke arah peperangan antara Iran dan Turan. Zarathushtra tidak percaya dengan penggunaan senjata dalam menarik pengikut kepada agamanya. Beliau hanya mengizinkan perang untuk membela diri guna menjaga agama dan para pengikutnya dari kekejaman orang lain.[9]
           Setelah 47 tahun dengan usaha yang tekun menegakkan kebenaran, Nabi Besar Iran ini wafat dalam usia 77 tahun . Beliau hidup dalam kesetiaan yang tak terbagi dan kebaktian kepada Tuhan yang bijaksana dan benar. Beliau adalah seorang yang penuh kesalehan, dan agamanya tidak bernafaskan lain kecuali kasih kepada yang menderita dan cinta kepada kebenaran. Dan konon pada saat serangan itulah Zarathustra meninggal ditikam oleh askar Turania. Zarathustra sewaktu wafatnya meniggalkan 3 istri, 3 puteri, dan 3 putra. Keyakinan tentang Ahura Mazda, Pengakuan keimanan (credo=Syahadat) yang harus diucapakan setiap orang yang beriman dalam agama Zarathustra. Keimanan yang paling pokok dalam agama ini adalah pengakuan terhadap Ahura Mazda, terhadap kodrat yang maha tunggal dan maha bijaksana. Menurut Zarathustra alam semesta ini dikuasai oleh kodrat Maha Bijaksana (Ahura Mazda) yang Maha bijaksana senantiasa berhadapan dengan kodrat angkara murka (angro mainyu). Agar manusia memproleh keselamatan haruslah menundukkan diri sepenuhnya kepada Ahura Mazda.[10]
           Raja-raja dari dinasti Achaemenids adalah penganut agama Zarathustra sampai kepada raja Darius III (363-331 SM). Pada masa inilah imperium parsi itu ditaklukkan oleh Alexander the Great (356-323SM) dari Macedonia dan lalu berlangsung Hellenisasi yang intensif diseluruh wilayah Iran. Setelah raja-raja Achaemenids itu pertumbuhan kekuasaannya sampai pada masa tumbangnya terbagiatas 3 tahap masa, yaitu:
1.   Masa 600-550 sebelum masehi, yaitu dalam mansa 150 tahun merupakan masa pertumbuhan kekuasaan dan pengembangan agama Zarathustra.
2.   Masa 550-486 sebelum masehi, yaitu dalam masa 65 tahun merupakan masa perluasan kekuasaan dan perluasan pengaruh agama Zarathustra.
3.   Masa 486-331 sebelum masehi, yaitu dalam masa 156 tahun merupakan masa sengketa yang terus menerus dengan pihak Grik.[11]
           Di Persia, selain Zoroaster, terdapat pula Madzab keagamaan dan ritual lain, seperti Maniisme[12], penyembah api, dan Madzhab Mazdak. Madzhab Mazdak ini yang menggugurkan hak kepemilikan individu. Penganutnya meyakini kepemilikan bersama, termasuk perempuan dan harta serat menghapus tradisi pernikahan.Ajaran Mazdak pernah dianut dan dijalankan oleh seorang Raja Dinasti Sasanid. Baik Zoroaster, maupun Madzhab-Madzhab keagamaan Persia yang lainnya, ternyata memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi tradisi agama Yahudi, khususnya konsep kehidupan akhirat dan adanya Messiah. Dikatakan, Jemaah Asiniyyah, salah satu sekte Yahudi, sangat terpengaruh kuat oleh ajaran Zoroaster, terutama dalam konsep-konsep dualisme, seperti peperangan antara kebaikan dan kejahatan. Namun demikian, diantara kelompok-kelompok agama tersebut kelompok yang  paling penting di dunia adalah agama Zoroaster atau Parsi India. Kelompok ini sering dibandingkan dengan kelompok Yahudi.[13]
           Pada tahun 641 M, yaitu pada masa pemerintahan koshru Yesdegird III (634-641 M), kekuasaan Sassanids di tanah Iran ditumbangkan oleh kekuasaan Islam yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M). Dan itulah perkembangan terakhir dari agama Zarathustra sepanjang sejarahnya semenjak 12 abad lamanya, lantas terdesak oleh pengaruh agama Islam di tanah Iran.
           Sesudah ditaklukkan Arab di sekitar abad ke-7 M, sebagian besar penduduk Persia lambat laun memeluk agama Islam Sekitar abad ke-10, sebagian sisa penganut agama Zoroaster lari dari Iran ke Hormuz, sebuah pulau di teluk Persia. Dari sana mereka atau turunannya pergi ke India tempat mereka mendirikan semacam koloni. Orang Hindu menyebut mereka Parsees karena asal mereka dari Persia. Kini ada sekitar l00.000 lebih kelompok Parsees di India, umumnya tinggal di dekat kota Bombay tempat mereka membentuk suatu kelompok kehidupan masyarakat yang makmur. Zoroastrianisme tak pernah melenyap seluruhnya di Iran; hanya sekitar 20.000 penganut masih ada di negeri itu.[14]
B.     Ajaran-Ajaran Agama Zoroaster
        Kitab suci agama Zoroaster ini di kenal dengan nama Zend Avesta. Kitab ini terbagi lagi menjadi tiga bagian, yakni:
1.      Gathas, kitab yang berisi tentang “nyanyian” atau “ode” yang secara umum dan tepat dinisbahkan kepada Zoroaster sendiri;
2.      Yashts atau hymne korban yang ditujukan kepada berbagai macam dewa; dan
3.    Vendidat/ Vindevdat, “aturan melawan syetan”,berupa sebuah risalah yang terutama menyangkut ketidakmurnian ibadah dan prinsip dualisme yang diperkenalkan oleh Zoroasternisme dan diuraikan sangat panjang dalam bidang kehidupan praktis.[15]
Gathas memuat ajaran-ajaran yang dikemukakan sendiri oleh Zoroaster. Sayangnya bantuan ilmu bahasa hanya berhasil sebagian dalam menangkap makna teks-teks yang kabur ini. Isi bagian kitab ini bertentangan dengan Yashts, yang merupaka langkah mundur pada paganisme. Dalam Yashts ditemukan suatu konsep politeisme yang mirip dengan konsep yang terdapat dalam kitab suci agama Hindu, Rig-Veda. Konsep Politeisme inilah yang di tentang oleh Zoroaster. Baik dalam Yashts mauoun dalam Rig-Veda dijumpai sejumlah besar dewa dan setengah dewa.[16]
Ajaran-Ajaran pokok dalam agama Zoroaster ini yang terdapat dalam kitab-kitabnya mencakup:
a.       Manusia
      Dalam teks yang berjudul “Nasihat Pilihan dari Para Bijak Bestari Zaman Dulu”atau dikenal juga sebagai “Kitab Nasihat Zartusht” ditemukan konsep tentang manusia. Manusia pada asalnya, adalah wujud gaib, dna rohnya, dalam bentuk Fravashi atau Fravahr,ada sebelum jasmaninya. Baik jasad maupun rohnya adalah ciptaan Ohrmazd (Ahura Mazda), dan roh tidak bersifat abadi. Manusia adalah milik Tuhan dan kepada-Nya dia akan kembali.
      Syetan atau Ahriman adalah penentang Tuhan. Dia seperti Tuhan adalah roh gaib murni; dia dan Ohrmazd adalah musuh abadi, cepatatau lambat pertarungan anatar keduanya tidak akan terelakkan. Penciptaan atau makhluk bagi-Nya merupakan suatu kebutuhan bagi pertarungan-Nya melawan syetan, dan manusia berada di garis depan pertempuran ini. Dalam hal ini manusia tidak di paksa Tuhan tetapi karena dia bebas dan sukarela menerima peran ini ketika ditawarkan kepadanya. Di dunia setiap orang bebas memilih baik atau buruk. Jika dia memilih kejelekan berarti dia bertindak tidak alami karena “ayah”nya adalah Ohrmadz. Hal diatas sesuai dengan pendapat As-Syahtastani yang mengatakan, “Manusia bertugas untuk senantiasa mebantu kebaikan dan cahaya di tengah pergulatan Ahura Mazda dengan kejahatan dan kegelapan (Ahriman). Hal ini dapat diwujudkan dengan senantiasa melakukan kebaikan, berkahlak mulia,serta menerapkan hukum dan undang-undang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semua itu dilandaskan atas kebebasan untuk memilih. Siapa yang memilih kebaikan dan kebenaran, maka dia akan menuai hasilnyadi kehidupan dan akhirat yang abadi kelak. Adapun orang yang membela kejahatan dan kedustaan, dia pun akan mendapatkan siksa di neraka yang abadi.”[17]
      Bagi agama Zoroaster peran manusia di dunia, yaitu bekerjasama dengan alam serta menjalani kehidupan yang saleh dengan pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik. Di dunia, manusia mempunyai kewajiban untuk hidup berumahtangga dengan mempuyai istri dan mempunyai anak. Semakin banyak manusia adalah semakin baik karena akan semakin mudah untuk mengalahkan Ahriman.
b.      Tuhan dan Penciptaan
      Keyakinan agama Zoroaster meliputi aspek  monoteisme dan paganisme sekaligus. Mulanya, keyakinan Zoroaster hanya mencakup monoteisme saja. Namun, seiring berkembangnya, keyakinan agama ini juga meliputi paganisme. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, seorang sejarawan muslim kontemporer, mengatakan bahwa zarathustra, meyerukan ajaran monotaisme untuk menyembah Tuhan yang tunggal , pencipta segala sesuatu dan segala alam, baik yang berupa esensi (ruh) maupun materi (maddah).
      Menurut penganut Zoroaster, Dzat Ahura Mazda adalah esensi murni yang suci dari segala bentuk materi, yang tak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tidak dapat ditangkap kedzatannya oleh akal manusia. Oleh karena itu Zoroasternisme pun membuat rumusan tentang hakikat ketuhanan Dzat Ahura Mazda dengan dua rumus penting.
      Rumus pertama bersifat transenden (Samawi) yang disimbolkan dengan matahari, dan rumus yang kedua bersifat imanen (Ardhi) yang disimbolkan dengan api. Keduanya adalah unsur yang memancarkan cahaya, menerangi semesta, suci, serta tidak dapat terkontaminasi oleh hal-halyang buruk dan segala bentuk kerusakan. Kepada cahayalah kehidupan semestaraya ini bergantung. Sifat inilah yang paling mendekati untuk digambarkan oleh akal manusia akan sifat pencipta.
      Anggapan sakral dan cara pengikut Zoroaster menyucikan api inilah yang pada akhirnya menjadikan agama tersebut bergeser dari monoteisme ke paganisme. Zoroaster pun berubah menjadi agama panteisme (hulul) dan paganisme. Api sendiri pada akhirnya berubah dari sebatas isyarat menjadi Sang Pencipta itu sendiri, dani pun dirumuskan atasnya. Sejatinya, pada tradisi dan ajaran awal Zoroaster, tidak di kenal konsep dua Tuhan. Zoroaster hanya meyakini dua kekuatan besar dalam kehidupan yang senantiasa berlawanan atau berbenturan. Salah satunya terkumpul dalam kekuatan kebaikan, cahaya, kehidupan, kebenaran, dan kemuliaan sementara kekuatan lain terkumpul dalam kejahatan, kegelapan, kematian, dan angkara murka.
Asy-Syahrastani berkata: “ sebenarnya, Zoroaster meyakini bahwa Tuhan itu satu, tunggal, tidak ada sekutu, lawan dan kawan, Pencipta cahay dan kegelapan. Namun para pengikut Zoroaster meninggalkan pandangan tersebut. Mereka meyakini bahwasannya alam raya ini tak lain merupakan jelmaan dari pergulatan abadi antara Ahura Mazda, Dewa Terang, dengan Ahriman, Dewa Kegelapan.kemenangan Ahuran Mazda dalam kehidupan adalah sesuatu yang pasti dan tak terbantahkan.”[18]
c.       Etika
      Sebagian besar ajaran agama Zoroaster adalah menyangkut masalah etika. Dasar pikiran teologisnya mempunyai inti pandangan moralistik tentang kehidupan. Kenyataan kehidupan yang utama dan tidak bisa dihindari adalah kejelekan. Baik adalah baik dan jelek adalah jelek. Menolak adanya prinsip dan kejelekan yang terpisah sama dengan mempertalikan atau menghubungkan kejelekan pada Tuhan. Ini tidak mungkin. Oleh karena itu, kejelekan tentu merupakan sesuatu yang berdiri sendiri yang secara terpisah. Moralitas Zoroaster, diungkapkan dalam tiga kata,yaitu humat, huklit, dan huvarsht, yang artinya pikiran baik,perkataan baik, dan perbuatan baik. Yang utama dari ketiga hal itu adalah perbuatan baik.
      Inti dari ajaran Adhurbadh bin Mahraspand adalah “hiduplah dengan baik dan menjadi orang yang berguna, berilah perhatian kepada sesama, laksanakan kewajiban-kewajiban agama, garap lah tanah, hidup lah  berkeluarga dan didiklah anak-anak sehingga menjadi terpelajar. Ingatlah bahwa hidup di dunia ini adlaah sebuah pendahuluan bagi hidup di hari nanti, atau akhirat, dan roh orang yang meninggal akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang perbuatan-perbuatan yang dikerjakannya di dunia.”[19]
d.      Kematian Dalam Zoroasterianisme.
Zoroastrianisme tidak mengizinkan penguburan dan pembakaran tubuh orang yang telah meninggal karena dianggap akan menodai air, udara, bumi dan api. Mereka menyelenggarakan ritus kematian dengan menempatkan mayat di atas Dakhma atau Menara Ketenangan (Tower of Silence). Di sana terdapat pembagian tempat yang jelas bagi kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak. Adapun tahap-tahap yang dilakukan saat upacara kematian adalah sebagai berikut:
1.         Mayat dibiarkan di dalam sebuah ruangan di rumah selama tiga hari sebelum dibawa ke Dakhma, tempat untuk melaksanakan upacara kematian.Sesudah itu, mayat lalu dibawa ke Dakhma atau Menara Ketenangan.
2.         Di sana mayat akan ditelanjangi dan ditidurkan di atas menara yang terbuka dan dibiarkan agar dimakan oleh burung-burung.
3.         Sisa-sisa tulang kemudian dibuang ke dalam sumur.[20]
e.    Pengadilan saat Kematian
      Ajaran agama Zoroaster tentang nasib roh setelah mati terlihat sangat jelas. Konsep kitab Avesta memberi dasar ajaran ini dan teks ini telah di salin dengan sedikit bervariasi dalam kitab-kitab Pahlavi. Setiap roh manusia setetlah kehidupan dunia ini akan bergentayangan selama tiga hari di dekat jasad yang sudah menjadi mayat. Pada hari keempat, roh menghadapi pengadilan diatas “Jembatan Pembalasan”, jembatan yag di jaga oleh Dewa Rashu yang bertindak sebagai hakim yang secara sangat adil  menimbang perbuatan baik dan buruk manusia. Jika perbuatan baiknya lebih berat roh tersebut diizinkan langsung menuju surga, tetapi jika perbuatan buruknya lebih besar roh tersebut di tarik dan dimasukkan ke dalam neraka. Apabila perbuatan baik dan buruk seimbang maka roh tersebut di bawa ke suatu tempat yang bernama Hamestagan atau tempat campuran. Tempat ini tidak disebut dalam teks Menok i Khrat, tetapi sering disebut dalam teks-teks lain.dalam tempat ini, roh-roh mengalami perbaikan dengan merasakan penderitaan yang berupa panas dan dingin.[21]
      Neraka dalam agama Zoroaster bukan merupakan tempat penyiksaan abadi. Neraka hanya bersifat sementara dan merupakan tempat penyucian dari noda-noda dosa. Akhir penyucian dosa terjadi pada pengadilan (hisab) terakhir pada akhir zaman. Disini jelas tergambar bahwa roh harus menghadapi dua kali pengadilan, pengadilan pada saat kematian dan pengadilan umum pada hari kiamat ketika jasad manusia di bangkitkan kembali dan disatukan lagi dengan rohnya. Di dalam agama Zoroaster ini, pengadila umum diikuti dengan penyucian,akhir dari noda-noda dosa sehingga semua menjadi suci tanpa dosa. Tidak ada siksaan abadi dan akhirnya, semua manusia masuk surga.[22]
f.          Hari Kebangkitan
Sebagaimana dapat dipahami dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, pengadilan roh pada saat kematian hanyalah merupakan suatu pendahuluan bagi pengadilan akhir hari kiamat. Penghitungan terakhir, menurut agama Zoroaster, juga hanya berupa tiga hari “penyucian” di dalam logam yang meleleh dan setelah itu roh-roh terkutuk bangkit dari neraka dan seluruh umat manusia tanpa kecuali berkumpul dalam surga temat mereka semua akan memuji Tuhan selamanya. Tuhan mengutuk makhluk-Nya dengan siksaan abadi karena dosa-dosanya bagaimanapun besarnya. Semua dosa akan dihukum dengan setimpal didalam neraka yang bersifat sementara. Neraka adalah tempat tinggal Ahriman dan Syaitan-syaitan. Tuhan melunakan keadilan dengan ras belas kasihan. Dia tidak memiliki sifat yang kejam dan sama sekali tidak bisa murka.[23]
Konsep surga menurut agama Zoroaster sangar sederhana. Surga adalah suatu keadaan yang kembali kepada kehidupan dunia sebelum Ahriman dengan gila menghenatangnya. Surga adalah seperti tempat reuni keluarga yang sangat besar yang di dalamnya kehidupan dunia yang ideal dipulihkan, suatu kehidupan yang berpusat di sekitar keluarga manusia di mana suami sekali lagi bisa menikmati keintiman istrinya yang sah dan berkumpul kembali bersama anak-anaknya. Kehidupan di surga adalah penyempurnaan alami dari pada kehidupan di dunia dengan kekecualian manusia tidak lagi memiliki nafsu makan dan merupakanm tempat para roh memuji ahura mazda dan amahraspand dengan keras. Di sana seluruh keluarga manusia berkumpul dalam suatu kehidupan abadi dan kenikmatan yang abadi pula.[24]
C.    Praktek Keagamaan dalam Agama Zoroaster
            Zoroaster menganjurkan pengikutnya untuk selalu menyalakan api suci di tungku-tungku api yang terapat disetiap kuil peribadatan. Api tersebut harus selalu menyala dan memancarkan cahaya. Tungku apai itu di urus dan di jaga oleh para pemimpin agama (magi), rohaniawan muda, juga oleh para pendeta kuil. Setiap hari mereka selalu memasukkan kayu cendana ke dalam tungku api sebanyak lima kali, atau kayu lain yang mengeluarkan aroma wewangian khas, juga menaburkan serbuk serbuk dan cairan wewangian sehingga udara di dalam kuil selalu terasa segar dan harum semerbak. Mereka juga merapalkan doa-doan dan melaksanakan ritual keagamaan disekitar api tersebut. Dalam tradisi Zoroasternisme, ketika akan mendirikan sebuah kuil api baru, mereka diharuskan menyalakan api terlebih dahulu pada sembilan buah  lilin atau obor. Nyala api di obor pertama kemudian disalurkan untuk nyala api di obor kedua, dan seterusnya hingga pada obor kesembilan. Pengikut Zoroaster meyakini, api yang menyala pada obor terkahir itulah yang telah sampai pada derajat kesucian api. Dan dari api kesembilan itu mereka menyalakan apipada tungku kuil yang baru tersebut.[25]
            Dalam satu butir teks “beberapa perkataan Adurbadh bin Mahraspand”, ayat 72,di sebutkan “pergilah ke kuil api tiga kali sehari dan bacala doa pada api.” Kelanjutan ayat tersebut mengatakan bahwa siapa yang paling sering pergi ke kuil api dan membaca doa pada api akan menerima banyak barang duniawi dan kesucian.
            Mary Boyce, dalam bukunya Zoroastrians, Their Religious Beliefs and Practice menjelaskan bahwa waktu ibadat orang-orang Iran zaman dahulu ketika matahari terbit, ketika tengah hari, dan ketika matahari terbenam.waktu yang tersebut terakhir nampaknya diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal dunia. Zoroaster nampaknya memberikan dua tambahan lagi sehingga dia mewajibkan kepada para pengikutnya untuk beribadat lima kali sehari. Tambahan pertama adalah waktu setengah siang seperti waktu Ashar seperti dalam agama Islam, yaitu tengah-tengah antara tengah hari dan waktu matahari terbenam. Bagi agama Zoroaster, selama musim panas doa-doa yang di baca pada tengah hari berfungsi membantu orang yang saleh untuk berfikir tentang kebenaran serta tentang kejayaan kebaikan sekarang dan yang akan datang, sedangkan selama musim dingin adalah merupakan peringatan tahunan akan adanya kekuatan kejahatan yang mengancam dan perlunya bertahan terhadapnya.[26]
            Tambahan baru lainnya adalah waktu tengah malam yang tenggang waktunya sampai saat matahari terbit. Doa ini dipersembahkan bagi Sraosha, Tuhannya doa. Selama waktu itu, ketika kekuatan kegelapan berada pada puncak yang paling kuat dan mencari-cari mangsa, para pengikut Zoroaster harus bangun, mengisi minyak dan dupa pada tungku api dan memperkuat dunia kebaikan dengan doa-doa mereka.
            Bentuk dan isi sembahyang yang di kenal dari praktek yang ada adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang hendak melaksanakan sembahyang mempersiapkan diri dengan mencuci wajah, tangan, dan kaki dari kotoran debu kemudian menutup sebagian mukanya.
2.      Melepaskan tali kawat suci dan berdiri dengan tali di pegang dengan kedua tangan dimukanya, tegak lurus dihadapan penciptanya, matanya menatap simbol kebajikan, yakni api
3.      Dia berdoa kepada Ohrmazd (Ahura Mazda), mengutuk Ahriman (sambil memukul-mukulkan ujung kawat dengan penghinaan), memasang tali kawat lagi sambil masih berdoa.
         Disamping perayaan individu tersebut, para pengikut Zoroaster masih mempunyai  kewajiban bersama yaitu merayakan tujuh macam peringatan hari besar tahunan. Waktu peringatan berbeda-beda, ada yang pertengahan musim semi, ada yangpertengahan musim panas, dan ada yang pertengahan musim dingin.perayaan in dirayakan denga menghadiri upacara agama (sembahyang) di pagi hari dan kemudian berkumpul bersama di dalam kegembiraan dengan pesta makan bersama. Makanan yang dimakan sebelumnya di beri berkah di dalam upacara agama yang dilaksanakan pada pagi hari tersebut. Orang-orang kaya saling bertemu di dalam kesempatan ini yang merupakan waktu iktikad baik umum, perselisihan didamaikan dan persahabatan diperbaharui dan diperkuat. Upacara-upacara khusus bagi kelahiran (massa penandaan), perkawinan dan kematian juga diajarkan dalam agama Zoroaster.[27]
            Upacara penandaan atau Navjot (secara harfiah berarti Kelahiran Baru) adalah perayaan ketika seorang anak diterima masuk ke agama Majusi, selanjutnya dia diberikan simbolisasi keimanan – baju (sudreh) dan korset (kusti). Upacara ini berlangsung pada saat usia tujuh dan empatbelas tahun. Setelah pemberian ini setiap penganut Zoroster, baik lelaki maupun wanita, memakainya siang dan malam, dan ini menjadi baju yang dikenakan ketika akhir hayatnya.
           Upacara kedua berkaitan dengan perkawinan. Ini kewajiban yang mengikat pengikut Majusi untuk kawin dan membesarkan anak. Bagian terpenting dari upacara perkawinan tiga kali pengucapan dalam akad perkawinan oleh pendeta resmi, diikuti pemberkatan Tuhan, Amesha Spentas dan Yazatas pada pasangan baru.
           Perbedaan yang mencolok dari upacara Agama Zoroaster ini berkenaan dengan kematian. Setelah nyawa meninggalkan raganya, maka badan jasmaninya dianggap tidak suci. Ia harus dihancurkan secepat mungkin. Ia tidak boleh disentuh elemen suci-api, bumi, dan air. Jadi tidak dibakar, dikubur, atau tidak juga dihanyutkan kedalam air. Ia dibiarkan dimakan oleh burung bangkai. Mayatnya diletakkan pada suatu tempat yang disebut Menara Kesunyian yang menghadap matahari. Puncak menara dibiarkan terbuka untuk memberi kebebasan burung-burung memakannya. Kejadian ini cepat berlangsung sekitar setengah jam, dan kerangka mayat memutih dibawah sinar matahari dan udara dalam waktu beberapa hari. Ini kemudian dikumpulkan dan disimpan dalam terowongan di pusat menara, dan disana mereka remuk menjadi debu. Kebiasaan menghancurkan mayat ini tidak pernah terjadi pada saat Zarathushtra atau pun pada awal masa Achaemenid. Herodotus mengacu kebiasaan penguburan diantara bangsa Persia, dan kuburan Cyrus masih ada sampai sekarang. Menara Kesunyian (Dokhmas) datang sebagai hasil pengaruh Magi, pendeta dari Medes. Hal dipertahankan oleh pengikut Zoroaster dengan alasan agama maupun sanitasi.[28]
D.    Aliran Agama Zoroaster
       Aliran Agama Agama Zoroaster diantaranya:
1.      Aliran Manu[29]
Diantara ajaran yang diajarkan oleh aliran ini diantaranya:
a.       Tentang baik dan buruk. Menurut ajaran manu ini bahwa segala kehidupan ini adalah kebaikan, karena akhirnya Tuhanlah yang akan menang atas roh kejahatan; oleh karenanya manusia hendaknya membantu Tuhan mengalahkan roh jahat dengan melakukan segala kebaikan.
b.      Anjuran menghentikan perkawinan. Selain itu menurut mereka pertempuran antara kebenaran dan kejelekan akan terus berlangsung selama manusia terus berkembang. Oleh karena itu menurut mereka agar semua kejahatan dan kejelekan cepat berakhir maka manusia harus menghentikan perkembang biakanya dengan kata lain tidak menikah agar tidak memiliki keturunan.
c.       Zuhud
Menurut ajaran ini pula, manusia harus menjauhi segala kesenangan dunia. Termasuk melarang menikah, menyembelih binatang dan makan daging.
d.      ‘Ibadat
Aliran Manu mengajarkan peribadatan yaitu sembahyang dan puasa, sebelum sembahyang mereka mengusap anggota badan dengan air, kemudian menghadap matahari, lalu bersujud. Dalam tiap kali sembahyang ada dua belas kali bersujud; pada tiap sujud dilakukan doa; mereka berpuasa 7 hari dalam sebulan.
B.     Madzdak
      Aliran ini ajarannya mirip dengan ajaran Majusi kuno yakni meyakini adanya dua tuhan, yaitu tuhan baik dan tuhan keburukan. Selain itu ajaran yang paling terpenting dari aliran ini adalah ajaran yang mirip dengan sosialisme yang menyatakan bahwa manusia harus sama derajatnya. Yakni tidak memiliki stara social. Dan menurut mereka penyebab utama dari kejahatan dan peperangan adalah wanita dan harta, yang menyebabkan pengikut aliran ini membuat kekacauan di Naishaburi. Karena mereka memaksa orang-orang hartawan untuk menyerahkan harta mereka dan menyerahkan wanita agar tidak terjadi kekacauan atau peperangan. Ajarannya yaitu;
a.                   Tsanwiyah. Diantara ajarannya selain mengakui dua tuhan, mereka juga mengajarkan untuk menyembah api, selain mereka juga menyembah berhala.
b.                  Disahniyah. Dishaniyah adalah ajaran Majusi yang lahir di luar persi. Yang didiraikan oleh bangsa Siryani (Sirya) yang bernama Bardaishan datau ibnu Dishan yang wafat pada tahun 222 M. ajarannya mirip dengan ajaran Manu yang menyatukan dua ajaran yakni Nasrani dan Majusi. Hanya saja perbedaanya adalah menurut mereka bahwa Isa Al Masih merupakan Allah yang diserupakan dalam bentuk manusia yang diutus untuk manusia. Selain itu ajarannya juga yang berbeda dengan yang lainnya yaitu mereka tidak mempercayai adaanya hari akherat. Sehingga menyebabkan aliran ini yang sangat berbeda dengan yang lainnya.
c.Zindiq.
Zindiq adalah sebuah aliran Majusi yang sangat berbeda dengan yang lainnya. Yakni agama Majusiah yang Atheis yakni tidak percaya akan adanya Tuhan. Menurut mereka bahwa alam raya ini terjadi dengan sendirinya, dan tidak akan berakhir, kekal selama-lamanya, dan zaman yang beredar ini akan terus berputar tiada akan berakhir.[30]
E.     Sekte-sekte dalam Zoroastrianisme.
Terbaginya Zoroastrisme ke dalam beberapa kelompok bukan disebabkan karena perbedaan pemahaman teologi. Pembagian sekte-sekte ini karena waktu perayaan Tahun Baru yang berbeda-beda. Terdapat tiga sekte dalam Zoroastrianisme. 
1.      Kelompok Shenshahi yang merayakan Tahun Baru pada musim gugur sekitar bulan Agustus atau September.
2.      Kelompok Qadimi yang merayakan Tahun Baru pada musim panas, sekitar bulan Juli atau Agustus.
3.      Kelompok Fasli yang merayakan Tahun Baru pada musim semi yaitu setiap tanggal 21 Maret.[31]

DAFTAR PUSTAKA
  Abdullah al-Maghlouth, bin Sami, Atlas Agama-Agama, Almahira, Jakarta: 2010
  Ali, H. A. Mukti, Agama-Agama Dunia,IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarya: 1988
  Aziz Us-Samad, Ulfat, PDF. Agama Besar Dunia, Peshawar:1975



[2] Ibid
[3] H. A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 269
[4] H. A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 270
[5] Ulfat Aziz Us-Samad, Agama Besar Dunia,(Peshawar, 1975), hal. 77
[6] Ibid, hal. 78
[8] Sami Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama, (Jakarta: Almahira, 2010), hal. 475
[9] Ulfat Aziz Us-Samad, Agama Besar Dunia,(Peshawar, 1975), hal. 76
[11] Ibid
[12] Maniisme atau Manikheisme adalah sebuah aliran kepercayaan dualistik yang didasarkan pada ajaran-ajaran Mani. Tokoh utama aliran ini adalah Manichaeus.
[13] Sami Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama, (Jakarta: Almahira, 2010), hal. 471
[15] Sami Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama, (Jakarta: Almahira, 2010), hal. 471

[16] H. A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 270

[17] H. A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 272

[18] H. A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 273

[19] H. A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 273
[20] Sami Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama, (Jakarta: Almahira, 2010), hal.470
[21] Sami Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama, (Jakarta: Almahira, 2010), hal.470
[22] Ibid, hal. 473
[23] Ibid, hal. 475
[24] Sami Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-Agama, (Jakarta: Almahira, 2010), hal.485
[25] Ibid, hal 496
[26] H. A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 285
[27] H. A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), hal. 289
[28] Ulfat Aziz Us-Samad, Agama Besar Dunia,(Peshawar, 1975), hal. 91
[29] http://kursusislam.wordpress.com/2011/07/08/hubungan-zoroastrianisme-terhadap-agama-abrahamik/
[30] http://zulfanafdhilla.blogspot.com/2012/12/agama-zoroastrianism-mazdayasna.html#ixzz2OUkpPrCa
[31] Ibid

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: