Agama Zoroaster
Oleh: Muhammad Arrayyan
(Tugas Makalah Sejarah Agama-Agama di STID Mohammad Natsir Jakarta)
A. Sejarah Munculnya Agama Zoroaster
Agama Zoroaster, di kenal di dunia Barat dengan nama
Zoroastrianism karena nabinya dari agama ini adalah
Zarathutra. Zarathustra lahir di Sebelah Utara tanah Iran, tepatnya di
kota Azarbaijan. Tinggal seorang lelaki bernama Porushop Spitama, dari suku
spitama, bersama istrinya Dughdova yang cantik jelita yang ketika itu masih
berusia 15 tahun. Isterinya yang belum dijamah suaminya itu melahirkan seorang
putera yang diberi nama Zarathustra. Pada saat kelahiran bayi itu kepala kaum
majus di tanah Iran bernama Durashan mendadak gemetar ketakutan amat sangat dan
beroleh firasat bahwa seorang bayi baru telah lahir kedunia yang kelak akan
menghancurkan agama majusi beserta pemujaaan berhala dan akan memusnahkan kaum
majus dari permukaan bumi.[1]
Banyak
sekali teori yang mengemukakan tentang tahun-tahun kehidupannya, diantaranya
kemungkinan ia hidup pada tahun 660-583 SM[2],
tetapi tidak ada yg menjamin bahwa kisaran tahun ini adalah tahun yang tepat.
Di lihat dari perkiraan tahun tersebut, tampaknya Agama Zoroaster merupakan
salah satu agama wahyu yang tertua yang masih hidup sampai sekarang. Agama ini
pernah menjadi agama negara bagi tiga kerajaan besar di Iran yang hidup dan
berkembang hampir berkesinambungan sejak abad ke-6 SM sampai abad ke-7 M, serta
banyak menguasai daerah Timur Dekat dan Tengah.[3]
Di
wilayah Indo-Iran, anak yang berumur sekitar tujuh tahun sudah mulai memperoleh
pelajaran keagamaan kependetaan secara lisan karena belum ada pengetahuan
menulis. Tentunya pelajaran tersebut menyangkut tentang cara beribadah,
ajaran-ajaran pokok agama, hapalan-hapalan doa dan pujian pujian kepada Tuhan.
Sewaktu masih kecil diceritakan, ia sangat cerdas dan tangkas bicara sehingga
teman-temannya sangat segan kepadanya. Orang Iran berpendapat bahwa kematangan
atau kedewasaan seseorang itu tercapai pada usia 15 tahun, dan pada sekitar
usia itu pula lah Zarathustra mulai menjadi pendeta. Menjelang umur 20
tahun ia gemar mengembara kesana kemari serta memberikan bantuan kepada orang
yang melarat dan kesusahan. Dan pada usia 20 tahun ia pun dikawainkan oleh ibunya
dengan seorang gadis bernama Havivi.
Pada
usia 30 tahun, Zarathustra menerima wahyu yang peratama. Diceritakan bahwa
suatu ketika ia sedang berada di suatu perkumpulan untuk merayakan musim semi.
Ia pergi saat fajar ke sungai utnuk mengambil air bagi keperluan
upacara haoma. Ia menyebrang ke tengah sungai untuk mengambil air dari
aliran yang ada di tengah.ketika hendak kembali ke pinggir, dia menemukan
dirinya dalam keadaan kesucian ibadat (ritual),muncul dari unsur
yang murni, air, dalam kesegaran fajar musim semi. Ia melihat bayang-bayang. Di
tepian sungai dia melihat suatu zat yang berkilauan yang menyebut diri
sebagai Vohu Manah (itikad baik), yang kemudian membawanya kehadapan
Tuhan Ahura Mazda serta lima bentuk badan yang bersinar. Dihadapan mereka,
Zarathustra tidak melihat bayangannnya karena mereka memancarkan cahaya yang
terang benderang. Dan saat itulah ia menerima wahyu.[4] Agama
yang diajarkan oleh Zarathusthra telah dikenal sebagai agama Zoraster,
tetapi sesungguhnya nama yang diberikannya sendiri adalah agama Mazdayasna,
kebaktian kepada Mazda, yakni Tuhan Maha Segala Yang Esa, Sejati, dan Maha
Mengetahui.[5] Setelah
ia menerima wahyu pertamanya,10 tahun pertama ia melakukan penyebaran agamanya
itu di kota kelahirannya yaitu Iran Utara, Tetapi dalam masa tersebut hanya
seorang saja yang beriman di kota kelahirannya tersebut, orang itu tidak lain
adalah saudara sepupunya sendiri, Maidhyoimanha. Ia mengajarkan tentang kodrat
Maha Tunggal yang bijaksana yang tak dapat disaksikan dan dilihat dan diraba,
dan hal tersebut direspon dengan ejekan dan penghinaan, ia banyak bersabar dan
terus memprcayai janji dari Ahura Mazda, hingga pada akhirnya ia memanjatkan
permohonan dan kemudian keluar perintah agar ia hijrah dari sana, Akhirnya
pada tahun keduabelas kenabiannya, beliau meninggalkan tanah kelahirnya dan
mengembara ke Timur, mula-mula ke Seista, dan selanjutnya ke Bactria yang
diperintah oleh seorang raja bijaksana, Vishtaspa. Zarathushtra senantiasa
menginginkan untuk memperoleh pengikut yang bijak dan berkuasa untuk
menunjang missinya.[6]
Raja
Vishtaspa itu, yang dalam literature di Barat dikenal dengan Kings Hystaspes,
berasal dari keluarga Hakkham. Seorang cucunya yaitu Cyrus the Great (559-529
SM) berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil diseluruh wilayah Iran dan
membangun sebuah Imperium Parsi yang dikenal dengan dinasti Hakkham (600-331
SM), dan dunia Barat mengenalnya dengan dinasti Achaemenids.
Ibukotanya yang semula terletak di kota Balkh di pindahkan ke
kota Sussa di sebelah timur sungai Tigris, kemudian ke Persepolis (Istakhri).[7]
Raja
Vishtaspa menerima Zarathushtra dengan ramah-tamah, dan menunjukkan bahwa
dirinya condong kepada risalahnya karena berdasarkan pada berdasarkan
filsafat Zoroaster dengan pemikirannya tentang Tuhan bahwa inti dari gagasan
ketuhanan tidak akan dicapai lantaran adanya perubahan bangsa dan bahasa. Yang
berubah-rubah hanya nama Tuhan yang tunggal untuk seluruh alam. Setiap bangsa
menyebutnya dengan nama yang diinginkan. Diriwayatkan bahwa Zarathushtra
telah melakukan beberapa mukjizat di hadapan Sang Raja dan para Menterinya,
serta melakukan diskusi yang lama dengan para cendekiawan di sana. Salah satu
mukjizat yang ia tunjukkan yakni, dia mampu membuat sebuah lingkaran dengan
tepat tanpa alat, padahal menurut ahli ilmu ukur hali itu tidak mungkin bisa
dilakukan. Kemudian, mukjizatlainnya, ia pernah bertemu seorang buta, kemudian
dia meminta jenis rumput tertentu untuk diperaskan di kedua mata si buta, dan
si buta itu pun bisa melihat.[8] Perlahan
tetapi pasti, kebenaran yang dinyatakannya telah mendapat pijakan yang kuat di
kalangan raja dan para bangsawannya. Massa rakyat mengikuti kebangkitan para
pemimpinnya, dan agama Zoroaster segera tegak sebagai agama Iran. Sukses yang
mendadak dari agama yang baru ini memacu jalan ke arah peperangan antara Iran
dan Turan. Zarathushtra tidak percaya dengan penggunaan senjata dalam menarik
pengikut kepada agamanya. Beliau hanya mengizinkan perang untuk membela diri
guna menjaga agama dan para pengikutnya dari kekejaman orang lain.[9]
Setelah
47 tahun dengan usaha yang tekun menegakkan kebenaran, Nabi Besar Iran ini
wafat dalam usia 77 tahun . Beliau hidup dalam kesetiaan yang tak terbagi dan
kebaktian kepada Tuhan yang bijaksana dan benar. Beliau adalah seorang yang
penuh kesalehan, dan agamanya tidak bernafaskan lain kecuali kasih kepada yang
menderita dan cinta kepada kebenaran. Dan konon pada saat serangan itulah
Zarathustra meninggal ditikam oleh askar Turania. Zarathustra sewaktu
wafatnya meniggalkan 3 istri, 3 puteri, dan 3 putra. Keyakinan tentang Ahura
Mazda, Pengakuan keimanan (credo=Syahadat) yang harus diucapakan setiap orang
yang beriman dalam agama Zarathustra. Keimanan yang paling pokok dalam agama
ini adalah pengakuan terhadap Ahura Mazda, terhadap kodrat yang maha tunggal
dan maha bijaksana. Menurut Zarathustra alam semesta ini dikuasai oleh kodrat
Maha Bijaksana (Ahura Mazda) yang Maha bijaksana senantiasa berhadapan dengan
kodrat angkara murka (angro mainyu). Agar manusia memproleh keselamatan
haruslah menundukkan diri sepenuhnya kepada Ahura Mazda.[10]
Raja-raja
dari dinasti Achaemenids adalah penganut agama Zarathustra sampai kepada raja
Darius III (363-331 SM). Pada masa inilah imperium parsi itu ditaklukkan oleh
Alexander the Great (356-323SM) dari Macedonia dan lalu berlangsung Hellenisasi
yang intensif diseluruh wilayah Iran. Setelah raja-raja Achaemenids itu
pertumbuhan kekuasaannya sampai pada masa tumbangnya terbagiatas 3 tahap masa,
yaitu:
1. Masa 600-550 sebelum masehi, yaitu
dalam mansa 150 tahun merupakan masa pertumbuhan kekuasaan dan pengembangan
agama Zarathustra.
2. Masa 550-486 sebelum masehi, yaitu
dalam masa 65 tahun merupakan masa perluasan kekuasaan dan perluasan pengaruh
agama Zarathustra.
3. Masa 486-331 sebelum masehi, yaitu
dalam masa 156 tahun merupakan masa sengketa yang terus menerus dengan pihak
Grik.[11]
Di
Persia, selain Zoroaster, terdapat pula Madzab keagamaan dan ritual lain,
seperti Maniisme[12], penyembah
api, dan Madzhab Mazdak. Madzhab Mazdak ini yang menggugurkan hak
kepemilikan individu. Penganutnya meyakini kepemilikan bersama, termasuk
perempuan dan harta serat menghapus tradisi pernikahan.Ajaran Mazdak pernah
dianut dan dijalankan oleh seorang Raja Dinasti Sasanid. Baik Zoroaster, maupun
Madzhab-Madzhab keagamaan Persia yang lainnya, ternyata memiliki pengaruh yang
cukup kuat bagi tradisi agama Yahudi, khususnya konsep kehidupan akhirat dan
adanya Messiah. Dikatakan, Jemaah Asiniyyah, salah satu sekte Yahudi, sangat
terpengaruh kuat oleh ajaran Zoroaster, terutama dalam konsep-konsep dualisme,
seperti peperangan antara kebaikan dan kejahatan. Namun demikian, diantara
kelompok-kelompok agama tersebut kelompok yang paling penting di
dunia adalah agama Zoroaster atau Parsi India. Kelompok ini sering dibandingkan
dengan kelompok Yahudi.[13]
Pada
tahun 641 M, yaitu pada masa pemerintahan koshru Yesdegird III (634-641 M),
kekuasaan Sassanids di tanah Iran ditumbangkan oleh kekuasaan Islam yakni pada
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M). Dan itulah
perkembangan terakhir dari agama Zarathustra sepanjang sejarahnya semenjak 12
abad lamanya, lantas terdesak oleh pengaruh agama Islam di tanah Iran.
Sesudah
ditaklukkan Arab di sekitar abad ke-7 M, sebagian besar penduduk Persia
lambat laun memeluk agama Islam Sekitar abad ke-10, sebagian sisa penganut
agama Zoroaster lari dari Iran ke Hormuz, sebuah pulau di teluk Persia. Dari
sana mereka atau turunannya pergi ke India tempat mereka mendirikan semacam
koloni. Orang Hindu menyebut mereka Parsees karena asal mereka dari Persia.
Kini ada sekitar l00.000 lebih kelompok Parsees di India, umumnya tinggal di
dekat kota Bombay tempat mereka membentuk suatu kelompok kehidupan masyarakat
yang makmur. Zoroastrianisme tak pernah melenyap seluruhnya di Iran; hanya
sekitar 20.000 penganut masih ada di negeri itu.[14]
B. Ajaran-Ajaran
Agama Zoroaster
Kitab
suci agama Zoroaster ini di kenal dengan nama Zend Avesta. Kitab ini terbagi
lagi menjadi tiga bagian, yakni:
1. Gathas, kitab yang berisi tentang
“nyanyian” atau “ode” yang secara umum dan tepat dinisbahkan kepada Zoroaster
sendiri;
2. Yashts atau hymne korban yang
ditujukan kepada berbagai macam dewa; dan
3. Vendidat/ Vindevdat, “aturan
melawan syetan”,berupa sebuah risalah yang terutama menyangkut ketidakmurnian
ibadah dan prinsip dualisme yang diperkenalkan oleh Zoroasternisme dan
diuraikan sangat panjang dalam bidang kehidupan praktis.[15]
Gathas
memuat ajaran-ajaran yang dikemukakan sendiri oleh Zoroaster. Sayangnya bantuan
ilmu bahasa hanya berhasil sebagian dalam menangkap makna teks-teks yang kabur
ini. Isi bagian kitab ini bertentangan dengan Yashts, yang merupaka langkah
mundur pada paganisme. Dalam Yashts ditemukan suatu konsep politeisme yang
mirip dengan konsep yang terdapat dalam kitab suci agama Hindu, Rig-Veda.
Konsep Politeisme inilah yang di tentang oleh Zoroaster. Baik dalam Yashts
mauoun dalam Rig-Veda dijumpai sejumlah besar dewa dan setengah dewa.[16]
Ajaran-Ajaran
pokok dalam agama Zoroaster ini yang terdapat dalam kitab-kitabnya mencakup:
a. Manusia
Dalam
teks yang berjudul “Nasihat Pilihan dari Para Bijak Bestari Zaman Dulu”atau
dikenal juga sebagai “Kitab Nasihat Zartusht” ditemukan konsep tentang manusia.
Manusia pada asalnya, adalah wujud gaib, dna rohnya, dalam bentuk Fravashi atau
Fravahr,ada sebelum jasmaninya. Baik jasad maupun rohnya adalah ciptaan Ohrmazd
(Ahura Mazda), dan roh tidak bersifat abadi. Manusia adalah milik Tuhan dan
kepada-Nya dia akan kembali.
Syetan
atau Ahriman adalah penentang Tuhan. Dia seperti Tuhan adalah roh gaib murni;
dia dan Ohrmazd adalah musuh abadi, cepatatau lambat pertarungan anatar
keduanya tidak akan terelakkan. Penciptaan atau makhluk bagi-Nya merupakan
suatu kebutuhan bagi pertarungan-Nya melawan syetan, dan manusia berada di
garis depan pertempuran ini. Dalam hal ini manusia tidak di paksa Tuhan tetapi
karena dia bebas dan sukarela menerima peran ini ketika ditawarkan kepadanya.
Di dunia setiap orang bebas memilih baik atau buruk. Jika dia memilih kejelekan
berarti dia bertindak tidak alami karena “ayah”nya adalah Ohrmadz. Hal diatas
sesuai dengan pendapat As-Syahtastani yang mengatakan, “Manusia bertugas untuk
senantiasa mebantu kebaikan dan cahaya di tengah pergulatan Ahura Mazda dengan
kejahatan dan kegelapan (Ahriman). Hal ini dapat diwujudkan dengan senantiasa
melakukan kebaikan, berkahlak mulia,serta menerapkan hukum dan undang-undang
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Semua itu dilandaskan atas kebebasan untuk
memilih. Siapa yang memilih kebaikan dan kebenaran, maka dia akan menuai
hasilnyadi kehidupan dan akhirat yang abadi kelak. Adapun orang yang membela
kejahatan dan kedustaan, dia pun akan mendapatkan siksa di neraka yang abadi.”[17]
Bagi
agama Zoroaster peran manusia di dunia, yaitu bekerjasama dengan alam serta
menjalani kehidupan yang saleh dengan pikiran, perkataan dan perbuatan yang
baik. Di dunia, manusia mempunyai kewajiban untuk hidup berumahtangga dengan
mempuyai istri dan mempunyai anak. Semakin banyak manusia adalah semakin baik
karena akan semakin mudah untuk mengalahkan Ahriman.
b. Tuhan
dan Penciptaan
Keyakinan
agama Zoroaster meliputi aspek monoteisme dan paganisme sekaligus.
Mulanya, keyakinan Zoroaster hanya mencakup monoteisme saja. Namun, seiring
berkembangnya, keyakinan agama ini juga meliputi paganisme. Prof. Dr. Ali Abdul
Wahid Wafi, seorang sejarawan muslim kontemporer, mengatakan bahwa zarathustra,
meyerukan ajaran monotaisme untuk menyembah Tuhan yang tunggal , pencipta
segala sesuatu dan segala alam, baik yang berupa esensi (ruh) maupun materi
(maddah).
Menurut
penganut Zoroaster, Dzat Ahura Mazda adalah esensi murni yang suci dari segala
bentuk materi, yang tak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tidak dapat
ditangkap kedzatannya oleh akal manusia. Oleh karena itu Zoroasternisme pun
membuat rumusan tentang hakikat ketuhanan Dzat Ahura Mazda dengan dua rumus
penting.
Rumus
pertama bersifat transenden (Samawi) yang disimbolkan dengan matahari, dan
rumus yang kedua bersifat imanen (Ardhi) yang disimbolkan dengan api. Keduanya
adalah unsur yang memancarkan cahaya, menerangi semesta, suci, serta tidak
dapat terkontaminasi oleh hal-halyang buruk dan segala bentuk kerusakan. Kepada
cahayalah kehidupan semestaraya ini bergantung. Sifat inilah yang paling
mendekati untuk digambarkan oleh akal manusia akan sifat pencipta.
Anggapan
sakral dan cara pengikut Zoroaster menyucikan api inilah yang pada akhirnya
menjadikan agama tersebut bergeser dari monoteisme ke paganisme. Zoroaster pun
berubah menjadi agama panteisme (hulul) dan paganisme. Api sendiri pada
akhirnya berubah dari sebatas isyarat menjadi Sang Pencipta itu sendiri, dani
pun dirumuskan atasnya. Sejatinya, pada tradisi dan ajaran awal Zoroaster,
tidak di kenal konsep dua Tuhan. Zoroaster hanya meyakini dua kekuatan besar
dalam kehidupan yang senantiasa berlawanan atau berbenturan. Salah satunya
terkumpul dalam kekuatan kebaikan, cahaya, kehidupan, kebenaran, dan kemuliaan
sementara kekuatan lain terkumpul dalam kejahatan, kegelapan, kematian, dan
angkara murka.
Asy-Syahrastani
berkata: “ sebenarnya, Zoroaster meyakini bahwa Tuhan itu satu, tunggal, tidak
ada sekutu, lawan dan kawan, Pencipta cahay dan kegelapan. Namun para pengikut
Zoroaster meninggalkan pandangan tersebut. Mereka meyakini bahwasannya alam
raya ini tak lain merupakan jelmaan dari pergulatan abadi antara Ahura Mazda,
Dewa Terang, dengan Ahriman, Dewa Kegelapan.kemenangan Ahuran Mazda dalam
kehidupan adalah sesuatu yang pasti dan tak terbantahkan.”[18]
c. Etika
Sebagian
besar ajaran agama Zoroaster adalah menyangkut masalah etika. Dasar pikiran
teologisnya mempunyai inti pandangan moralistik tentang kehidupan. Kenyataan
kehidupan yang utama dan tidak bisa dihindari adalah kejelekan. Baik adalah
baik dan jelek adalah jelek. Menolak adanya prinsip dan kejelekan yang terpisah
sama dengan mempertalikan atau menghubungkan kejelekan pada Tuhan. Ini tidak
mungkin. Oleh karena itu, kejelekan tentu merupakan sesuatu yang berdiri
sendiri yang secara terpisah. Moralitas Zoroaster, diungkapkan dalam tiga
kata,yaitu humat, huklit, dan huvarsht, yang artinya pikiran
baik,perkataan baik, dan perbuatan baik. Yang utama dari ketiga hal itu adalah
perbuatan baik.
Inti
dari ajaran Adhurbadh bin Mahraspand adalah “hiduplah dengan baik dan menjadi
orang yang berguna, berilah perhatian kepada sesama, laksanakan
kewajiban-kewajiban agama, garap lah tanah, hidup lah berkeluarga
dan didiklah anak-anak sehingga menjadi terpelajar. Ingatlah bahwa hidup di
dunia ini adlaah sebuah pendahuluan bagi hidup di hari nanti, atau akhirat, dan
roh orang yang meninggal akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
perbuatan-perbuatan yang dikerjakannya di dunia.”[19]
d. Kematian
Dalam Zoroasterianisme.
Zoroastrianisme
tidak mengizinkan penguburan dan pembakaran tubuh orang yang telah meninggal
karena dianggap akan menodai air, udara, bumi dan api. Mereka
menyelenggarakan ritus kematian dengan menempatkan mayat di atas Dakhma
atau Menara Ketenangan (Tower of Silence). Di sana terdapat pembagian
tempat yang jelas bagi kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak. Adapun
tahap-tahap yang dilakukan saat upacara kematian adalah sebagai berikut:
1.
Mayat dibiarkan di dalam sebuah ruangan di
rumah selama tiga hari sebelum dibawa ke Dakhma, tempat untuk melaksanakan
upacara kematian.Sesudah itu, mayat lalu dibawa ke Dakhma atau Menara
Ketenangan.
2.
Di sana mayat akan ditelanjangi dan
ditidurkan di atas menara yang terbuka dan dibiarkan agar dimakan oleh
burung-burung.
3.
Sisa-sisa tulang kemudian dibuang ke dalam
sumur.[20]
e. Pengadilan
saat Kematian
Ajaran
agama Zoroaster tentang nasib roh setelah mati terlihat sangat jelas. Konsep
kitab Avesta memberi dasar ajaran ini dan teks ini telah di salin dengan
sedikit bervariasi dalam kitab-kitab Pahlavi. Setiap roh manusia setetlah
kehidupan dunia ini akan bergentayangan selama tiga hari di dekat jasad yang
sudah menjadi mayat. Pada hari keempat, roh menghadapi pengadilan diatas
“Jembatan Pembalasan”, jembatan yag di jaga oleh Dewa Rashu yang bertindak
sebagai hakim yang secara sangat adil menimbang perbuatan baik dan
buruk manusia. Jika perbuatan baiknya lebih berat roh tersebut diizinkan
langsung menuju surga, tetapi jika perbuatan buruknya lebih besar roh tersebut
di tarik dan dimasukkan ke dalam neraka. Apabila perbuatan baik dan buruk seimbang
maka roh tersebut di bawa ke suatu tempat yang
bernama Hamestagan atau tempat campuran. Tempat ini tidak disebut
dalam teks Menok i Khrat, tetapi sering disebut dalam teks-teks lain.dalam
tempat ini, roh-roh mengalami perbaikan dengan merasakan penderitaan yang
berupa panas dan dingin.[21]
Neraka
dalam agama Zoroaster bukan merupakan tempat penyiksaan abadi. Neraka hanya
bersifat sementara dan merupakan tempat penyucian dari noda-noda dosa. Akhir
penyucian dosa terjadi pada pengadilan (hisab) terakhir pada akhir zaman.
Disini jelas tergambar bahwa roh harus menghadapi dua kali pengadilan,
pengadilan pada saat kematian dan pengadilan umum pada hari kiamat ketika jasad
manusia di bangkitkan kembali dan disatukan lagi dengan rohnya. Di dalam agama
Zoroaster ini, pengadila umum diikuti dengan penyucian,akhir dari noda-noda
dosa sehingga semua menjadi suci tanpa dosa. Tidak ada siksaan abadi dan
akhirnya, semua manusia masuk surga.[22]
f. Hari
Kebangkitan
Sebagaimana
dapat dipahami dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, pengadilan roh
pada saat kematian hanyalah merupakan suatu pendahuluan bagi pengadilan akhir
hari kiamat. Penghitungan terakhir, menurut agama Zoroaster, juga hanya berupa
tiga hari “penyucian” di dalam logam yang meleleh dan setelah itu roh-roh
terkutuk bangkit dari neraka dan seluruh umat manusia tanpa kecuali berkumpul
dalam surga temat mereka semua akan memuji Tuhan selamanya. Tuhan mengutuk
makhluk-Nya dengan siksaan abadi karena dosa-dosanya bagaimanapun besarnya.
Semua dosa akan dihukum dengan setimpal didalam neraka yang bersifat sementara.
Neraka adalah tempat tinggal Ahriman dan Syaitan-syaitan. Tuhan melunakan
keadilan dengan ras belas kasihan. Dia tidak memiliki sifat yang kejam dan sama
sekali tidak bisa murka.[23]
Konsep
surga menurut agama Zoroaster sangar sederhana. Surga adalah suatu keadaan yang
kembali kepada kehidupan dunia sebelum Ahriman dengan gila menghenatangnya.
Surga adalah seperti tempat reuni keluarga yang sangat besar yang di dalamnya
kehidupan dunia yang ideal dipulihkan, suatu kehidupan yang berpusat di sekitar
keluarga manusia di mana suami sekali lagi bisa menikmati keintiman istrinya
yang sah dan berkumpul kembali bersama anak-anaknya. Kehidupan di surga adalah
penyempurnaan alami dari pada kehidupan di dunia dengan kekecualian manusia
tidak lagi memiliki nafsu makan dan merupakanm tempat para roh memuji ahura
mazda dan amahraspand dengan keras. Di sana seluruh keluarga manusia berkumpul
dalam suatu kehidupan abadi dan kenikmatan yang abadi pula.[24]
C. Praktek
Keagamaan dalam Agama Zoroaster
Zoroaster
menganjurkan pengikutnya untuk selalu menyalakan api suci di tungku-tungku api
yang terapat disetiap kuil peribadatan. Api tersebut harus selalu menyala dan
memancarkan cahaya. Tungku apai itu di urus dan di jaga oleh para pemimpin
agama (magi), rohaniawan muda, juga oleh para pendeta kuil. Setiap hari mereka
selalu memasukkan kayu cendana ke dalam tungku api sebanyak lima kali, atau
kayu lain yang mengeluarkan aroma wewangian khas, juga menaburkan serbuk serbuk
dan cairan wewangian sehingga udara di dalam kuil selalu terasa segar dan harum
semerbak. Mereka juga merapalkan doa-doan dan melaksanakan ritual keagamaan
disekitar api tersebut. Dalam tradisi Zoroasternisme, ketika akan mendirikan
sebuah kuil api baru, mereka diharuskan menyalakan api terlebih dahulu pada
sembilan buah lilin atau obor. Nyala api di obor pertama kemudian
disalurkan untuk nyala api di obor kedua, dan seterusnya hingga pada obor
kesembilan. Pengikut Zoroaster meyakini, api yang menyala pada obor terkahir
itulah yang telah sampai pada derajat kesucian api. Dan dari api kesembilan itu
mereka menyalakan apipada tungku kuil yang baru tersebut.[25]
Dalam
satu butir teks “beberapa perkataan Adurbadh bin Mahraspand”, ayat 72,di sebutkan
“pergilah ke kuil api tiga kali sehari dan bacala doa pada api.” Kelanjutan
ayat tersebut mengatakan bahwa siapa yang paling sering pergi ke kuil api dan
membaca doa pada api akan menerima banyak barang duniawi dan kesucian.
Mary
Boyce, dalam bukunya Zoroastrians, Their Religious Beliefs and
Practice menjelaskan bahwa waktu ibadat orang-orang Iran zaman dahulu
ketika matahari terbit, ketika tengah hari, dan ketika matahari terbenam.waktu
yang tersebut terakhir nampaknya diperuntukkan bagi roh orang yang telah
meninggal dunia. Zoroaster nampaknya memberikan dua tambahan lagi sehingga dia
mewajibkan kepada para pengikutnya untuk beribadat lima kali sehari. Tambahan
pertama adalah waktu setengah siang seperti waktu Ashar seperti dalam agama
Islam, yaitu tengah-tengah antara tengah hari dan waktu matahari terbenam. Bagi
agama Zoroaster, selama musim panas doa-doa yang di baca pada tengah hari
berfungsi membantu orang yang saleh untuk berfikir tentang kebenaran serta
tentang kejayaan kebaikan sekarang dan yang akan datang, sedangkan selama musim
dingin adalah merupakan peringatan tahunan akan adanya kekuatan kejahatan yang
mengancam dan perlunya bertahan terhadapnya.[26]
Tambahan
baru lainnya adalah waktu tengah malam yang tenggang waktunya sampai saat
matahari terbit. Doa ini dipersembahkan bagi Sraosha, Tuhannya doa. Selama
waktu itu, ketika kekuatan kegelapan berada pada puncak yang paling kuat dan
mencari-cari mangsa, para pengikut Zoroaster harus bangun, mengisi minyak dan
dupa pada tungku api dan memperkuat dunia kebaikan dengan doa-doa mereka.
Bentuk
dan isi sembahyang yang di kenal dari praktek yang ada adalah sebagai berikut:
1. Orang
yang hendak melaksanakan sembahyang mempersiapkan diri dengan mencuci wajah,
tangan, dan kaki dari kotoran debu kemudian menutup sebagian mukanya.
2. Melepaskan
tali kawat suci dan berdiri dengan tali di pegang dengan kedua tangan
dimukanya, tegak lurus dihadapan penciptanya, matanya menatap simbol kebajikan,
yakni api
3. Dia
berdoa kepada Ohrmazd (Ahura Mazda), mengutuk Ahriman (sambil memukul-mukulkan
ujung kawat dengan penghinaan), memasang tali kawat lagi sambil masih berdoa.
Disamping
perayaan individu tersebut, para pengikut Zoroaster masih mempunyai kewajiban
bersama yaitu merayakan tujuh macam peringatan hari besar tahunan. Waktu
peringatan berbeda-beda, ada yang pertengahan musim semi, ada yangpertengahan
musim panas, dan ada yang pertengahan musim dingin.perayaan in dirayakan denga
menghadiri upacara agama (sembahyang) di pagi hari dan kemudian berkumpul
bersama di dalam kegembiraan dengan pesta makan bersama. Makanan yang dimakan
sebelumnya di beri berkah di dalam upacara agama yang dilaksanakan pada pagi
hari tersebut. Orang-orang kaya saling bertemu di dalam kesempatan ini yang
merupakan waktu iktikad baik umum, perselisihan didamaikan dan persahabatan
diperbaharui dan diperkuat. Upacara-upacara khusus bagi kelahiran (massa
penandaan), perkawinan dan kematian juga diajarkan dalam agama Zoroaster.[27]
Upacara
penandaan atau Navjot (secara harfiah berarti Kelahiran Baru) adalah
perayaan ketika seorang anak diterima masuk ke agama Majusi, selanjutnya dia
diberikan simbolisasi keimanan – baju (sudreh) dan korset (kusti). Upacara ini
berlangsung pada saat usia tujuh dan empatbelas tahun. Setelah pemberian ini
setiap penganut Zoroster, baik lelaki maupun wanita, memakainya siang dan
malam, dan ini menjadi baju yang dikenakan ketika akhir hayatnya.
Upacara
kedua berkaitan dengan perkawinan. Ini kewajiban yang mengikat pengikut Majusi
untuk kawin dan membesarkan anak. Bagian terpenting dari upacara perkawinan
tiga kali pengucapan dalam akad perkawinan oleh pendeta resmi, diikuti
pemberkatan Tuhan, Amesha Spentas dan Yazatas pada pasangan baru.
Perbedaan
yang mencolok dari upacara Agama Zoroaster ini berkenaan dengan kematian.
Setelah nyawa meninggalkan raganya, maka badan jasmaninya dianggap tidak suci.
Ia harus dihancurkan secepat mungkin. Ia tidak boleh disentuh elemen suci-api,
bumi, dan air. Jadi tidak dibakar, dikubur, atau tidak juga dihanyutkan kedalam
air. Ia dibiarkan dimakan oleh burung bangkai. Mayatnya diletakkan pada suatu
tempat yang disebut Menara Kesunyian yang menghadap matahari. Puncak menara
dibiarkan terbuka untuk memberi kebebasan burung-burung memakannya. Kejadian
ini cepat berlangsung sekitar setengah jam, dan kerangka mayat memutih dibawah
sinar matahari dan udara dalam waktu beberapa hari. Ini kemudian dikumpulkan
dan disimpan dalam terowongan di pusat menara, dan disana mereka remuk menjadi
debu. Kebiasaan menghancurkan mayat ini tidak pernah terjadi pada saat
Zarathushtra atau pun pada awal masa Achaemenid. Herodotus mengacu kebiasaan
penguburan diantara bangsa Persia, dan kuburan Cyrus masih ada sampai sekarang.
Menara Kesunyian (Dokhmas) datang sebagai hasil pengaruh Magi, pendeta dari
Medes. Hal dipertahankan oleh pengikut Zoroaster dengan alasan agama maupun
sanitasi.[28]
D. Aliran
Agama Zoroaster
Aliran
Agama Agama Zoroaster diantaranya:
1. Aliran Manu[29]
Diantara ajaran yang diajarkan
oleh aliran ini diantaranya:
a. Tentang baik dan buruk. Menurut
ajaran manu ini bahwa segala kehidupan ini adalah kebaikan, karena akhirnya
Tuhanlah yang akan menang atas roh kejahatan; oleh karenanya manusia hendaknya
membantu Tuhan mengalahkan roh jahat dengan melakukan segala kebaikan.
b. Anjuran menghentikan
perkawinan. Selain itu menurut mereka pertempuran antara kebenaran dan
kejelekan akan terus berlangsung selama manusia terus berkembang. Oleh karena
itu menurut mereka agar semua kejahatan dan kejelekan cepat berakhir maka
manusia harus menghentikan perkembang biakanya dengan kata lain tidak menikah
agar tidak memiliki keturunan.
c. Zuhud
Menurut ajaran ini pula, manusia harus menjauhi segala kesenangan dunia. Termasuk melarang menikah, menyembelih binatang dan makan daging.
Menurut ajaran ini pula, manusia harus menjauhi segala kesenangan dunia. Termasuk melarang menikah, menyembelih binatang dan makan daging.
d. ‘Ibadat
Aliran Manu mengajarkan peribadatan yaitu sembahyang dan puasa, sebelum sembahyang mereka mengusap anggota badan dengan air, kemudian menghadap matahari, lalu bersujud. Dalam tiap kali sembahyang ada dua belas kali bersujud; pada tiap sujud dilakukan doa; mereka berpuasa 7 hari dalam sebulan.
Aliran Manu mengajarkan peribadatan yaitu sembahyang dan puasa, sebelum sembahyang mereka mengusap anggota badan dengan air, kemudian menghadap matahari, lalu bersujud. Dalam tiap kali sembahyang ada dua belas kali bersujud; pada tiap sujud dilakukan doa; mereka berpuasa 7 hari dalam sebulan.
B. Madzdak
Aliran ini ajarannya mirip dengan ajaran Majusi kuno yakni meyakini adanya dua tuhan, yaitu tuhan baik dan tuhan keburukan. Selain itu ajaran yang paling terpenting dari aliran ini adalah ajaran yang mirip dengan sosialisme yang menyatakan bahwa manusia harus sama derajatnya. Yakni tidak memiliki stara social. Dan menurut mereka penyebab utama dari kejahatan dan peperangan adalah wanita dan harta, yang menyebabkan pengikut aliran ini membuat kekacauan di Naishaburi. Karena mereka memaksa orang-orang hartawan untuk menyerahkan harta mereka dan menyerahkan wanita agar tidak terjadi kekacauan atau peperangan. Ajarannya yaitu;
Aliran ini ajarannya mirip dengan ajaran Majusi kuno yakni meyakini adanya dua tuhan, yaitu tuhan baik dan tuhan keburukan. Selain itu ajaran yang paling terpenting dari aliran ini adalah ajaran yang mirip dengan sosialisme yang menyatakan bahwa manusia harus sama derajatnya. Yakni tidak memiliki stara social. Dan menurut mereka penyebab utama dari kejahatan dan peperangan adalah wanita dan harta, yang menyebabkan pengikut aliran ini membuat kekacauan di Naishaburi. Karena mereka memaksa orang-orang hartawan untuk menyerahkan harta mereka dan menyerahkan wanita agar tidak terjadi kekacauan atau peperangan. Ajarannya yaitu;
a.
Tsanwiyah. Diantara ajarannya selain mengakui
dua tuhan, mereka juga mengajarkan untuk menyembah api, selain mereka juga
menyembah berhala.
b.
Disahniyah. Dishaniyah adalah ajaran
Majusi yang lahir di luar persi. Yang didiraikan oleh bangsa Siryani (Sirya)
yang bernama Bardaishan datau ibnu Dishan yang wafat pada
tahun 222 M. ajarannya mirip dengan ajaran Manu yang menyatukan dua ajaran
yakni Nasrani dan Majusi. Hanya saja perbedaanya adalah menurut mereka bahwa
Isa Al Masih merupakan Allah yang diserupakan dalam bentuk manusia yang diutus
untuk manusia. Selain itu ajarannya juga yang berbeda dengan yang lainnya yaitu
mereka tidak mempercayai adaanya hari akherat. Sehingga menyebabkan aliran ini
yang sangat berbeda dengan yang lainnya.
c.Zindiq.
Zindiq adalah sebuah aliran Majusi yang sangat berbeda dengan yang lainnya. Yakni agama Majusiah yang Atheis yakni tidak percaya akan adanya Tuhan. Menurut mereka bahwa alam raya ini terjadi dengan sendirinya, dan tidak akan berakhir, kekal selama-lamanya, dan zaman yang beredar ini akan terus berputar tiada akan berakhir.[30]
Zindiq adalah sebuah aliran Majusi yang sangat berbeda dengan yang lainnya. Yakni agama Majusiah yang Atheis yakni tidak percaya akan adanya Tuhan. Menurut mereka bahwa alam raya ini terjadi dengan sendirinya, dan tidak akan berakhir, kekal selama-lamanya, dan zaman yang beredar ini akan terus berputar tiada akan berakhir.[30]
E. Sekte-sekte
dalam Zoroastrianisme.
Terbaginya
Zoroastrisme ke dalam beberapa kelompok bukan disebabkan karena perbedaan
pemahaman teologi. Pembagian sekte-sekte ini karena waktu perayaan Tahun
Baru yang berbeda-beda. Terdapat tiga sekte dalam Zoroastrianisme.
1. Kelompok Shenshahi yang merayakan
Tahun Baru pada musim gugur sekitar bulan Agustus atau September.
2. Kelompok Qadimi yang merayakan
Tahun Baru pada musim panas, sekitar bulan Juli atau Agustus.
3. Kelompok Fasli yang merayakan
Tahun Baru pada musim semi yaitu setiap tanggal 21 Maret.[31]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-Maghlouth,
bin Sami, Atlas Agama-Agama,
Almahira, Jakarta: 2010
Ali, H. A. Mukti, Agama-Agama Dunia,IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarya: 1988
Aziz Us-Samad, Ulfat, PDF. Agama Besar Dunia,
Peshawar:1975
http://kursusislam.wordpress.com/2011/07/08/hubungan-zoroastrianisme-terhadap-agama-abrahamik/, 13 Apr. 13
[2] Ibid
[3] H. A. Mukti
Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
1988), hal. 269
[4] H. A. Mukti
Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
1988), hal. 270
[5] Ulfat Aziz
Us-Samad, Agama Besar
Dunia,(Peshawar, 1975), hal. 77
[6] Ibid, hal. 78
[8] Sami Abdullah
al-Maghlouth, Atlas
Agama-Agama, (Jakarta:
Almahira, 2010), hal. 475
[9] Ulfat Aziz
Us-Samad, Agama Besar
Dunia,(Peshawar, 1975), hal. 76
[11] Ibid
[13] Sami Abdullah
al-Maghlouth, Atlas
Agama-Agama, (Jakarta:
Almahira, 2010), hal. 471
[15] Sami Abdullah
al-Maghlouth, Atlas
Agama-Agama, (Jakarta:
Almahira, 2010), hal. 471
[20] Sami Abdullah
al-Maghlouth, Atlas
Agama-Agama, (Jakarta:
Almahira, 2010), hal.470
[21] Sami Abdullah
al-Maghlouth, Atlas
Agama-Agama, (Jakarta:
Almahira, 2010), hal.470
[22] Ibid, hal. 473
[23] Ibid, hal. 475
[24] Sami Abdullah
al-Maghlouth, Atlas
Agama-Agama, (Jakarta:
Almahira, 2010), hal.485
[25] Ibid, hal 496
[26] H. A. Mukti
Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
1988), hal. 285
[27] H. A. Mukti
Ali, Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
1988), hal. 289
[28] Ulfat Aziz
Us-Samad, Agama Besar
Dunia,(Peshawar, 1975), hal. 91
[29]
http://kursusislam.wordpress.com/2011/07/08/hubungan-zoroastrianisme-terhadap-agama-abrahamik/
[30]
http://zulfanafdhilla.blogspot.com/2012/12/agama-zoroastrianism-mazdayasna.html#ixzz2OUkpPrCa
[31] Ibid
0 comments:
Post a Comment