Oleh: Amriadi Al Masjidiy
Islam
Nusantara, Islam yang penuh toleransi. Jadi beda Islam Arab dengan Islam
Indonesia. Bagi mereka bahwa Islam di Indonesia adalah “pendatang” dari Arab
yang “numpang”, bukan agama “asli” bangsa Indonesia. Islam sebagai pendatang
dari Arab harus tunduk dan patuh kepada Indonesia selaku pribumi, sehingga
Islam harus siap “dipribumisasikan” agar tunduk kepada budaya setempat.
Karenanya, tidak boleh lagi ada istilah “Islamisasi Indonesia”, tapi yang mesti
dilaksanakan adalah “Indonesia-isasi Islam”. Jadi, jangan pernah katakan
“Indonesia negara Islam”, tapi katakanlah “Islam ada di Indonesia”.
Islam
yang ada di Indonesia selama ini adalah “Islam Arab”, sehingga budaya Nusantara
terancam dan tergerus oleh Arabisasi. Karenanya, di Indonesia semua budaya Arab
yang menyusup dalam Islam harus diganti dengan budaya Nusantara, sehingga ke
depan terwujud “Islam Nusantara” yang khas bagi bangsa Indonesia. Intinya,
mereka menolak semua budaya Islam yang beraroma Arab, karena dalam pandangan
mereka semua itu adalah “Arabisasi Islam”, sehingga perlu ada gerakan
“Indonesia-isasi Islam” di Nusantara.
Islam
sebagai pendatang dari Arab tidak boleh mengatur apalagi menjajah Indonesia,
tapi Islam harus tunduk dan patuh kepada Indonesia selaku pribumi. Karenanya,
bangsa Indonesia boleh ambil budaya Islam, tapi wajib tolak budaya Arab, supaya
budaya Nusantara tidak terjajah dan tidak pula tergerus oleh budaya Arab. ini
adalah propaganda busuk mereka yang ingin menolak budaya Islam dengan “dalih”
budaya Arab. Pada akhirnya nanti, semua ajaran Islam yang ditolak dan tidak
disukai mereka, akan dikatakan sebagai “budaya Arab”. Dan propaganda ini sangat
berbahaya, karena menumbuh-suburkan sikap rasis dan fasis, serta melahirkan
sikap anti Arab, yang pada akhirnya mengkristal jadi anti Islam.
Menurut mereka bahwa jilbab adalah budaya Arab
karena merupakan pakaian wanita Arab, sehingga harus diganti dengan pakaian
adat Nusantara. Ucapan “Assalaamu ‘alaikum” adalah budaya Arab, sehingga harus
diganti dengan “salam sejahtera” agar bernuansa Nusantara dan lebih menunjukkan
jatidiri bangsa Indonesia. Termasuk baca Al-Qur’an tidak perlu lagi dengan
langgam Arab, tapi sudah saatnya diganti dengan langgam Nusantara seperti
langgam Jawa dan Sunda atau lainnya, agar lebih Indonesia. Baca Al-Qur’an tidak
mesti dengan bahasa Arab, tapi cukup dengan terjemah Indonesianya saja, agar
umat Islam Indonesia bisa langsung menyimak dan memahami makna dan arti
ayat-ayat yang dibaca.
Dari berbagai gagasan mereka diatas sangat terlihat
mereka itu anti terhadap Arab, yang sebenarnya mereka itu anti Islam. Perlu
diketahui, Islam adalah agama asli yang turun dari langit untuk seluruh
penduduk bumi, karena Islam datang dari Allah
. sang pemilik alam semesta,
sehingga Islam di mana saja di atas bumi Allah
. akan selalu menjadi agama “asli”
yang “pribumi”, dan tidak akan pernah jadi “pendatang”.
Jadi,
Islam bukan dari Arab, tapi dari langit yang diturunkan pertama kali di tengah
orang Arab, kemudian disebarkan ke seluruh dunia.
Jika pola pikir diatas
diterapkan sangat berbahaya, karena Islam di China mesti di-China-isasi, dan
Islam di India mesti di-India-isasi,
serta Islam di Amerika juga mesti di-Amerika-isasi, dan seterusnya, sehingga
Islam di dunia jadi bermacam-macam dan berjenis-jenis sesuai negerinya. Jika
mundur lagi ke belakang, mestinya saat Islam ada di tengah masyarakat
jahiliyyah, maka Islam harus di-jahiliyyah-isasi. Jelas bahwa pola pikir mereka
di atas ngawur dan tidak ilmiah, bahkan sesat menyesatkan.
Jika pola
pikir ini dianggap biasa, maka nantinya bukan saja Islam Nusantara. Tapi juga
akan gaungkan Islam Sumatra, Islam Jawa, Islam Sunda, Islam Kalimantan, Islam
Sulawesi, Islam Papua, atau Islam Ormas, Islam NU, Islam Muhammadiyah, Islam
MUI, Islam Pemerintah, dan seterusnya. Maka Jelas gagasan Islam Nusantara harus
dihentikan. Karena ini akan memecah belahkan Islam. Padahal Rasulullah Muhammad
. Diutus untuk rahmatalil ‘alamin. Rahmat bagi seluruh
alam, jadi jelas sudah, bahwa Islam Nusantara adalah gagasan yang ngawur.
Rasulullah
. diutus di tengah bangsa Arab
untuk meng-Islam-kan Arab, bukan meng-Arab-kan Islam. Bahkan untuk
meng-Islam-kan seluruh bangsa-bangsa di dunia, bukan untuk meng-Arab-kan
mereka. Jadi, tidak ada Arabisasi dalam Islam, yang ada adalah Islamisasi
segenap umat manusia. Budaya jilbab adalah kewajiban dalam Islam, bukan budaya
dari bangsa Arab. Maka dalam hal ini mereka buta akan sejarah, karena di zaman
jahiliyyah, masyarakat Arab tidak kenal jilbab, dan wanita Arab tidak
berjilbab.
Bahkan wanita
Arab saat itu terkenal dengan pakaian yang umbar aurat dan pamer kecantikan,
serta tradisi tari perut yang buka puser dan paha. Lalu datang Islam mewajibkan
wanita muslimah untuk berjilbab menutup aurat, sehingga wanita muslimah terlihat
berbeda dengan wanita musyrik. Dengan demikian, jilbab adalah busana Islam
bukan busana Arab, dan jilbab adalah kewajiban agama bukan tradisi dan budaya. Begitu
juga halnya dengan salam dalam Islam, dalam sejarah bangsa jahiliyyah, salam masyarakat Arab adalah “wa shobaahaah”, bukan “Assalaamu ‘alaikum”. Lalu datang Islam
yang mengajarkan umatnya salam syar’i antar kaum muslimin, yaitu “Assalaamu ‘alaikum wa rohmatullaahi wa
barokaatuh”. Jadi salam bukan budaya Arab tetapi diajarkan didalam Islam
untuk umat muslim semua.
Mengenai
membaca Al-Qur’an dengan langgam Arab bukan kemauan orang Arab, akan tetapi
perintah Allah
dan Rasulullah
. Dan karena Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Arab, tentu membacanya harus dengan langgam Arab, agar sesuai
dengan intonasi makna dan arti. Dan itu pun tidak tiap langgam Arab boleh untuk
tilawah Al-Qur’an. Langgam gambus dan langgam qashidah berasal dari Arab, tapi
tidak boleh digunakan untuk tilawah Al-Qur’an, karena keduanya adalah langgam
seni dan budaya serta musik dan hiburan. Apalagi langgam tari perut yang
merupakan langgam seni dan budaya Arab untuk pertunjukan maksiat, lebih tidak
boleh digunakan untuk tilawah Al-Qur’an. Karenanya, membaca Al-Qur’an dengan
langgam selain Arab tidak diperkenankan, karena memang tidak sesuai dengan
pakem bahasa Arab, sehingga tidak akan sesuai dengan intonasi makna dan arti.
Apalagi
dengan langgam seni dan budaya selain Arab yang digunakan untuk hiburan dan
pertunjukan, seperti langgam dalang pewayangan, langgam sinden jaipongan,
langgam gambang kromong, dan sebagainya, tentu lebih tidak boleh lagi. Allah
. telah menganugerahkan bangsa
Indonesia kefasihan dalam lisan Arab, sehingga dari Sabang sampai Merauke,
orang dewasa maupun anak-anak, sangat fasih dalam mengucapkan lafzhul jalalah “Allah” dan aneka dzikir
seperti “Subhanallah wal hamdulillaah wa
laa ilaaha illallaah wallaahu akbar.” dan mereka pun sangat fasih juga
dalam membaca Al-Qur’an.
Bahkan
bangsa Indonesia sangat ahli dalam ilmu tajwid dan amat piawai dalam tilawatil Al-Qur’an
dengan langgam Arab, sehingga di hampir setiap Musabaqah Tilawatil Qur’an Internasional,
para qori Indonesia banyak sukses dan berhasil keluar jadi juara dunia tilawah.
Karenanya, pembacaan Al-Qur’an dengan langgam dalang pewayangan adalah
“kemunduran”, di mana bangsa Indonesia yang sudah sangat maju dalam tilawatil
Qur’an, hingga mengungguli bangsa Arab sekali pun, lalu dibawa mundur jauh ke
alam mitos pewayangan di zaman semar dan petruk.
Mengenai
ambil Al-Qur’an buang bahasa Arabnya,
ini adalah tujuan sebenarnya dari propaganda mereka yaitu menjauhkan Al-Qur’an
dari umat Islam, karena mereka paham betul bahwa ruh dan jiwa Islam adalah Al-Qur’an.
Bagi mereka, siapa ingin hancurkan dan lenyapkan Islam, hancurkan dan
lenyapkanlah Al-Qur’annya. Jadi jelas sudah, bahwa yang diserang mereka
sebenarnya bukan Arab, tapi Islam. Karenanya, selain yang sudah disebutkan di
atas, mereka juga melakukan aneka ragam propaganda anti Arabisasi untuk
merealisasikan tujuan busuknya.
Kalau
alasannya, "Kita harus cinta dan menjaga budaya asli Indonesia,"
berarti kita juga harus anti Amerika, anti Korea, anti India, anti Australia,
anti China, dan sebagainya. Kalau alasannya, "Arab menjajah Indonesia
dengan tameng penyebarluasan agama," maka sungguh lucu! Karena justru
orang-orang Eropa yang terbukti menjajah Indonesia sambil membawa agama
Kristen. Sedangkan Islam masuk ke Indonesia lewat perdagangan dan secara damai,
bukan lewat penjajahan.
Kalau dibilang,
"Ini Indonesia, bukan Arab. Tak perlu pakai istilah akhi, antum, syukran, jazakallah, abi, umi, dan seterusnya. Padahal saat merayu pacarnya, mereka
berkata, "I Love you. I miss you."
Saat patah hati, mereka seringkali berkata, "Gue gagal move on, nih." Itu bahasa Indonesia atau bukan?
Mereka terlihat sangat anti Arab dengan alasan "Kita harus cinta pada
budaya Indonesia." Padahal di saat yang sama mereka membela ajang Miss World, yang jelas-jelas bukan
budaya Indonesia.
Orang yang suka lagu
nasyid berbahasa Arab mereka mencela dengan alasan, "Itu bukan dari
Indonesia." Padahal Mereka justru memuja-muja para boyband dari Korea,
tergila-gila pada film India, dan cinta buta terhadap film dan musik dari
Amerika. Mereka mungkin lupa: Nama-nama hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat
dan Sabtu itu berasal dari bahasa Arab. Istilah musyawarah dan adab juga dari
bahasa Arab. Banyak sekali istilah bahasa Arab yang kini diserap ke dalam
bahasa Indonesia, dan ternyata sering mereka pakai, dan juga mereka
menyukainya!
Bahkan kalau mereka
belajar sejarah Bahasa Indonesia, mungkin mereka akan kaget dan shock, karena
ternyata bahasa Arab memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap bahasa
Indonesia. Mereka mungkin belum tahu, bahwa struktur bahasa Indonesia dan Arab
itu persis sama. Saking samanya, kita bisa dengan mudah melakukan penerjemahan
kata demi kata. Hal seperti ini tidak bisa dilakukan terhadap bahasa lain.
Coba terjemahkan
bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan sistem terjemahan perkata. Bisa
dijamin tidak bisa. Karena pasti hasil terjemahannya akan sangat kacau dan
ngawur. Tapi bahasa Arab bisa. Itula salah satu bukti bahwa bahasa Indonesia
dan Arab punya hubungan yang sangat erat. Kalau mereka mencela Islam sebagai
agama dari Arab, bukan dari Indonesia, ternyata mereka masih awam dengan
sejarah bahwa Kristen, Hindu dan Budha pun bukan dari Indonesia. Agama asli
Indonesia adalah ANIMISME. Jadi kenapa
harus anti Arab? Jangan-jangan mereka sebenarnya anti Islam, bukan anti Arab.
Menjadi Muslim itu berbeda dengan menjadi orang Arab, maka
Islamisasi jelas-jelas berbeda dengan Arabisasi. Islam bukan ajaran Arab, walau
Al-Qur’an berbahasa Arab, dan Nabi Muhammad dari kaum Arab, Islam itu jalan
hidup, prinsip hidup. Faktanya, turunnya Islam justru
ditentang kaum Arab di masa itu, karena Islam datang mengubah tradisi,
keyakinan, kebiasan jahil Arab. Islam datang kepada kaum Arab
membawa tatanan samasekali baru, baik
dalam hal tradisi, kebiasaan, akhlak, hukum, dan juga cara hidup. Perlu dicatat, karena Al-Qur’an dan Nabi Muhammad berbahasa Arab, maka bahasa Arab juga tidak bisa dipisahkan
dari agama Islam. Juga kewajaran, bahwa agama Islam awalnya disebarkan oleh
orang Arab, karena memang agama Allah yang pamungkas ini berasal dari sana.
Mengenai tokoh-tokoh besar agama Islam ini adalah orang Arab, itu
pun wajar saja, Karena merekalah kaum awal yang beragama Islam. Jadi bisa dikatakan, Arab belum
tentu Islam, dan Islam tidak harus Arab, yang jelas Islam itu pasti berdasar
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Juga salah besar, bila dikatakan
Islamisasi sama dengan Arabisasi, lantas menolak Islamisasi dengan dalih, “Ini
Indonesia, bukan Arab”. Apa bedanya? jelas sekali beda,
menjadi Arab atau bukan Arab itu takdir, sedangkan mengambil Islam atau
mengabaikannya, itu pilihan.
Islam itu Islam, tidak perlu ada pandangan “disana Islam Arab,
disini Islam Nusantara” ini pandangan yang justru memecah-belah Islam. Islam itu ya Islam, panduannya
Kitabullah dan Sunnah, Khulafaurrasyidin, juga tabiin, tabiut tabiin, ulama
salaf apapun madzhabnya. Adapun menjadi Muslim, tidak berarti
meninggalkan budaya lokal, bila bertentang dengan Islam tinggalkan, bila tidak
ya lanjutkan. Apa standar meninggalkan dan
melanjutkan budaya setelah menjadi Muslim? Standarya adalah aqidah, bila bertentang
dengan aqidah, ya harus tinggalkan. Misalnya seperti budaya membuka
aurat, menyembah pohon, ya tinggalkan, beda dengan arsitektur, aneka makanan
(halal), ya lanjutkan.
Islam masuk ke Cina, arsitektur masjid mirip pagoda, boleh saja. Tapi
sembahyang leluhur dengan hio, ya ditinggalkan, itu contohnya. Islam masuk ke
Indonesia, maka batik tetap lestari, bahkan menyerap nilai Islam, boleh saja. Tapi
menyembah batu dan patung, dihapus. Dalam Islam mudah saja, selama tidak dilarang syariat, amalkan
saja. Namun bila sudah ada larangan syariat, Islam ya harus ditinggalkan.
Maka dalam Islam, semua produk (fisik atau non-fisik) selain
aqidah, boleh saja diadopsi. Teknologi juga termasuk “produk non-aqidah” Tapi
produk aqidah, selamanya bukan bagian daripada Islam. Kita mencukupkan diri
pada Kitabullah dan Sunnah, itu yang terbaik.
Jadi Muslim tidak harus surbanan, tidak harus jubahan, yang jelas
pikirmu, lisanmu, amalmu, harus berasas Islam. Jangan sampai kebalik, surbanan,
sarungan, pecian, jubbah, tapi pola
pikirmu dan referensimu liberal, jauh dari Kitabullah dan Sunnah. Lebih bagus lagi batikan, kemejaan, kaosan, celanaan, lalu setiap mikir, lisan, amal, semua ada
dalil Kitabullah dan Sunnah. Lebih keren lagi, bila pecian,
sarungan, surbanan, jubahan dan semua
pikir, lisan, amalmu , asasnya Kitabullah dan Sunnah. Tapi kalau Muslimah, jangan sarungam pecian, jangan surbanan jubbah,
tapi berhijab syar’i, kerudung dan jilbaban. (HabibRS/Jonru/FelixSiauw)
0 comments:
Post a Comment