Friday, August 7, 2015

Islam Nusantara: Anti Arab atau Anti Islam

Oleh: Amriadi Al Masjidiy
Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi. Jadi beda Islam Arab dengan Islam Indonesia. Bagi mereka bahwa Islam di Indonesia adalah “pendatang” dari Arab yang “numpang”, bukan agama “asli” bangsa Indonesia. Islam sebagai pendatang dari Arab harus tunduk dan patuh kepada Indonesia selaku pribumi, sehingga Islam harus siap “dipribumisasikan” agar tunduk kepada budaya setempat. Karenanya, tidak boleh lagi ada istilah “Islamisasi Indonesia”, tapi yang mesti dilaksanakan adalah “Indonesia-isasi Islam”. Jadi, jangan pernah katakan “Indonesia negara Islam”, tapi katakanlah “Islam ada di Indonesia”.
Islam yang ada di Indonesia selama ini adalah “Islam Arab”, sehingga budaya Nusantara terancam dan tergerus oleh Arabisasi. Karenanya, di Indonesia semua budaya Arab yang menyusup dalam Islam harus diganti dengan budaya Nusantara, sehingga ke depan terwujud “Islam Nusantara” yang khas bagi bangsa Indonesia. Intinya, mereka menolak semua budaya Islam yang beraroma Arab, karena dalam pandangan mereka semua itu adalah “Arabisasi Islam”, sehingga perlu ada gerakan “Indonesia-isasi Islam” di Nusantara.
Islam sebagai pendatang dari Arab tidak boleh mengatur apalagi menjajah Indonesia, tapi Islam harus tunduk dan patuh kepada Indonesia selaku pribumi. Karenanya, bangsa Indonesia boleh ambil budaya Islam, tapi wajib tolak budaya Arab, supaya budaya Nusantara tidak terjajah dan tidak pula tergerus oleh budaya Arab. ini adalah propaganda busuk mereka yang ingin menolak budaya Islam dengan “dalih” budaya Arab. Pada akhirnya nanti, semua ajaran Islam yang ditolak dan tidak disukai mereka, akan dikatakan sebagai “budaya Arab”. Dan propaganda ini sangat berbahaya, karena menumbuh-suburkan sikap rasis dan fasis, serta melahirkan sikap anti Arab, yang pada akhirnya mengkristal jadi anti Islam.
 Menurut mereka bahwa jilbab adalah budaya Arab karena merupakan pakaian wanita Arab, sehingga harus diganti dengan pakaian adat Nusantara. Ucapan “Assalaamu ‘alaikum” adalah budaya Arab, sehingga harus diganti dengan “salam sejahtera” agar bernuansa Nusantara dan lebih menunjukkan jatidiri bangsa Indonesia. Termasuk baca Al-Qur’an tidak perlu lagi dengan langgam Arab, tapi sudah saatnya diganti dengan langgam Nusantara seperti langgam Jawa dan Sunda atau lainnya, agar lebih Indonesia. Baca Al-Qur’an tidak mesti dengan bahasa Arab, tapi cukup dengan terjemah Indonesianya saja, agar umat Islam Indonesia bisa langsung menyimak dan memahami makna dan arti ayat-ayat yang dibaca.
            Dari berbagai gagasan mereka diatas sangat terlihat mereka itu anti terhadap Arab, yang sebenarnya mereka itu anti Islam. Perlu diketahui, Islam adalah agama asli yang turun dari langit untuk seluruh penduduk bumi, karena Islam datang dari Allah . sang pemilik alam semesta, sehingga Islam di mana saja di atas bumi Allah . akan selalu menjadi agama “asli” yang “pribumi”, dan tidak akan pernah jadi “pendatang”.
Jadi, Islam bukan dari Arab, tapi dari langit yang diturunkan pertama kali di tengah orang Arab, kemudian disebarkan ke seluruh dunia.
Jika pola pikir diatas diterapkan sangat berbahaya, karena Islam di China mesti di-China-isasi, dan Islam di India mesti  di-India-isasi, serta Islam di Amerika juga mesti di-Amerika-isasi, dan seterusnya, sehingga Islam di dunia jadi bermacam-macam dan berjenis-jenis sesuai negerinya. Jika mundur lagi ke belakang, mestinya saat Islam ada di tengah masyarakat jahiliyyah, maka Islam harus di-jahiliyyah-isasi. Jelas bahwa pola pikir mereka di atas ngawur dan tidak ilmiah, bahkan sesat menyesatkan.
Jika pola pikir ini dianggap biasa, maka nantinya bukan saja Islam Nusantara. Tapi juga akan gaungkan Islam Sumatra, Islam Jawa, Islam Sunda, Islam Kalimantan, Islam Sulawesi, Islam Papua, atau Islam Ormas, Islam NU, Islam Muhammadiyah, Islam MUI, Islam Pemerintah, dan seterusnya. Maka Jelas gagasan Islam Nusantara harus dihentikan. Karena ini akan memecah belahkan Islam. Padahal Rasulullah Muhammad . Diutus untuk rahmatalil ‘alamin. Rahmat bagi seluruh alam, jadi jelas sudah, bahwa Islam Nusantara adalah gagasan yang ngawur.
Rasulullah . diutus di tengah bangsa Arab untuk meng-Islam-kan Arab, bukan meng-Arab-kan Islam. Bahkan untuk meng-Islam-kan seluruh bangsa-bangsa di dunia, bukan untuk meng-Arab-kan mereka. Jadi, tidak ada Arabisasi dalam Islam, yang ada adalah Islamisasi segenap umat manusia. Budaya jilbab adalah kewajiban dalam Islam, bukan budaya dari bangsa Arab. Maka dalam hal ini mereka buta akan sejarah, karena di zaman jahiliyyah, masyarakat Arab tidak kenal jilbab, dan wanita Arab tidak berjilbab.
Bahkan wanita Arab saat itu terkenal dengan pakaian yang umbar aurat dan pamer kecantikan, serta tradisi tari perut yang buka puser dan paha. Lalu datang Islam mewajibkan wanita muslimah untuk berjilbab menutup aurat, sehingga wanita muslimah terlihat berbeda dengan wanita musyrik. Dengan demikian, jilbab adalah busana Islam bukan busana Arab, dan jilbab adalah kewajiban agama bukan tradisi dan budaya. Begitu juga halnya dengan salam dalam Islam, dalam sejarah bangsa  jahiliyyah, salam masyarakat Arab adalah “wa shobaahaah”, bukan “Assalaamu ‘alaikum”. Lalu datang Islam yang mengajarkan umatnya salam syar’i antar kaum muslimin, yaitu “Assalaamu ‘alaikum wa rohmatullaahi wa barokaatuh”. Jadi salam bukan budaya Arab tetapi diajarkan didalam Islam untuk umat muslim semua.
Mengenai membaca Al-Qur’an dengan langgam Arab bukan kemauan orang Arab, akan tetapi perintah Allah  dan Rasulullah . Dan karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tentu membacanya harus dengan langgam Arab, agar sesuai dengan intonasi makna dan arti. Dan itu pun tidak tiap langgam Arab boleh untuk tilawah Al-Qur’an. Langgam gambus dan langgam qashidah berasal dari Arab, tapi tidak boleh digunakan untuk tilawah Al-Qur’an, karena keduanya adalah langgam seni dan budaya serta musik dan hiburan. Apalagi langgam tari perut yang merupakan langgam seni dan budaya Arab untuk pertunjukan maksiat, lebih tidak boleh digunakan untuk tilawah Al-Qur’an. Karenanya, membaca Al-Qur’an dengan langgam selain Arab tidak diperkenankan, karena memang tidak sesuai dengan pakem bahasa Arab, sehingga tidak akan sesuai dengan intonasi makna dan arti.
Apalagi dengan langgam seni dan budaya selain Arab yang digunakan untuk hiburan dan pertunjukan, seperti langgam dalang pewayangan, langgam sinden jaipongan, langgam gambang kromong, dan sebagainya, tentu lebih tidak boleh lagi. Allah . telah menganugerahkan bangsa Indonesia kefasihan dalam lisan Arab, sehingga dari Sabang sampai Merauke, orang dewasa maupun anak-anak, sangat fasih dalam mengucapkan lafzhul jalalah “Allah” dan aneka dzikir seperti “Subhanallah wal hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar.” dan mereka pun sangat fasih juga dalam membaca Al-Qur’an.
Bahkan bangsa Indonesia sangat ahli dalam ilmu tajwid dan amat piawai dalam tilawatil Al-Qur’an dengan langgam Arab, sehingga di hampir setiap Musabaqah Tilawatil Qur’an Internasional, para qori Indonesia banyak sukses dan berhasil keluar jadi juara dunia tilawah. Karenanya, pembacaan Al-Qur’an dengan langgam dalang pewayangan adalah “kemunduran”, di mana bangsa Indonesia yang sudah sangat maju dalam tilawatil Qur’an, hingga mengungguli bangsa Arab sekali pun, lalu dibawa mundur jauh ke alam mitos pewayangan di zaman semar dan petruk.
Mengenai ambil Al-Qur’an buang bahasa Arabnya, ini adalah tujuan sebenarnya dari propaganda mereka yaitu menjauhkan Al-Qur’an dari umat Islam, karena mereka paham betul bahwa ruh dan jiwa Islam adalah Al-Qur’an. Bagi mereka, siapa ingin hancurkan dan lenyapkan Islam, hancurkan dan lenyapkanlah Al-Qur’annya. Jadi jelas sudah, bahwa yang diserang mereka sebenarnya bukan Arab, tapi Islam. Karenanya, selain yang sudah disebutkan di atas, mereka juga melakukan aneka ragam propaganda anti Arabisasi untuk merealisasikan tujuan busuknya.
Kalau alasannya, "Kita harus cinta dan menjaga budaya asli Indonesia," berarti kita juga harus anti Amerika, anti Korea, anti India, anti Australia, anti China, dan sebagainya. Kalau alasannya, "Arab menjajah Indonesia dengan tameng penyebarluasan agama," maka sungguh lucu! Karena justru orang-orang Eropa yang terbukti menjajah Indonesia sambil membawa agama Kristen. Sedangkan Islam masuk ke Indonesia lewat perdagangan dan secara damai, bukan lewat penjajahan.
Kalau dibilang, "Ini Indonesia, bukan Arab. Tak perlu pakai istilah akhi, antum, syukran, jazakallah, abi, umi, dan seterusnya. Padahal saat merayu pacarnya, mereka berkata, "I Love you. I miss you." Saat patah hati, mereka seringkali berkata, "Gue gagal move on, nih." Itu bahasa Indonesia atau bukan? Mereka terlihat sangat anti Arab dengan alasan "Kita harus cinta pada budaya Indonesia." Padahal di saat yang sama mereka membela ajang Miss World, yang jelas-jelas bukan budaya Indonesia.
Orang yang suka lagu nasyid berbahasa Arab mereka mencela dengan alasan, "Itu bukan dari Indonesia." Padahal Mereka justru memuja-muja para boyband dari Korea, tergila-gila pada film India, dan cinta buta terhadap film dan musik dari Amerika. Mereka mungkin lupa: Nama-nama hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu itu berasal dari bahasa Arab. Istilah musyawarah dan adab juga dari bahasa Arab. Banyak sekali istilah bahasa Arab yang kini diserap ke dalam bahasa Indonesia, dan ternyata sering mereka pakai, dan juga mereka menyukainya!
Bahkan kalau mereka belajar sejarah Bahasa Indonesia, mungkin mereka akan kaget dan shock, karena ternyata bahasa Arab memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap bahasa Indonesia. Mereka mungkin belum tahu, bahwa struktur bahasa Indonesia dan Arab itu persis sama. Saking samanya, kita bisa dengan mudah melakukan penerjemahan kata demi kata. Hal seperti ini tidak bisa dilakukan terhadap bahasa lain.
Coba terjemahkan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan sistem terjemahan perkata. Bisa dijamin tidak bisa. Karena pasti hasil terjemahannya akan sangat kacau dan ngawur. Tapi bahasa Arab bisa. Itula salah satu bukti bahwa bahasa Indonesia dan Arab punya hubungan yang sangat erat. Kalau mereka mencela Islam sebagai agama dari Arab, bukan dari Indonesia, ternyata mereka masih awam dengan sejarah bahwa Kristen, Hindu dan Budha pun bukan dari Indonesia. Agama asli Indonesia adalah ANIMISME.  Jadi kenapa harus anti Arab? Jangan-jangan mereka sebenarnya anti Islam, bukan anti Arab.
Menjadi Muslim itu berbeda dengan menjadi orang Arab, maka Islamisasi jelas-jelas berbeda dengan Arabisasi. Islam bukan ajaran Arab, walau Al-Qur’an berbahasa Arab, dan Nabi Muhammad dari kaum Arab, Islam itu jalan hidup, prinsip hidup. Faktanya, turunnya Islam justru ditentang kaum Arab di masa itu, karena Islam datang mengubah tradisi, keyakinan, kebiasan jahil Arab. Islam datang kepada kaum Arab membawa tatanan samasekali baru,  baik dalam hal tradisi, kebiasaan, akhlak, hukum, dan juga cara hidup. Perlu dicatat, karena Al-Qur’an dan Nabi Muhammad berbahasa Arab,  maka bahasa Arab juga tidak bisa dipisahkan dari agama Islam. Juga kewajaran, bahwa agama Islam awalnya disebarkan oleh orang Arab, karena memang agama Allah yang pamungkas ini berasal dari sana.
Mengenai tokoh-tokoh besar agama Islam ini adalah orang Arab, itu pun wajar saja, Karena merekalah kaum awal yang beragama Islam. Jadi bisa dikatakan, Arab belum tentu Islam, dan Islam tidak harus Arab, yang jelas Islam itu pasti berdasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Juga salah besar, bila dikatakan Islamisasi sama dengan Arabisasi, lantas menolak Islamisasi dengan dalih, “Ini Indonesia, bukan Arab”. Apa bedanya? jelas sekali beda, menjadi Arab atau bukan Arab itu takdir, sedangkan mengambil Islam atau mengabaikannya, itu pilihan.
Islam itu Islam, tidak perlu ada pandangan “disana Islam Arab, disini Islam Nusantara” ini pandangan yang justru memecah-belah Islam. Islam itu ya Islam, panduannya Kitabullah dan Sunnah, Khulafaurrasyidin, juga tabiin, tabiut tabiin, ulama salaf apapun madzhabnya. Adapun menjadi Muslim, tidak berarti meninggalkan budaya lokal, bila bertentang dengan Islam tinggalkan, bila tidak ya lanjutkan. Apa standar meninggalkan dan melanjutkan budaya setelah menjadi Muslim?  Standarya adalah aqidah, bila bertentang dengan aqidah, ya harus tinggalkan. Misalnya seperti budaya membuka aurat, menyembah pohon, ya tinggalkan, beda dengan arsitektur, aneka makanan (halal), ya lanjutkan.
Islam masuk ke Cina, arsitektur masjid mirip pagoda, boleh saja. Tapi sembahyang leluhur dengan hio, ya ditinggalkan, itu contohnya. Islam masuk ke Indonesia, maka batik tetap lestari, bahkan menyerap nilai Islam, boleh saja. Tapi menyembah batu dan patung, dihapus. Dalam Islam mudah saja, selama tidak dilarang syariat, amalkan saja. Namun bila sudah ada larangan syariat, Islam ya harus ditinggalkan. Maka dalam Islam, semua produk (fisik atau non-fisik) selain aqidah, boleh saja diadopsi. Teknologi juga termasuk “produk non-aqidah” Tapi produk aqidah, selamanya bukan bagian daripada Islam. Kita mencukupkan diri pada Kitabullah dan Sunnah, itu yang terbaik.

Jadi Muslim tidak harus surbanan, tidak harus jubahan, yang jelas pikirmu, lisanmu, amalmu, harus berasas Islam. Jangan sampai kebalik, surbanan, sarungan, pecian, jubbah,  tapi pola pikirmu dan referensimu liberal, jauh dari Kitabullah dan Sunnah. Lebih bagus lagi batikan, kemejaan, kaosan, celanaan,  lalu setiap mikir, lisan, amal, semua ada dalil Kitabullah dan Sunnah. Lebih keren lagi, bila pecian, sarungan, surbanan, jubahan  dan semua pikir, lisan, amalmu , asasnya Kitabullah dan Sunnah. Tapi kalau Muslimah, jangan sarungam pecian, jangan surbanan jubbah, tapi berhijab syar’i, kerudung dan jilbaban. (HabibRS/Jonru/FelixSiauw)

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: