Sunday, August 30, 2015

Lahirnya Komunis di Indonesia

KOMUNISME DI INDONESIA


A.    Lahirnya Komunis di Indonesia
Komunis merupakan ideologi yang dilahirkan dari pemikiran Karl Marx, seorang Filsuf sekaligus pakar ekonomi dan politik. Pemahamannya mengenai komunis pun menjadi pergunjingan. Sebab, Marx menyebut bahwa agama merupakan candu bagi masyarakat. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah negara agraris. Jauh sebelum bangsa ini merdeka, sumber daya pertanian selalu menjadi komoditas utama. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri apabila dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah petani.[1]
Mengenai klasifikasi sosial petani, menurut keadaan pertanian di Jawa dapat dibedakan menjadi beberapa kelas sosial, yakni Petani Kaya, Petani Sedang, Petani Miskin, dan Buruh Tani.  Laporan Dr. J. W. Meyer Rannet tahun 1925 tentang kemakmuran rakyat yang diambil dari penyelidikan di sejumlah daerah di Jawa, melihat petani berdasarkan penghasilan penduduk menurut pembagian golongan pekerjaan. Data itu melaporkan bahwa golongan petani tak bertanah berjumlah 37,8% dari seluruh penduduk. Bila dijumlahkan dengan penduduk miskin, maka jumlahnya menjadi 65% dari seluruh penduduk desa.[2]
Menurut Alfian Tanjung Komunis di Indonesia berawal dari tokoh Belanda yang dipimpin oleh Snevlet. Tokoh-tokoh ini kemudian mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) atau dikenal dengan Partai Sosial Demokrat Hindia. Jadi paham komunis masuk ke Indonesia dibawa oleh Sneevliet pada tahun 1913. Sebagaimana di negeri-negeri lain, yang tertarik pada paham komunis umumnya adalah kaum jelata karena memang paham ini konon untuk membela kaum jelata dan menjadikan kaum elit sebagai musuh. Adapun basis pendukungnya adalah buruh dan tani. Di Indonesia, jelas paham komunis mendapat lahan yang subur. Tatanan kolonial menjadikan bangsa Indonesia sengsara di negeri sendiri, selain miskin juga tertindas. Sneevliet membentuk organisasi bernama ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) tahun 1914.[3]
Atas prakarsa Sneevliet pada tahun 1914 didirikan Persatuan Sosial Demokrat Indonesia (ISDV), yang pada awalnya terdiri dari 85 anggota, dua partai sosialis Belanda (Partai Buruh Sosial Demokrat yang berbasis massa di bawah kepemimpinan reformis, dan Partai Sosial Demokrat yang merupakan cikal bakal Partai Komunis, terbentuk setelah perpecahan politik dengan SDAP di tahun 1909). Sejak mulanya tendensi revolusioner mengendalikan ISDV, sikapnya militan terhadap isu-isu lokal (misalnya, kampanye mendukung seorang jurnalis Indonesia yang diadili karena melanggar hukum pengendalian pers, dan juga mengadakan rapat umum menentang persiapan perang yang dilakukan oleh pemerintah Belanda) dan selain itu ISDV juga melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Pada tahap itu orang Eropa anggota ISDV Belanda boleh masuk Insulinde sebagai anggota individual. Pimpinan Insulinde dan Sarekat Islam bersifat kelas menengah, tetapi senang dan bersyukur menerima bantuan dari ISDV, dan hanya kaum sosialis siap membantu pada saat itu.
Namun demikian, tak terelakkan konflik mulai timbul antara kepemimpinan ISDV dan Insulinde, dan juga di dalam ISDV sendiri. ISDV menegaskan bahwa pejuangan melawan penjajahan Belanda harus didukung kaum sosialis, dan menyatakan bahwa hal ini mencakup perjuangan melawan sistem kaptialis. Pimpinan kelas menegah Insulinde (seperti para pemimpin Serikat Islam kemudian) secara naluriah menolak dengan keras pikiran itu, dan mengedepankan “teori dua tahapan”. Dalam ISDV sendiri aliran refomis meninggalkan partai itu di tahun 1916 dan mendirikan Partai Sosial Demokrat Indonesia (ISDP), yang dalam waktu singkat langsung dekat dengan pemimpin kelas menengah nasionalis. Di sisi lain, ISDV makin digemari dan dihormati kaum militan Indonesia karena berani dan berprinsip dalam hal politik lokal. Walaupun diserang para pemimpin nasionalis karena banyak yang berketurunan Belanda, hal ini tidak merupakan rintangan dalam perjuangan membangun organisasi revolusioner, dan merebut dukungan massal.
Kewibawaan ISDV dicerminkan juga dengan dukungan massa terhadapnya di dalam tubuh Serikat Islam sendiri. Dengan mengingat populasi Indonesia, jumlah penganut itu merupakan langkah awalan saja yang secara praktis perlu dikonsolidasikan sebagai simpul di setiap daerah yang kemudian menjadi dasar gerakan nasional yang didukung oleh jutaan orang, dengan intinya kader Marxis. Jika kondisi begini sudah tercapai barulah mungkin menempatkan ikhwal perebutan kekuasaan ke dalam agenda partai.


B.     Gerakkan Komunisme di Indonesia (Bagian I)
Gerakkan Komunis Indonesia dengan menyusupnya para kader ISDV kedalam organisasi Islam yaitu Serikat Islam. Akhirnya SI terpecah menjadi dua yaitu SI Putih yang dipimpin oleh tokoh-tokoh anti Komunisme seperti HOS Cokroaminoto, Agus Salim dan kawan-kawan. Sedangkan SI Merah yang pimpin oleh tokoh-tokoh komunis seperti Samaun, Darsono dan kawan-kawan. Tokoh-tokoh SI merah inilah yang kemudian melahirkan dan mendeklarasikan berdirinya Partai Komunis Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatannya PKI.[4]
Gerakkan komunis juga tercium dalam kongres pemuda di Yogyakarta 10-11 November 1945. Menjelang Kongres semakin terdengar gagasan menyatukan seluruh organisasi pemuda kedalam satu wadah organisasi yang bernama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang berasas Sosialisme. Mereka bertujuan menciptakan; “satu gerakkan (pesatuan) pemuda Indonesia yang bersifat fusi yang berasas sosialistis dan bertujuan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat.”[5]
Gerakkan ini tercium oleh kalangan pemuda Islam yang tergabung dalam Gerakkan Pemuda Islam Indonesia (GPII), yang tentunya sangat menolak Komunisme. GPII waktu itu memusatkan pemikiran pada segenap usaha menangkal rekayasa menjelang kongres pemuda. Dengan situasi tersebut GPPI mengutus Ahmad Buchari dan Anwar Harjono ke arena kongres. Seperti yang diduga, kongres pemuda sangat kuat di pengaruhi oleh pemuda sosialis komunis. Dalam sidang terlihat peserta yang diluar pemuda sosialis selalu diolok-olok ketika berbicara. Dalam keadaan seperti itu ketua sidang tidak menemui hambatan dalam mengetuk palu pada pengesahan keputusan yang ingin meleburkan organisasi pemuda kedalam wadah tunggal Pesindo.[6] 
Dalam keadaan ketidakberdayaan para peserta sidang membendung gerakkan komunis, tiba-tiba tampil seorang pemuda berdiri mengancung tangan. Kedua sidang langsung menghardiknya, “mau apa lagi?” giliran berbicara sudah habis, tinggal menunggu keputusan saja!. Pemuda itu tidak lain adalah Ahmad Buchari dari GPII, menjawab dengan ringan pernyataan ketua sidang; “Mau kencing!”. Dia tampak menguasai taktik sidang saat itu, dan berhasil memainkan dengan bagus. Dengan izin kencing digunakan Buchari, sehingga pimpinan sidang tidak ada pilihan lain selain mempersilahkan dia tampil di mimbar. Buchari dengan lantang dan tajam berbicara:
“Jangan dipaksakan mendirikan Pesindo disini. Marilah kita tetap mempertahankan persatuan semua kalangan dan organisasi pemuda dalam Republik kita. Jangan main paksa dan dictator. Tetapi kalau toh dipaksakan juga kongres ini menelorkan Pesindo sebagai satu-satunya organisasi pemuda; kami akan keluar kongres ini. Dan jangan kaget kalau besok pagi kami akan mengadakan Kongres Pemuda Islam Seluruh Indonesia, di tempat ini juga, yang jauh lebih besar dari Kongres pemuda sekarang ini.”[7]   

Dengan demikian kaburlah ambisi untuk menjadikan Pesindo sebagai organisasi pemuda satu-satunya. Akhirnya organisasi pemuda Indonesia membentuk Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) yang dipimpin oleh satu dewan pimpinan pusat yaitu Chairul Saleh sebagai ketua umum. Namun komunis tetap berhasil mempengaruhi BKPRI dan GPII menyatakan keluar dari wadah satu organisasi tersebut. Untuk menandingi pengaruh komunis, organisasi pemuda seperti GPII, HMI dan lain-lain, pada tanggal 17 Agustus 1947 membentuk Front Nasional Pemuda (FNP). Ketua umumnya dipercayai kepada Anwar Harjono dari GPII. BKPRI yang Komunis terutama dari Pesindo kemudian terlibat dalam pemberontahkan Madiun 18 September 1948. Setelah pemberontahakan Madiun, Komunis membentuk organisasi tanpa bentuk untuk melanjutkan perjuangannya.
***



[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada beberapa istilah untuk petani antara lain petani berdasi, petani gurem, dan petani penggarap. Perbedaan istilah itu berdasarkan klasifikasi kepemilikan tanah.
[2] Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor, 1984, hlm. 162-163
[3] Alfian Tanjung, Menangkal Kebangkitan PKI, hlm. 29
[4]  Ibid
[5] Anwar Harjono, et.al, DI Sekitar Lahirnya Republik, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997, hlm. 66
[6] Ibid, hlm. 68
[7] Ibid, hlm. 69

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: