KOMUNISME DI INDONESIA
A.
Lahirnya Komunis di Indonesia
Komunis
merupakan ideologi yang dilahirkan dari pemikiran Karl Marx, seorang Filsuf
sekaligus pakar ekonomi dan politik. Pemahamannya mengenai komunis pun menjadi
pergunjingan. Sebab, Marx menyebut bahwa agama merupakan candu bagi masyarakat.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah negara agraris. Jauh sebelum
bangsa ini merdeka, sumber daya pertanian selalu menjadi komoditas utama. Oleh
karena itu, tidak bisa dipungkiri apabila dikatakan bahwa sebagian besar
masyarakat Indonesia adalah petani.[1]
Mengenai
klasifikasi sosial petani, menurut keadaan pertanian di Jawa dapat dibedakan
menjadi beberapa kelas sosial, yakni Petani Kaya, Petani Sedang, Petani Miskin,
dan Buruh Tani. Laporan Dr. J. W. Meyer Rannet tahun 1925 tentang
kemakmuran rakyat yang diambil dari penyelidikan di sejumlah daerah di Jawa,
melihat petani berdasarkan penghasilan penduduk menurut pembagian golongan
pekerjaan. Data itu melaporkan bahwa golongan petani tak bertanah berjumlah 37,8%
dari seluruh penduduk. Bila dijumlahkan dengan penduduk miskin, maka jumlahnya
menjadi 65% dari seluruh penduduk desa.[2]
Menurut Alfian Tanjung Komunis di Indonesia berawal dari tokoh Belanda
yang dipimpin oleh Snevlet. Tokoh-tokoh ini kemudian mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) atau dikenal dengan Partai
Sosial Demokrat Hindia. Jadi paham komunis masuk ke Indonesia dibawa oleh
Sneevliet pada tahun 1913. Sebagaimana di negeri-negeri lain, yang tertarik pada
paham komunis umumnya adalah kaum jelata karena memang paham ini konon untuk
membela kaum jelata dan menjadikan kaum elit sebagai musuh. Adapun basis
pendukungnya adalah buruh dan tani. Di Indonesia, jelas paham komunis mendapat
lahan yang subur. Tatanan kolonial menjadikan bangsa Indonesia sengsara di
negeri sendiri, selain miskin juga tertindas. Sneevliet membentuk organisasi
bernama ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) tahun 1914.[3]
Atas
prakarsa Sneevliet pada tahun 1914 didirikan Persatuan Sosial Demokrat
Indonesia (ISDV), yang pada awalnya terdiri dari 85 anggota, dua partai
sosialis Belanda (Partai Buruh Sosial Demokrat yang berbasis massa di bawah
kepemimpinan reformis, dan Partai Sosial Demokrat yang merupakan cikal bakal
Partai Komunis, terbentuk setelah perpecahan politik dengan SDAP di tahun
1909). Sejak mulanya tendensi revolusioner mengendalikan ISDV, sikapnya militan
terhadap isu-isu lokal (misalnya, kampanye mendukung seorang jurnalis Indonesia
yang diadili karena melanggar hukum pengendalian pers, dan juga mengadakan rapat
umum menentang persiapan perang yang dilakukan oleh pemerintah Belanda) dan
selain itu ISDV juga melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Pada tahap itu
orang Eropa anggota ISDV Belanda boleh masuk Insulinde sebagai anggota
individual. Pimpinan Insulinde dan Sarekat Islam bersifat kelas menengah,
tetapi senang dan bersyukur menerima bantuan dari ISDV, dan hanya kaum sosialis
siap membantu pada saat itu.
Namun
demikian, tak terelakkan konflik mulai timbul antara kepemimpinan ISDV dan
Insulinde, dan juga di dalam ISDV sendiri. ISDV menegaskan bahwa pejuangan
melawan penjajahan Belanda harus didukung kaum sosialis, dan menyatakan bahwa
hal ini mencakup perjuangan melawan sistem kaptialis. Pimpinan kelas menegah
Insulinde (seperti para pemimpin Serikat Islam kemudian) secara naluriah
menolak dengan keras pikiran itu, dan mengedepankan “teori dua tahapan”. Dalam
ISDV sendiri aliran refomis meninggalkan partai itu di tahun 1916 dan
mendirikan Partai Sosial Demokrat Indonesia (ISDP), yang dalam waktu singkat
langsung dekat dengan pemimpin kelas menengah nasionalis. Di sisi lain, ISDV
makin digemari dan dihormati kaum militan Indonesia karena berani dan
berprinsip dalam hal politik lokal. Walaupun diserang para pemimpin nasionalis
karena banyak yang berketurunan Belanda, hal ini tidak merupakan rintangan
dalam perjuangan membangun organisasi revolusioner, dan merebut dukungan
massal.
Kewibawaan
ISDV dicerminkan juga dengan dukungan massa terhadapnya di dalam tubuh Serikat
Islam sendiri. Dengan mengingat populasi Indonesia, jumlah penganut itu
merupakan langkah awalan saja yang secara praktis perlu dikonsolidasikan
sebagai simpul di setiap daerah yang kemudian menjadi dasar gerakan nasional
yang didukung oleh jutaan orang, dengan intinya kader Marxis. Jika kondisi
begini sudah tercapai barulah mungkin menempatkan ikhwal perebutan kekuasaan ke
dalam agenda partai.
B.
Gerakkan Komunisme di Indonesia
(Bagian I)
Gerakkan Komunis Indonesia dengan menyusupnya para kader ISDV kedalam
organisasi Islam yaitu Serikat Islam. Akhirnya SI terpecah menjadi dua yaitu SI
Putih yang dipimpin oleh tokoh-tokoh anti Komunisme seperti HOS Cokroaminoto,
Agus Salim dan kawan-kawan. Sedangkan SI Merah yang pimpin oleh tokoh-tokoh
komunis seperti Samaun, Darsono dan kawan-kawan. Tokoh-tokoh SI merah inilah
yang kemudian melahirkan dan mendeklarasikan berdirinya Partai Komunis
Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatannya PKI.[4]
Gerakkan komunis juga tercium dalam kongres pemuda di Yogyakarta 10-11
November 1945. Menjelang Kongres semakin terdengar gagasan menyatukan seluruh
organisasi pemuda kedalam satu wadah organisasi yang bernama Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo) yang berasas Sosialisme. Mereka bertujuan menciptakan;
“satu gerakkan (pesatuan) pemuda Indonesia yang bersifat fusi yang berasas
sosialistis dan bertujuan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan kedaulatan rakyat.”[5]
Gerakkan ini tercium oleh kalangan pemuda Islam yang tergabung dalam
Gerakkan Pemuda Islam Indonesia (GPII), yang tentunya sangat menolak Komunisme.
GPII waktu itu memusatkan pemikiran pada segenap usaha menangkal rekayasa
menjelang kongres pemuda. Dengan situasi tersebut GPPI mengutus Ahmad Buchari
dan Anwar Harjono ke arena kongres. Seperti yang diduga, kongres pemuda sangat
kuat di pengaruhi oleh pemuda sosialis komunis. Dalam sidang terlihat peserta
yang diluar pemuda sosialis selalu diolok-olok ketika berbicara. Dalam keadaan
seperti itu ketua sidang tidak menemui hambatan dalam mengetuk palu pada
pengesahan keputusan yang ingin meleburkan organisasi pemuda kedalam wadah
tunggal Pesindo.[6]
Dalam keadaan ketidakberdayaan para peserta sidang membendung gerakkan
komunis, tiba-tiba tampil seorang pemuda berdiri mengancung tangan. Kedua
sidang langsung menghardiknya, “mau apa lagi?” giliran berbicara sudah habis,
tinggal menunggu keputusan saja!. Pemuda itu tidak lain adalah Ahmad Buchari
dari GPII, menjawab dengan ringan pernyataan ketua sidang; “Mau kencing!”. Dia
tampak menguasai taktik sidang saat itu, dan berhasil memainkan dengan bagus.
Dengan izin kencing digunakan Buchari, sehingga pimpinan sidang tidak ada
pilihan lain selain mempersilahkan dia tampil di mimbar. Buchari dengan lantang
dan tajam berbicara:
“Jangan dipaksakan mendirikan Pesindo disini. Marilah kita tetap
mempertahankan persatuan semua kalangan dan organisasi pemuda dalam Republik
kita. Jangan main paksa dan dictator. Tetapi kalau toh dipaksakan juga kongres
ini menelorkan Pesindo sebagai satu-satunya organisasi pemuda; kami akan keluar
kongres ini. Dan jangan kaget kalau besok pagi kami akan mengadakan Kongres
Pemuda Islam Seluruh Indonesia, di tempat ini juga, yang jauh lebih besar dari
Kongres pemuda sekarang ini.”[7]
Dengan demikian kaburlah ambisi untuk menjadikan Pesindo sebagai
organisasi pemuda satu-satunya. Akhirnya organisasi pemuda Indonesia membentuk
Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) yang dipimpin oleh satu dewan
pimpinan pusat yaitu Chairul Saleh sebagai ketua umum. Namun komunis tetap
berhasil mempengaruhi BKPRI dan GPII menyatakan keluar dari wadah satu
organisasi tersebut. Untuk menandingi pengaruh komunis, organisasi pemuda
seperti GPII, HMI dan lain-lain, pada tanggal 17 Agustus 1947 membentuk Front
Nasional Pemuda (FNP). Ketua umumnya dipercayai kepada Anwar Harjono dari GPII.
BKPRI yang Komunis terutama dari Pesindo kemudian terlibat dalam pemberontahkan
Madiun 18 September 1948. Setelah pemberontahakan Madiun, Komunis membentuk organisasi
tanpa bentuk untuk melanjutkan perjuangannya.
***
[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada beberapa
istilah untuk petani antara lain petani berdasi, petani gurem, dan petani
penggarap. Perbedaan istilah itu berdasarkan klasifikasi kepemilikan tanah.
[2] Gunawan Wiradi, Dua
Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta:
Yayasan Obor, 1984, hlm. 162-163
[3] Alfian Tanjung, Menangkal Kebangkitan PKI, hlm. 29
[4]
Ibid
[5] Anwar Harjono, et.al, DI Sekitar Lahirnya Republik, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, 1997, hlm. 66
[6] Ibid, hlm. 68
0 comments:
Post a Comment