Saturday, September 9, 2017

[Catatan Skripsi] Sekilas Profil (Bagian 2)

BAB III
SEKILAS PROFIL

Oleh: Amriadi Al Masjidiy
Masa Sekolah
Saya lulus sekolah menegah atas di MAS Ihyaaussunnah Kota Lhokseumawe. Sebelumnya saya tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Kota Lhokseumawe dan Sekolah di MTsS. Muhammadiyah Lhokseumawe. Cita-cita saya untuk menjadi ahli komputer sejak saya menginjak kaki di Kota Lhoseumawe. Saat itulah saya mengenal yang namanya komputer dan HP canggih. Maklum saya anak pelosok desa.

Setelah mengenal komputer, saya juga ikut les komputer di sekolah. Setahun kemudian saya mengenal Internet. Itu juga karena ada tugas sekolah, namun teman-teman cari di Internet. Mengajak saya untuk mengenal Internet. Setelah mengenal internet lima bulan kemudian saya juga mengenal facebook.

Dari situ saya tidak pernah jajan di sekolah. Memang saya tidak ada uang untuk jajan di sekolah. Namun seminggu sekali pasti ada uang di kasih di Panti atau yang lainnya. Tapi uang itu saya simpan untuk main di warnet. Di Internet ketik apa aja ada. Setiap ke warnet saya mempelajari tutorial komputer.

Tidak heran kalau waktu saya MA sudah bisa mengoperasikan komputer. Bahkan siap bersaing melawan virus saat itu. Setahun kemudian saya belajar sablon dan saya juga dipercaya teman-teman menjadi design grafis. Saat itu saya belum tau program designer. Namun memisahkan warna untuk sablon biasanya saya menggunakan Paint.

Semua logo saya pisahkan warna melui itu. Akhirnya sablon berjalan sesuai rencana. Banyak anak-anak MAS Ihyaaussunnah yang memesan karya kami. Namun di pertengahan beberapa orang dari kami tidak lagi masuk dalam team belajar sablon. Padahal yang bisa design saat itu saya dan sablon yang ahli adalah Rajab.

Kita berdua di buang dari team sablon. Sablon di MA pun mati, mereka hanya belajar ke Sam Brothers. Namun pulangnya tidak ada praktek. Akhirnya saya dan Rajab, memulai kembali sablon berdua dan tambah satu orang teman lain. Sablon pun kembali  terbuka. Saat itulah nama kami mulai diakui oleh para guru di bidang seni dan sablon.

Lagi senang-senangnya dalam sablon, ternyata badai lain juga datang. Kita mau lulus, kelas kita mendapatkan penghargaan sebagai kelas terbandel dari semua kelas. Bahkan dari semua angkatan. Kami dikenal sebagai pemberontak, melawan aturan ini dan itu. Kami terancam dalam segela hal. Terancam tidak lulus, apalagi untuk urus beasiswa. Surat rekomendasi saja sudah sulit terbit untuk angkatan kami.

Waktu persiapan mau mengikuti UN, Ijazah saya hilang di rumah. Saya sudah bisa di pastikan tidak lulus. Akhirnya saya datang ke sekolah dulu, minta persyaratan untuk bisa ada ijazah lagi. Urus ini itu menghabiskan dana jutaan rupiah. Sudah pasti kesempatan kuliah tidak ada lagi.

Setelah ijazah keluar hati begitu gembira. Karena saya bisa ikut UN. Persiapan UN kita maksimalkan. Kegiatan sablon kami di suruh berhenti. Namun kami tidak berhenti. Bahkan sekarang kita tidur sampai jam 12 malam. Belajar sablon dan juga membaca buku persiapan ujian sekolah dan UN.

Saat itu saya memakai komputer Lab sekolah untuk design. Beberapa teman saya juga ikut belajar bersama saya, untuk kelanjutan sablon. Namun apa boleh buat. Kita bertiga yang lagi belajar design ditendang dalam Lab. Komputer. Sangat menyakitkan dan memalukan. Karena bukan saja tendangan yang kami dapat, tapi juga serapah mapah lainnya juga dikeluarkan oleh guru yang menjadi teladan kami.

Saat itulah kegiatan sablon kami tinggalkan. Setelah itu sablon mati dan hingga sekarang tidak ada lagi ektrakurikuler sablon di sekolah. Kami semua fokus belajar untuk UN dan mencari beasiswa kuliah dan sebagainya. Persiapan masa depan. Saya bertiga mendaftar Beasiswa Pemimpin Bangsa milik Dhompet Dhuafa. Namun kami tidak lulus, walaupun persyaratan saya siapkan menghabiskan jutaan rupiah. Maklum untuk mendapatkan akte kelahiran saja harus bayar ini itu.

Begitu juga dengan KTP dan persyaratan lainnya. Saya harus membayar dengan harga mahal. Belum lagi biaya di jalan, bayar ojek dan yang lainnya. Saya juga mendaftar beasiswa lainnya. Namun tidak ada yang lewat. Hal ini yang menyebabkan saya harus rela naik ke kebun untuk deres karet.

Masa Kuliah
Setelah tidak sanggub di deres karet saya menjadi kuli bangunan di Kota Lhokseumawe. Badan saya yang kurus dan berpuasa harus rela kerja keras. Demi cita-cita bisa kuliah. Setelah itu saya diminta untuk pulang ke Panti Asuhan. Saat itu saya di suruh ikut Baitul Arqam Muhammadiyah. Setelah selesai acara, saya di minta ketemu seoarng ustadz dari pengurus Muhammadiyah.

Setelah bertemu beliau, saya di tawarkan untuk kuliah di Lampung. Dimana sebuah Akademi Da’wah perintisan di Lampung sedang mencari Mahasiswa. Beasiswa full dan juga termasuk ongkos keberangkatan di tanggung. Saya disuruh cari kawan-kawan yang lain untuk ikut kuliah di Lampung.

Saya mencari kemana-mana termasuk kawan di MTs.S Muhammadiyah dan juga kawan angkatan saya di Panti, tidak lupa teman-teman saya di MAS Ihyaaussunnah seangkatan yang belum kuliah. Semua saya ajak. Namun tidak ada yang mau. Akhirnya kami cuma berangkat 5 orang dari Kota Lhokseumawe ke Lampung. Padahal yang dibutuhkan 10 orang.

Malam itu kami berlima yang ditemani seorang ustadz yang bertugas di Akademi tersebut berangkat ke Lampung dan juga seorang senior mahasiswa. Sore hari esoknya kami sampai di Jakarta. Pertama kali melihat Monas dan Istiqlal. Seblumnya kita hanya melihat di TV. Itulah kota Jakarta,  Ibukota negara Indonesia.

Malamnya kami berangkat ke merak, sampai disana kami naik kapal air perbatasan selat Sunda antara Jawa dan Sumatera. Selama kurang lebih 2 jam. Besoknya jam 6 pagi kami tiba di terminal 16c Kota Metro Lampung.

Kemudian kami di jemput oleh teman-teman mahasiswa, kakak kelas. Setelah itu sampai lah pada sebuah masjid. Disana juga ada SD IT dalam komplek masjid tersebut. Hati saya sangat kaget, disini adalah negeri Teknologi. Tingkat SD saja mereka sudah belajar IT, bagaimana dengan penguruan tinggi? Tentu lebih hebat lagi. Namun dugaan saya salah besar. Rupanya SD IT itu Sekolah Dasar Islam Terpadu. Bukan Sekolah Dasar Informasi Tekonlogi. Maklum saya anak desa, tidak tahu apa-apa.


Sangat sedikit anak desa yang mengetahui ini dan itu, apalagi soal teknologi. Kini sepertinya sudah berubah, banyak anak-anak desa yang sudah terpengaruh dengan dunia modern seperti gadget dan teknologi digital lainnya.  Sehingga adat dan budaya sudah mulai dihilangkan. Dulu duduk berdua atau jalan berdua dengan yang bukan mahram, itu adalah sebuah aib bagi keluarga. Itu sebuah adat yang dipercaya turun-temurun. Namun sekarang, budaya itu hilang ditelan oleh modernitas. Orang seperti saya sangat menjunjung tinggi budaya nenek moyang itu, karena budaya seperti itu sesuai dengan syariat Islam yang melarang pergaulan bebas. Namun modernitas justru sebaliknya. Bersambung

SHARE THIS

Author:

Penulis merupakan penulis bebas dan juga penggiat blockchain dan Cryptocurrency. Terima Kasih sudah berkunjung ke Blog Saya, bebas copy paste asal mencantumkan sumber sebagaimana mestinya.

0 comments: