BAB III
SEKILAS PROFIL
Oleh: Amriadi Al Masjidiy
Masa Sekolah
Saya lulus sekolah menegah atas di MAS
Ihyaaussunnah Kota Lhokseumawe. Sebelumnya saya tinggal di Panti Asuhan
Muhammadiyah Kota Lhokseumawe dan Sekolah di MTsS. Muhammadiyah Lhokseumawe.
Cita-cita saya untuk menjadi ahli komputer sejak saya menginjak kaki di Kota
Lhoseumawe. Saat itulah saya mengenal yang namanya komputer dan HP canggih.
Maklum saya anak pelosok desa.
Setelah mengenal komputer, saya juga
ikut les komputer di sekolah. Setahun kemudian saya mengenal Internet. Itu juga
karena ada tugas sekolah, namun teman-teman cari di Internet. Mengajak saya
untuk mengenal Internet. Setelah mengenal internet lima bulan kemudian saya
juga mengenal facebook.
Dari situ saya tidak pernah jajan di
sekolah. Memang saya tidak ada uang untuk jajan di sekolah. Namun seminggu
sekali pasti ada uang di kasih di Panti atau yang lainnya. Tapi uang itu saya
simpan untuk main di warnet. Di Internet ketik apa aja ada. Setiap ke warnet
saya mempelajari tutorial komputer.
Tidak heran kalau waktu saya MA sudah
bisa mengoperasikan komputer. Bahkan siap bersaing melawan virus saat itu.
Setahun kemudian saya belajar sablon dan saya juga dipercaya teman-teman
menjadi design grafis. Saat itu saya belum tau program designer. Namun
memisahkan warna untuk sablon biasanya saya menggunakan Paint.
Semua logo saya pisahkan warna melui
itu. Akhirnya sablon berjalan sesuai rencana. Banyak anak-anak MAS
Ihyaaussunnah yang memesan karya kami. Namun di pertengahan beberapa orang dari
kami tidak lagi masuk dalam team belajar sablon. Padahal yang bisa design saat
itu saya dan sablon yang ahli adalah Rajab.
Kita berdua di buang dari team sablon.
Sablon di MA pun mati, mereka hanya belajar ke Sam Brothers. Namun pulangnya
tidak ada praktek. Akhirnya saya dan Rajab, memulai kembali sablon berdua dan
tambah satu orang teman lain. Sablon pun kembali terbuka. Saat itulah nama kami mulai diakui
oleh para guru di bidang seni dan sablon.
Lagi senang-senangnya dalam sablon,
ternyata badai lain juga datang. Kita mau lulus, kelas kita mendapatkan
penghargaan sebagai kelas terbandel dari semua kelas. Bahkan dari semua
angkatan. Kami dikenal sebagai pemberontak, melawan aturan ini dan itu. Kami
terancam dalam segela hal. Terancam tidak lulus, apalagi untuk urus beasiswa.
Surat rekomendasi saja sudah sulit terbit untuk angkatan kami.
Waktu persiapan mau mengikuti UN, Ijazah
saya hilang di rumah. Saya sudah bisa di pastikan tidak lulus. Akhirnya saya
datang ke sekolah dulu, minta persyaratan untuk bisa ada ijazah lagi. Urus ini
itu menghabiskan dana jutaan rupiah. Sudah pasti kesempatan kuliah tidak ada
lagi.
Setelah ijazah keluar hati begitu
gembira. Karena saya bisa ikut UN. Persiapan UN kita maksimalkan. Kegiatan
sablon kami di suruh berhenti. Namun kami tidak berhenti. Bahkan sekarang kita
tidur sampai jam 12 malam. Belajar sablon dan juga membaca buku persiapan ujian
sekolah dan UN.
Saat itu saya memakai komputer Lab
sekolah untuk design. Beberapa teman saya juga ikut belajar bersama saya, untuk
kelanjutan sablon. Namun apa boleh buat. Kita bertiga yang lagi belajar design
ditendang dalam Lab. Komputer. Sangat menyakitkan dan memalukan. Karena bukan
saja tendangan yang kami dapat, tapi juga serapah mapah lainnya juga
dikeluarkan oleh guru yang menjadi teladan kami.
Saat itulah kegiatan sablon kami
tinggalkan. Setelah itu sablon mati dan hingga sekarang tidak ada lagi
ektrakurikuler sablon di sekolah. Kami semua fokus belajar untuk UN dan mencari
beasiswa kuliah dan sebagainya. Persiapan masa depan. Saya bertiga mendaftar
Beasiswa Pemimpin Bangsa milik Dhompet Dhuafa. Namun kami tidak lulus, walaupun
persyaratan saya siapkan menghabiskan jutaan rupiah. Maklum untuk mendapatkan
akte kelahiran saja harus bayar ini itu.
Begitu juga dengan KTP dan persyaratan
lainnya. Saya harus membayar dengan harga mahal. Belum lagi biaya di jalan,
bayar ojek dan yang lainnya. Saya juga mendaftar beasiswa lainnya. Namun tidak
ada yang lewat. Hal ini yang menyebabkan saya harus rela naik ke kebun untuk
deres karet.
Masa Kuliah
Setelah tidak sanggub di deres karet
saya menjadi kuli bangunan di Kota Lhokseumawe. Badan saya yang kurus dan
berpuasa harus rela kerja keras. Demi cita-cita bisa kuliah. Setelah itu saya
diminta untuk pulang ke Panti Asuhan. Saat itu saya di suruh ikut Baitul Arqam
Muhammadiyah. Setelah selesai acara, saya di minta ketemu seoarng ustadz dari
pengurus Muhammadiyah.
Setelah bertemu beliau, saya di tawarkan
untuk kuliah di Lampung. Dimana sebuah Akademi Da’wah perintisan di Lampung
sedang mencari Mahasiswa. Beasiswa full dan juga termasuk ongkos keberangkatan
di tanggung. Saya disuruh cari kawan-kawan yang lain untuk ikut kuliah di Lampung.
Saya mencari kemana-mana termasuk kawan
di MTs.S Muhammadiyah dan juga kawan angkatan saya di Panti, tidak lupa
teman-teman saya di MAS Ihyaaussunnah seangkatan yang belum kuliah. Semua saya
ajak. Namun tidak ada yang mau. Akhirnya kami cuma berangkat 5 orang dari Kota
Lhokseumawe ke Lampung. Padahal yang dibutuhkan 10 orang.
Malam itu kami berlima yang ditemani
seorang ustadz yang bertugas di Akademi tersebut berangkat ke Lampung dan juga
seorang senior mahasiswa. Sore hari esoknya kami sampai di Jakarta. Pertama
kali melihat Monas dan Istiqlal. Seblumnya kita hanya melihat di TV. Itulah
kota Jakarta, Ibukota negara Indonesia.
Malamnya kami berangkat ke merak, sampai
disana kami naik kapal air perbatasan selat Sunda antara Jawa dan Sumatera. Selama
kurang lebih 2 jam. Besoknya jam 6 pagi kami tiba di terminal 16c Kota Metro
Lampung.
Kemudian kami di jemput oleh teman-teman
mahasiswa, kakak kelas. Setelah itu sampai lah pada sebuah masjid. Disana juga
ada SD IT dalam komplek masjid tersebut. Hati saya sangat kaget, disini adalah
negeri Teknologi. Tingkat SD saja mereka sudah belajar IT, bagaimana dengan
penguruan tinggi? Tentu lebih hebat lagi. Namun dugaan saya salah besar.
Rupanya SD IT itu Sekolah Dasar Islam Terpadu. Bukan Sekolah Dasar Informasi
Tekonlogi. Maklum saya anak desa, tidak tahu apa-apa.
Sangat sedikit anak
desa yang mengetahui ini dan itu, apalagi soal teknologi. Kini sepertinya sudah
berubah, banyak anak-anak desa yang sudah terpengaruh dengan dunia modern
seperti gadget dan teknologi digital lainnya.
Sehingga adat dan budaya sudah mulai dihilangkan. Dulu duduk berdua atau
jalan berdua dengan yang bukan mahram, itu adalah sebuah aib bagi keluarga. Itu
sebuah adat yang dipercaya turun-temurun. Namun sekarang, budaya itu hilang ditelan
oleh modernitas. Orang seperti saya sangat menjunjung tinggi budaya nenek moyang
itu, karena budaya seperti itu sesuai dengan syariat Islam yang melarang
pergaulan bebas. Namun modernitas justru sebaliknya. Bersambung
0 comments:
Post a Comment